Damian menggelengkan kepalanya dengan tangan membalas pelukan Indi. Suara isak tangis yang keluar dari bibir Indi membuat Damian merasa bersalah karena sudah membuatnya sakit hati.“Aku tidak akan pernah meninggalkamu, Indi. Sampai kapan pun aku akan selalu di samping kamu apa pun yang terjadi,” ucap Damian menenangkan istrinya itu. Indi kemudian melepaskan pelukan itu. Mata penuh dengan genangan air mata itu menatap Damian yang tengah menatapnya sendu. “Setelah aku pikir-pikir, tidak ada lelaki yang mau menerima aku apa adanya. Hanya kamu meski aku tahu papa kamu tidak suka padaku. Tapi, setidaknya kamu akan selalu membelaku dan akan selalu mencintaiku meski papa kamu akan tetap memandangku rendah,” lirih Indi sembari terisak dengan pelan. Damian tersenyum lirih kemudian mengusapi sisian wajah sang istri. Lalu mengecup keningnya agar Indi merasakan damai kembali dalam hidupnya. “Tidak perlu menghiraukan apa kata orang lain di luar sana, Indi. Aku hanya ingin tua bersama kamu. Bia
Damian mengedip-ngedipkan matanya kala mendengar ucapan Indi. “Are you seriously?” tanyanya masih tak percaya dengan ucapan istrinya tadi. “Sayang, aku tidak mau main-main masalah kehamilan.”“Perlu bukti?” tanya Indi kepada Damian.Ia lalu menghela napasnya dengan pelan kemudian menghampiri Damian yang tengah menatapnya penuh dengan rasa tak percaya. Sembari membuka dress yang ia kenakan tadi serta ikatan rambutnya hingga kini terurai dengan indah.Kini, perempuan itu hanya mengenakan bra dan juga celana dalam yang memperlihatkan kemolekan tubuhnya yang berhasil membuat Damian berdesir juga pancaran signal di bawah sana berdiri tegap dengan sangat jelas.Tangan itu menyentuh bahu Damian dengan elusan yang begitu sensual. “Ya. Aku akan memberimu anak. Berapa pun yang kamu inginkan, aku akan memberinya. Asalkan jangan pernah membagi hati kamu dengan orang lain,” bisik Indi dengan suara lembut dan juga parau.Damian kemudian mengambil alih. Diraihnya tangan Indi kemudian mendudukkan tub
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Indi yang baru tertidur di jam dua pagi itu lantas masih terlelap. Sementara Damian sudah membuka matanya lalu menatap sang istri yang tertidur di sampingnya. Melingkarkan tangannya di perut sispax-nya.Ia kemudian mengecup kening perempuan itu sembari mengulas senyumnya. “Nggak pake apa-apa aja sangat cantik. Polos, nggak pakai baju.” Damian terkekeh dengan pelan kemudian memeluk tubuh mungil itu sembari menciumi wajah ayu milik istrinya itu.“Eeuuhhh ….” Indi menggeliat pelan. Terganggu oleh sentuhan yang dilakukan oleh Damian kepadanya.“Morning, Honey!” sapa Damian sembari menerbitkan senyumnya.Indi yang masih belum sadar sepenuhnya tidak mengindahkan sapaan Damian. Hanya menggeliat lalu mengucek matanya.“Jam beraa ini?” tanyanya dengan suara paraunya.“Jam delapan. Sudah punya dokter yang bisa kamu andalkan untuk memeriksa kondisi kesuburan kamu dan juga prog—““Heeuh? Kesuburanku? Kamu juga dong! Bukan aku aja. Gimana sih!” Indi tampak
Waktu lima jam begitu lama bila sedang ditunggu. Damian yang sedari tidak enak pikiran terus menunggu sampai hasilnya keluar. Sementara Indi hanya bisa menatap sang suami yang sedari tadi tidak bisa diam karena resah dan gelisah.“Indi, Damian. Hasilnya sudah keluar,” kata Regina memberi tahu. Raut wajah perempuan itu begitu terlihat lesu kala mendapat hasilnya. Seperti dugaannya saat memeriksa kondisi kesuburan Damian, itulah kenyataan pahit yang harus mereka terima.“Duduk!” ucap Regina kepada Indi dan juga Damian.Keduanya kemudian duduk lalu menatap Regina yang tengah menghela napasnya dengan pelan.“Jadi gimana, Na? Dugaan elo nggak bener, kan?” tanya Indi yang masih berpikir positif tentang kondisi Damian.Regina menggeleng dengan pelan. Ia kemudian memberikan hasilnya tersebut kepada Indi dan Damian.“Rahim elo udah siap membuahi sel mani yang ditransfer oleh Damian. Kondisi elo baik-baik aja dan bisa hamil kapan aja. Apalagi kalau dalam masa subur. Tapi, benih Damian ada sedik
Setibanya di rumah, Indi menghampiri sang papa yang tengah membaca majalah edisi terbaru di sofa ruang tengah. “Papa?” Indi memanggil Wijaya lalu menghampirinya.Wijaya menoleh kemudian menerbitkan senyumnya kepada sang anak. “Indi.” Lalu menghampiri perempuan itu. “Papa nggak bete, seharian di rumah terus? Nggak mau nyari pengganti Mama gitu?” Wijaya terkekeh dengan pelan. “Tidak, Nak. Papa sudah biasa seperti ini. Sejak masih kamu tinggal sama Papa juga nggak pernah pulang, kan?”Indi menerbitkan cengiran kepada papanya itu. “Sorry, Pa.”Wijaya mengusapi lengan anaknya itu. “Sendirian saja? Damian ke mana? Kenapa nggak diajak?” “Aku mau ngomong sesuatu sama Papa. Aku harap, Papa bisa menerimanya.” Indi menatap Wijaya dengan was-was. Khawatir Wijaya tidak bisa menerima keadaan Damian yang sulit untuk memberinya keturunan. Wijaya lantas mengerutkan keningnya mendengar ucapan anaknya itu. “Maksud kamu apa bicara seperti itu, Indi? Kamu tidak berulah, kan?” Indi menggelengkan kepa
Damian menganggukkan kepalanya dengan pelan sembari menerbitkan senyum hangat kepada sang istri.“Ya. Aku pun sudah merindukan itu, Sayang.” Indi membalas senyum itu kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Nggak enak kalau pakai baju kayak gini. Sekalian mandi aja?”Damian terkekeh pelan. “Sampa lupa kalau istriku perempuan nakal,” ucapnya kemudian mencium sisian wajah Indi dengan tangannya merayap di atas gundukan kenyal Indi lalu meremasnya dengan lembut. “Eeuummh ….” Indi mendesah pelan seraya merasakan sentuhan lembut dari tangan kekar suaminya itu. Keduanya lantas masuk ke dalam kamar mandi. Saling melepaskan pakaian yang masih menempel di tubuh kedua insan itu. Matanya saling bertatap serta senyum merekah di bibir keduanya. “Damian. Ada satu kalimat yang belum pernah kamu dengar dari bibirku,” ucap Indi setelah keduanya melepas pakaian masing-masing. Damian menaikan sebelas alisnya. “Apa itu?” tanya Damian ingin tahu.Indi kemudian menerbitkan senyumnya. “I love you!” u
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Hujan yang mengguyur pun sudah reda sekitar tiga jam yang lalu. Pelukan hangat dari sang suami membuat Indi enggan untuk membuka matanya. Namun, tubuh Damian yang menggeliat karena ingin membuka matanya lantas membuat Indi ikut bangun. “Udah pagi,” ucap Indi dengan suara paraunya. Damian menganggukan kepalanya dengan pelan. “Sudah jam tujuh, mau setengah delapan.”“Heuuh! Kok kamu belum berangkat ke Malang? Nggak kesiangan? Atau nggak jadi pergi?” Indi tampak panik melihat Damian yang masih memeluknya dan seperti enggan pergi ke Malang.Damian terkekeh dengan pelan. “Sebenarnya aku sudah bilang kalau aku akan berangkat di jam sepuluhan. Diego juga belum ada jemput aku.” Damian berucap dengan pelan sembari mengusapi dengan lembut wajah Indi.“Oh, iyaa.” Indi mengusap wajahnya kemudian beranjak dari tempat tidur. “Mau mandi bareng?” Indi menawarkan mandi bersama kepada Damian.“Dengan senang hati,” ucap Damian kemudian menggendong tubuh mungil pe
Indi mengerutkan keningnya kala mendengar suara dari si penelepon tersebut. Matanya melirik kepada Manda yang tengah bertanya, siapa orang yang sudah menghubunginya. “Maaf, dengan siapa saya bicara?” tanya Indi pura-pura tak mengenali suara itu.Lelaki tersebut lantas menghela napas lelah mendengar pertanyaan Indi. “Kamu yakin, tidak mengenali suaraku? Hanya berpisah selama dua bulan saja kamu sudah lupa dengan suaraku?” Indi menghela napas kasar. “Rangga. Nggak usah sok kenal apalagi sok deket sama gue! Kita udah asing dan elo sendiri yang udah milih pergi dari hidup gue! Stop, ganggu gue dan jalani hidup kita masing-masing. Semuanya sudah berakhir. Elo nggak usah hubungi gue lagi dan … kalau ini nomor elo yang baru, jangan ganti lagi buat hubungi gue!”Indi kemudian menutup panggilan tersebut lalu memblokir nomor tersebut karena tidak ingin Rangga menghubunginya kembali. Perempuan itu lantas mendengus kesal karena Rangga tiba-tiba menghubunginya dengan nomor baru yang entah milik
Satu minggu kemudianIndi sudah merasakan mulas yang tidak biasa. Setiap sepuluh menit sekali, la merasakan nyeri itu di perutnya.Waktu sudah menunjuk angka dua pagi. Damian yang baru masuk ke dalam kamar langsung menghampiri Indi yang tengah meringis kesakitan sembari memegang perutnya"Sayang. Damian memegang tangan Indi."Damian kayaknya aku mau lahiran deh. Perut aku sakit banget, lirih Indi lalu meringis kembali."Heeuh?" Damian tampak linglung dan juga panik. Ia kemudian menghubungi sopir untuk membawa mereka ke rumah sakit"Ketuban kamu kayaknya udah pecah juga. Sayang. Kita ke rumah sakit sekarang juga. Damian lalu menggendong tubuh Indi dan membawanya masuk ke dalam mobil"Ke rumah sakit sekarang juga!" titah Damian kepada sopirnya itu.Ia lalu menghubungi Ayu untuk memberi tahu kalau Indi akan melahirkan sekarang juga"Regina. Indi mau lahiran. Tadi gue lihat air ketuban dia udah pecah." Damian menghubungi Regina untuk mempersiapkan ruang persalinan untuk Indi.Oke, oke. Gu
Damian lalu menerima panggilan tersebut meski hatinya sudah was-was khawatir pihak kepolisian tahu siapa yang telah menyebabkan kematian Daniel"Selamat malam, Pak Damian. Mohon maaf telah mengganggu waktu Anda di malam-malam begini," ucap kepala polisi-Iman di seberang sana."Malam. Ada apa ya, Pak?" tanyanya dengan suaranya yang terdengar begitu santai. Padahal jantungnya berirama dengan cukup kencang."Jadi begini, Pak Damian. Kami mendapat laporan dari tetangga sebelah rumah yang ditempati oleh Saudara Daniel dan Pak Pradipta. Ada jasad yang dikubur di belakang rumah. Setelah diidentifikasi, ternyata mayat tersebut adalah Pak Pradipta dengan luka bekas tembak di bagian kepalanya."Kami pun melakukan memeriksa rekaman CCTV di rumah itu, dan yang telah membunuh beliau adalah anaknya sendiri yaitu Saudara Daniel. Untuk itu, besok pagi dimohon untuk membuat laporan pengambilan jenazah agar dimakamkan dengan layak. Juga dengan jasadnya Saudara Daniel yang masih ada di ruang jenazah."D
Indi menerbitkan sentumnya dengan lebar lalu menganggukkan kepalanya. "Yuk! Aku juga kepengen."Damian lantas terkekeh mendengarnya. Ia kemudian menarik tangan Indi dan membawanya masuk ke dalam kamar yang tak jauh dari tempat di mana mereka mengobrol.Setibanya di dalam kamar. Indi memilih untuk membuka bra-nya terlebih dahulu karena bra yang ia kenakan cukup susah dibuka bila selagi bercinta itu akan dilakukan.Sementara Damian membuka jam tangan lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci miliknya terlebih dahulu."Damian memang rajin. Kalau mau bercinta, pasti dicuci dulu." Indi geleng-geleng kepala lalu tersenyum tipis.Sembari menunggu Damian selesai, Indi memilih untuk membuka ponselnya dan memainkannya sebentar.Sampai akhirnya Damian pun masuk kembali ke dalam kamar. Hanya mengenakan handuk yang dia lingkarkan di pinggangnya lalu menghampiri Indi dan menautkan bibirnya dengan lembut. Tangannya menyusup di balik dress yang Indi gunakan. Mengusapi paha mulus Indi dengan lembu
Satu minggu berlaluDamian sudah diperbolehkan pulang setelah kondisinya membaik. Kini, mereka sudah berada di rumah bersama Diego dan juga Manda. Sementara Arnold tengah menyelesaikan masalahnya dengan keluarga besarnya"Ngapain juga lo harus pulang. Minggu depan juga ke rumah sakit lagi. Pan Indi mau lahiran. Udah ngos-ngosan tuh orangnya. Udah gak kuat kayaknya pengen ngeluarin tuh hasil keringat kalian." Diego menunjuk Indi yang tengah duduk menyandar di sandaran sofa.Ia lalu menoleh pada Diego dan mengusapi perut buncitnya itu. "Kayaknya nggak akan sampai seminggu deh. Dua sampai tiga hari juga udah mau bro jol Ini anak. Punggung gue udah kerasa panas soalnya," ucap Indi memprediksi kalau la akan lahiran dalam hitungan hari."Aku akan ambil cuti sampai kamu melahirkan, Sayang. Sesuai janjiku, akan menemani kamu saat lahiran nanti." Damian lalu mengulas senyumnya. Mengusapi perut buncit istrinya dengan lembut."Iya, Damian. Ternyata kamu nggak jadi pengangguran karena papa kamu m
Arnold merelakan jabatan serta statusnya demi menyelamatkan Damian agar jangan sampai diusik oleh keluarganya yang kini sudah mengetahui bila Damian adalah anak kandungnya.Sekali pun Bara tidak pernah keluar dari rumahnya padahal berita itu sudah surut karena permintaan dari Arnold. Sudah satu minggu berlalu, semuanya menjadi normal kembali setelah Arnold menyatakan yang sebenarnya tentang Damian."Jadi, Papa sama istri Papa mau udahan?" tanya Indi sembari menemani mertuanya itu makan siang di kantin rumah sakit.Arnold mengangguk. "Dan Papa tidak perlu harus ke pengadilan lagi. Karena Papa tidak akan mencari pasangan lagi. Selama ini, Papa hanya mencintai mamanya Damian, Kiran. Hanya dia satu-satunya perempuan yang mengisi hidup Papa."Indi manggut-manggut dengan pelan. "Tahu begini mah, kenapa nggak dari dulu, yaa." Indi meringis pelan menahan malu.Arnold terkekeh pelan. "Karena Om Ferdy baru kasih tahu kalau dia ternyata bukan anak kandung dari istrinya Kakek Bara. Makanya Papa t
Damian sudah dipindahkan ke ruang rawat VIP. Banyaknya media yang berdatangan ke rumah sakit untuk meminta penjelasan kepada Damian lantas membuat Indi geram."Hhh! Sialan bener ini media. Nggak tahu aра, kalau ini rumah sakit. Pengen gue bogem satu- satu kayaknya ini orang!"Indi lalu beranjak dari duduknya."Indi, Indi. Indiraaaaa!!" Bahkan Damian tidak mencegah istrinya yang ingin melabrak awak media."Heh!" Indi sudah tidak tahan lagi dan akhirnya keluar dari ruang rawat suaminya itu. "Kalian tahu privasi orang, nggak? Suami saya masih sakit! Nggak bisa diganggu apalagi ditanyakan dengan pertanyaan konyol kalian!"Semua awak media lantas terdiam mendengar Indi yang marah-marah sembari berkacak pinggang sebab kesal."Kalau memang benar suami saya adalah anaknya Pak Arnold, kalian mau apa? Mau ngantre j
Bugh!"Berita konyol apa ini, Arnold? Bahkan sudah tersebar dua hari yang lalu, hanya saja kami baru tahu sekarang! Beritanya baru saja ramai sekarang!" pekik Bara-sang papa yang begitu marah melihat berita tersebut.Arnold hanya diam. la pun bingung kenapa berita itu bisa tersebar dan orang yang menyebarkannya adalah Daniel-orang yang hampir membunuh anaknya itu."Katakan, Arnold!" pekik Bara lagi. "Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga kita! Semua orang membicarakan kamu karena hal bodoh yang sudah kamu lakukan ini, Arnold!"Bugh!Sekali lagi, lelaki berusia tujuh puluh lima tahun itu memukul wajah Arnold yang tidak mau berucap sepatah kata pun.Tak lama setelahnya, Lyra-istrinya Arnold yang tak
Dua hari berlaluPerlahan, mata Damian terbuka. la lalu mengedarkan pandangannya di seluruh sudut ruangan tersebut. Hanya terdengar suara dari monitor detak jantungnya saja. Tidak ada suara apa pun di sana.Baru saja Indi masuk ke dalam sana, ia lantas terkejut kala melihat mata Damian yang akhirnya terbuka. Dengan langkah lebarnya, ia kemudian menghampiri Damian dan menggenggam tangannya."Damian. Akhirnya kamu siuman juga," lirih Indi lalu mencium tangan suaminya itu.Damian mengulas senyum tipis. Kondisinya masih sangat lemas belum bisa berucap sepatah kata pun. Hanya menatap Indi yang tengah memanggil Dokter Ryan menggunakan tombol di sana."Lihat kamu udah buka mata kayak gini buat aku lega, Damian. Itu artinya kamu sudah
Hampir dua jam lamanya proses operasi pengambilan peluru yang menancap di dalam perut. Damian akhirnya selesai dilakukan.Damian dibawa ke dalam ruang ICU untuk dilakukan pemulihan pascaoperasi."Proses operasinya berjalan dengan lancar Beruntung, peluru itu tidak masuk ke bagian yang paling dalam. Dalam dua sampai tiga hari, Pak Damian pasti akan sluman," tutur Dokter Ryan menjelaskan kondisi Damian setelah operasiIndi meme jamkan matanya, lega mendengar ucapan Dokter Ryan karena operasi berjalan dengan baik. "Dokter gak bohong, kan? Suami saya tidak mengalami hal yang buruk, kan?" tanya Indi memastikan kembali kepada Dokter Ryan.Pria itu menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Tentu saja. Bu Indi. Kami tidak pernah memberikan keterangan palsu bila mengenai kondisi pasien. Pak Damian hanya mengalami kritis pascaoperasi saja.