“Kamu sudah pikir masak-masak?” Renita menemani Sekar hingga ruang tunggu stasiun. Sahabatnya itu datang tak lama setelah Sekar mengabarkan dia hendak pulang. Padahal baru sore tadi mereka bertemu dan Sekar mengabarkan tentang pernikahan mendadaknya. “Dia tidak mencintaiku, Ren.” Wajah Sekar kembali bersemu merah. Matanya mulai mengembun. Meski tak ingin menceritakan masalah rumah tangga, namun, Sekar terpaksa menceritakan garis besar masalahnya pada sahabatnya itu. “Siapa bilang. Kamu jangan bermain dengan prasangka. Sebaiknya kamu tanyakan dulu kebenarannya,” sahut Renita. “Dia bukan tipe lelaki yang bisa mengatakan rasanya. Aku sudah mengenalnya sejak kecil,” jawab Sekar. Tak mungkin baginya mencecar Gilang dan menanyakan apakah lelaki itu mencintainya. Ah! Konyol. Bahkan Gilang pun sudah mengatakan kalau dia memilihnya. Tapi, Sekar tetap tak percaya. Buktinya, lelaki itu tetap pergi begitu saja, tanpa mengatakan kemana dia akan pergi. Apa susahnya mulutnya berucap mengatakan
Daniar meninggalkan Gilang begitu saja. Ia masuk ke dalam kosan tanpa permisi ke lelaki yang mengajaknya ngobrol. Sementara Gilang hanya mampu menatap punggung Daniar hingga hilang dibalik pintu. Pemuda itu masih terdiam mematung. Ia memikirkan kata-kata Danir. Benarkah dia masih memikirkan orang lain selain istrinya? Benarkah dia tak ada bedanya dengan Fajar? Gilang mengepalkan tangannya karena kesal. Kesal dengan kata-kata Daniar yang menyamakan dirinya dengan Fajar. Tapi, dia tak bisa berbuat apa-apa. Gilang membalikkan tubuhnya, lalu berjalan gontai menuju motornya. Sayangnya sebelum ia sampai ke motornya....BUGG! Sebuah pukulan telak mengenai pipinya. Kerah bajunya ditarik paksa oleh lelaki yang kini berdiri di hadapannya. “Fajar!” guman Gilang.“Ngapain kamu malam-malam menemui Daniar? Ha? Matamu buta? Sudah aku peringatkan sejak dulu. Jangan pernah dekati dia. Kamu lupa? Ha?” BUG! Bogem mentah kembali mengenai pipi kiri Gilang. “Ini untuk yang kamu perbuat kepada Sakina
Gilang segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan tergesa menuju meja Daniar. Sekretaris bosnya itu menyunggingkan senyum mengejek pada Gilang, lelaki yang beberapa menit lalu menerima pesan singkat darinya. “Apa maksud kamu?” Gilang membungkukkan badannya, menumpukkan kedua telapak tangannya pada meja kerja Daniar. Belum sempat Daniar menjawab, matanya sudah menatap tajam ke belakang Gilang, memberi kode pada Gilang kalau ada seseorang di belakangnya.“Gilang, ke ruangan sebentar...” Pak Prio, atasan Gilang menepuk pundaknya dan memberi kode masuk ke ruangan. Gilang segera bangkit dari posisinya, setelah melirik tajam ke Daniar dengan sorot tidak suka, lalu bergegas masuk ke ruangan atasannya. “Nanti kita bicarakan lagi,” desis Gilang sebelum meninggalkan meja Daniar. Tak sampai lima belas menit, Gilang sudah keluar dengan membawa tugas yang diberikan atasannya. “Taraaa!” dengan senyum mengembang, Daniar menampilkan cincin bermata berlian di jari manisnya. Langkah Gilang sonta
Hari sudah gelap tatkala Gilang turun dari taksi yang membawanya dari bandara ke rumah. Lampu ruang tamu menyala. Tandanya ada tamu. Hati Gilang sedikit gusar memikirkan nasibnya. Sekar yang tiba-tiba kabur pulang. Bahkan ia rela membolos kerja. Bahkan, dia sendiri tak tahu apa sebabnya.Istrinya itu telah menonaktifkan telepon sejak kemaren. Siaga perang harus dilaksanakan, meski pikirannya masih meraba. Apa yang salah hingga Sekar nekat pulang tanpa pemberitahuan sama sekali. “Assalamualaikum,” ucapnya setelah mencoba mengendalikan gemuruh di dadanya. Ini di halaman rumahnya sendiri. Tapi, rasanya seperti hendak masuk medan laga. Pintu terbuka. Ada mama, papa, dan kedua mertuanya duduk berhadapan. Semuanya menatapnya. Mata Gilang menciut sambil memindai. Kemana Sekar? Gilang terduduk lemas di sofa setelah menyalami keempat orangtuanya. “Kamu ini gimana tho, Le. Istrinya sakit malah di suruh pulang sendiri…” Papa Gilang langsung membuka pembicaraan. Gilang terkesiap. Menegakka
“Dik, kamu bisa kan nggak usah ngambek kayak anak-anak?” tanya Gilang sambil menutup tubuh Sekar dengan selimut. Sekar tak menjawab. Dia memilih membalikkan badannya menghadap ke tembok. Gilang menghembuskan nafasnya dengan kasar. Bagaimana bisa dia bicara baik-baik jika Sekar masih marah seperti itu. Bahkan dia belum paham duduk masalahnya. Apalagi sampai mertua dan orang tuanya menyangka dia punya ‘simpanan’. Jelas-jelas sudah tak ada hubungan apapun dia dengan wanita lain. Sakina saja sudah diblokir nomornya. Lalu, kenapa Sekar bisa sampe ngambek dan pulang? Gilang mengacak rambutnya frustasi. Hanya salah paham kecil. Kenapa harus jadi besar? Hanya karena dia pergi sebentar keluar tanpa bilang kemana karena buru-buru. Ah! Dasar kekanak-kanakan. Apalagi baru beberapa hari lalu Sekar bilang tidak mau pulang karena biaya besar. Dan kepulangan mendadak seperti ini jelas menguras tabungan. Huff!“Dik, kamu nggak mau makan dulu? Perutmu kosong habis muntah.” Gilang memutar otak. Sek
Semilir angin rumah makan yang menyediakan nasi ayam kremes menerpa hingga tempat duduk Gilang dan Sekar di ujung pendopo yang memiliki ventilasi yang lebar. Rumah makan yang menggantungkan pada sirkulasi udara alami dibandingkan dinginnya AC. Sekar sebenarnya masih kesal dengan Gilang dan orang tua Gilang yang menyangka dirinya hamil. Bukan karena nggak ingin hamil. Tapi, Sekar sama sekali tak berfikir secepat itu. Bahkan, mendapatkan hati Gilang saja rasanya sulit. Sebelum menikah dengan Gilang, dia membayangkan akan memiliki suami yang perhatian. Seperti di novel-novel dan buku-buku islami yang pernah dibacanya, dimana di awal pernikahan akan dipenuhi diskusi tentang masa depan. Mau tinggal di mana. Desain rumah seperti apa. Mau anak berapa. Pendidikan anak-anak bagaimana. Ah, rasanya menyenangkan. Bukan malah awal pernikahan yang dipenuhi pertengkaran seperti yang dialaminya. Bahkan, menikah tak lain karena bayaran hutang! Sungguh takdir yang tak pernah diimpikan. “Makan yang b
Gilang menatap Sekar sekilas, lalu mencebik. “Nggak. Kita nggak akan datang. Kebetulan saja kita pas pulang, ” ujar Gilang saat melihat wajah Sekar sudah berubah murung. “Gimana sih, sudah di sini juga. Datang saja. Atau….kamu juga patah hati?” Faras mengerling ke Gilang. Dia seolah tak melihat ada Sekar di sana. Membuat darah panas seolah mendidih.“Kamu kan yang sudah berjasa jagain dia siang malam…hahaha. Udah rame tuh gosipnya. Jagain jodoh orang kalo kata anak sekarang.” Suara Faras terbahak hampir memenuhi cafe itu. “Apaan sih, Ras!” Gilang meninju lengan Faras. Gilang sudah menyadari perubahan muka Sekar. Semua akan tak baik-baik saja jika ucapan Faras tidak segera direm.“Kita kira kamu yang bakal ke pelaminan sama Sakina. Taunya malah orang lain.” Faras masih berderai tawa. Sekar merasa jengah mendengar candaan Faras. Dadanya sudah kembang kempis. Namun, ditahannya demi harga dirinya. Dasar mulut Faras minta dikasih sambel ayam kremes. Tangan Sekar yang tadi sibuk menyuap
“Memang kamu nggak takut kalau dilaknat malaikat sampai pagi?” Suara Gilang setengah merayu. Sekar menggerakkan bola matanya ke kiri dan ke kanan. Hatinya kesal. Mengapa sih lelaki harus punya kuasa dan menggunakan cara-cara intimidasi. Apa wanita tak punya hak untuk marah dan memberinya pelajaran? Kenapa harus ditakut-takuti dengan laknat? Apa dia tak punya cara lain yang lebih cerdas tanpa harus menakut-nakuti? Dasar tidak kreatif!Tiba-tiba Sekar punya ide….“Mas…Mas…awas! Aku mau muntah!” Gilang serta merta mengangkat tangannya bertumpu di atas pinggang Seka, memberi ruang pada istrinya untuk bangkit. Secepat kilat Sekar berlari ke toilet belakang. Gilang mengikutinya. Kali ini bukan karena perintah mama dan mertuanya, namun, dia juga sedikit cemas kalau-kalau orang rumahnya terbangun karena suara berisik.“Sudah, Dik?” Gilang mengurut leher Sekar sambil membaluri dengan minyak angin. Persis seperti yang dilakukan mamanya tadi sore. Pria itu mulai menyadari, banyak hal yang h
Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua
“Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut
“Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h
“Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu
“Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi
Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat
"Ibu kenapa, Dik?" tanya Gilang begitu sampai rumah. Dia melihat wajah mertuanya yang tak seperti biasanya. Hanya cemberut saja saat ia mencium punggung tangannya. "Ibu marah, Mas. Gara-gara Aidan aku kasih ASI perah nanti kalau aku sudah kerja." Sekar menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ibu marah?" tanya Gilang. "Ya, bagi ibu, ASI perah itu nggak bagus diberikan pada bayi. Jadi sebaiknya diberi susu formula," terang Sekar. "Kalau menurut kamu sendiri, gimana?" tanya Gilang. "Ya jelas, makanan terbaik bayi baru lahir ya ASI. Kalau ada kasus khusus, misalnya ASI nggak keluar atau ibu sang bayi sakit, baru boleh dikasih susu formula. Bahkan sekarang sudah banyak lho donor ASI dan bank ASI, karena naiknya kesadaran ibu muda tentang kualitas ASI untuk bayi," jelas Sekar. Gilang mengusap kepala Sekar. "Jadi, nggak ada masalah, kan?" "Masalahnya, ibu nggak setuju, Mas." tutur Sekar dengan nada penuh kecemasan. "Nanti biar Mas kasih tahu." Sekar hanya mencebik. Mana mungkin G
"Hari ini, Bunda sudah boleh pulang, ya." Suster datang sambil mengantar Baby Aidan. "Apa, Sus? Pulang?" tanya Sekar. Dia baru menginap semalam setelah melahirkan kemarin siang. Jadi, kenapa cepat sekali harus pulang? "Kalau melahirkan normal, tanpa keluhan, bayinya juga sehat, memang begitu bunda. Dua hari saja sudah cukup." Sekar menatap Gilang yang ada di ujung ruangan. Mereka ditempatkan di ruangan yang sejatinya untuk berdua. Namun, karena nggak ada pasien lain, maka akhirnya hanya ditempati sendiri. Setelah suster pergi, Gilang menghampiri Sekar. "Kenapa, Dik? Ada masalah?" tanyanya heran. Kenapa istrinya seperti enggan pulang? "Aku takut, Mas, ngurus Aidan sendiro. Aku kan ngga pengalaman pegang bayi." "Tenang. Kan ibu hari ini datang. Aku juga bakal bantu kamu," ujar Gilang enteng. Sekar tak menyangka secepat itu. Tadinya dia berencana mau melihat suster memandikan dan membersihkan kotoran kalau pipis atau pup. Tapi, kenapa malah dia harus segera pulang. Padahal j
"Makan yang banyak, Dik. Kamu perlu asupan gizi," tutur Gilang sambil menyuapi makan Sekar. Jatah makanan dari rumah sakit bersalin itu sebenarnya makanan sederhana, sayur sup dan udang goreng tepung. Namun, rasanya seperti tidak makan selama seminggu. "Makasih ya, Mas. Kamu mau aku repotin," tutur Sekar. Gilang baru saja pulang. Dia harus membawa pakaian kotor Sekar yang dikenakan saat bersalin. Pria itu pun juga harus mencucinya, karena noda darah tak mungkin membiarkan hingga mereka pulang dari rumah sakit. Untungnya, jarak rumah dan rumah sakit tak terlalu jauh. Sehingga memungkinkan untuk pulang pergi. Lagi pula, Gilang juga harus mengubur ari-ari. "Itu sudah kewajibanku. Ingat, kita sekarang bukan Sekar dan Gilang yang kemarin. Kita sudah jadi orang tua. Kita harus bisa jadi panutan anak-anak kita nanti." Sekar mengerutkan dahi. Tumben Gilang bicara serius dengannya. Meski sebenarnya itu tidak asing bagi Sekar. Saat SMA dulu, Gilang meski usia terbilang muda, namun pemi