Semilir angin rumah makan yang menyediakan nasi ayam kremes menerpa hingga tempat duduk Gilang dan Sekar di ujung pendopo yang memiliki ventilasi yang lebar. Rumah makan yang menggantungkan pada sirkulasi udara alami dibandingkan dinginnya AC. Sekar sebenarnya masih kesal dengan Gilang dan orang tua Gilang yang menyangka dirinya hamil. Bukan karena nggak ingin hamil. Tapi, Sekar sama sekali tak berfikir secepat itu. Bahkan, mendapatkan hati Gilang saja rasanya sulit. Sebelum menikah dengan Gilang, dia membayangkan akan memiliki suami yang perhatian. Seperti di novel-novel dan buku-buku islami yang pernah dibacanya, dimana di awal pernikahan akan dipenuhi diskusi tentang masa depan. Mau tinggal di mana. Desain rumah seperti apa. Mau anak berapa. Pendidikan anak-anak bagaimana. Ah, rasanya menyenangkan. Bukan malah awal pernikahan yang dipenuhi pertengkaran seperti yang dialaminya. Bahkan, menikah tak lain karena bayaran hutang! Sungguh takdir yang tak pernah diimpikan. “Makan yang b
Gilang menatap Sekar sekilas, lalu mencebik. “Nggak. Kita nggak akan datang. Kebetulan saja kita pas pulang, ” ujar Gilang saat melihat wajah Sekar sudah berubah murung. “Gimana sih, sudah di sini juga. Datang saja. Atau….kamu juga patah hati?” Faras mengerling ke Gilang. Dia seolah tak melihat ada Sekar di sana. Membuat darah panas seolah mendidih.“Kamu kan yang sudah berjasa jagain dia siang malam…hahaha. Udah rame tuh gosipnya. Jagain jodoh orang kalo kata anak sekarang.” Suara Faras terbahak hampir memenuhi cafe itu. “Apaan sih, Ras!” Gilang meninju lengan Faras. Gilang sudah menyadari perubahan muka Sekar. Semua akan tak baik-baik saja jika ucapan Faras tidak segera direm.“Kita kira kamu yang bakal ke pelaminan sama Sakina. Taunya malah orang lain.” Faras masih berderai tawa. Sekar merasa jengah mendengar candaan Faras. Dadanya sudah kembang kempis. Namun, ditahannya demi harga dirinya. Dasar mulut Faras minta dikasih sambel ayam kremes. Tangan Sekar yang tadi sibuk menyuap
“Memang kamu nggak takut kalau dilaknat malaikat sampai pagi?” Suara Gilang setengah merayu. Sekar menggerakkan bola matanya ke kiri dan ke kanan. Hatinya kesal. Mengapa sih lelaki harus punya kuasa dan menggunakan cara-cara intimidasi. Apa wanita tak punya hak untuk marah dan memberinya pelajaran? Kenapa harus ditakut-takuti dengan laknat? Apa dia tak punya cara lain yang lebih cerdas tanpa harus menakut-nakuti? Dasar tidak kreatif!Tiba-tiba Sekar punya ide….“Mas…Mas…awas! Aku mau muntah!” Gilang serta merta mengangkat tangannya bertumpu di atas pinggang Seka, memberi ruang pada istrinya untuk bangkit. Secepat kilat Sekar berlari ke toilet belakang. Gilang mengikutinya. Kali ini bukan karena perintah mama dan mertuanya, namun, dia juga sedikit cemas kalau-kalau orang rumahnya terbangun karena suara berisik.“Sudah, Dik?” Gilang mengurut leher Sekar sambil membaluri dengan minyak angin. Persis seperti yang dilakukan mamanya tadi sore. Pria itu mulai menyadari, banyak hal yang h
Gilang memarkir motornya dengan kasar di depan rumah. Langkahnya cepat, namun seketika terhenti tatkala mendengar di ruang tamu ramai orang ngobrol. Saat dirinya sudah berdiri di sudut sana, seketika amarahnya harus direndam. Ada ibu mertuanya tampak sedang asyik bersenda gurau dengan istrinya. “Mas, ibu bawa nasi tiwul. Enak!” Tanpa dosa, Sekar menunjukkan nasi berbahan tapioka itu dan menyendoknya dengan lahap. Mata lelaki itu melotot dengan garang. “Ya Salaam, aku sudah antri hampir satu jam beli bubur lethok, kamu malah makan tiwul?” ujar Gilang sambil menghempaskan plastik berisi satu bungkus bubur di atas meja. Ia menatap tajam ke arah Sekar yang cuek sambil makan tiwul dengan tangannya. Lahap seperti sebulan nggak makan. “Mas, kamu mau kemana?” tanya Sekar saat Gilang hendak beranjak menjauh. “Ke kamar. Bete! Mau ikut?” ujar Gilang tanpa menoleh. “Bentar!” Sekar beranjak, lalu ia menarik tangan Gilang. “Ada apa sih?” Mukanya masih jutek, menatap istrinya dengan tat
Sekar menyembunyikan kepalanya di bawah bantal. Ia dulu membayangkan memiliki suami yang penuh cinta padanya. Tak pernah marah dan selalu tersenyum hingga sering memanjakannya. Sekarang? Mimpi apa dia? Ah! Lelaki itu memang menyebalkan! Dia sudah mengenalnya sejak kecil, sudah hafal perangainya. Herannya, mengapa malah bapak dan ibu menerima-nerima saja pinangannya. Ah, kalau bukan karena drama hutang, ingin rasanya kabur dari kawin paksa ini. Sekar bergumam dalam hati. Namun, tiba-tiba, mulut Sekar terasa ingin mengunyah yang asam-asam. "Sepertinya rujak di warung Mbak Minah di ujung kampung enak" gumam Sekar sambil membayangkan potongan buah-buahan yang dipadu dengan sambal kacang. Cukup untuk menghilangkan rasa neg di mulutnya. Mau minta tolong Gilang, jelas nggak mungkin. Sekar malas berdebat lagi. Dari pada kesal, Sekar akhirnya memutuskan bergegas pergi sendiri. Secepat ia bangkit dari posisinya rebahannya. “Mau kemana kamu?” Gilang rupanya tepat berdiri di depan pintu kam
“Jahat! kok bisa mereka bilang gitu. "Mata Sekar melotot. Mulutnya ikut menganga. Kedua telapak tangannya saling bertangkup menutup mulutnya.Sementara Gilang hanya mengerutkan dahi seraya menggeleng. “Apa? Dari mana mereka tahu Sekar hamil?!” tanya Bu Hanum. Perjodohan yang merupakan impiannya, tak rela harus ternoda dengan gosip murahan. Seketika Gilang ingat. Kejadian tadi pagi saat antri bubur. Jangan-jangan, itu jadi sumber gossip? "Dasar ibu-ibu kurang kerjaan," batinnya. Tangan Gilang seketika mengepal. Mulutnya terkatup rapat. Kesal dan marah dengan tingkah ibu-ibu. “Tapi, kan kenyataannya memang Sekar hamil kan, Ma?” tanya Gilang. Dia mulai tak yakin. Apalagi memang belum ada bukti pemeriksaan. Baik dia, mama dan papanya selama ini hanya menduga. Dari muntah dan tingkah aneh Sekar. “Lha, iya." Bu Ndari menimpali dengan mantap. "Tapi kalau sampai dibilang Sekar hamil duluan, ya, aku nggak terima,” sambungnya. “Lagian, Ibu sih, pake mantu mendadak. Jadinya malah jadi goss
“Apa, Dok?” Mata Gilang membulat. Pria itu ikut duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter kandungan itu. Sang dokter sudah kembali duduk di kursinya. Dia sibuk mencatat sesuatu di kertas record. Sementara, Sekar usai membenahi bajunya. Ia pun segera duduk di sebelah Gilang. Sang dokter tersenyum simpul menatap pasangan muda di depannya. “Dok, kami ini baru nikah dua minggu. Mana mungkin saya hamil empat minggu,” ujar Sekar terbata karena Gilang menatapnya tajam, seolah tak terima dengan usia kandungan yang disebutkan dokter. “Hitungannya yang akurat, Dok!” sela Gilang. Tangannya sudah mengepal, sementara giginya gemelutuk menahan marah. Sesekali mata elangnya menatap ke Sekar. Sebagai anak teknik, logika dan perhitungan di otak Gilang selalu akurat. Bagaimana bisa usia kehamilan Sekar jauh lebih lama dari usia pernikahan mereka? “Sabar.” Dokter itu kembali tersenyum. Ia memahami kepanikan dua anak manusia di depannya. Masalah seperti itu sudah sering ditemui. “Jadi saya ter
Gilang memarkir motornya di depan rumah, saat ibu Sekar datang lagi. Kini, ia sudah mengenakan baju bagus karena hendak berangkat kondangan. Belum Sekar bertanya, ibunya sudah duluan berucap, “Kalian lama sekali. Disuruh ke Bu Bidan, malah kemana?” “Mas Gilang malah ngajak ke rumah sakit, Bu, nyari dokter kandungan. Aku bilang ke Bu Bidan saja yang murah. Eh, Sekar malah dibilang orang susah. Padahal kan Bu Bidan itu sudah pengalaman. Kualitas juga nggak jauh beda. Orang hamil itu kan bukan orang sakit. Cuma ngecek doang!” adu Sekar. "Sudah-sudah. Ayo masuk dulu. Gimana hasilnya?” tanya Bu Hanum menengahi. Rupanya Mama Gilang juga menanti anak dan menantunya yang sedari tadi tidak kunjung datang. “Ya hamil!” sahut Gilang pendek. Gilang sebenarnya sudah tahu kalau hasilnya bakal ‘hamil’ bukan yang lain. Cuma dia memang ingin memastikan kalau gossip tetangga mengenai mereka menikah mendadak karena hami duluan itu tidak benar. Namun, mendapat jawaban Bu Dokter, dia semakin
Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua
“Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut
“Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h
“Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu
“Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi
Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat
"Ibu kenapa, Dik?" tanya Gilang begitu sampai rumah. Dia melihat wajah mertuanya yang tak seperti biasanya. Hanya cemberut saja saat ia mencium punggung tangannya. "Ibu marah, Mas. Gara-gara Aidan aku kasih ASI perah nanti kalau aku sudah kerja." Sekar menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ibu marah?" tanya Gilang. "Ya, bagi ibu, ASI perah itu nggak bagus diberikan pada bayi. Jadi sebaiknya diberi susu formula," terang Sekar. "Kalau menurut kamu sendiri, gimana?" tanya Gilang. "Ya jelas, makanan terbaik bayi baru lahir ya ASI. Kalau ada kasus khusus, misalnya ASI nggak keluar atau ibu sang bayi sakit, baru boleh dikasih susu formula. Bahkan sekarang sudah banyak lho donor ASI dan bank ASI, karena naiknya kesadaran ibu muda tentang kualitas ASI untuk bayi," jelas Sekar. Gilang mengusap kepala Sekar. "Jadi, nggak ada masalah, kan?" "Masalahnya, ibu nggak setuju, Mas." tutur Sekar dengan nada penuh kecemasan. "Nanti biar Mas kasih tahu." Sekar hanya mencebik. Mana mungkin G
"Hari ini, Bunda sudah boleh pulang, ya." Suster datang sambil mengantar Baby Aidan. "Apa, Sus? Pulang?" tanya Sekar. Dia baru menginap semalam setelah melahirkan kemarin siang. Jadi, kenapa cepat sekali harus pulang? "Kalau melahirkan normal, tanpa keluhan, bayinya juga sehat, memang begitu bunda. Dua hari saja sudah cukup." Sekar menatap Gilang yang ada di ujung ruangan. Mereka ditempatkan di ruangan yang sejatinya untuk berdua. Namun, karena nggak ada pasien lain, maka akhirnya hanya ditempati sendiri. Setelah suster pergi, Gilang menghampiri Sekar. "Kenapa, Dik? Ada masalah?" tanyanya heran. Kenapa istrinya seperti enggan pulang? "Aku takut, Mas, ngurus Aidan sendiro. Aku kan ngga pengalaman pegang bayi." "Tenang. Kan ibu hari ini datang. Aku juga bakal bantu kamu," ujar Gilang enteng. Sekar tak menyangka secepat itu. Tadinya dia berencana mau melihat suster memandikan dan membersihkan kotoran kalau pipis atau pup. Tapi, kenapa malah dia harus segera pulang. Padahal j
"Makan yang banyak, Dik. Kamu perlu asupan gizi," tutur Gilang sambil menyuapi makan Sekar. Jatah makanan dari rumah sakit bersalin itu sebenarnya makanan sederhana, sayur sup dan udang goreng tepung. Namun, rasanya seperti tidak makan selama seminggu. "Makasih ya, Mas. Kamu mau aku repotin," tutur Sekar. Gilang baru saja pulang. Dia harus membawa pakaian kotor Sekar yang dikenakan saat bersalin. Pria itu pun juga harus mencucinya, karena noda darah tak mungkin membiarkan hingga mereka pulang dari rumah sakit. Untungnya, jarak rumah dan rumah sakit tak terlalu jauh. Sehingga memungkinkan untuk pulang pergi. Lagi pula, Gilang juga harus mengubur ari-ari. "Itu sudah kewajibanku. Ingat, kita sekarang bukan Sekar dan Gilang yang kemarin. Kita sudah jadi orang tua. Kita harus bisa jadi panutan anak-anak kita nanti." Sekar mengerutkan dahi. Tumben Gilang bicara serius dengannya. Meski sebenarnya itu tidak asing bagi Sekar. Saat SMA dulu, Gilang meski usia terbilang muda, namun pemi