"Apa maksudmu berkata seperti itu? Apa kau berusaha merebut anak-anak dariku secara perlahan?" tanya Dilara nyalang.Wanita itu menggertakkan giginya dengan suara rendah. Jika posisinya saat ini sedang berdua saja dengan Gregory. Mungkin tangannya sudah dilayangkan dan menampar wajah tampan pria itu. Jadi, kalo ini Gregory benar-benar beruntung.Gregory bergegas menepikan mobilnya. Ia takut wanita itu salah paham. "Jangan salah paham dulu, Lara. Aku hanya--.""Aku hanya apa? Sudah kubilang kalau aku tidak akan pernah mempercayai kata-katamu," potong Dilara menggebu."Aku tahu itu, bahkan kau sudah sering sekali mengatakannya. Aku hanya akan menjaga anak-anak selagi kau bekerja dan tidak lebih dari itu," jelas Gregory tidak kalah mwnggebu.Yah. Ia sudah merasa lebih dari cukup hanya dengan diakui sebagai ayah anak-anak. Sudah bisa menghabiskan waktu bersama saja membuatnya merasa sangat bahagia. Tidak pernah terlintas sedikit pun di benaknya untuk merebut si kembar dari tangan Dilara.
Mendengar pertanyaan yang Gregory lontarkan membuat Dilara mengangkat kepala dengan terkejut. Ia pikir, pertanyaan macam apa itu?"Jangan berpikir sesuatu yang tidak-tidak," ujar Dilara mengingatkan.Wanita itu tahu dengan jelas apa isi kepala Gregory. Sampai sekarang belum menikah itu karena pilihannya. Jika ia menikah, otomatis fokusnya akan terbagi. Di mulai dari anak-anaknya, pekerjaan, dan suaminya. Yang paling penting, ia tidak ingin menjadi lalai. Lalai terhadap anak dan suaminya nanti."Memangnya kau pikir apa yang sedang aku pikirkan?" tanya Gregory sinis."Apa pun itu, aku tidak peduli. Satu hal yang harus kau tahu kalau aku tidak butuh pria lain dalam hidupku kecuali Shine dan Shane," sanggah Dilara menggebu.Ibu dua anak itu tidak memiliki pengalaman apa pun terhadap pria. Tidak pernah dihianati atau sebagainya. Hanya pernah mengejar dua pria dengan membabi buta yang membuatnya terluka dalam."Mungkin kau tidak butuh, tapi anak-anak. Bukankah mereka butuh sosok ayah?" Greg
"Maaf, aku tahu ini salahku." Akhirnya tangan Gregory terulur dan meremas jemari Dilara pelan.Sumpah demi apa pun, pria dua anak itu sungguh-sungguh menyesal. Rasanya sangat menyakitkan mendapat kebencian yang begitu dalam dari Dilara."Lepas, lepaskan tanganku, Om Greg," geram Dilara berusaha melepaskan diri."Beri aku kesempatan untuk memperbaiki segalanya, Lara." Alih-alih melepaskan tangan Dilara, Gregory justru semakin erat menggenggamnya."Lepas atau aku teriak," ancam Dilara.Meski enggan, tetapi mendapat ancaman seperti itu membuat Gregory melepaskannya. Tidak mungkin ia membiarkan Dilara berteriak di tempat umum. Terlebih di sana ada kedua anaknya."Aku sudah melepaskan tanganmu. Jadi, tenanglah dan jangan membuat orang lain salah paham. Kalau sampai anak-anak melihat bagaimana?" ucap Gregory sambil mengangkat kedua tangan.Sontak, Dilara menoleh ke arah dua putranya berada. Memikirkan kedua putranya sudah melalui banyak hal berat membuatnya menyesal. Kenapa harus dirinya da
"Kalau begitu, tidak perlu kau tanyakan," kata Dilara ketus."Tapi aku ingin menanyakannya padamu," balas Gregory bersikeras."Ya sudah, tanyakan saja. Jangan melarangku untuk tidak marah karena itu hakku," ujar Dilara sedikit meninggikan suaranya.Ya, benar. Entah marah atau tidak, itu sudah menjadi hak Dilara. Hal itu tergantung dengan apa yang akan Gregory tanyakan. Kalau pertanyaannya tidak menyinggung perasaan, maka permintaan Gregory untuk Dilara tidak marah akan dikabulkan."Jadi begini, aku ingin memberi kebahagiaan lengkap untuk anak-anak." Gregory berusaha setenang mungkin."Lalu?" Dilara meminta Gregory untuk melanjutkan ucapannya. Entah mengapa, ia merasa curiga dengan apa yang akan Gregory katakan."Kalau hanya status ayah dan ibu, tetapi tidak tinggal bersama membuat mereka bertanya-tanya dan berpikir yang tidak-tidak. Jadi--." Gregory cukup tersentak karena tiba-tiba Dilara memotong ucapannya."Jadi maksudmu, kau ingin aku menerimamu dan menikah denganmu?" tanya Dilara
"Anak-anak sedang apa, sih?" gumam Dilara menatap heran kedua putranya.Wanita itu melihat si kembar duduk saling berseberangan dengan tubuh lesu. Lalu, ia bergegas mendekat dan memastikan."Ya ampun, Shine, Shane." Dilara terkejut dengan mulut dan mata yang terbuka lebar.Untuk pertama kalinya bagi wanita itu melihat kedua anaknya tertidur di sana. Merebahkan kepala di meja dengan manik mata yang terpejam."Bagaimana bisa? Sebelumnya mereka tidak pernah tertidur di sini?" tanya Dilara pada dirinya sendiri.Ibu dua anak itu berkacak pinggang. Menggerakkan bola matanya bingung tidak tahu harus berbuat apa. Sesaat kemudian, ia memutuskan untuk membangunkan Shine dan Shane."Shane, Shine, bangun, Nak." Dilara berusaha membangunkan dengan mengusap kepala putranya bergantian."Sayang-sayangnya mommy, bangun, Nak."Si kembar terlihat membuka mata secara perlahan. Menggeliat sambil menguap seolah mereka benar-benar tertidur. Padahal mereka sedang melakukan rencana yang telah ayahnya buat."A
["Hari ini aku tidak bisa pulang tepat waktu karena rekan kerja lawan shift-ku tidak masuk. Jadi, bisakah kau mengurus anak-anak untuk malam ini saja?""Tidak masalah. Bukankah sebelumnya aku sudah bilang kalau--."["Aku tahu. Untuk masalah ini, kita bicarakan nanti malam saja setelah pekerjaanku selesai."Awalnya, Dilara memang ingin membicarakan tentang hal itu. Namun, kejadian yang tak disangka-sangka justru terjadi dan ia terpaksa harus meminta tolong pada Gregory sebelum membahasnya."Baiklah. Jadi, apa aku perlu membawa anak-anak pulang sekarang atau nanti?"Gregory pikir, apa bedanya sekarang dan nanti pukul lima. Lagi pula, si kembar akan tetap ikut bersamanya pulang ke rumah selama beberapa jam.["Terserah kau saja, tapi menurutku sekarang lebih baik karena anak-anak terlihat sangat kelelahan.""Oke. Kalau begitu, aku dan anak-anak pulang dulu. Kau kabari saja satu jam sebelum pulang agar aku tidak terlambat menjemput."["Ya. Titip salam buat anak-anak. Aku tidak bisa ke depa
["Jangan gila, Om Greg!""Ya sudah, aku bangunkan anak-anak dan langsung menjemputmu."["Tidak, jangan."Tidak mungkin ia membiarkan Gregory membangunkan Shine dan Shane yang sedang tidur. Apalagi sekarang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Akan tetapi, ia juga tidak bisa membiarkan dirinya menginap di rumah pria itu. Kalau tidak menginap, anak-anak akan marah karena tidak ada ibunya di sana setelah bangun nanti."Jadi, aku harus bagaimana sekarang?" tanya Gregory berpura-pura bingung.["Oke. Kau suruh supir saja untuk menjemputku.""Lalu? Kau akan menginap di sini atau mau diantar pulang?" Gregory berusaha menekan kuat-kuat kebahagiaannya dengan bersikap datar. Pasalnya ia sudah tahu pilihan apa yang akan Dilara ambil. Jika bukan memilih menginap, lalu apa lagi?["Aku akan menginap, tapi kau tidak boleh macam-macam.""Tidak akan. Ya sudah, akan kukirim supir untukmu."Sepersekian detik, Dilara mengakhiri panggilan. Saat ini, Gregory berusaha menekan rasa bahagianya. Melip
Tidak ingin membiarkan Gregory berbuat lebih dan mempermalukannya, Dilara menyentuh dada bidang pria itu dan mendorongnya menjauh. Menatap si kembar bergantian sebelum memusatkan atensinya pada pria tidak tahu malu itu. Dengan napas yang tersengal dan dada yang bergerak naik turun, bola matanya memerah juga membola. "Apa yang Om Greg lakukan?" tanya Dilara berbisik sambil menggertakkan gigi menahan amarah."Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya melakukan sesuatu yang memang ingin aku lakukan," sahut Gregory malas.Ia berkata tidak melakukan apa-apa, tetapi mengatakan sesuatu yang memang ingin sekali dilakukan."Lakukan apa pun sesuka hatimu dan jangan lakukan itu padaku," ujar Dilara geram. Wanita itu mengusap bibirnya kasar berusaha menghapus jejak bibir lembab ayah kedua anaknya. Ia benar-benar tidak menyangka Gregory akan berbuat tidak tahu malu seperti itu padanya."Tidak bisa. Aku tipe pria setia dan tidak bisa menyentuh wanita lain yang tidak aku cintai," tolak Gregory tegas."Cu