Suasana hening menyelimuti ruangan yang keseluruhannya terbuat dari kayu. Semilir angin pegunungan menyapa wajah-wajah dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Dipanggil tiba-tiba untuk berkumpul di kediaman Kakek Yamazaki, pastilah ada sesuatu yang mendesak.Di tengah ruangan, Ken mengambil tempat bersama Kosuke, asisten yang bersedia mendampinginya meski harus bertaruh nyawa. Skenario besar sudah tergambar di kepala, bersiap dijabarkan meski mendapat pertentangan dari para tetua."Apa yang membawamu kemari, Nak?" Yamazaki Subaru, pemimpin tertinggi di keluarga itu mulai membuka suara. Meskipun dia sudah tahu tujuan kedatangan Ken, tapi sembilan orang di kanan kirinya belum. "Saya datang untuk meminta maaf," ujar Ken setelah menundukkan badan dalam-dalam. "Sudah saatnya saya mengungkap semuanya. Tentang hal-hal yang tersembunyi, juga rahasia yang selama ini saya simpan seorang diri."Para tetua menoleh saling pandang satu sama lain. Dengan tabiat Ken yang tegas dan keras kepala, belu
"Apa yang kau lakukan di sini, Sawaguchi-san?" Sayaka buka suara, menatap gadis dengan gaun putih yang senada dengan warna bunga di tangannya. Terlihat jelas ada rona merah di pipi, sengaja berhias untuk menggoda putranya.Sayaka mendengkus, semakin jengah dengan perilaku mantan calon menantunya. Dulu dia amat menyukai Erina, berpikir kalau gadis itu sosok yang sempurna untuk Ken. Namun, sekarang dia bisa melihat sifat asli yang mengerikan darinya. Untung saja hubungan mereka kandas, kalau tidak dia akan memiliki menantu seorang rubah wanita yang akan merepotkan hari ini dan seterusnya.Bunga Lili seringkali digunakan sebagai ungkapan duka cita, dalam acara kematian maupun bencana. Sekarang, Erina membawanya dengan sengaja, pastilah dia memiliki niatan tidak benar di dalam hatinya."Bibi, aku ...." Erina mengalihkan fokus pandangannya dari Ken, menatap Sayaka dan beberapa tetua yang ada di sana."Lancang sekali kau. Siapa yang mengizinkanmu bergabung dengan kami? Ini pertemuan resmi k
"Kamu tidak boleh melakukannya!" seru Erina, berdiri dari bantal duduk di bawah kakinya. Dia langsung mendekat ke arah Ken, menarik lengannya."Nona, tolong perhatikan sikap Anda." Kosuke berusaha memperingatkan Erina, mendapati tatapan tidak nyaman dari Ken pada gadis itu."Kakek?" Erina menatap pria yang menjadi pusat pengambilan keputusan nantinya. "Kakek tidak akan membiarkan Ken berbuat bodoh, bukan?"Erina segera mendekat ke arah pria lansia yang duduk di belakang meja berkaki pendek. Dia segera bersimpuh, menatap kakek Subaru dengan penuh harap."Kek, katakan kalau kau tidak akan mengizinkan Ken mengungkapkan segalanya. Hanya karena menghilangnya wanita itu, dia jadi melupakan akal sehatnya. Semua akan berimbas buruk kalau dia tiba-tiba muncul tanpa kursi roda. Juga wajahnya ...," Erina menoleh ke belakang, ke arah Ken yang terlihat tetap tenang. Dia tahu tidak akan bisa memengaruhi Ken yang keras kepala."Kakek harus pikirkan masa depan bisnis Ken juga. Akan banyak investor ya
"Tuan Muda kecil, lari! Cepat lari sekarang, Tuan! Tidak ada kesempatan lain. Cepat masuk ke dalam kereta, kita harus pergi dari sini!" Seorang wanita berpakaian serba hitam menarik lengan bocah yang masih berusia lima tahun. Mereka berlari menyusuri padang ilalang tinggi sebelum mencapai kereta kuda yang ada di ujung jalan."Aku masih mau makan," ucap si bocah dengan wajah sedih. Sup di dalam mangkuknya belum habis saat salah satu pengawal bayangannya datang, membopongnya dengan paksa untuk keluar dari rumah tua yang seminggu dihuni olehnya."Anda bisa makan lain waktu. Sekarang kita harus pergi." Kaneko, wanita yang hanya terlihat matanya itu mengangkat tubuh mungil si bocah kecil ke atas kereta kuda dan menutup pintu belakangnya dengan tergesa. Hanya berselang tiga detik, wanita bertubuh mungil itu segera melepaskan kekang kuda, melesat pergi dari sana.Derap langkah kaki kuda terdengar menggema, beradu dengan jalanan berbatu yang mereka lalui di kaki gunung Asama. Meskipun jalanann
Guncangan pesawat masih terasa, membuat Aira memijit pelipis perlahan. Langkah kakinya terhenti, duduk di bangku panjang tak jauh dari pintu keluar bandara. Udara dingin beraroma salju mulai terasa, membuat wanita hamil itu mengeratkan palto di tubuhnya.Untuk beberapa detik pertama, dia hanya bisa mengambil napas dalam melalui hidung. Kesendirian itu menyiksanya, membuatnya tak bisa berkata-kata. Ada perasaan mual yang terasa, tapi tak terlalu kentara. Tak sampai membuatnya ingin muntah, hanya merasa tenggorokannya sedikit tidak nyaman."Semua akan baik-baik saja. Tenanglah," bisik Aira, menenangkan dirinya sendiri. Berada di negeri antah berantah, membuatnya tenang sekaligus khawatir.Tenang karena tidak ada seorang pun yang mengusik hidupnya, tapi khawatir kalau ternyata kota yang didatanginya tidak bersahabat. Dia hanya ingin menenangkan diri, menyingkir sejenak dari hiruk pikuk kota Fukuoka dan segala yang berhubungan dengannya. Termasuk Ken dan para tetua yang memandangnya sebel
Ken terus berjalan ke sana kemari, melupakan penampilannya sendiri yang tidak terurus. Seluruh atensinya hanya memikirkan Aira, menantikan kabar keberadaan wanitanya. Sebelum Aira kembali, dia sungguh tidak bisa berbuat apa pun. Kacau semua isi kepalanya.“Tuan,” panggil Kosuke, berdiri dengan napas terengah-engah setelah menaiki anak tangga dengan tergesa. Panggilan ponsel di tangan baru berakhir beberapa detik lalu. Seseorang mengatakan dia tahu posisi Aira saat ini.“Kau sudah menemukan di mana Aira?”Kosuke kehilangan seluruh kosa kata yang ada di dalam kepala. Kabar terbaru yang didapatkannya barusan membuatnya kehilangan fokus.“Nona ….” Kosuke menelan ludah dengan paksa, membasahi kerongkongan yang terasa kering seketika.“Di mana Aira?!” Ken menggeram tertahan, tidak sabar menunggu rangkaian kata yang menghentikan gundah gulana di dalam hatinya.“Aomori. Nona ada di Aomori, Tu ….”Belum sempat Kosuke menyelesaikan kalimatnya, Ken sudah lebih dulu melesat menuju mobilnya. Denga
Langit bertabur bintang terlihat begitu menawan. Bulan sabit yang menggantung melengkapi keindahan malam yang semakin larut. Semilir angin terasa menyejukkan, daun-daun bernyanyi bersama suara hewan melata di luar sana.Namun, hal yang sebaliknya terjadi pada Ken. Pria itu berkali-kali menyugar rambutnya dengan kasar, berharap helikopter yang dinaikinya bisa segera mendarat di titik yang sudah direncanakan, Prefektur Aomori.Sayangnya, itu hanya ada dalam angan-angan. Menggunakan pesawat jet dengan kecepatan super sekalipun, Fukuoka-Aomori tidak bisa ditempuh sekejap mata."Ai-chan, tunggu aku datang." Sekali lagi Ken harus menambah stok kesabaran di dalam dadanya, tidak bisa memaksa semesta menekuk hamparan tanahnya. Itu hal yang mustahil. Jarak yang terbentang sekitar 1.632 kilometer, bukanlah angka yang sedikit. Bahkan, membutuhkan waktu lebih dari dua puluh jam perjalanan darat untuk sampai ke sana."Tidak bisakah kau tambah kecepatannya, Erick?" Ken meremas jemarinya, tidak sabar
Selamat pagi, Readers semua yang author cintai. Mohon maaf, karena satu dan lain hal cerita Ken dan Aira belum bisa saya lanjutkan.Setelah berpikir berkali-kali, rasanya apa yang saya tuliskan belum maksimal. Rasa naskah semakin memudar di dalam hati saya. Jadi, dibandingkan mengunggah bab tanpa perasaan, lebih baik saya tunda sampai "feel" cerita ini kembali.Jadi, melalui pengumuman ini, saya nyatanya untuk sementara novel "Menikahi Dua Pria" terpaksa "hiatus" sejenak. Namun, saya berjanji akan segera menyelesaikannya setelah kondisi memungkinkan. Jaga kesehatan kalian, ya. Semoga kita semua dalam perlindungan Tuhan.Selagi menunggu buku ini diperbarui, kalian bisa baca cerita saya yang lain. Atau baca juga karya Rae_1243 yang berjudul "Pelakor Berkelas". Ada Angel dan Adam yang akan membuat kalian ikut emosi.Terima kasih perhatiannya, mohon maaf atas ketidaknyamanan Readers semua. 🙏Salam cinta,Hanazawa^^