Zaifa biasa dipanggil Zee dengan nama lengkap Belinda Idelina Zaifa yang berarti wanita cantik, berhati mulia dan tangguh (27 tahun). Kulitnya putih, hidungnya mancung, memiliki dua lesung pipi yang membuat parasnya menjadi terlihat semakin menawan. Rambutnya panjang dan hitam pekat, tingginya semampai. Tatapannya tajam meski sorot matanya tetap terlihat redup. Mungkin karena dibalik sorot matanya menyimpan sekelumit kisah yang sulit di tebak. Kelembutan hatinya membuat tak sedikit menarik perhatian pria di sekelilingnya.
Zee memang sosok wanita yang tegar dan kuat. Banyak sekali impian dan cita-cita yang sudah ia gantungkan, keinginannya menjadi dosen di salah satu kampus ternama di kotanya membuat pijakannya semakin mantap dan kuat.
Zee merupakan gadis yang sangat rajin dan pantang menyerah. Selain cantik, ia juga piawai dalam bidang public speaking sehingga dapat menarik perhatian investor. Hal ini tentu membuat Bagas sang direktur perusahaan terkesima melihat kepiawaian mahasiswi yang statusnya sedang melakukan penelitian begitu memberikan keuntungan besar bagi perusahannya.
Alvendra Bagas Adiguna. Sorot mata Bagas kerap kali mencuri pandang saat Zee sedang melakukan presentasi. Hingga di suatu hari Bagas memberanikan diri untuk mengajak Zee makan siang bersama. Lambat laun Bagas mulai menaruh hati kepada Zee, namun Bagas masih belum berani untuk mengungkapkan isi hatinya.
22 April 2013
Suatu hari, Zee terkejut dengan kedatangan pria yang mengaku sebagai teman Rio. Awalnya ayah Zee tidak mengizinkan pria tersebut masuk. Alvendra... nama yang tak asing bagi Zee, namun ia masih belum bisa mengingatnya dengan jelas.
"Assalamualaikum pak, bu." Sapa Alvendra dengan penuh ramah.
"Waalaikum salam." Jawab Dika dan Kinasih saat duduk di teras ruang tamu. Mereka adalah orang tua Zee.
"Maaf dengan siapa dan hendak bertemu siapa ya?" Sambung Dika sambil mempersilahkan Alvendra duduk.
"Saya Alvendra, teman Zee. Apakah Zee ada di ruma jika diperbolehkan saya ingin bertemu dengannya."
"Tentu boleh, tunggu sebentar ya." Ujar Dika sambil masuk ke dalam rumah sambil memanggil Zee.
"Zee masih merapikan pekerjaannya. Sebentar lagi juga dia keluar. Kalo boleh tau ada keperluan apa datang kemari?" Tanya Dika.
"Mohon maaf Pak, Bu maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk melamar Zee, putri Bapak dan Ibu." Jelas Alvendra dengan santai namun tetap tegas dan berwibawa.
Alvendra Bagas Adiguna yang berarti anak pertama laki-laki yang berwibawa dan beruntung (35 tahun). Kulitnya sawo matang, rambutnya sedikit ikal, tinggi badan sekitar 170 cm, tubuhnya kekar dan sixpect, alisnya tebal serta hidungnya yang mancung membuat pria ini terlihat sangat gagah. Ia merupakan anak sulung dari Brameswara dan Martini, pasangan pengusaha sukses dan ternama di kota tersebut. Sekilas, Alvendra nampak seperti pria sempurna, namun entah mengapa Alvendra tergolong telat menikah. Jika dibilang ia terlalu sibuk dengan usaha garmennya, maka itu semua mustahil karena sudah menjadi rahasia umum jika pria berdarah Indo Australia ini sering bergonta ganti pacar.
"Atas dasar apa kau hendak melamar putriku, anakmuda?" Sambung Dika dengan mata yang tajam.
"Saya sangat mencintai putri Bapak dan Ibu."Jawab Alvendra tanpa basa basi.
"Cinta kau bilang? Tau apa kau tentang cinta?" Tanya Kinasih dengan nada yang serius.
"Saya memang belum lama kenal dengan Zee. Namun sejak pertama saya bertemu dengan Zee hati saya yakin jika dialah jodoh saya" Jelas Alvendra berusaha meyakinkan.
"Pak, Bu, mas Al, silahkan tehnya diminum dulu." Ujar Zee sambil meletakkan secangkir teh di atas meja.
"Zee, sini duduk nak," Pinta Kinasih dengan sangat lembut.
"Zee, aku sangat mencintaimu, maukah kau menjadi pendampingku untuk selamanya?" Tanpa basa basi Alvendra menyatakan cintanya.
"Bagamana Zee?" Tanya Dika.
"Maaf mas, aku kan masih study lanjut S2. Aku tidak mau beasiswaku dicabut hanya karena aku menikah ditengah studyku. Meskipun tidak ada pernyataan tidak boleh menikah sebelum lulus study, namun aku takut tak dapat mencintaimu dengan baik nantinya." Jelas Zee.
"Itu semua tak akan menjadi masalah bagiku Zee, bukankah jika kita sudah memiliki niat baik alangkah baiknya segera dilaksanakan? Aku tak mau terjebak dalam jurang kemaksiatan Zee." Tutur Alvendra.
"Jurang kemaksiatan kau bilang? Apa maksudmu Al?" Tanya Dika.
"Mohon maaf Pak, bukannya saya menggurui, saya hanya tidak mau berpacaran dengan Zee karena saya takut terjerumus di lubang kemaksiatan. Izinkan saya taaruf dengan Zee Pak, Bu, sambil mempersiapkan acara pernikahannya kelak dan tentunya sambil menunggu Zee menyelesaikan studynya." Ujar Alvendra.
"Pernikahan kau bilang? Memangnya kau yakin anak saya akan menerimamu?" Sambung Kinasih.
"Mas Al, maafkan Zee. Bukannya aku tak menghargai niat baikmu. Justru aku sangat terharu dan berterima kasih atas kejujuranmu malam ini. Namun, apa sebaiknya kau pikirkan ulang lagi? Aku hanya anak dari buruh tani. Sedangkan kau anak pengusaha garmen ternama di kota ini. Kau lulusan S2 luar Negeri. Sedangkan aku masih menyelesaikan tesisku. Pun aku bisa kuliah berkat beasiswa, terlepas dari hal itu aku hanyalah guru Madrasah. Tak seperti kau yang bergelut di perusahaan garmen." Tutur Zee.
"Betul nak Al, status kita sangat berbeda jauh, mungkin lebih baik kau mencari wanita diluar sana yang sederajat denganmu nak. Bukan seperti kami." Jelas Dika.
"Tidak pak, bu. Hati saya Insya Allah sudah mantap dengan Zee. Saya memang belum lama mengenal Zee. Namun saya sering berinteraksi secara tidak langsung dengan Zee selama ini." Ujar Alvendra.
"Berintraksi tidak langsung? Maksudnya?" Tanya Zee sambil mengeruntukan kening.
"Zee, kau ingat tidak saat kau penelitian di PT. Abadi Sejahtera guna menyelesaikan tugas kuliahmu?" Tanya Alvendra sambil menunjukkan foto sebuah perusaha dari ponselnya.
"Tentu aku mengingatnya. Di sana aku disambut dengan baik oleh pak Bagas beserta segenap jajarannya." Ujar Zee.
"Dengan lancarnya kau mempresentasikan hasil penelitianmu kemudian kau merekomendasikan ide-ide briliant di perusahaan tersebut hingga akhirnya kami bisa menang tender." Tutur Alvendra sambil menunjukkan foto-foto Zee saat beraktivitas di perusahaan tersebut.
Zee memang calon magister pendidikan bisnis dan managemen di salah satu universitas favorit di Indonesia. Sehingga tak heran jika dia benar-benar piawai dalam menjalankan strategi bisnis.
"Sebentar, kok mas Al punya semua foto-fotoku?" Tanya Zee sambil mengerutkan kening.
"Zee... apa kau masih ingat dengan pak Bagas?"
"Tentu Zee masih ingat nak Al, karena pak Bagas dulu pernah ke sini mengantarkan Zee saat ia jatuh pingsan di depan loby perusahaan" Jelas Pak Dika sambil menikmati teh hangat.
"Nah ternyata bukan hanya Zee yang mengingat tentang pak Bagas. Namun bapak juga mengingatnya." Sambung Alvendra sambil tertawa geli.
“Zee, aku rindu padamu.” Ungkap Al dengan nada sendu. Tatap matanya tak asing bagi Zee. Namun siapa dia sebenarnya, mengapa dia dengan mudah mengungkapkan kata-kata rindu? Pernahkah mereka bertemu?
Bukan hanya Zee yang kaget, tetapi orang tuanya juga terkejut. Mengapa pria ini terlihat begitu mengenal Zee? Bahkan tatap mata Zee dan Al kerap kali saling bertemu, ada rindu yang kian menyiksa. Namun siapa Al?
"Sebentar, Ibu kok bingung ya, dari tadi kalian membahas pak Bagas. Lalu apa hubungannya dengan maksud dan tujuan nak Al datang kemari?" Tanya Kinasih sambil menggaruk-garukkan kepala padahal kepalanya tak gatal.
"Sudah, sudah, mari nak Al tehnya diminum dulu, ini ada brownies buatan Zee loh." Sambung Dika seraya memecah ketengangan.
"Brownies ini rasanya sama seperti yang Zee berikan kepada pak Bagas saat acara ulang tahun perusahaan malam itu." Ujar Alvendra santai sambil mengunyah brownies.
Sebenernya mas Al ini siapa sih, kok sampe segitunya mengerti seluk beluk perjalananku di perusahaan itu. Padahal aku kenal mas Al baru beberapa bulan lalu. Gumam Zee dalam hati.
"Zee, sosok perempuan pantang menyerah, tegas namun lembut hatiya. Sigap dalam menghadapi segala situasi serta mampu berpikir kritis. Sangat piawai dalam menjalani bisnis, dan penyayang anak-anak. Itulah salah satu alasanku ingin menjadi pendampingmu Zee." Jelas Alvendra sambil menatap Zee.
"Dari mana Mas Al tahu semua tentang aku?" Tanpa basa basi lagi Alvendra membuka ponselnya dan menunjukkan foto sosok pria yang gagah dan tampan.
"Pak Bagas! kok Mas Al bisa menyimpan foto pak Bagas?" Mata Zee terbelalak kaget saat melihat foto sosok laki-laki yang sudah ia kagumi sejak lama itu.
"Zee, kau lupa kalo nama direktur itu adalah Alvendra Bagas Adiguna?"
Sontak Zee terkejut. Sangkin terkejutnya ia sampai menjatuhkan secangkir kopi yang sedang ia genggam.
"Ya aku tau, tapi bukan berati kau itu pak Bagas kan? Mana mungkin, mustahil!"
"Tidak ada yang tidak mungkin Zee, nampaknya kau belum mengenal siapa aku sebenarnya." Terang Alvendra sambil memberikan sehelai sapu tangan biru.
“Zee, masih ingatkah kau dengan sapu tangan ini? Masih ingatkah kau dengan foto-foto ini?” Pria itu menunjukkan sapu tangan biru kotak-kotak yang tentu tak asing bagi Zee.
Tidak! Bagaimana mungkin. Sapu tangan itu buatanku. Aku sangat mengingat betul. Gumam Zee dalam hati sambil sesekali matanya melotot dan memperhatikan saputangan itu.
Semenjak Bagas dikabarkan meninggal, Zee melewati hari-harinya dengan penuh suka cita. Kenangan bersama Bagas dulu meski sangat sederhana tak kan pernah lekang oleh waktu. Terlebih saat Zee dengan sigap membungkus jari Bagas dengan saputangannya saat ia terluka oleh pecahan gelas yang tak sengaja jatuh saat meeting. Bola mata mereka saling bertemu dan bermuara di satu tempat yang kini masih menjadi misteri.
"Sudah lah mas tak usah berbelit-berbelit lagi. Aku semakin bingung dengan kedatanganmu yang tiba-tiba meminta aku untuk menjadi istrimu, dan tiba-tiba kau mengungkit-ungkit soal pak Bagas. Memangnya kau mengenal pak Bagas? Kau siapanya pak Bagas?" Tanya Zee gemas sambil membersihkan tangannya dengan tisyu karena sempat terkena tumpahan kopi.
“Hahaha, aku adalah Bagas yang selama ini kau kenal Zee."
Uhuk uhuk sontak Zee tersedak saat mendengar pengakuan Alvendra.
"Mana mungkin mas, sore hari menjelang malam perpisahan itu, sekretaris pak Bagas menelfonku dan memberi kabar bahwa beliau mengalami kecelakaan pesawat dengan penerbangan Singapore - Indonesia. Hari itu, pak Bagas memang sedang berada di Singapore guna menangani salah satu bisnisnya.” Jelas Zee sambil menyembunyikan air matanya.
“Lalu...?” Tanya Alvendra penasaran.
“Sore itu aku sedang berjalan menusuri koridor kampus yang cukup ramai. Karena bertepatan dengan hari ulang tahun kampus dan suasananya begitu brisik sekali, belum sempat aku bertanya tentang keadaan pak Bagas, Phonecellku terjatuh ke selokan akibat ada seseorang yang mendorongku tak sengaja. Saat itu aku sangat cemas dan tak henti-hentinya memikirkan pak Bagas. Akupun bingung saat itu, HPku rusak padahal semua kontak ada di HP, sehingga aku semakin tak sabar untuk menunggu hari esok karena pada saat itu aku ditunjuk oleh Dosen koordinator supaya aku mengantarkan beberapa berkas hasil penelitianku untuk PT. Abadi Sejahtera yang sudah berkenan mengizinkan tim kami untuk melakukan research meski dalam kurun waktu yang cukup singkat. Namun qodarulloh, sesaat setelah handphoneku jatuh, sayup-sayup kudengar teriakan seseorang yang memanggil dan semakin mendekatiku di tengah kerumunan. Dialah Rani teman dekatku. Dia memberi tahu bahwa aku dipanggil Pak Brameswara, dosen koordinator tim kami." Jelas Zee sambil menahan getir.
"Kau mencintai pak Bagas?" Tanya Alvendra.
"Entahlah, yang jelas pada hari itu hatiku begitu hancur mendengar pak Bagas kecelakaan dan yang membuatku lebih hancur adalah saat aku ditunjuk Pak Robby untuk menggantikannya mengisi materi seminar di Kuala Lumpur lusa. Padahal esok harinya adalah jadwalnya ke PT. Abadi Sejahtera. Artinya aku bisa menanyakan kabar pak Bagas keesokan harinya, namun karena aku ditunjuk untuk berangkat ke KL malam itu juga maka niat untuk ke PT tersebut digantikan oleh temanku. Setelah itu, sampai sekarang aku tak mengetahui bagaimana kabar pak Bagas. Tak satu pun temanku yang tau tentang hal itu."
"Lalu kenapa kau tak mengunjungi perusahaan itu setelah kau pulang dari KL?” Tanya Alvendra.
"Untuk apa?" Belum dijawab pertanyaan dari Alvendra, namun Zee melempar pertanyaan lagi dengan tatap mata yang berkaca-kaca.
"Ya, sekedar mencari tau keberadaan pak Bagas, mendengar cerita dan sorot matamu aku semakin yakin jika kau mencintai pak Bagas" Ujar Alvendra.
"Mungkin tanpa kusadari aku memang sudah jatuh hati kepada pak Bagas, namun semua itu aku kubur dalam-dalam. Karena percuma sampai sekarangpun aku belum mengetahui keberadaan pak Bagas. Jika aku mencari tahu di berita, nama Pak Bagas sudah dinyatakan meninggal saat kecelakaan pesawat itu. Aku tak punya nyali jika aku harus datang ke perusahaan, dan aku takut barang kali teryata pak Bagas sudah memiliki pasangan atau ahh... aku tak mampu membayangkan lebih jauh mas, karena itu terlalu sakit" Jelas Zee.
"Bapak jadi semakin bingung dengan pembicaraan kalian, lebih baik bapak masuk saja ya, di dalam bapak harus membereskan ubi yang akan dijual besok." jelas Pak Dika sambil beranjak dari tempat duduknya.
"Sebentar Pak, mohon maaf boleh saya bertanya sesuatu kepada Bapak?" Ujar Alvendra saat Pak Dika hendak beranjak dari tempat duduknya. Sementara Pak Dika hanya mengangguk pelan seraya memberikan tanda setuju.
"Jika sosok Bagas yang dari tadi putri Bapak ceritakan tadi datang kemari apakah Bapak akan merestui hubungan mereka?” Tanya Alvendra.
"Semua itu terserah putri bapak saja" Jawab Dika.
"Zee, masihkah kau ingat ini?" Tanya Alvendra sambil menunjukkan design konyol yang pernah mereka buat di sela-sela waktu makan siang.
“Loh, kenapa gambar itu ada di kamu? Padahal dulu aku sudah meminta Pak Bagas untuk membuangnya.” Tanya Zee terkejut sambil memegang kertas yang sudah terlihat kusam dan lecek, namun goresan pensil seraya menunjukkan design rumah mewah tapi tetap elegan masih nampak terlihat jelas.
Ya, siang itu Bagas mengajak Zee ke restoran. Sekedar untuk lunch. Namun sambil menunggu pelayan mengantarkan pesanan mereka, Zee menggambar sesuatu di kertas. Ya, bakat yang terpendam. Selain piawai di bidang bisnis, design Zee juga tak kalah menarik dengan design arsitek-arsitek ternama.
“Mana mungkin Bagas membuang kenangan ini Zee. Secara design ini merupakan rumah impianmu. Percayalah kelak aku pasti akan mewujudkannya!” Jelas Alvendra mantap.
"Kamu masih ingat ini Zee?" Sambung Alvendra lagi sambil menunjukkan foto-foto Zee bersama Bagas.
Tak terasa derai air mata Zee tak dapat dibendung, butiran bening seolah berlomba-lomba jatuh. Bagaikan hati Zee yang kian berlomba-lomba menepis atau menerima pernyataan dari Alvendra.
"Sebenarnya kau tau apa tentang pak Bagas? Di mana dia sekarang?" tanya Zee sambil mengusap butiran bening yang jatuh selayak mutiara di pipinya.
"Di depanmu." Jawab Alvendra sambil menatap Zee dengan wajah yang serius.
"Terima kasih kau telah mencintaiku selama ini. Meski kau tak pernah mengutarakannya tapi aku tau jika kau tulus mencintaiku. Kita memang tak pernah ada hubungan spesial selama ini. Namun sorot matamu tak dapat berbohong jika selama ini kau mencintaiku. Akulah Bagas yang selama ini kau cari dan kau tunggu." jelas Alvendra sambil mengusap air mata Zee.
Belum sempat Zee menjawab, isak tangis Zee kembali membuncah, butiran bening seolah berlomba-lomba berjatuhan.
"Apa yang kau katakan Mas Al?! Aku tau namamu sama seperti pak Bagas. Namun bukan berati kau menyamakan dirimu dengan pak Bagas!" Bentak Zee sambil beranjak dari tempat duduk.
"Zee..." Al mencoba menggenggam tangan Zee sementara gadis cantik itu mengibaskan tangannya.
"Sabar nak, duduklah kembali sayang." Bujuk Kinasih sambil memegang tangan Zee seraya menenangkan putrinya.
Akankah Zee kembali memutar memorinya? Menguak kembali kisahnya bersama Bagas? Bagaimana respon Zee?
Kita memang tak pernah tahu kapan cinta itu datang dan pergi. Pun tak bisa mengusir atau menjamahnya dengan sesuka hati. Kenyataan pahit yang hampir merenggut nyawa Bagas menjadi tamparan keras. Pandangan Bagas menerobos menerawang jauh, mencoba menelisik kembali apa yang pernah ia alami."Kecelakaan maut itu membuat seluruh wajahku rusak parah. Akibatnya aku harus menjalani perawatan di London selama empat bulan lebih. Hanya ada dua pilihan usai kecelakaan itu. Aku bertahan seperti Bagas yang mereka kenal dengan wajah yang tak jelas bentuknya. Atau aku menjalani operasi plastik guna mengobati luka diwajahku, meski aku harus menerima kenyataan jika ternyata operasi plastik ini merubah total seluruh wajahku."Zee terbelenggu mendengar penjelasan Alvendra."Berbulan-bulan aku menyendiri, mencoba beradaptasi dengan wajah baru namun teman-temanku tak percaya jika aku adalah Bagas yang mereka kenal. Sebagian besar mengira jika Bagas telah meninggal atas kecel
Menikah tak hanya menyatukan dua insan, namun juga dua keluarga. Menyatukan dua insan yang berbeda prinsip bukanlah hal yang mudah. Proses adaptasi terkadang menimbulkan percekcokan, entah itu karena hal-hal sepele berbau kecurigaan, kurangnya komunikasi, hingga kehadiran pihak-pihak tertentu yang dicurigai menjadi orang ketiga dalam tali percintaan yang mereka jalin.Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang memungkinkan perubahan dan pertumbuhan pada individu dan cara mereka mengekspresikan cinta mereka. Lelah itu biasa, kecewa itu wajar namun percayalah dalam pernikahan bukan tentang seberapa kali engkau lelah dan kecewa, tetapi tentang seberapa lama dan kuat engkau bertahan.Pagi itu... sayup-sayup terdengar suara burung berkicau merdu, seolah mewakili Zee dan Alvendra selaku pengantin baru, Meski satu bulan telah berlalu, namun aura-aura pengantin baru masih menghiasi rona wajah mereka."Sayang gajiku bulan ini kamu yang pegang ya." Ucap Alvendra sambil memb
Malam itu begitu indah, kemerlap lampu clubing beserta seisinya membuat jiwa Alvendra meraung-raung. Sungguh ia sangat merindukan suasana ini. Pandangannya menyebar, mengamati setiap sudut ruangan itu."Hai guys, long time no see." Sapa Alvendra kepada teman-temannya."Eh ada pengantin baru." Jawab Gio meledek."Mana istri lo Al? Ajakin ke sini dong. Hahaha." Sambung Keke."Ah mana mau dia ke clubing. Dia mah mainnya ke perpustakaan, ke masjid atau ke sekolah. Hahaha." Jawab Alvendra."Gila lu Al, Pengantin baru bukanya lembur malah kluyuran ke sini. " Jawab Rendi sambil tertawa geli."Ah biasa aja kali. Gue kangen sama lu lu pada." Jawab Alvendra sambil menikmati secangkir kopi.Alvendra memang sosok yang tak suka diatur, moody person, and easy going. Sikap coolnya memang kerap kali membuat gadis-gadis penasaran dengan Alvendra. Tak heran jika sejak dulu dia sering gonta ganti pacar, sehingga saat menikahi Zee usianya sudah terlampau
Kelut kemelut langit yang seolah takut menghadapi kenyataan. Takut menitikkan air hujan. Hanyalah gerimis dan kabut yang berani menyapa pagi ini. Tak ada burung yang berkicau seperti biasanya. Hanyalah hembusan angin dingin yang berani menyapa Zee di bibir pintu."Assalamualaikum." Sapa Alvendra di ambang pintu sambil melepaskan sepatunya."Waalaikum salam. Alhamdulillah akhirnya kau pulang juga." Zee begitu gembira melihat suaminya sudah kembali setelah semalaman sulit dihubungi."Sayang, udah sarapan? aku udah bikinin kamu tongseng loh. Spesial. Makananan kesukaan mu kan?" Ujar Zee sambil memeluk Alvendra."Aku masih kenyang. Habis makan bubur ayam tadi sama Rio." Jawab Alvendra singkat.Rio memang adik Alvendra yang cukup patuh. Kebiasaannya tak berubah yakni membelikan bubur ayam untuk orang satu rumah sebagai menu sarapan favorit keluarga mereka.Melihat wajah Alvendra yang masih terlihat kesal, Zee semakin bersemangat untuk menunjukan hasil
Nud...nud... Alvendra nampak cemas dan menunggu Martini mengangkat telponnya."Hallo ada apa Alvendra?" Jawab Martini di seberang sana."Mah, Zee hamil" Jawab Alvendra singkat."Hamil? Bagus dong. Berati sebentar lagi kau akan menjadi Ayah.""Masalahnya aku belum siap jadi ayah mah. Aku takut diganggu oleh banyak orang""Ssttt gak boleh ngomong gitu. Kamu kan masih punya pegangan dari mbah Tukiem. Gini saja, kamu carikan gunting dan jarum peniti lalu kau berikan kepada istrimu. Kau minta istrimu untuk membawa ke manapun gunting dan jarum itu?""Untuk apa semua ini mah?""Dasar bodoh! Ya untuk melindunginya dari serangan-serangan ghoib!""Oh ya. I know." Jawab Alvendra sambil menggaruk-garukkan kepala yang sebenarnya tidak gatal."Lalu kau cari dua telur ayam kampung beserta bunga tujuh rupa yang direndam di atas air seperti biasanya, dan kau letakkan di bawah tempat tidur kamar kalian." Tambah Martini di ujung
Klinik praktik Dokter Afandi memang sangat luas, terdapat kolam ikan di tengah-tengah ruang tunggu pasien, percikan air dan ikan-ikan emas koi yang terus saling mengejar satu sama lain cukup menghibur hati pasien di sela-sela menunggu antrean periksa.Zee masih duduk termenung mengamati ikan-ikan dalam kolam tersebut. Air terjun di tengah kolam menambah keindahan dan kesejukan bagi siapa pun yang melihatnya. Pandangannya menerobos menerawang jauh, menerka-nerka apa yang telah terjadi. Merangkum kembali semua memori dan membungkusnya dalam ingatan secara sangat rapi. Namun semakin Zee merangkum memori-memori tersebut terlebih saat mengingat kenangan-kenangannya bersama Alvendra sebelum menikah, hal itu justru semakin membuat Zee merasa sakit hati. Ia hanya tertegun saat mendengar kata-kata Alvendra tadi di depan Dokter Afandi.Perasaannya seolah hanyut bersama percikan air yang mengalir di dalam kolam ikan. Terlebih saat angin sepoi-sepoi turut menghampiri dedaunan, karen
Angin kencang begitu menusuk tulang. Biasanya pukul tujuh malam Alvendra masih di kantor, karena usai jam kerja Alvendra biasa lembur dengan tim kerjanya. Alvendra memang sosok pekerja keras, dia rela melakukan apapun demi mendapatkan uang. Makanya tak heran jika dia bisa membeli apa saja yang dia mau.Zee memang terbiasa melakukan apa-apa sendiri, sekalipun ia sedang hamil. Hingga saat ia terkaparpun Alvendra justru meninggalkan Zee, demi apa? Ya tentu saja demi ibunda tercintanya. Selama ini Alvendra memang selalu mengagung-agungkan jika surga di bawah telapak kaki ibu. Namun apakah ia akan tetap mencium bau surga jika ia selalu menyakiti istrinya?“Assalamualaikum.” Ujar Alvendra sambil membuka pintu rumah. Sontak Alvendra kaget melihat Keke yang sudah duduk di samping Martini.“Keke ngapain kamu di sini?” Tanya Alvendra kaget.“Duduk dulu Alvendra.” Pinta Martini.“Hai Alvendra, ” Sapa Keke sambil melempar senyum. Semenjak kejadian malam itu, malam
Jarum jam semakin menunjukkan angka tertingginya. Namun sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehadiran Alvendra. Malam semakin senyap, sambil menatap lentera di pojok teras, Zee nampak cemas menunggu Alvendra. Gejolak tak menentu sesekali hadir dalam benaknya. "Apa aku telpon mas Al aja ya..." Tanya Zee kepada dirinya sendiri sambil melirik handphonenya."Tapi kalo aku telpon nanti mas Al marah-marah lagi karena merasa diganggu." Jawabnya lagi."Tapi ini kan udah jam 11 malam. Masa mas Al ga pulang lagi si." Bantahnya lagi."Ya udah aku telpon sekarang aja deh." Jawabnya lagi sambil meraih handphone di mejanya. Setelah melewati perdebatan dengan diri sendiri, Zee memutuskan untuk menghubungi Alvendra. Nud nud nud... nomor yang Anda tuju tidak bisa dihubungi. Terdengar suara operator di seberang sana. Zee semakin cemas, detak jantungnya tak menentu. Namun tiba-tiba terdengar suara mobil di depan gerbang. Yups. Tak salah lagi, mobil Alvendra
Derap langkah Alvendra kian terdengar. Alvendra terhenti sejenak melihat pemandangan di meja makan. "Ini ada apa, kok kalian malah berpelukan?" Raut muka Alvendra terlihat begitu heran. "Udah kaya teletubies aja." Sambung Alvendra sambil tertawa geli. "Al, sejak kapan kau berdiri disitu?" Tanya Keke sambil menghapus air matanya. "Sejak mamah dan kamu menangis dan berpelukan. Kalian kenapa si?" Tanya Alvendra sambil mengusap air mata Keke. "Keke, apa kamu masih mencitai Alvendra?" Tanya Martini dengan wajah serius. "Mencintai? Apa maksud tante?" "Ayolah Keke, jawab jujur. Tante melihat ada cinta yang tertinggal di sorot matamu." "Mah, tolonglah jangan desak Keke." "Mamah gak mendesak Keke. Dulu dia meninggalkanmu karena terdesak oleh keadaan. Bukan karena dia tak mencintaimu lagi kan?" "Tapi mah, semua sudah berlalu. Sekarang juga aku sudah menikah dengan Zee." "Mamah punya solusinya. Mamah hanya ingin anak
Rio masih membereskan percahan beling yang sempat tertunda. Sementara Keke hanya diam sambil mengunyah makanannya, kehadiran Zee di tengah suasana dinner kala itu memang membuat Keke terkejut sekaligus geram. "Mbak Zee itu rajin sekali, dalam kondisi sakit seperti tadipun ia masih bisa masak ini semua." Rio menggerutu sambil berjalan membuang percahan beling. "Beruntungnya Mas Alvendra punya istri kayak Mbak Zee. Udah rajin, pinter masak, pinter cari duit, cantiknya alami lagi." Rio melirik tajam Keke. "Gak kaya si onoh, cantiknya karena di touch up." "Apa maksudmu Rio." Keke meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya sambil melipatkan tangan di dadanya. Rio duduk sambil meneruskan makan. "Gak ada maksud." Ujar Rio sambil mengunyah makananya. Martini mengatupkan rahangnya. "Sudah-sudah, Rio kalau kamu disini hanya akan merusak suasana mending kamu segera selesaikan..." "Selesaikan makan terus beranjak dari sini?" Rio menatap tajam Mar
Meskipun angin diluar nampak ganas, namun tak menjadi penghalang dalam suasana di meja makan malam itu. "Mamah seneng deh ngliat kalian begini. Coba dulu kalian...." Cetar...Tak sengaja tangan kanan Rio menjatuhkan gelas. Kejadian ini justru membuat Zee kaget. Padahal dari tadi ia terkulai lemah di kamar. "Suara apa itu ya." Zee berusaha bangun sambil memegangi kepalanya. "Astaga sudah pukul 8 lewat. Kira-kira mas Al udah pulang belum ya. Berati dari tadi aku ketiduran." Zee berusaha beranjak dari tempat tidurnya. "Rio. Apa-apaan si kamu?" "Maaf mah gak sengaja." Jawab Rio singkat sambil membereskan percakan-percakan beling. "Keke, maafin Rio ya. Ya udah biarin Rio membereskannya. Ayo kita lanjut makan." "Gak apa-apa tante." "Keke..." Tangan Alvendra membersihkan kecap yang terselip di bibir Keke. Mungkin tadi dia kaget karena Rio memecahkan gelas sehingga membuat kecap itu menghampiri bibir sexynya.
"Zee! Zee!"Teriakan Martini membuat Rio kaget. Segeralah ia mematikan kran dan sower. Tanpa ia sadari kamar mandi sudah sangat becek. Air dimana-mana, belum lagi percikan air di wastafel yang membasahi cermin karena sangkin derasnya ia memuar air kran."Sial! Kenapa aku harus melamun disini sih? Kaya orang bego aja." Rio menggerutu sambil mematikan kran dan sower."Ada apa si mah?" Rio keluar dari kamar mandi dan segera menghampiri Martini."Mana kakak iparmu? Kenapa meja makan masih kosong?""Ya ampun aku lupa, harusnya tadi aku membereskan meja makan. Astaga..." Rio menepuk jidatnya."Apa? Apa maksudmu? Kemana Zee?""Tenang mah tenang. Mbak Zee tadi nyaris pingsan. Perutnya kram lagi jadi aku bawa dia ke kamar biar istirahat." Jelas Rio sambil mengelus pundak Martini."Bagaimana bisa tenang? Sebentar lagi tamu mamah mau datang.""Sebenernya tamu siapa si mah? Gak biasanya mamah perfect seperti ini menyiapkan semuanya de
Rio memilih untuk ke toilet terlebih dahulu sebelum memenuhi permintaan Zee. Nampaknya air yang mengalir dari kran yang cukup deras membuat tak seorangpun mengetahui gerutu geram Rio. Ia mengatupkan muka dengan kedua tangannya. Aaahhhhh Belinda Idelina Zaifa! Hhhhhh Tak hanya sekali dua kali ia menyebut-nyebut nama Zee. Sesekali ia menatap wajahnya di depan cermin. Ia marah, ia geram, kecewa, sedih. Namun untuk apa? Nasi sudah menjadi bubur. "Andai saja saat itu aku lebih cepat mengutarakan perasaanku sebelum Mas Al kembali..." Ungkap Rio dengan penuh sesal. "Come on Rio! Move on!" Rio berkata kepada dirinya sendiri di depan cermin. "Tapi aku tak dapat memungkiri bahwa kini aku.... aaaahhhh sial! Kenapa kamu harus jadi istri kakakku Zee!" Kini Rio tak hanya menyalakan kran, tetapi juga menyalakan sower. Sehingga siapapun mengira bahwa Rio sedang mandi. Rio duduk tersungkur di pojok toilet. Sambil menatap wajahnya sesekali
Aduh...Zee mengaduh sambil memegangi perutnya. Ini bukan kali pertama Zee merasakan kram hebat di perutnya. Sejenak ia menyandarkan tubuhnya di kursi, tepatnya sambil setengah berbaring. Zee mengatur nafas dan memejamkan mata. Menahan rasa nyeri yang melanda begitu hebat."Mbak Zee kenapa?" Tanya Rio panik. Entah datang dari mana dan sejak kapan, yang jelas Rio kini sudah duduk di samping Zee. Sementara Zee hanya menggelengkan kepala, kedua tangannya memegangi perut sambil sesekali menggigit bibirnya sendiri."Mungkin mbak keleleahan. Ayok aku antar ke kamar.""Tapi... aku belum selesai merapikan dapur dan menata meja makan.""Ah, itu urusan gampang mbak. Aku juga bisa kok. Ayok mbak istirahat dulu. Masih kuat jalan?"Zee mengangguk pelan dan mencoba berusaha berdiri.AauuuuhhKakinya terasa ngilu, kaku, gemetar. Keringat panas dingin mulai bercucuran. Rio tak tega melihat kakak iparnya menahan sakit. Terlebih
Zee masih tak percaya dan sesekali cerita Parman terngiang kembali. Sesampainya di rumah Zee tak segera menuju kamar mandi namun ia justru terkulai lemas di sofa ruang tengah."Zee, kamu baru pulang?" Tanya Martini mengagetkan lamunan Zee."Iya mah." Jawab Zee sambil menyandarkan tubuhnya di sofa."Sendirian?" Zee hanya tersenyum tipis. "Loh, kok gak bareng Al? Kemana dia?""Mas Al belum pulang?" Tanya Zee sambil mengerutkan kening."Kok kamu malah balik tanya mamah? Istri macam apa kamu? Udah pulang terlambat, udah gitu gak tau lagi suami ada dimana. Padahal kalian sekantor." Ujar Martini sambil tersenyum pait. Nada bicaranya memang tak setinggi biasanya. Namun tersirat kebencian yang sangat jelas."Udahlah mah, gak usah mengintrogasi Mbak Zee begitu. Mungkin Mas Al lagi kejebak macet, atau mendadak ada urusan lain." Rio menenangkan Mantini sambil mendorong kursi ibunya.Hufthhh...Nampaknya Zee begitu lelah. Hari ini cukup meng
Kecelakaan pesawat? UhukkkkZee tersedak. "Kenapa bu? Silahkan minumnya bu." Parman memberikan segelas air putih untuk Zee. "Tidak apa-apa pak. Saya hanya kaget mendengar cerita bapak. Jadi akibat kecelakaan itu bapak harus kehilangan tangan kanan bapak?" "Betul bu. Saat itu saya sempat dinyatakan meninggal karena seluruh awak pesawat jatuh berkeping-keping di tengah hutan. Namun qodarulloh... Allah masih memberikan kesempatan saya untuk hidup." Parman membuka tas kecilnya dan menunjukkan selembar foto kepada Zee. "Saat itu saya diterima kerja di perusahan ekspor impor yang terdapat di Singapura. Baru seminggu bekerja disana saya mendapatkan kabar jika istri saya mengalami sakit kanker otak stadium akhir. Sontak saya segera mengajukan cuti. Beruntung atasan saya orang asli Indonesia yang sudah menetap disana. Sehingga tak sulit bagi saya untuk mengambil hati beliau." Jelas Parman dengan mata yang berkaca-kaca. Astaga...pesawat
Langit berubah menjadi jingga, cahayanya kian menghiasi langit-langit di ufuk barat, seakan melukiskan ketenangan bagi siapapun yang melihatnya. Cahaya redup senja tak begitu menyilaukan, tak begitu menyengat bahkan terlihat anggun dan menawan. Usai jam kerja, Zee yang biasanya pulang bersama Alvendra kini memilih untuk pulang seorang diri. Berjalan menyusuri koridor, langkahnya gontai pikirannya terus berpusat pada tawaran yang diberikan oleh mertuanya. TeeetttSesekali supir taxi mengagetkan lamunan Zee."Bu, mari saya antar...""Bu, taxi bu...""Bu mau kemana?" Tak hanya satu dua kali taxi yang sudah berhenti dan memberikan tawaran untuk Zee. Namun tetap saja selalu ia tolak. Bukannya ia akan melakukan kekonyolan belaka, pulang ke rumah dengan berjalan kaki saja. Namun kali ini Zee benar-benar membutuhkan waktu untuk sendiri. Ya, barang kali cahaya senja dapat sedikit memberikan ketenangan untuknya. Tak jauh dari pandangan Zee terdapat