"Sisi, Sisi nggak boleh kuliah dulu. Sisi kan sudah diizinkan cuti." Pagi itu Xavier menahan sang istri yang hendak berangkat ke kampus."Xavi, aku baik-baik saja. Lagi pula aku sudah izin selama satu minggu. Aku nggak mau terlalu lama di rumah. Aku sudah sehat, Xavi," ucap Kasih dengan lembut."Nggak boleh!" tegas pria itu."Xavi, ayolah ... Aku ingin kuliah seperti biasanya. Jangan halangi aku," pinta Kasih.Xavier menatap wajah sang istri yang memohon padanya. "Boleh, ya? Lagian kan aku nggak boleh stres juga, kan? Dengan kuliah, setidaknya aku juga bisa sambil mendapatkan ilmu dan bergerak seperti olah raga," ucap wanita itu sembari mengusap lembut pipi suaminya.Xavier diam mengamati wajah sang istri. "Baiklah. Tapi janji untuk langsung pulang? Nanti biar dijemput," ucap pria itu akhirnya setuju."Iya, Xavi."Akhirnya wanita muda itu mendapatkan izin dari suaminya. Kasih segera berangkat ke kampus dan kembali mengikuti perkuliahan. Sementara Xavier kembali bekerja di perusahaan
Xavier terdiam saat mendengar suara benda terjatuh. Kasih pun kaget sendiri saat ia tanpa sengaja menyenggol sebuah buku di sampingnya. Segera saja wanita itu mengambilnya."Sudah dulu, Jo," ucap pria itu sebelum akhirnya memutus panggilan.Gegas saja Xavier memasuki kamarnya. Pria itu dikejutkan dengan keberadaan sang istri di dekat pintu. Kasih pun sama terkejutnya seolah wanita itu tengah dipergoki mencuri sesuatu."Ah ... Xavi ... I-itu ...." Kasih terlihat kebingungan dan ketakutan secara bersamaan.Xavier melihat sang istri yang mulai ketakutan, bahkan wanita itu tak menatapnya. Karena langkah Kasih yang tak terdengar, membuat Xavier tak mengetahui keberadaannya. Namun yang pasti, Xavier yakin jika Kasih mendengar pembicaraannya dengan Johan barusan."Apa kamu mendengar pembicaraan barusan?" tanya Xavier.Terlihat jika tubuh Kasih terlonjak kaget. Namun wanita itu memberikan jawabannya dengan mengangguk."Hahhh. Sial ...." gumam Xavier sembari memijit pangkal hidungnya.Pria itu
Rasa menyesal serta tidak percaya diri kembali muncul di dalam hati Kasih. Wanita itu tak ingin mengecewakan pria yang telah menjadi suaminya. Saat Kasih sedang bergumul dengan pikirannya yang kalut, Xavier menyadarinya. Pria itu pun sebenarnya juga memiliki rahasia yang mungkin bisa membuat istrinya pergi begitu saja. Namun, Xavier tak akan membiarkan wanita yang pernah ia cari itu pergi meninggalkannya. "Jika aku tidak menerimamu karena hal itu, bukankah saat bulan madu aku sudah tak mau menyentuhmu bahkan menghamilimu?" Pria itu malah memberikan pertanyaan pada Kasih. "Kasih ... Semua orang pasti punya masa lalu yang tidak menyenangkan." Xavier menggenggam tangan sang istri seolah tak mau melepaskannya lagi. 'Termasuk aku. Aku juga memiliki hal di masa lalu yang mungkin menyakitimu, Kasih ....' lanjutnya dalam hati. Kasih kembali menangis. Membuat dada Xavier bergemuruh. Bagaimana pun juga dialah yang telah merenggut paksa kehormatan Kasih saat wanita itu di ambang kesadaranny
Dengan langkah tergesa, Xavier mengajak Kasih menghampiri Kakek Wibowo yang hendak masuk ke dalam mobilnya. Pria tua itu menghentikan langkahnya ketika melihat cucu dan cucu menantunya berjalan ke arahnya."Ada apa ini? Kenapa kalian berlari-lari seperti itu?" tanya Wibowo heran.Xavier kini berhenti di hadapan sang kakek. Tangan kanannya menggenggam pergelangan tangan Kasih. Ditatapnya wajah tua sang Kakek dengan kedua alis saling bertaut."Kakek, batalkan persyaratan yang pernah Kasih ajukan pada Kakek," ucap Xavier.Wibowo mengernyitkan dahinya. "Apa maksud kamu, Xavi?" tanya pria itu, heran.Xavier menghela napas panjang. "Soal kesepakatan Kasih yang mau menikah denganku. Tolong Kakek batalkan mengenai perceraian kami," jawab pria itu.Wibowo mengamati wajah cucunya. Pria tua itu merasakan aura yang berbeda dari sebelumnya saat Xavier merayakan ulang tahun tadi."Dari mana kamu tahu soal itu?" tanya Wibowo sembari melirik ke arah Kasih. Lalu ia langsung mendapatkan jawabannya."Oh
Malam itu Xavier merengkuh Kasih dalam pelukannya. Diciumnya bibir ranum Kasih yang terasa lembut dan juga telah menjadi candu baginya."Terima kasih karena telah membatalkan permintaan ceraimu itu, Sisi," ucap Xavier sembari menangkup wajah cantik sang istri yang kali ini tanpa riasan apa pun."Justru aku yang makasih karena kamu masih mau percaya padaku, Xavi," balas Kasih ikut menangkup wajah tampan suaminya."Maafkan aku karena aku mengajukan persyaratan seperti itu sebelum menikah denganmu," lanjutnya."Aku mengerti," sahut Xavier. Tatapan pria itu begitu lembut saat memandang kedua mata bening Kasih yang penuh dengan ketulusan dan kebaikan."Aku benar-benar beruntung diselamatkan oleh wanita sepertimu, Ibu Peri," ucap pria itu lagi.Kasih menautkan kedua alisnya. "Berhentilah memanggilku Ibu Peri. Aku bukan Ibu Peri, Xavi ...." protesnya.Xavier terkekeh pelan dengan suara tawanya yang terdengar berat dan seksi. "Tapi kamu akan menjadi Ibu Peri untuk anak-anak kita nanti.""Apa,
Dengan tubuhnya yang tinggi, besar, dan kekar, Xavier mengungkung tubuh kecil istrinya. Pria itu lagi-lagi tersenyum penuh arti."Ta-tapi ini, kan ....""Tenang saja. Aku tidak akan menyakitimu dan waktunya akan cukup sampai kita sarapan nanti," bisik Xavier sembari mencubit pelan dagu Kasih agar wanita itu membalas tatapan matanya."Tapi nanti kamu bisa terlambat ke kantor. Kalau aku kan masuk agak siangan ...." cicit Kasih.Wajahnya yang merah padam sampai ke telinga membuat Xavier benar-benar gemas. Seolah pria itu merupakan pemangsa yang ingin memangsa kelinci manis yang tak berdaya di hadapannya."Kamu benar-benar membuatku tidak bisa menahan diri ...." ucap Xavier dengan suara dalamnya yang benar-benar seksi.Tanpa mau menunggu respon dari sang istri, Xavier mencium bibirnya dengan lembut. Memberikan sensasi kecupan yang begitu manis."Emmmhh.""Jangan khawatir. Karena tidak masalah aku berangkat siang," sahut pria itu dengan santainya.Xavier kembali mencium bibir istrinya. Pri
"Lanjutkan perjalanan kita, Pak!" titah Xavier dengan tegas."Tapi kita harus ke rumah sakit. Anda terluka, Tuan ...." ucap sang sopir terlihat khawatir bercampur panik."Tidak usah. Aku baik-baik saja," tolak sang majikan. Pria itu lalu meraih ponselnya kembali dan menghubungi seseorang."Aku butuh bantuanmu." Kedua alisnya saling bertaut seiring amarah yang muncul di dalam hatinya. Xavier berbicara dalam telepon saat sang sopir kembali melanjutkan perjalanan.Xavier mengusap pipinya yang terluka akibat pecahan kaca. Lalu ia melihat sebuah batu dengan ukuran yang cukup besar yang ada di sebelah kakinya. Pria itu pun mengepalkan kedua tangannya atas kejadian kecelakaan tersebut. Kuat dugaan bahwa kecelakaan itu memang disengaja dan Xavier adalah targetnya.Sesampainya di kantor, pria itu kembali bertemu dengan Johan dan asisten kepercayaannya itu kaget dengan luka di wajah sang direktur."Tuan ... Apa yang terjadi?" tanya pria itu."Ada yang sengaja ingin mencelakaiku. Tapi aku sudah
Xavier tiba-tiba merasa was-was. "Mungkin saat pertama kali kita bertemu," celetuknya."Mungkin. Tapi bukan, deh. Seingatku sebelum itu juga pernah mencium aroma ini. Cuma siapa aku lupa ...." gumam Kasih yang sedang mencoba menggali ingatannya kembali."Kamunya yang lupa, Sisi. Lagi pula parfum seperti ini pastinya yang membeli bukan cuma aku saja," sahut Xavier. Pria itu seolah sedang menutupi sesuatu."Yah ... Mungkin juga."Kasih kembali mengusap-usap punggung suaminya. "Kamu sudah makan siang?" tanya Xavier kemudian."Emmm. Belum, sih. Hehehe ...."Xavier melepaskan pelukannya dan ia tatap wajah cantik Kasih. "Kalau begitu kita makan siang bersama di sini, bagaimana?" tawarnya."Boleh.""Baiklah ...." Tangan Xavier meraih ponselnya. "Aku akan memesankan makanan. Mau makan apa?" tanya pria itu."Apa, ya? Aku lagi pengen makan burger," jawab Kasih dengan tatapan mata berbinar."Baiklah. Kita pesan burger saja kalau begitu.""Hm!" Kasih mengangguk setuju."Maafkan aku karena untuk
Waktu berlalu begitu cepat, Aidan kini telah berusia lima tahun. Dan kehangatan keluarga kecil Xavier dan Kasih semakin terasa. Setelah Aidan genap berusia satu tahun, Kasih memutuskan untuk melanjutkan kuliah yang sempat tertunda. Usahanya yang gigih selama empat tahun terakhir kini membuahkan hasil. Hari ini adalah hari wisudanya, momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga kecil itu. Xavier dan Aidan datang ke acara wisuda Kasih dengan setelan rapi. Xavier mengenakan jas hitam elegan yang mempertegas wibawanya, sementara Aidan mengenakan kemeja putih kecil dengan rompi abu-abu yang membuatnya tampak seperti miniatur ayahnya. Rambutnya yang hitam ditata rapi oleh Xavier pagi tadi, meski bocah itu sempat memberontak karena tak mau diam. Namun, ada satu hal yang membuat Xavier sedikit geleng-geleng kepala—Aidan menolak digendong olehnya. "Ayah, aku bukan bayi lagi!" protes Aidan dengan nada malu-malu, sambil memalingkan wajahnya yang tampan dan menggemaskan. Xavier tersen
Malam berlalu dengan tenang, dan keesokan harinya, keluarga kecil itu menikmati waktu bersama di rumah. Xavier sengaja mengambil cuti untuk menghabiskan waktu bersama dengan Kasih dan Aidan. Dan tentu saja Johan yang akan menghandel semuanya.Saat pagi menjelang, Xavier membantu Kasih memandikan Aidan yang tertawa gembira saat air hangat menyentuh kulitnya. Atas permintaan Kasih lah mereka merawat Aidan sendiri, tanpa adanya baby sitter. Karena menurut Kasih, dia ingin merawat Aidan dengan benar dan penuh kasih sayang agar ikatan batin di antara orang tua dan anak semakin kuat."Aidan selalu ceria, ya," kata Xavier sambil mengeringkan badan putranya dengan handuk lembut. Kali ini pria itu yang memutuskan untuk memandikan Aidan.Kasih tersenyum, memperhatikan suaminya yang begitu telaten dan penuh kelembutan. "Ya. Aidan memang selalu ceria," jawabnya lembut.Xavier menoleh, menatap istrinya dengan senyum kecil. "Kalau begitu, dia pasti punya sifat seperti itu dari Bundanya yang cantik
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aidan tumbuh menjadi bayi yang sehat dan ceria. Kasih sering menghabiskan waktu di rumah untuk merawat anaknya dan Xavier. Sementara Xavier, meski sibuk dengan urusan perusahaan, selalu menyempatkan waktu untuk pulang lebih awal. Hal ini tak lain karena ia ingin melakukan perannya sebagai seorang ayah dan juga suami dengan baik.Suatu sore, Xavier pulang lebih awal dari biasanya. Pria itu menemukan Kasih dan Aidan di ruang tengah. Kasih sedang duduk di lantai dengan Aidan yang tertawa riang saat ia memainkan mainan berbentuk bola. Xavier berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar melihat pemandangan itu."Serunya! Sepertinya kalian bersenang-senang tanpa ayah, ya?" katanya sambil berjalan mendekat. Senyumannya lebar telihat bahagia karena keluarganya aman dan baik-baik saja."Ayah sudah pulang!" Kasih menyambut kepulangan suaminya dengan senyum lebar. Aidan, meski belum sepenuhnya mengerti, segera mengulurkan tangan kecilnya ke arah sang ayah.Xavier
Malam itu, Xavier kembali ke rumahnya dan duduk di ruang kerja ayahnya yang kini menjadi miliknya. Di atas meja, ada sebuah foto lama keluarganya— ayahnya; William, serta ibunya; Melinda, dan Haris berdiri berdampingan dengan senyum lebar.Xavier menatap foto itu dengan campuran emosi. Di satu sisi, ia merasa lega karena telah mengungkap kebenaran. Di sisi lain, ia merasa kehilangan yang sangat besar. Tak dia sangka pamannya lah yang menjadi orang paling mencurigakan yang telah mencelakai kedua orang tuanya.Saat dirinya sedang bersedih, Kasih datang mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Xavier. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Xavier menghela napas. "Ayahku selalu percaya bahwa keluarga adalah segalanya. Tapi sekarang aku tahu, bahkan keluarga pun bisa menjadi ancaman yang nyata."Kasih menggenggam tangan suaminya, memberikan kekuatan. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, Xavi. Kamu melindungi harga diri keluargamu. Ayahmu pasti bangga padamu."Xavier tersenyum tipis. "Aku harap b
Xavier duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh dokumen-dokumen, rekaman suara, dan foto-foto yang membuktikan keterlibatan pamannya, Haris, dalam berbagai insiden tragis yang menimpa keluarganya. Wajahnya tegang, matanya menatap tajam pada berkas yang baru saja diserahkan Johan, kepala tim investigasinya.Setelah sekian lama, akhirnya meski dengan paksaan dan mencari sampai ke titik yang sulit dijangkau, Xavier menemukan pelaku utama yang selama ini dia cari setelah mendapatkan petunjuk dari catatan lama milik ayahnya."Tuan Xavier, semua bukti ini sudah cukup untuk mengamankan Pak Haris. Dari kecelakaan kedua orang tua Anda hingga penculikan Tuan Muda Junior, semuanya mengarah padanya. Jeremy, yang sudah kita jebloskan ke penjara, akhirnya mengakui bahwa dia hanya menjalankan perintah dari ayahnya, alias ‘Zero,’" lapor Johan dengan tegas.Xavier mengangguk pelan, mencoba mengendalikan emosinya. "Kali ini aku tidak akan membiarkan dia lolos. Om Haris telah menghancurkan keluargaku.
"Xavi, sebaiknya kamu istirahat dulu," ucap Kasih dengan lembut."Maaf, Sayang. Tapi aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Aku ingin kita bertiga aman," balas Xavier sembari memeluk sang istri. Lalu pria itu mencium lembut bibir Kasih."Kalau begitu tetaplah hati-hati, Xavi. Kamu juga jangan sampai kelelahan ...." ucap Kasih lagi. Wanita itu memang benar-benar perhatian pada suaminya.Xavier mengangguk. "Pastinya. Kamu juga istirahatlah. Maaf karena aku tidak bisa ikut menjaga Aidan malam ini," ucapnya."Aku mengerti, Xavi. Yang penting kamu jaga kesehatanmu dan semoga masalah ini segera berakhir," ucap Kasih penuh harap.Malam itu, Xavier memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan tanpa menunggu waktu lebih lama. Ia tahu bahwa kebenaran sudah ada di depan mata, tetapi harus digali lebih dalam untuk memastikan semua bukti tidak terbantahkan. Ia memanggil Johan dan Bagas ke ruang kerjanya di tengah malam."Johan, Bagas, kita harus memanfaatkan momen ini. Om Haris pasti tahu bahwa
Hari itu, Xavier memutuskan untuk fokus pada penyelidikan mendalam terkait pamannya, Haris, seperti yang diusulkan Johan dan Bagas. Meski hatinya berat, Xavier tahu bahwa untuk melindungi keluarganya, ia harus bersikap netral dan tegas, bahkan jika itu berarti mencurigai kerabatnya sendiri.Di ruang kerjanya, Xavier mengumpulkan Johan, Bagas, dan beberapa tim penyelidik terbaik yang ia percayai. "Kita perlu mengumpulkan semua informasi terkait Om Haris. Mulai dari rekam jejak bisnisnya, interaksi dengan keluargaku, hingga pergerakan terakhirnya dalam beberapa bulan ini," perintah Xavier dengan nada tegas.Johan mengangguk. "Kami akan menyisir setiap dokumen, email, hingga rekaman CCTV yang berkaitan dengannya, Tuan. Jika ada koneksi antara Pak Haris dan 'Zero,' kami pasti menemukannya dan memberikan bukti itu pada Anda.""Ya. Aku percaya pada kalian," sahut Xavier sembari mengangguk.Salah satu penyelidik segera mengakses arsip bisnis Haris dan menemukan bahwa Haris pernah terlibat da
Xavier memulai harinya lebih awal dari biasanya. Pagi itu, setelah sarapan bersama Kasih, ia langsung masuk ke ruang kerja untuk mendiskusikan rencana bersama Johan. Nama 'Zero' terus menghantui pikirannya sejak pengakuan terakhir dari pelaku penculikan. Apalagi dengan dugaan keterlibatan nama itu dalam kecelakaan tragis yang menewaskan kedua orang tuanya beberapa tahun silam. Xavier tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja."Johan," panggil Xavier tegas, "Kita tidak bisa membuang waktu. Aku yakin 'Zero' bukan nama sembarangan. Ini bukan hanya soal Aidan, tapi juga keluargaku.""Benar, Tuan," jawab Johan, mencatat setiap arahan yang diberikan. "Apa langkah pertama kita?"Xavier berdiri dan memandang ke luar jendela. Ia kemudian menghela napas panjang sebelum berbalik. "Aku ingin kamu menyisir setiap data yang kita miliki—mulai dari bisnis ayahku hingga jaringan sekarang. Cari tahu siapa saja yang pernah berurusan denganku atau keluargaku dan memiliki hubungan dengan nama ini,
"Zero ...." gumam pria itu.Xavier dan Johan saling berpandangan. Nama itu seperti tidak asing dalam pikiran Xavier. Pria itu terdiam sejenak, seolah menggali informasi mengenai nama tersebut. Namun meski terdengar seperti familiar, Xavier benar-benar lupa."Apakah Anda mengenal nama samaran itu, Tuan?" tanya Johan yang menyadarkan bosnya.Xavier menggeleng pelan. "Aku tidak tahu," jawabnya."Kalau begitu saya akan menyelidikinya," ucap Johan sembari memberikan instruksi pada anak buahnya."Katakan saja siapa dan bagaimana orangnya!" Xavier mencoba menekan sanderanya lagi."Tuan ... Sepertinya tidak akan mudah. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan orang yang menyuruhnya," ucap Johan mencoba menenangkan sang bos yang emosi.Setelah mendengar pengakuan itu, Xavier keluar dari ruangan dengan ekspresi dingin, meninggalkan Johan untuk menangani pria tersebut. Dia berjalan menuju kamarnya untuk menemui sang istri dan putranya yang berhasil selamat.Di sisi lain, Kasih yang masih berada d