Xavier diam saat mendengar pengakuan dari istri kecilnya. Hal ini membuat Kasih kembali gelisah. Gadis itu bahkan menggigit bibir bawahnya."Maaf, Xavi. Jika kamu nggak mengerti, aku akan menjelaskannya ... Sebelumnya aku pernah berhubungan dengan seorang pria, tapi ... Aku sama sekali tak mencintainya. Aku ... Aku bahkan tak mengenal pria itu. Aku dijebak, Xavi ...." ungkap Kasih dengan perasaan campur aduk. Dia bahkan memilih menunduk untuk menghindar dari tatapan polos suaminya.Suasana benar-benar berubah menjadi sunyi. Xavier yang tak langsung memberikan respon membuat perasaan bersalah Kasih semakin besar. Gadis itu pun menunduk dalam-dalam."Maafkan aku karena membuatmu kecewa, Xavi ... Maaf ... Kamu boleh membenciku seumur hidupmu," ucap Kasih dengan air mata yang mulai terjatuh. Terdengar embusan napas pelan. Lalu Kasih merasakan sentuhan lembut dan hangat di kedua bahunya. Gadis itu memberanikan diri untuk mendongak saat ia merasakan sentuhan suaminya.Tanpa diduga, Xavier
"Ka-kamu ...." Kasih menatap tak percaya pada wajah tampan suaminya."Bagaimana kamu tahu hal seperti itu?" tanya Kasih lagi. Terlihat jelas bahwa gadis itu merasa malu sendiri.Xavier hanya tersenyum lebar, menampakkan gigi-giginya yang rapi. "Hehehe ...."Gadis itu mulai curiga. Dia tatap lekat-lekat wajah Xavier yang telihat polos itu. Kedua tangannya kemudian menangkup wajah tampan Xavier."Kamu nggak belajar yang aneh-aneh lagi, kan?" tanya Kasih."Enggak, kok. Kan Xavi cuma pengen jadi suami yang baik. Termasuk memberikan nafkah batin ke istri, yaitu Sisi!" jelasnya terlihat senang.Kasih mempercayai ucapan suaminya. Saat mereka sedang menikmati waktu kebersamaan, langit sudah semakin gelap di luar sana. Menambah suasana menjadi semakin romantis."Jadi, Sisi jangan menolaknya. Xavi hanya ingin berbulan madu seperti pasangan suami istri normal. Malam ini Xavi nggak mau kalau hanya menyusu saja," adunya terlihat menggemaskan.Kasih hanya diam. Dia sudah cukup malu untuk mendengark
Cahaya mentari menerobos malu-malu melewati celah-celah tirai putih. Seorang gadis cantik yang masih muda mulai menggeliatkan tubuhnya secara perlahan. Namun gerakannya terpaksa terhenti karena merasakan adanya kekangan di tubuhnya."Eummmhhh," lenguhnya pelan.Saat Kasih membuka kedua matanya, ia dapati wajah tampan suaminya yang begitu tampan tengah menatapnya. Pria itu tersenyum lalu mengeratkan pelukannya."Selamat pagi, Sisi," sapa Xavier dengan lembut.Wajah Kasih langsung merona merah. Ia kembali teringat dengan aktivitas panasnya malam tadi bersama suami bocahnya."Ahh. Eummm." Gadis itu hanya bergumam karena malu. Ia memilih menyembunyikan wajahnya dari hadapan Xavier."Kenapa, Sisi? Apakah Xavi jelek?" tanya pria itu sembari meraih tangan sang istri.Xavier mendekatkan wajahnya tepat di hadapan wajah Kasih. Membuat gadis dalam dekapannya itu semakin malu.'Apa dia nggak merasa malu setelah malam tadi? Sungguh menyebalkan,' rutuk Kasih dalam hati.SrukXavier tiba-tiba menemp
Pagi itu Xavier kembali meneguk manisnya madu. Di dalam kamar mandi, dirinya terus menggagahi istri kecilnya. Kasih pun memasrahkan dirinya pada sang suami. Baginya ia ingin melayani Xavier sepenuh hati sebelum pria itu mendapatkan ingatannya kembali."Ahhh, Xavi ...." Kasih mendesah saat Xavier menjamahnya dengan penuh gairah. "Ahhh." Pria tampan itu menyahut dengan desahan.Di saat seperti ini, Xavier sama sekali tak terlihat seperti bocah. Justru pria itu terlihat seperti pria dewasa yang sehat dan normal. Bahkan ia juga bisa memanjakan wanitanya dengan lembut. Sehingga membuat Kasih tidak takut saat bercinta dengannya."Xavi ...." Lagi-lagi Kasih memanggil nama suaminya ketika pria itu membalikkan tubuhnya sehingga membelakangi Xavier. Pria itu pun memeluknya dari belakang dan mulai menyatukan tubuh mereka. Gerakan Xavier seirama dengan tubuh Kasih yang bergerak maju mundur. Pria itu memeluk serta mencium bibir mungil Kasih yang terus mendesahkan namanya."Kamu cantik sekali ...
Sore itu Kasih dan Xavier kembali pulang ke rumah. Xavier terlihat semakin dekat dengan Kasih. Malam pertama mereka berjalan dengan begitu indah.Namun, di sisi lain Kasih tetap merasa bersalah atas traumanya. Hati kecilnya terus menyesali hari ulang tahunnya yang telah membuat dia kehilangan kesuciannya."Jangan pernah bersedih karena masa lalumu, Sisi," bisik Xavier sembari memeluk sang istri.Kasih mengusap air matanya yang hampir jatuh. "Makasih, Xavi ...."Setelah perjalanan bulan madu yang manis itu, Xavier harus kembali sibuk dengan urusan perusahaan. Pria itu tetap harus memimpin perusahaan yang kini mulai bangkit kembali.Johan pun membawa Sintia ikut bersamanya dan tinggal di rumah Johan. Bahkan pria itu sudah melamar gadis yang telah menyelamatkan hidupnya.Hari-hari mereka berlalu dengan tenang setelah penangkapan Jeremy. Bahkan kini Xavier dan Johan bisa dengan leluasa untuk kembali memulai membangun ulang sistem perusahaan di Zeen Corporation. Mereka bahkan lebih selekti
Spontan Xavier membuka pintu kamar mandi. Kini dia mendapati Kasih yang sedang menunduk di depan wastafel dengan rambut panjangnya yang tergerai."Sisi?" Xavier melangkah mendekati sang istri yang sedang memuntahkan isi perutnya yang masih kosong."Kamu sakit?" tanya pria itu dengan lembut.Xavier membantu Kasih dengan menggenggam rambut panjang gadis itu agar tidak kotor. Sementara tangan yang lainnya mengusap-usap punggung Kasih dengan pelan.Kasih terus saja mengeluarkan isi perutnya hingga beberapa saat kemudian gadis itu mengusap mulutnya dengan air mengalir. Wajahnya benar-benar terlihat kacau. Tubuhnya juga terasa lemas tak bertenaga."Xavi ...." panggilnya lemas."Xavi ada di sini. Kemarilah, biar Xavi bantu," tawar pria itu sembari menggendong Kasih dengan hati-hati dan membawanya keluar dari kamar mandi.Dengan penuh perhatian Xavier membantu mengikat rambut panjang Kasih lalu pria itu memanggil seorang pelayan untuk membuatkan teh hangat dan sarapan."Kamu nggak perlu berle
"Sisi, Sisi nggak boleh kuliah dulu. Sisi kan sudah diizinkan cuti." Pagi itu Xavier menahan sang istri yang hendak berangkat ke kampus."Xavi, aku baik-baik saja. Lagi pula aku sudah izin selama satu minggu. Aku nggak mau terlalu lama di rumah. Aku sudah sehat, Xavi," ucap Kasih dengan lembut."Nggak boleh!" tegas pria itu."Xavi, ayolah ... Aku ingin kuliah seperti biasanya. Jangan halangi aku," pinta Kasih.Xavier menatap wajah sang istri yang memohon padanya. "Boleh, ya? Lagian kan aku nggak boleh stres juga, kan? Dengan kuliah, setidaknya aku juga bisa sambil mendapatkan ilmu dan bergerak seperti olah raga," ucap wanita itu sembari mengusap lembut pipi suaminya.Xavier diam mengamati wajah sang istri. "Baiklah. Tapi janji untuk langsung pulang? Nanti biar dijemput," ucap pria itu akhirnya setuju."Iya, Xavi."Akhirnya wanita muda itu mendapatkan izin dari suaminya. Kasih segera berangkat ke kampus dan kembali mengikuti perkuliahan. Sementara Xavier kembali bekerja di perusahaan
Xavier terdiam saat mendengar suara benda terjatuh. Kasih pun kaget sendiri saat ia tanpa sengaja menyenggol sebuah buku di sampingnya. Segera saja wanita itu mengambilnya."Sudah dulu, Jo," ucap pria itu sebelum akhirnya memutus panggilan.Gegas saja Xavier memasuki kamarnya. Pria itu dikejutkan dengan keberadaan sang istri di dekat pintu. Kasih pun sama terkejutnya seolah wanita itu tengah dipergoki mencuri sesuatu."Ah ... Xavi ... I-itu ...." Kasih terlihat kebingungan dan ketakutan secara bersamaan.Xavier melihat sang istri yang mulai ketakutan, bahkan wanita itu tak menatapnya. Karena langkah Kasih yang tak terdengar, membuat Xavier tak mengetahui keberadaannya. Namun yang pasti, Xavier yakin jika Kasih mendengar pembicaraannya dengan Johan barusan."Apa kamu mendengar pembicaraan barusan?" tanya Xavier.Terlihat jika tubuh Kasih terlonjak kaget. Namun wanita itu memberikan jawabannya dengan mengangguk."Hahhh. Sial ...." gumam Xavier sembari memijit pangkal hidungnya.Pria itu
Waktu berlalu begitu cepat, Aidan kini telah berusia lima tahun. Dan kehangatan keluarga kecil Xavier dan Kasih semakin terasa. Setelah Aidan genap berusia satu tahun, Kasih memutuskan untuk melanjutkan kuliah yang sempat tertunda. Usahanya yang gigih selama empat tahun terakhir kini membuahkan hasil. Hari ini adalah hari wisudanya, momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga kecil itu. Xavier dan Aidan datang ke acara wisuda Kasih dengan setelan rapi. Xavier mengenakan jas hitam elegan yang mempertegas wibawanya, sementara Aidan mengenakan kemeja putih kecil dengan rompi abu-abu yang membuatnya tampak seperti miniatur ayahnya. Rambutnya yang hitam ditata rapi oleh Xavier pagi tadi, meski bocah itu sempat memberontak karena tak mau diam. Namun, ada satu hal yang membuat Xavier sedikit geleng-geleng kepala—Aidan menolak digendong olehnya. "Ayah, aku bukan bayi lagi!" protes Aidan dengan nada malu-malu, sambil memalingkan wajahnya yang tampan dan menggemaskan. Xavier tersen
Malam berlalu dengan tenang, dan keesokan harinya, keluarga kecil itu menikmati waktu bersama di rumah. Xavier sengaja mengambil cuti untuk menghabiskan waktu bersama dengan Kasih dan Aidan. Dan tentu saja Johan yang akan menghandel semuanya.Saat pagi menjelang, Xavier membantu Kasih memandikan Aidan yang tertawa gembira saat air hangat menyentuh kulitnya. Atas permintaan Kasih lah mereka merawat Aidan sendiri, tanpa adanya baby sitter. Karena menurut Kasih, dia ingin merawat Aidan dengan benar dan penuh kasih sayang agar ikatan batin di antara orang tua dan anak semakin kuat."Aidan selalu ceria, ya," kata Xavier sambil mengeringkan badan putranya dengan handuk lembut. Kali ini pria itu yang memutuskan untuk memandikan Aidan.Kasih tersenyum, memperhatikan suaminya yang begitu telaten dan penuh kelembutan. "Ya. Aidan memang selalu ceria," jawabnya lembut.Xavier menoleh, menatap istrinya dengan senyum kecil. "Kalau begitu, dia pasti punya sifat seperti itu dari Bundanya yang cantik
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aidan tumbuh menjadi bayi yang sehat dan ceria. Kasih sering menghabiskan waktu di rumah untuk merawat anaknya dan Xavier. Sementara Xavier, meski sibuk dengan urusan perusahaan, selalu menyempatkan waktu untuk pulang lebih awal. Hal ini tak lain karena ia ingin melakukan perannya sebagai seorang ayah dan juga suami dengan baik.Suatu sore, Xavier pulang lebih awal dari biasanya. Pria itu menemukan Kasih dan Aidan di ruang tengah. Kasih sedang duduk di lantai dengan Aidan yang tertawa riang saat ia memainkan mainan berbentuk bola. Xavier berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar melihat pemandangan itu."Serunya! Sepertinya kalian bersenang-senang tanpa ayah, ya?" katanya sambil berjalan mendekat. Senyumannya lebar telihat bahagia karena keluarganya aman dan baik-baik saja."Ayah sudah pulang!" Kasih menyambut kepulangan suaminya dengan senyum lebar. Aidan, meski belum sepenuhnya mengerti, segera mengulurkan tangan kecilnya ke arah sang ayah.Xavier
Malam itu, Xavier kembali ke rumahnya dan duduk di ruang kerja ayahnya yang kini menjadi miliknya. Di atas meja, ada sebuah foto lama keluarganya— ayahnya; William, serta ibunya; Melinda, dan Haris berdiri berdampingan dengan senyum lebar.Xavier menatap foto itu dengan campuran emosi. Di satu sisi, ia merasa lega karena telah mengungkap kebenaran. Di sisi lain, ia merasa kehilangan yang sangat besar. Tak dia sangka pamannya lah yang menjadi orang paling mencurigakan yang telah mencelakai kedua orang tuanya.Saat dirinya sedang bersedih, Kasih datang mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Xavier. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Xavier menghela napas. "Ayahku selalu percaya bahwa keluarga adalah segalanya. Tapi sekarang aku tahu, bahkan keluarga pun bisa menjadi ancaman yang nyata."Kasih menggenggam tangan suaminya, memberikan kekuatan. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, Xavi. Kamu melindungi harga diri keluargamu. Ayahmu pasti bangga padamu."Xavier tersenyum tipis. "Aku harap b
Xavier duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh dokumen-dokumen, rekaman suara, dan foto-foto yang membuktikan keterlibatan pamannya, Haris, dalam berbagai insiden tragis yang menimpa keluarganya. Wajahnya tegang, matanya menatap tajam pada berkas yang baru saja diserahkan Johan, kepala tim investigasinya.Setelah sekian lama, akhirnya meski dengan paksaan dan mencari sampai ke titik yang sulit dijangkau, Xavier menemukan pelaku utama yang selama ini dia cari setelah mendapatkan petunjuk dari catatan lama milik ayahnya."Tuan Xavier, semua bukti ini sudah cukup untuk mengamankan Pak Haris. Dari kecelakaan kedua orang tua Anda hingga penculikan Tuan Muda Junior, semuanya mengarah padanya. Jeremy, yang sudah kita jebloskan ke penjara, akhirnya mengakui bahwa dia hanya menjalankan perintah dari ayahnya, alias ‘Zero,’" lapor Johan dengan tegas.Xavier mengangguk pelan, mencoba mengendalikan emosinya. "Kali ini aku tidak akan membiarkan dia lolos. Om Haris telah menghancurkan keluargaku.
"Xavi, sebaiknya kamu istirahat dulu," ucap Kasih dengan lembut."Maaf, Sayang. Tapi aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Aku ingin kita bertiga aman," balas Xavier sembari memeluk sang istri. Lalu pria itu mencium lembut bibir Kasih."Kalau begitu tetaplah hati-hati, Xavi. Kamu juga jangan sampai kelelahan ...." ucap Kasih lagi. Wanita itu memang benar-benar perhatian pada suaminya.Xavier mengangguk. "Pastinya. Kamu juga istirahatlah. Maaf karena aku tidak bisa ikut menjaga Aidan malam ini," ucapnya."Aku mengerti, Xavi. Yang penting kamu jaga kesehatanmu dan semoga masalah ini segera berakhir," ucap Kasih penuh harap.Malam itu, Xavier memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan tanpa menunggu waktu lebih lama. Ia tahu bahwa kebenaran sudah ada di depan mata, tetapi harus digali lebih dalam untuk memastikan semua bukti tidak terbantahkan. Ia memanggil Johan dan Bagas ke ruang kerjanya di tengah malam."Johan, Bagas, kita harus memanfaatkan momen ini. Om Haris pasti tahu bahwa
Hari itu, Xavier memutuskan untuk fokus pada penyelidikan mendalam terkait pamannya, Haris, seperti yang diusulkan Johan dan Bagas. Meski hatinya berat, Xavier tahu bahwa untuk melindungi keluarganya, ia harus bersikap netral dan tegas, bahkan jika itu berarti mencurigai kerabatnya sendiri.Di ruang kerjanya, Xavier mengumpulkan Johan, Bagas, dan beberapa tim penyelidik terbaik yang ia percayai. "Kita perlu mengumpulkan semua informasi terkait Om Haris. Mulai dari rekam jejak bisnisnya, interaksi dengan keluargaku, hingga pergerakan terakhirnya dalam beberapa bulan ini," perintah Xavier dengan nada tegas.Johan mengangguk. "Kami akan menyisir setiap dokumen, email, hingga rekaman CCTV yang berkaitan dengannya, Tuan. Jika ada koneksi antara Pak Haris dan 'Zero,' kami pasti menemukannya dan memberikan bukti itu pada Anda.""Ya. Aku percaya pada kalian," sahut Xavier sembari mengangguk.Salah satu penyelidik segera mengakses arsip bisnis Haris dan menemukan bahwa Haris pernah terlibat da
Xavier memulai harinya lebih awal dari biasanya. Pagi itu, setelah sarapan bersama Kasih, ia langsung masuk ke ruang kerja untuk mendiskusikan rencana bersama Johan. Nama 'Zero' terus menghantui pikirannya sejak pengakuan terakhir dari pelaku penculikan. Apalagi dengan dugaan keterlibatan nama itu dalam kecelakaan tragis yang menewaskan kedua orang tuanya beberapa tahun silam. Xavier tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja."Johan," panggil Xavier tegas, "Kita tidak bisa membuang waktu. Aku yakin 'Zero' bukan nama sembarangan. Ini bukan hanya soal Aidan, tapi juga keluargaku.""Benar, Tuan," jawab Johan, mencatat setiap arahan yang diberikan. "Apa langkah pertama kita?"Xavier berdiri dan memandang ke luar jendela. Ia kemudian menghela napas panjang sebelum berbalik. "Aku ingin kamu menyisir setiap data yang kita miliki—mulai dari bisnis ayahku hingga jaringan sekarang. Cari tahu siapa saja yang pernah berurusan denganku atau keluargaku dan memiliki hubungan dengan nama ini,
"Zero ...." gumam pria itu.Xavier dan Johan saling berpandangan. Nama itu seperti tidak asing dalam pikiran Xavier. Pria itu terdiam sejenak, seolah menggali informasi mengenai nama tersebut. Namun meski terdengar seperti familiar, Xavier benar-benar lupa."Apakah Anda mengenal nama samaran itu, Tuan?" tanya Johan yang menyadarkan bosnya.Xavier menggeleng pelan. "Aku tidak tahu," jawabnya."Kalau begitu saya akan menyelidikinya," ucap Johan sembari memberikan instruksi pada anak buahnya."Katakan saja siapa dan bagaimana orangnya!" Xavier mencoba menekan sanderanya lagi."Tuan ... Sepertinya tidak akan mudah. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan orang yang menyuruhnya," ucap Johan mencoba menenangkan sang bos yang emosi.Setelah mendengar pengakuan itu, Xavier keluar dari ruangan dengan ekspresi dingin, meninggalkan Johan untuk menangani pria tersebut. Dia berjalan menuju kamarnya untuk menemui sang istri dan putranya yang berhasil selamat.Di sisi lain, Kasih yang masih berada d