"Ehem… Apa ada sesuatu yang terjadi semalam?" tanya Jay pada Rasya yang kebetulan baru saja masuk ke dalam ruangannya.
"Apa yang Tuan bicarakan? Tidak ada yang terjadi sama sekali. Saya serius dan tidak berbohong." Rasya panjang lebar menjelaskan padahal Jay sama sekali tidak bermaksud untuk mengintrogasinya."Kenapa kau gugup?""Si--siapa yang gugup?"Plakkkk! Jay memukul kepala Rasya dengan dokumen yang baru saja ia periksa. Rasya hanya diam menerimanya. "Tuan, kenapa Tuan meminta Keysana menyiapkan alkohol?" tanya Rasya."Kau harus membuat ijin terlebih dahulu untuk bertanya padaku. Aku ini atasanmu di sini," kata Jay. Jay sengaja membuat Rasya kesal supaya ia tidak menempel terus padanya dan lebih menggunakan waktu yang ada untuk mendekati Keysana."Ah? Apa harus menggunakan surat ijin?" tanya Rasya.'Astaga!Jay pulang sekitar pukul 9 malam. Kaira mengirim pesan kalau ia sudah pulang ke rumah dan bukan pulang ke rumah Nyonya Luna. Rumah tampak begitu sepi. Saat kakinya menapaki teras rumah, tidak ada suara apapun. Hening dan sangat sunyi."Sayang!" panggil Jay tapi tidak ada suara yang menyahut. Para pelayan juga tidak ada di sana. Benar-benar seperti rumah kosong. Jay membuka kamar utama. Penerangan remang-remang yang menyambutnya."Sayang!" panggil Jay. Kaira memakai gaun malam berwarna merah tanpa bra. Terlihat dari punggungnya yang terekspos."Mandilah! Aku sudah siapkan air hangat." Tirai jendela kamar berterbangan karena angin bertiup cukup kencang. Kaira tetap tidak bergerak apalagi m
Kaira merangkul leher Jay. Malam ini memang Kaira siapkan untuk menghabiskan waktu bersama Jay tanpa terganggu. Ziel yang menginap di rumah Neneknya dan para pekerja yang diminta menginap diluar rumah olehnya. Bibir Kaira tersenyum namun ia tetap pemalu. “Aku rasa...” Kaira sedikit menggoda Jay dengan memainkan jarinya diujung dada Jay. “Apa yang kau rasa?” Jay membalas godaan Kaira. “Yeahhhh... Aku rasa Ziel memang sudah waktunya memiliki seorang adik.” “Jadi?” “Bukankah malam terasa sangat panjang?” tanya Kaira. “Lalu?” Jay memancing Kaira. Jarang-jarang Kaira mau manja, mengekspresikan keinginannya. Kaira terlalu pemalu dan hal itu yang membuat Jay semakin mencintainya. Kaira memalingkan wajahnya. “Kau selalu saja begitu,” ucap Kaira. “Kau tinggal mengatakan saja apa yang kau inginkan da
Ting... Tong... Raysa menekan bell rumah Keysana. Ia benar-benar datang untuk memenuhi undangan Keysana. Keysana membuka pintu, menyambut kedatangan Rasya tapi ekspresinya tidak seperti malam kemarin. Rasya tersenyum dan Keysana hanya diam tanpa ekspresi.“Silahkan masuk, Tuan!” kata Keysana.“Terimakasih!” Ada orang selain mereka berdua. Dia pekerja di rumah Keysana. Malam ini makanan bukan buatan tangan Keysana tapi buatan pelayannya.“Maaf kalau kurang cocok dengan selera Anda.”“Apapun itu, saya akan menyukainya.” Tidak ada obrolan. Suasana menjadi canggung. Keysana langsung mengajak Rasya menikmati hidangan yang sudah disiapkan di atas meja makan.“Nona Key, ada yang ingin saya katakan.”“Saya juga,” jawab Keys
Seorang pria sudah berdiri di depan rumah Keysana. Pria muda, tentu saja tampan. Dia membawa koper di tangannya dan bibirnya tersenyum merekah.“Key!” teriaknya.Ceklek! Pelayan yang bekerja di rumah Keysana, membuka pintu. Ia langsung terkejut dengan kedatangan pria itu.“Tu—tuan muda!” pekiknya.“Minggir!” pria itu ternyata Kakak Keysana yang menyusul Keysana tiba-tiba ke London.“Tu—tuan! Tunggu!” teriak Nean.“Ada apa?”“Nona muda sedang tidur. Sa—saya akan bangunkan,” ujar Nean.“Berhentilah bersikap seoalh-olah saya ini orang asing. Saya akan membangunkan Keysana sendiri!” Seram. Nean merasa merinding dengan tatapan pria itu. Tatapan yang mengintimidasi sampai ke seluk beluk masalah. Nean tidak bisa mnecegah lebih dari itu karena pria
Ting... Tong... Rasya datang ke rumah Kaira pagi-pagi buta. Ia mendatangi Jay dengan penampilannya yang sangat berantakan. Kaira membuka pintu dan menyipitkan matanya.“Rasya! Tumben pag-pagi sekali?” tanya Kaira.“Nyonya, apa Tuan sudah pergi ke kantor?” tanya Rasya.“Masuklah. Ayo ikut makan bersama.”Tap... Tap... Tap... Rasya ragu untuk bicara. Ia melihat wajah Jay yang kelelahan dengan mata panda yang terlihat nyata.“Sayang, ada Rasya.”“Sya, duduklah.”“Terimakasih, Tuan.” Rasya tidak mengambil makanan untuknya. Jay yang saat itu sedang melahap sarapan, langsung mendelik melihat Rasya yang tidak baik-baik saja.“Sayang, sarapannya dibungkus saja, ya. Aku harus meeting pagi ini dengan Rasya,” kata
Keysana menunggu dengan lesu. Sudha 2 jam ia di kantor tapi Rasya tidak nampak dimatanya. Keysana cemas. Ia akhirnya menemui Jay yang sedang sibuk dengan sederet kertas yang menumpuk.Tok... Tok..."Tuan Jay, apa Anda sibuk?""Nona Key, silahkan masuk!"Tap... Tap... Tap... Jay menutup berkas yang sedang ia baca. Ia melihat Keysana yang mendatanginya dengan menutupi kecemasannya. Tangan Keysana nampak saling menggenggam. Ekspresi wajahnya tidak tenang. Wajah yang biasanya ceria dan terlihat cerah, sekarang lesu tanpa gairah."Apa ada yang Nona cemaskan?" tanya Jay sembari berdiri dan berjalan menghampiri Keysana."Apa Nona sedang mencemaskan sesuatu?" tanya Jay lagi untuk kedua kalinya karena Keysana masih diam membisu."Tuan
Jay tidak ingin melepaskan Kaira dalam kekalutan hatinya. Saat Kaira emosi atau sedang merasa kecewa, sebaiknya membiarkan Kaira sampai Kaira tenang tapi Jay tidak melakukan hal yang Kaira inginkan. Jay menarik tangan Kaira dan memeluknya. Membiarkan Kaira membenamkan wajahnya didada bidangnya. Pelukan erat namun baru kali ini Kaira tidak membalasnya.“Bagaimana rasanya memeluk kekasih orang lain dan memeluk istri sendiri?” tanya Kaira. Kaira tidak menangis. Ia membiarkan dirinya seolah-olah menjadi wanita yang tegar. Luapan cemburu yang berbeda dengan wanita lain. Kaira hanya melontarkan secerca pertanyaan yang mengganggu pikirannya.“Kaira, aku mohon. Jangan bersikap seperti ini padaku,” pinta Jay. “Kau boleh marah, memukulku, bahkan memintaku berlutut sekalipun tapi aku mohon, jangan diamkan aku!” pungkas Jay.
Malam itu, Ziel menarik Kaira masuk ke dalam kamarnya. Ia meminta Kaira untuk duduk di atas ranjang empuk miliknya. Tangan mungilnya, menghapus airmata Kaira."Mama, kalau Papa jahat, kita tinggal sama Oma." Tatapan mata yang polos. Penuh keyakinan dan kecewa itu seakan disembunyikan dengan sempurna oleh Ziel."Ziel, Papa itu orang yang paliiiiiinggggg baik," kata Kaira. "Ziel tidak boleh seperti itu ke Papa, ya Nak." Anak seumuran Ziel, membutuhkan pengertian, sikap tegas dan selalu mencontoh apa yang ia lihat. Oleh karena itu, Kaira mencoba untuk selalu bersikap lembut."Tapi Papa orang yang selalu berkata bohong."** Setelah menemani Ziel dan menenangkannya, Ziel akhirnya tertidur. Jay masuk
Sebuah kesepakatan akhirnya terjalin setelah Jay dan Loreta saling berjabat tangan. Rasya bisa menghela napasnya sedikit lega membiarkan Tuannya itu pergi bersama Loreta.Perjanjian itu akan terpenuhi setelah Loreta mempertemukan Jay dan Kaira. Lalu, Jay melepaskan Orthela untuk kembali ke negara asalnya.Perseteruan sudah cukup membuat kacau. Loreta tidak ingin semuanya berlanjut semakin jauh karena banyak hal yang terbengkalai karena masalah yang tidak juga kunjung selesai.Loreta membawa Jay pergi ke tempat pemakaman. Pria tersebut menyipitkan matanya heran sembari melirik curiga ke arah Loreta.“Apa yang kau rencanakan dengan membawaku ke sini?” tanya Jay. Bariton suara yang tegas itu, membuat sekujur tubuh Loreta merinding.“Anda jangan salah paham, Tuan. Saya membawa Anda ke sini bukan tanpa sebab,” ujar Loreta.Dari pandangan yang cukup jauh, terlihat dua orang sedang menghadap ke salah satu makam yang tidak asing. Jay berlari tidak sabar ingin segera memeluk wanita yang be
"Jangan mendekat!" teriak Kaira. Rasanya cukup mengerikan. Kaira menjadi ketakutan. Ia berusaha pergi meski cukup sulit, tapi Orthela sudah lebih dulu memegang kendali kursi rodanya."Kenapa kau tkut? Bukankah aku sudah cukup membuatmu tenang? Kau bahkan sudah melihat bagaimana aku sangat menyesal," kata Orthela. Ia bahkan tidak merubah ekspresinya. Tetap terlihat sangat menyedihkan."Pergi! Aku memiliki keluargaku sendiri, Orthela. Aku tidak akan pernah pergi denganmu. Tidak akan pernah!" teriak Kaira."Bagaimana kalau Ziel sudah bersamaku? Apa kau tetap akan menolakku?""Apa? Kau menyandera Ziel? Orthela, dia tidak tahu apapun. Ziel msih anak-anak." Pada dasarnya, Kaira bukan wanita yang pandai mengumpat atau berkata kasar. Ia hanya berteriak meluapkan emosinya dengan kata-kata yang masih tertata dengan lembut."Aku tahu kalau kau akan menolakku. Maafkan
Tiga hari Kaira menghilang. Orang yang paling tertekan dan hampir gila adalah Jay. Jay yang tidak pernah menggunakan kekuasaannya, sekarang menekan semua orang untuk mencari Kaira sampai Kaira ditemukan. Nyonya Luna membawa Ziel pergi. Ziel yang tidak tahu apa-apa, tidak boleh terkecoh dengan keadaan yang ada. Orthela tidak memiliki niatan buruk. Racun yang sudah masuk ke dalam tubuh Kaira adalah buatan dari orangnya. Meski sudah mendapatkan penawar, tapi masih ada satu penawaran lagi yang harus hati-hati dan perlahan disuntikan ke dalam tubuh Kaira."Ini di mana?" gumam Kaira. Kaira terbangun dari tidurnya yang cukup panjang. Kepalanya terasa berdenyut dan berkunang-kunang. Tempat itu sangat asing, apalagi seseorang yang menatapnya."Kau sudah sadar? Syukurlah. Aku bisa mengembalikanmu tanpa rasa bersalah," ucap Orthela."Kau!" pekik Kaira."Jangan terlalu banyak gerak dan bicar
Kaira belum sadar setelah pengobatan. Tapi, kondisinya berangsur-angsur membaik. Tuan Alrecha dan Nyonya Luna, akhirnya mengetahui kalau keadaan sedang kacau saat ini. Keysana menemani Kaira sembari mengasuh Ziel. Rasya sibuk mengurus gugatan untuk Orthela dan Jay sekeluarga, mengurus pemakaman Grace karena keluarga Grace, semuanya sudah mengakhiri hidupnya sendiri."Grace, sejauh ini..." Jay terdiam dengan kedua matanya yang sembab. "Sejauh ini, aku tidak membencimu. Kau menunjukkan perubahan yang sangat besar. Sebagai rasa terima kasihku, aku akan merawat rumah terakhirmu," lanjutnya. Nyonya Luna mengusap-usap punggung Jay. Jay yang sedang bersimpuh menaburkan bunga di atas gundukan tanah yang masih basah, tangannya terus saja gemetar. Tuan Alrecha tidak banyak bicara. Ia cukup paham dengan perasaa
Jay masuk ke dalam rumah Orthela. Dia menggendong Grace yang sudah tiada. Tidak hanya itu, Paul yang datang berniat membawa Grace tapi dia malah menjadi sasaran utama kemarahan Jay. Jay menarik kerah kemeja yang Paul kenakan. Jay sudah membuat wajah dan tubuh Paul memar, terluka, berdarah, kesakitan, merintih dan memohon.Srek! Srek! Srek! Suara tubuh Paul yang diseret paksa membuat Delon, Orthela dan Loreta terperanjat kaget. Mata mereka terbelalak lebar. Lantai yang Jay lewati, dibanjiri oleh darah yang mengalir dari Paul dan juga Grace. Wajah Jay suram. Sorot matanya begitu tajam. Delon menelan salivanya karena baru kali ini dia melihat ekspresi iblis dari aura Jay. Jay yang ia kenal sebagai suami yang sangat lembut dan hangat tapi kali ini, ekspresinya begitu kejam.“Menarik!” ujar Jay
“Key, Rasya, aku titip Kaira dan Ziel,” ujar Jay.“Kau mau ke mana? Bukankah pengobatan Kaira hampir selesai?” tanya Keysana.“Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Setelah kembali nanti, aku sendiri yang akan menjelaskannya pada Kaira.” Rasya hanya diam saja. Jay meminta Rasya supaya tetap berada di rumah sakit untuk menjaga situasi di sana. Jay menggenggam erat surat dari Grace yang di dalamnya ternyata ada chip milik Orthela. Jay berfikir kalau ia tidak bisa sepenuhnya lepas tangan dalam masalah ini dan menyerahkannya pada Delon. Kenangan pahit Delon, tragedi, trauma, masih membekas jelas. Jay tidak ingin malah Delon yang terseret lebih dalam lagi. Langkah dan tindakan Jay cepat. Ia berharap kedatangannya jauh lebih dulu dibandingkan Delon di kediaman Orthela.“Delon, aku ber
Brak!“Akh! Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Grace memegang perutnya yang ditendang Orthela. Dari mulutnya, keluar darah segar karena ia tempental dan menabrak sisi meja.Plak! Plak! Ortela menarik rambut Grace. Ia menamparnya berkali-kali. Tapi tidak ada rintihan sakit atau permohonan untuk sekedar meminta ampun.“Meski kau sudah menghilangkan semua jejak, apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau sudah mengambilnya untuk sample?” gertak Orthela tanpa melepaskan rambut Grace.“Hahahaha... Aku juga sudah tahu akan berakhir seperti ini.”“Aku melepaskanmu, bukankah seharusnya kau membalas budi padaku?” Mata Orthela mendelik, menatap tajam seakan-akan ia akan menelan Grace hidup-hidup. Grace tidak merasa takut karena sejak awal, dia sudah siap.“Apa ini yang kau sebut sebagai kebebasan?&rd
Jay dihubungi oleh rumah sakit untuk segera datang. Ia langsung bergegas, padahal ia baru saja menemukan cara untuk menemukan penawarnya. Hanya saja, Jay lebih mementingkan untuk datang dan mendengarkan apa ucapan Dr. Crombe.“Dokter sudah menunggumu,” ucap Keysana.“Aku langsung ke sana.” Jay langsung berlari dan menuju ruang Dr. Crombe. Ternyata tidak hanya ada Dr. Crombe saja, tapi ada Dr. Sansan.“Anda sudah datang, Tuan. Silahkan duduk!” pinta Dr. Crombe.“Apa ada sesuatu yang—““Anda tenang dulu. Silahkan Anda minum terlebih dahulu.” Dr. Sansan menenangkan Jay yang sangat gelisah. Di atas meja sudah ada sebuah obat. Jay tidak mengetahui obat apa itu. Ia tidak bisa berfikir jernih. Mungkin karena ia belum siap menerima apa yang akan ia dengar.“Se
Grace kembali ke rumah Orthela. Alamat yang sudah Loreta berikan untuknya. Grace datang tanpa persiapan. Ia hanya datang dengan keyakinan sesuai alur yang akan Tuhan takdirkan.“Grace, bukankah ada satu minggu untukmu bebas?” tanya Loreta.“Tidak ada yang ingin aku nikmati,” jawab Grace. Tidak ada siapapun di rumah. Loreta, Paul dan juga Orthela pergi. Grace belum diberi tugas olehnya. Kesempatan bagi Grace untuk menemukan obat penawar. Ia tidak peduli kalau dirinya sedang dalam pengawasan atau Orthela sudah memasang jebakan.Tap... Tap... Tap... Kakinya melangkah cepat memasuki kamar Paul. Sebelum masuk ke dalam neraka, Grace sudah mengetahui keahlian setiap penghuninya. Di dalam kamar paul, Grace mulai mencari formula untuk menetralkan racun yang ada ditubuh Kaira. Grace men