“Apa, Dok?” Mata Gilang membulat. Pria itu ikut duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter kandungan itu. Sang dokter sudah kembali duduk di kursinya. Dia sibuk mencatat sesuatu di kertas record. Sementara, Sekar usai membenahi bajunya. Ia pun segera duduk di sebelah Gilang. Sang dokter tersenyum simpul menatap pasangan muda di depannya. “Dok, kami ini baru nikah dua minggu. Mana mungkin saya hamil empat minggu,” ujar Sekar terbata karena Gilang menatapnya tajam, seolah tak terima dengan usia kandungan yang disebutkan dokter. “Hitungannya yang akurat, Dok!” sela Gilang. Tangannya sudah mengepal, sementara giginya gemelutuk menahan marah. Sesekali mata elangnya menatap ke Sekar. Sebagai anak teknik, logika dan perhitungan di otak Gilang selalu akurat. Bagaimana bisa usia kehamilan Sekar jauh lebih lama dari usia pernikahan mereka? “Sabar.” Dokter itu kembali tersenyum. Ia memahami kepanikan dua anak manusia di depannya. Masalah seperti itu sudah sering ditemui. “Jadi saya ter
Gilang memarkir motornya di depan rumah, saat ibu Sekar datang lagi. Kini, ia sudah mengenakan baju bagus karena hendak berangkat kondangan. Belum Sekar bertanya, ibunya sudah duluan berucap, “Kalian lama sekali. Disuruh ke Bu Bidan, malah kemana?” “Mas Gilang malah ngajak ke rumah sakit, Bu, nyari dokter kandungan. Aku bilang ke Bu Bidan saja yang murah. Eh, Sekar malah dibilang orang susah. Padahal kan Bu Bidan itu sudah pengalaman. Kualitas juga nggak jauh beda. Orang hamil itu kan bukan orang sakit. Cuma ngecek doang!” adu Sekar. "Sudah-sudah. Ayo masuk dulu. Gimana hasilnya?” tanya Bu Hanum menengahi. Rupanya Mama Gilang juga menanti anak dan menantunya yang sedari tadi tidak kunjung datang. “Ya hamil!” sahut Gilang pendek. Gilang sebenarnya sudah tahu kalau hasilnya bakal ‘hamil’ bukan yang lain. Cuma dia memang ingin memastikan kalau gossip tetangga mengenai mereka menikah mendadak karena hami duluan itu tidak benar. Namun, mendapat jawaban Bu Dokter, dia semakin
Gilang tersenyum, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sekar melihat gelagat, sejatinya Gilang ingin datang juga ke acara itu. Tak perlu menunggu menit berganti, Sekar menghentakkan kakinya, berbalik dan masuk rumah. Ia membanting pintu kamar dengan kasar agar suaranya terdengar oleh ketiga teman Gilang. “Sori, aku ngga dateng…” ucap Gilang lirih sambil menoleh ke dalam rumahnya. “Takut nggak dapat jatah, ya?” goda Huda. Gilang seketika melotot. Bisa-bisanya masih bujang ngomongin jatah! Namun, ketiga temannya malah terbahak melihat sikap Gilang. Ketiganya akhirnya meninggalkan rumah Gilang dengan kecewa. Acara akan menjadi kurang seru tanpa kehadiran Gilang, karena dia adalah sasaran utama yang bakal di bully oleh geng patah hati. Gilang membuka pintu kamarnya. Sekar sudah ganti baju dengan baju rumahan. Tepatnya baju milik Gilang. Kaos dan celana yang tentu saja kebesaran jika dipakai oleh Sekar. Bocah ini suka sekali memakai bajunya tanpa ijin. Gilang tertawa dala
Gilang tak menjawab. Lagi pula, tak perlu juga dijawab. Toh, orang sekampung juga tahu siapa Gilang dan Sekar. Tapi, kenapa mulut usil itu tetap ada. “Mas aku pulang dulu,” ujar Randi saat kepala ibunya sudah terlihat dari balik pagar. Wajah ibunya Randi terlihat tak enak saat melihat Randi sedang ngobrol dengan Gilang. Apalagi, Gilang yang biasanya mengangguk takzim dengannya, tiba-tiba terlihat menatapnya dengan sorot tak suka. “Kamu bilang, ya, sama Mas Gilang?” tanya wanita yang usianya lebih muda dari mamanya Gilang itu. Matanya menatap anaknya dengan tatapan mengancam bercampur kecewa. Mestinya, kalau diberitahu, jangan langsung dibocorkan pada orangnya langsung.“Aku hanya tabayyun, Bu. Nggak baik menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya,” jawab Randi. “Iya, tapi, kan ibu jadi nggak enak sama Mas Gilang,” ujar Bu Narti, ibu Randi. “Makanya, ibu nggak usah ikut-ikutan ibu-ibu yang lain. Kalau pun Mbak Sekar sudah hamil, kan ada suaminya. Mana mungkin Mbak Sekar mela
“Lha ada apa tho, Bu?” tanya Sekar penasaran. Wanita yang masih mengenakan busana kondangan itu menggeser posisi duduknya, menghadap ke kedua anak dan menantunya. Sementara Pak Sidik langsung ke kamar, ganti baju. “Ternyata, Fajar malah sudah menikah. " Bu Ndari sedikit mengambil jeda. "Jadi, yang nikah sekarang malah istri kedua...” Mata Bu Ndari menatap Sekar dan Gilang bergantian. Dalam hati Bu Ndari terselip rasa syukur di balik kemalangan Sakina. Rasa syukur dulu tak jadi menikahkan anak gadisnya dengan pria yang dia pikir akan mengubah nasibnya. Kaya raya. Ia juga bersyukur akhirnya memilih Gilang yang tetangganya sebagai menantu. Meski biasa saja, tapi mengerti agama dan setia. Setia? Bukannya Sekar habis ngambek gara-gara kesetiaan? Bodo amat! Yang penting sekarang mereka sudah tidak membahas ketidaksetiaan. Isunya sudah tertutup oleh isu kehamilan, batin Bu Ndari lagi.“Apa?!” Serempak Sekar dan Gilang berpandangan. Sekar benar-benar tak percaya. Wanita secantik Sakina
Pemuda itu menjadi gelagapan. Padahal dia sudah berusaha mengalihkan pembicaraan. “Mana aku tahu!” jawab Gilang sambil mengedikkan bahunya. Pria itu beranjak ke ruang makan. Malas menanggapi pertanyaan Sekar. Karena wanita itu sejatinya aneh. Pengen tahu, tapi kalau sudah tahu sakit hati. Trus, ngamuk. Tapi kalau nggak dikasih tahu, marah. “Bu, nggak masak ya?” tanya Sekar tatkala sampai di dapur, namun tak ada makanan di meja. Padahal Gilang sudah duduk manis di kursi meja makan.“Ya, ibu nggak tahu kalau kalian kemari. Ibu sama bapak kan mau kondangan, jadi, ya nggak masak,” jawab ibu Sekar.Dua manusia yang sudah kelaparan itu mendadak lemas. “Kamu masak sajalah, lah, Dik!” usul Gilang seenaknya. Mata elangnya menatap Sekar penuh harap.Sekar membalas tatapan itu dengan dengan refles menutup mulutnya yang menganga karena tak menyangka dengan pinta Gilang. Selama menikah, dia belum sekalipun memasak, kecuali masak air.Dia juga tidak bisa memasak. Namanya bunuh diri kalau tanpa
Bu Ndari menoleh. Ingat kata-katanya tadi pagi, kalau orang-orang di warung membicarakan anak gadisnya. Tapi, Bu Ndari tak masalah, apa yang dikatakan orang-orang tidak ada yang benar. Toh, dia juga tahu kebenarannya kalau anaknya tak hamil sebelum menikah dengan Gilang. Dan, Gilang maupun orang tuanya juga tahu itu. Jadi, ya tidak perlu dirisaukan lagi. “Kan kamu memang hamil sama Gilang, tho? Udah nggak usah diurusin lambe-nya orang-orang. Namanya lidah tidak bertulang. Nanti juga lupa sendiri kalau ada berita yang lebih heboh. Kamu berdoa saja isu mu segera ketutup sama isu lain. Masak kamu kalah sama isu politik,” ujar ibu Sekar mirip narasumber diskusi politik, pengalihan isu. “Lang, sana anterin Sekar. Dari pada dia nggak berani pulang...” “Ck! Mendingan ke pasar aja. Malu, cuma ke warung pake nganter!” ujar Gilang sambil menarik tangan Sekar, menyeretnya balik ke rumahnya mengambil motor. Ngga enak kalau mau pinjem motor bapaknya Sekar. Baru hendak keluar gang di kampungny
Sekar menatap Gilang yang sedang jongkok di depan ban yang hendak di tambal oleh pemilik bengkel. Gilang menanggapi pembicaraan pemilik bengkel dengan antusias, meski kadang hanya dengan senyum kalau dirasa dia tak terlalu penting untuk ditanggapi.Pria itu memang punya kebiasaan mudah akrab dengan siapa saja. Apa saja bisa jadi bahan obrolan. Hanya pada Sekar saja dia dulu jutek dan malas berbicara. Sekar kembali menatap HP milik Gilang. Pesan Faras kembali masuk.[Bales dong, Lang. Kita nungguin, nih!]Hati Sekar menjadi gusar. Mengapa orang-orang ini tak bisa sebentar saja tak mengganggunya. Pada nggak tahu apa, kalau hati Gilang itu susah move on. Masih saja pada mengusiknya, batin Sekar gemas. Sekar menekan dua pesan Faras. Lalu ia menatap ikon gambar tempat sampah di aplikasi itu. Namun, dia sejenak ragu. Jika dihapus sebelum Gilang membaca, pasti ketahuan juga. Kan ada bekasnya. Tapi kalau tidak di hapus, pasti pria-pria teman SMA Gilang ini masih saja mengusiknya. Sekar m
Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua
“Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut
“Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h
“Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu
“Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi
Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat
"Ibu kenapa, Dik?" tanya Gilang begitu sampai rumah. Dia melihat wajah mertuanya yang tak seperti biasanya. Hanya cemberut saja saat ia mencium punggung tangannya. "Ibu marah, Mas. Gara-gara Aidan aku kasih ASI perah nanti kalau aku sudah kerja." Sekar menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ibu marah?" tanya Gilang. "Ya, bagi ibu, ASI perah itu nggak bagus diberikan pada bayi. Jadi sebaiknya diberi susu formula," terang Sekar. "Kalau menurut kamu sendiri, gimana?" tanya Gilang. "Ya jelas, makanan terbaik bayi baru lahir ya ASI. Kalau ada kasus khusus, misalnya ASI nggak keluar atau ibu sang bayi sakit, baru boleh dikasih susu formula. Bahkan sekarang sudah banyak lho donor ASI dan bank ASI, karena naiknya kesadaran ibu muda tentang kualitas ASI untuk bayi," jelas Sekar. Gilang mengusap kepala Sekar. "Jadi, nggak ada masalah, kan?" "Masalahnya, ibu nggak setuju, Mas." tutur Sekar dengan nada penuh kecemasan. "Nanti biar Mas kasih tahu." Sekar hanya mencebik. Mana mungkin G
"Hari ini, Bunda sudah boleh pulang, ya." Suster datang sambil mengantar Baby Aidan. "Apa, Sus? Pulang?" tanya Sekar. Dia baru menginap semalam setelah melahirkan kemarin siang. Jadi, kenapa cepat sekali harus pulang? "Kalau melahirkan normal, tanpa keluhan, bayinya juga sehat, memang begitu bunda. Dua hari saja sudah cukup." Sekar menatap Gilang yang ada di ujung ruangan. Mereka ditempatkan di ruangan yang sejatinya untuk berdua. Namun, karena nggak ada pasien lain, maka akhirnya hanya ditempati sendiri. Setelah suster pergi, Gilang menghampiri Sekar. "Kenapa, Dik? Ada masalah?" tanyanya heran. Kenapa istrinya seperti enggan pulang? "Aku takut, Mas, ngurus Aidan sendiro. Aku kan ngga pengalaman pegang bayi." "Tenang. Kan ibu hari ini datang. Aku juga bakal bantu kamu," ujar Gilang enteng. Sekar tak menyangka secepat itu. Tadinya dia berencana mau melihat suster memandikan dan membersihkan kotoran kalau pipis atau pup. Tapi, kenapa malah dia harus segera pulang. Padahal j
"Makan yang banyak, Dik. Kamu perlu asupan gizi," tutur Gilang sambil menyuapi makan Sekar. Jatah makanan dari rumah sakit bersalin itu sebenarnya makanan sederhana, sayur sup dan udang goreng tepung. Namun, rasanya seperti tidak makan selama seminggu. "Makasih ya, Mas. Kamu mau aku repotin," tutur Sekar. Gilang baru saja pulang. Dia harus membawa pakaian kotor Sekar yang dikenakan saat bersalin. Pria itu pun juga harus mencucinya, karena noda darah tak mungkin membiarkan hingga mereka pulang dari rumah sakit. Untungnya, jarak rumah dan rumah sakit tak terlalu jauh. Sehingga memungkinkan untuk pulang pergi. Lagi pula, Gilang juga harus mengubur ari-ari. "Itu sudah kewajibanku. Ingat, kita sekarang bukan Sekar dan Gilang yang kemarin. Kita sudah jadi orang tua. Kita harus bisa jadi panutan anak-anak kita nanti." Sekar mengerutkan dahi. Tumben Gilang bicara serius dengannya. Meski sebenarnya itu tidak asing bagi Sekar. Saat SMA dulu, Gilang meski usia terbilang muda, namun pemi