Wijaya dinyatakan meninggal dunia oleh dokter yang menangani Wijaya.Indi yang shock mendengar kabar kematian papanya jatuh pingsan tak sadarkan diri dan hingga kini masih belum sadarkan diri.“Pak Damian, jadwal operasinya sudah kami ralat ke tiga hari yang akan datang. Kondisi Anda juga sudah sedikit membaik,” ucap Dokter Ryan memberi tahu.Kini, Damian tengah menunggu Indi yang masih terbaring di atas bangsal. Sudah satu jam lamanya Indi jatuh pingsan. Memegang tangan lembutnya itu seraya menatapnya dengan tatapan sayunya.“Damian. Mamanya Indi lagi di jalan mau ke sini,” kata Diego memberi tahu.Damian menoleh kepada Diego. “Heuh? Tahu dari mana?” tanya Damian terheran-heran karena mamanya Indi—Ayu, bisa tahu kalau Wijaya meninggal dunia.“Bi Inah yang ngasih tahu.”Damian menelan saliva pelan kemudian menganggukkan kepalanya. “Iya. Sebentar lagi Papa akan dibawa ke rumah duka. Minta tolong ke Bi Inah kasih tahu ke mamanya Indi biar langsung ke rumah duka aja kalau udah sampai.”D
Wijaya sudah dimakamkan di TPU yang tak jauh dari komplek rumah Wijaya. Perempuan itu tengah membereskan semua barang-barang milik sang papa untuk dia bawa ke rumah barunya nanti.“Kamu istirahat aja. Kepala kamu bisa kambuh lagi kalau nanti bantu-bantu beres,” titah Indi kepada Damian yang tengah duduk di tepi tempat tidur.Kini, keduanya tengah berada di kamar milik Wijaya. Sementara Ayu berada di ruang tengah bersama Bi Inah dan juga sopir Wijaya.“Nanti kembali lagi ke rumah sakit? Kamu harus operasi, Damian,” tanya Indi kepada Damian.Pria itu menggeleng pelan. “Hanya kembali kalau mau operasi. Aku akan menemani kamu di sini sampai dua hari ke depan. Indi, bisakah kamu memaafkan mama kamu?” tanya Damian dengan suara pelannya.Indi menghela napasnya dengan pelan seraya menatap Damian dengan lekat. “Dia memang mamaku, tapi sakit hatiku dan juga Papa masih bersarang. Nggak bisa maafin dia begitu aja hanya karena Papa udah nggak ada. Kamu udah janji akan menemani aku dan menjaga aku.
Indi menghela napas berat tanpa menatap sang mama atau bahkan mendengarkan penjelasan dari mamanya itu. Sementara Damian mengulas senyum sembari melirik Indi lalu menghela napasnya.“Ma. Mungkin, membutuhkan cukup waktu untuk membuat Indi menerima Mama kembali atau memaafkan kesalahan yang sudah Mama perbuat kepada Indi dan juga Papa. Bukankah dengan masih memanggil nama Mama, itu artinya Indi masih menganggap mamanya? Orang yang telah melahirkan dia ke bumi dan telah memilih keputusannya sendiri?”Indi terdiam. Hanya menatap Damian yang baru saja menasihati kedua orang di samping dan depannya itu. Pun dengan Ayu. Perempuan itu juga terdiam dan meresapi setiap ucapan yang dikatakan oleh menantunya tadi.“Lusa, aku harus melakukan operasi di kepalaku. Ada gumpalan darah membeku di sini dan harus segera diangkat. Aku harus banyak istirahat karena tubuhku masih sedikit lemas. Kalian bisa lanjutkan percakapannya.”Damian mengusapi pucuk kepala Indi lalu beranjak dari duduknya dan keluar d
Hari di mana operasi telah tiba. Damian sudah kembali ke rumah sakit dan tengah bersiap untuk melakukan operasi di kepalanya.Indi tengah menggenggam tangan Damian dengan rasa yang tak karuan. Menatap Damian, matanya tidak bisa menoleh ke mana pun selain menatap sang suami. Sementara Damian hanya terkekeh melihat wajah kekhawatiran Indi kepadanya.“I will be back, of course. Karena ada yang menungguku dan sangat mencintaiku. Mana mungkin aku tidak kembali sementara orang yang ada di depanku ini tidak mau jauh dariku,” ucapnya memberi hiburan kepada Indi agar perempuan itu menghilangkan semua kekhawatirannya.“Kamu tahu nggak, pertama kali kita bertemu dulu. Saat itu, aku baru pindah sekolah setelah satu tahun libur. Daftar ulang dan akhirnya satu kelas dengan kamu yang saat itu cueknya minta ampun. Diego, yang saat itu juga baru masuk lagi karena nggak mau jauh dariku akhirnya meminta aku untuk deketin kamu.“Aku deketin kamu meski susahnya minta ampun. Kita pacaran setelah enam bulan
Damian sudah dibawa ke dalam ruang operasi untuk melakukan pengoperasian gumpalan darah di dalam otaknya agar rasa sakit di dalamnya segera hilang setelah dilakukan pengambilan darah tersebut, yang sudah mengganggu kesehatan Damian."Damian. Jangan lupa kembali," ucap Indi sampai akhirnya ia tidak diperbolehkan masuk ke dalam ruangan tersebut sebab tidak baik untuk konsentrasi para dokter yang akan melakukan operasi pada Damian.Manda mengusapi lengan Indi seraya memberi semangat kepada sahabatnya itu agar tetap berpikir positif dan berdoa agar tidak terjadi apa-apa dan operasinya berjalan dengan lancar.“Berapa jam sih, operasinya?” tanya Indi kepada Diego yang tengah menyandarkan punggungnya di tembok.Lelaki itu kemudian menoleh kepada Indi. “Tiga sampai empat jam. Nggak akan lama. Tungguin aja nanti juga selesai. Atau sambil nonton film di HP buat hilangin jenuh.”“Bukan ke jenuh sih, Diego. Lebih ke deg-degan. Karena baru ini harus menemani orang yang deket sama gue lagi operasi,
Wajah panik tampak di wajah semua orang yang ada di sana. Sementara Dokter Ryan bergegas masuk ke dalam ruang ICU untuk memeriksa kondisi jantung Damian yang bermasalah pascaoperasi.“Damian ....” Indi memekik di luar sebab dilarang masuk oleh tim medis. Indi menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menangis. “Kamu udah janji akan kembali, Damian!” pekik Indi.Manda menarik tangan Indi lalu memeluknya dengan erat. “Damian pasti kembali. Damian pasti akan kembali. Elo yang tenang, jangan mikir yang nggak-nggak. Damian will be fine.”Manda menenangkan Indi agar jangan terlalu berpikir ke mana-mana. Sebab ia sangat yakin itu hanya masalah biasa dan tengah ditangani oleh Dokter Ryan.Rangga mengusapi punggung Indi agar bersabar menghadapi ini semua. Ia lalu menggenggam tangan Indi yang tengah memeluk erat tubuh Manda.“Everything will be fine, Indi. Damian hanya sedang mengalami efek dari pascaoperasi. Namanya operasi besar, selalu ada saja efek sampingnya. Dia akan kembali dan akan sadarkan
Dua hari berlalu ….Meski begitu, Indi merasa sepertinya jarum jam tidak juga bergerak. Lelah menunggu kapan Damian siuman membuatnya tidak sabar dan ingin sekali melihat Damian kembali membuka matanya.Di dalam ruang ICU. Hanya seorang diri sebab para sahabatnya harus pulang ke rumah masing-masing. Bahkan, Indi tidak pernah mau memberi tahu Dipta bila anaknya sudah dioperasi sebab teringat ucapan Dokter Ryan mengenai cairan pengental darah itu.“Di mana pun orang itu, aku akan mencarinya, Damian. Kamu tidak punya salah apa-apa, tapi kenapa mereka berbuat jahat pada kamu. Aku tidak paham, apa yang mereka inginkan. Hati tidak bisa dipaksakan. Meski begitu, kamu tetap disalahkan karena tidak mau mencintai istri kamu sendiri dulu.”Indi berbicara sendiri sembari menggenggam tangan Damian. Menatapnya dengan tatapan sayu lalu menghela napasnya dengan pelan.Ting!Notifikasi pesan masuk di ponsel Damian. Ia kemudian mengambilnya dan membuka pesan tersebut.“Dari nomor baru, tapi kayaknya no
“Damian. Akhirnya kamu siuman juga.” Indi mengulas senyum kala melihat sang suami akhirnya membuka matanya.Namun, tatapan mata Damian kala menatap Indi tampak datar sehingga membuat bingung Indi yang melihatnya. Melihat seperti orang asing dan tidak mengenali Indi.“Damian?” panggilnya kembali kemudian menoleh kepada Diego.“Kamu … kamu siapa?” Satu kalimat keluar dari mulut Damian membuat Indi dan Diego lantas terkejut bukan main.“Da—Damian … Damian maksud kamu apa? Aku Indira, istri kamu. Kamu nggak ingat sama aku?” Indi sudah terlihat pucat sebab suaminya tidak mengingatnya.“Efek dari operasi memangnya ada yang bisa jadi lupa ingatan?” tanyanya kepada Diego.“Gue panggil dokter dulu, Ndi. Elo tenang, yaa.” Diego lantas keluar dari ruang ICU untuk memanggil Dokter Ryan.Damian melepaskan tangannya dari genggaman tangan Indi. Hal itu jelas membuat Indi semakin terkejut dan ketakutan.“Damian. Kamu lagi nggak bercanda, kan?” gumam Indi dengan air mata sudah keluar di sudut matanya.