"Kamu gak apa-apa? Kenapa dia bisa ada di kamar, Arawinda?""Saya kira bukan dia tadi yang beken bell makannya main buka begitu aja.""Gak apa-apa?" tanya Kaivan sekali lagi sembari mendekatkan tubuh menatap Arawinda.Meski tak bisa menutupi ekspresi wajahnya yang keruh, Arawinda pun menggeleng. "Saya enggak apa-apa."Kaivan mengambil air di atas nakas, lalu mengarahkannya pada Arawinda. "Minum dulu.""Makasih." Arawinda meminum rakus air di dalam gelas yang diberikan oleh Kaivan. Setelahnya, ia merasa lebih tenang."Saya agak terlambat karena harus meminta persiapan untuk sarapan pada orang dapur. Kalau memang kamu kenapa-kenapa, kita bisa laporkan orang itu sekarang.""Enggak perlu, Kaivan.""Memang dia siapa? Saya selalu lihat dia berulang-ulang kali, termasuk kemarin sore. Apa hubungan lelaki itu sama kamu?"Arawinda sebenarnya agak ragu untuk mengungkapkan tapi ia tak ingin mengurung rahasia tersebut dari Kaivan. Toh, orang ini juga mungkin bisa melindunginya dari Angga. "Dia man
Kaivan menepuk-nepukan tangan setelah menyimpan tumpukan buku berdebu di atas meja ruang arsip dan Arawinda pun berkedip menatap hal tersebut.Berdebu, tebal dan banyak sekali catatan pesta rutin Maheswara Group yang akan diselenggarakan setiap pertengahan tahun itu. Arawinda mengibaskan tangan di depan hidungnya, menghalau lalu lalang debu yang nampak berterbangan. "Kamu harus menulis semua persiapan pesta yang sudah kamu rencanakan dan membuat arsip juga. Sebagai arsip untuk tahun depan. Dan memang itu wajibnya. Mulai dari pengeluaran, daftar tamu yang diundang, daftar tamu yang hadir, dekor dan lain hal. Templatenya bisa dilihat dari buku-buku ini."Arawinda menelan ludah. "Apa saya harus membaca semua buku-buku itu?""Seharusnya iya, tapi jika dari satu buku saja kamu sudah punya gambaran, tak perlu membaca buku-buku yang lain. Pesta akan diadakan bulan depan, tiga puluh empat hari lagi dan kamu harus bisa mengurusnya dengan sangat baik." Kaivan menilik ekspresi dan gerak-gerik
Arawinda pulang ke rumah buru-buru setelah mengunjungi pemakaman Mama dan Papa. Saat sampai di kamar dan memutuskan untuk berganti baju, Arawinda pun bergerak untuk makan sesuai dengan arahahan Kepala Pelayan."Apa ini?""Ini, dadar telur, sayur bayam dan ayam suwir kemangi.""Kenapa? Biasanya kan makanannya tidak begini.""Saya yang mau, lagi kangen masakan rumahan."Arawinda melirik Kaivan yang baru saja datang. Lelaki itu sudah menanggalkan jas kerja. Dan hanya memakai kemeja putih yang lengannya digulung dengan dua kancing teratas dibuka."Makasih sudah menyiapkan ini.""Sama-sama, Tuan Kaivan. Silahkan menikmati, saya permisi."Kaivan mengangguk. Sesaat setelah Kepala Pelayan melangkah pergi, Kaivan pun menarik kursi untuk diduduki. Ia mengambil tempat tepat di sisi Arawinda."Kenapa?" tanya Kaivan setalah mendapati wajah cemberut Arawinda."Saya enggak suka dan enggak biasa makan masakan begini.""Makan, ini enak.""Enggak mau! Saya mau salmon!""Ini lebih enak, telur dadar sama
Dengan kacamata berbingkai tipis, duduk di depan meja, lampu baca juga sudah menyala, Arawinda pun mengikat rambutnya, minum beberapa teguk kemudian.Malam ini, ia akan membaca buku-buku arsip pesta tahunan agar ia bisa segera melangkah dan mempersiapkan kemeriahan pesta tahunan yang kini menjadi tanggung jawabnya.Arawinda mulai membuka dan membaca halaman pertama dengan cermat. Ada nama dari konsep pesta, vendor dan lain-lain. Seterusnya, ada jenis-jenis makanan yang disajikan, pemilihan kata dalam undangan, penampakan surat undangan dan lainnya. Arawinda juga membandingkan bagaimana pesta itu terjadi dari tahun ke tahun.Belum lagi, orang-orang yang wajib untuk diundang ke pesta. Dan orang-orang yang biasanya selalu datang. Entah itu mengirimkan perwakilan atau langsung datang secara pribadi.Mereka adalah pemilik perusahaan yang sekarang sudah sangat maju dan jaya. Papi dan Mami membangun koneksi dengan sangat baik dan hebat. Bagaimana mereka bisa begini?Arawinda benar-benar takj
Gio mengerutkan kening ketika pintu ruangannya diketuk. Sesaat, Gio meminta seseorang yang ada di luar sana untuk masuk. Dan kala menemui Arawinda yang kini mengenakan gaun berwarna hijau matcha, Gio pun buru-buru berdiri dan memberikan salam dengan membungkukan tubuh."Selamat datang, Nyonya Arawinda.""Jangan formal-formal Om."Alis Gio terangkat di kedua sisi. Meski begitu, lelaki matang tersebut pun mengangguk. "Ada apa?""Om sibuk enggak?"Untuk sesaat, retina mata Gio menatap pada layar komputer yang masih menayangkan pekerjaanya. Tetapi, lelaki itu malah menggeleng. Pekerjaan bisa ia selesaikan dengan cepat nanti. "Enggak kok, ada apa? Kamu datang ke sini sendiri?"Dengan polos, Arawinda mengangguk. "Kaivan udah ngebiarin saya keluar sendiri, meski tetap saja, saya diawasin secara tak kasat mata oleh orang-orang dan kamera. But no problem, saya seneng udah bisa jalan-jalan dengan bebas lagi. Enggak terkurung kayak satu tahun terkahir."Gio menganggukan kepala penuh pengertian.
Sembari duduk di kursi penumpang bagian belakang mobil, Kaivan melihat-lihat pemandangan dari setiap jengkal jalan yang ia lewati di Jakarta yang kini panas tak terbendung.Tangan Kaivan bergerak cepat mengambil ponsel kala barang itu berdering. Sesaat, matanya memincing mendapati panggilan dari Ibu.Buru-buru menggeser tombol hijau, Kaivan pun menerima panggilan tersebut. Paruh baya itu amat sangat jarang meneleponnya. "Halo Bu?"Suara Kaivan berubah lembut saat berbicara dengan Ibu."Halo Kaivan.""Ada apa? Kok Ibu tiba-tiba telepon?""Enggak, Ibu cuma kangen aja, sambil mau tahu kabar kamu di sana bagaimana?"Kaivan memperbaiki posisi duduknya sebelum sesaat kemudian menjawab, "Kabar Kaivan baik kok di sini. Gimana kabar Ibu sendiri?""Ibu juga baik.""Mbah Putri, Rama sama Diajeng gimana Bu?""Mereka juga pada sehat-sehat kok Nak. Kamu di sana makan teratur kan? Jangan sampai sakit. Jangan terlalu kelelahan, biar Ibu enggak khawatir terus sama kamu di sini.""Kaivan selalu makan t
Arawinda yang tengah mencatat sesuatu di kertas berbalik kala pintu kamar terbuka secara tiba-tiba. Seperti biasa, Kaivan tak pernah sama sekali menghargai privasi ia sebagai seorang wanita. Lelaki itu selalu berlaku seenak jidat. Mulai dari merampas ciuman pertama Arawinda lalu ... menidurinya?Apa mereka benar-benar melakukan hal yang tidak-tidak malam itu? Bagaimana kalau ia benar-benar hamil?Arawinda memijat kening, kenapa ia termakan oleh omong kosong yang dilontarkan oleh mulut kotor Kaivan?"Apa yang sedang kamu kerjakan Arawinda?" Kaivan yang kini sudah berbaring nyaman di atas lembut dan empuknya pembaringan memperhatikan Arawinda yang masih duduk menghadap buku yang ada di meja."Saya harus memberikan detail catatan pada beberapa hal penting untuk pesta, atas arahan Om Gio, saya akan segera melihat-lihat vendor yang pas yang dan bisa mengambil tanggung jawab dengan baik.""Tidak menggunakan jasa vendor tahun lalu?""Saya merasa ada beberapa kekurangan dari vendor tahun lal
"Saya Zia."Arawinda yang pagi menjelang siang itu tengah melukis mengangguk dan menerima kehadiran Zia dengan canggung.Zia memberesi penampilan sebelum kemudian, duduk di samping Arawinda. Dokter itu tidak membawa apa-apa, tidak seperti Atharya, yang selalu memberikan sebotol susu strawberry setiap mereka bertemu. Mencoba tak acuh, Arawinda pun kembali melukis dengan gerak yang sangat pelan."Bagaimana perasaan Anda akhir-akhir ini, Arawinda?""Umur Anda berapa?" tanya Arawinda tiba-tiba.Zia yang baru saja menghidupkan perekam di ponsel menoleh. Karena pertanyaan Arawinda barusan melampaui batas ekspektasinya."Ah umur saya." Zia menyelipkan rambutnya yang sering berantakan di daun telinga. "Untuk sekarang, saya berumur 33 tahun.""Apa Anda sudah menikah? Mempunyai anak?"Kenapa Arawinda tiba-tiba aneh?Zia sampai agak sulit untuk menjawab karena ia merasa pertanyaan Arawinda cukup mengusik hal-hal pribadi juga privasinya. Tapi dipikir-pikir ia harus terbuka agar bisa dekat denga