Damian sudah dibawa ke dalam ruang operasi untuk melakukan pengoperasian gumpalan darah di dalam otaknya agar rasa sakit di dalamnya segera hilang setelah dilakukan pengambilan darah tersebut, yang sudah mengganggu kesehatan Damian."Damian. Jangan lupa kembali," ucap Indi sampai akhirnya ia tidak diperbolehkan masuk ke dalam ruangan tersebut sebab tidak baik untuk konsentrasi para dokter yang akan melakukan operasi pada Damian.Manda mengusapi lengan Indi seraya memberi semangat kepada sahabatnya itu agar tetap berpikir positif dan berdoa agar tidak terjadi apa-apa dan operasinya berjalan dengan lancar.“Berapa jam sih, operasinya?” tanya Indi kepada Diego yang tengah menyandarkan punggungnya di tembok.Lelaki itu kemudian menoleh kepada Indi. “Tiga sampai empat jam. Nggak akan lama. Tungguin aja nanti juga selesai. Atau sambil nonton film di HP buat hilangin jenuh.”“Bukan ke jenuh sih, Diego. Lebih ke deg-degan. Karena baru ini harus menemani orang yang deket sama gue lagi operasi,
Wajah panik tampak di wajah semua orang yang ada di sana. Sementara Dokter Ryan bergegas masuk ke dalam ruang ICU untuk memeriksa kondisi jantung Damian yang bermasalah pascaoperasi.“Damian ....” Indi memekik di luar sebab dilarang masuk oleh tim medis. Indi menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menangis. “Kamu udah janji akan kembali, Damian!” pekik Indi.Manda menarik tangan Indi lalu memeluknya dengan erat. “Damian pasti kembali. Damian pasti akan kembali. Elo yang tenang, jangan mikir yang nggak-nggak. Damian will be fine.”Manda menenangkan Indi agar jangan terlalu berpikir ke mana-mana. Sebab ia sangat yakin itu hanya masalah biasa dan tengah ditangani oleh Dokter Ryan.Rangga mengusapi punggung Indi agar bersabar menghadapi ini semua. Ia lalu menggenggam tangan Indi yang tengah memeluk erat tubuh Manda.“Everything will be fine, Indi. Damian hanya sedang mengalami efek dari pascaoperasi. Namanya operasi besar, selalu ada saja efek sampingnya. Dia akan kembali dan akan sadarkan
Dua hari berlalu ….Meski begitu, Indi merasa sepertinya jarum jam tidak juga bergerak. Lelah menunggu kapan Damian siuman membuatnya tidak sabar dan ingin sekali melihat Damian kembali membuka matanya.Di dalam ruang ICU. Hanya seorang diri sebab para sahabatnya harus pulang ke rumah masing-masing. Bahkan, Indi tidak pernah mau memberi tahu Dipta bila anaknya sudah dioperasi sebab teringat ucapan Dokter Ryan mengenai cairan pengental darah itu.“Di mana pun orang itu, aku akan mencarinya, Damian. Kamu tidak punya salah apa-apa, tapi kenapa mereka berbuat jahat pada kamu. Aku tidak paham, apa yang mereka inginkan. Hati tidak bisa dipaksakan. Meski begitu, kamu tetap disalahkan karena tidak mau mencintai istri kamu sendiri dulu.”Indi berbicara sendiri sembari menggenggam tangan Damian. Menatapnya dengan tatapan sayu lalu menghela napasnya dengan pelan.Ting!Notifikasi pesan masuk di ponsel Damian. Ia kemudian mengambilnya dan membuka pesan tersebut.“Dari nomor baru, tapi kayaknya no
“Damian. Akhirnya kamu siuman juga.” Indi mengulas senyum kala melihat sang suami akhirnya membuka matanya.Namun, tatapan mata Damian kala menatap Indi tampak datar sehingga membuat bingung Indi yang melihatnya. Melihat seperti orang asing dan tidak mengenali Indi.“Damian?” panggilnya kembali kemudian menoleh kepada Diego.“Kamu … kamu siapa?” Satu kalimat keluar dari mulut Damian membuat Indi dan Diego lantas terkejut bukan main.“Da—Damian … Damian maksud kamu apa? Aku Indira, istri kamu. Kamu nggak ingat sama aku?” Indi sudah terlihat pucat sebab suaminya tidak mengingatnya.“Efek dari operasi memangnya ada yang bisa jadi lupa ingatan?” tanyanya kepada Diego.“Gue panggil dokter dulu, Ndi. Elo tenang, yaa.” Diego lantas keluar dari ruang ICU untuk memanggil Dokter Ryan.Damian melepaskan tangannya dari genggaman tangan Indi. Hal itu jelas membuat Indi semakin terkejut dan ketakutan.“Damian. Kamu lagi nggak bercanda, kan?” gumam Indi dengan air mata sudah keluar di sudut matanya.
“Heuh?” Indi tampak bingung.Damian menganggukkan kepalanya dengan pelan kemudian menarik tangan istrinya itu sembari menatapnya penuh.“Terima kasih, sudah peduli padaku dan mau mencari orang yang sudah membuatku seperti ini. Kamu tidak perlu mencarinya karena orang itu sudah dipecat dari rumah sakit dan juga sudah dipenjara. Hanya saja, bukti kuat dalang dari itu semua tidak ada. Pengadilan minta bukti nyata dan itu sangat bersih.”“Siapa, orang yang telah melakukan itu, Damian?” tanya Indi ingin tahu.Damian menatap Indi lekat. “Mamanya Rachel.”Indi tersenyum campah. Dugaannya tidak pernah meleset dan benar saja, orang tersebut adalah Nindy.“Mama, yang sudah memergoki dokter itu tengah memasukan cairan aneh. Akhirnya dia disidang dan ditetapkan sebagai tersangka setelah dokter lainnya memeriksa cairan apa yang telah dimasukan ke dalam cairan infusan aku,” tutur Damian menjelaskan.Indi geleng-geleng kepala karena tidak menyangka. Benar-benar terkejut dengan ulah Nindy yang bisa-b
“Heuh? Cinta pertama?” Damian balik bertanya.Indi menganggukkan kepalanya. “Cinta pertama kamu, siapa? Aku atau bukan?”Damian mengusapi tangan Indi lalu menganggukkan kepalanya. “Iya. Kamu adalah cinta pertama dan semoga yang terakhir. Pun dengan kamu. Kamu pernah bilang waktu itu kalau aku adalah orang yang pertama kali yang berani mengatakan cinta ke kamu. Aku bahagia, karena kamu pun adalah perempuan pertama yang aku cintai.”Indi mengulas senyumnya. Rasa bahagia itu tidak bisa terkendali lagi sebab setiap ucapan yang Damian ucapkan itu terlalu manis. Indi yang tengah jatuh cinta kembali kepada Damian lantas berbunga-bunga. Ia kemudian memeluk Damian dengan erat.“Cepat sembuh, Damian. Aku pengen ke tempat pertama kali kita jadi pacar dulu.”Damian menganggukkan kepalanya sembari mencium sisian wajah sang istri. “Iya, Sayang. Kita akan ke sana setelah aku sembuh dan bisa beraktivitas seperti semula.”Indi mengulas senyumnya dalam pelukan itu. “Dan aku menemukan cinta pertamaku. K
"Gue dengerin." Hanya itu yang Indi katakan kepada Rangga sembari memakan bubur ayam yang masih tersisa banyak.Rangga kemudian menghela napas panjang seraya menatap Indi. "Aku pernah mendengar kamu berbicara kepada Damian tentang kehamilan. Kamu ... lagi hamil?"Indi lantas terdiam mendengar ucapan Rangga, ia pun mengingat-ingat kala dirinya berbicara seperti itu kepada suaminya lalu menatap Rangga seraya menghela napasnya dengan pelan."Emangnya kenapa, kalau gue hamil? Damian udah jadi suami gue dan wajar aja kalau gue hamil. Aneh, pertanyaan elo, Rangga!""Bukan itu maksud aku, Indi. Aku tahu kalau Damian bermasalah, kondisinya tidak bisa memberi kamu anak dalam waktu dekat. Untuk itu, aku mau me—""Dari mana elo tahu kalau Damian bermasalah?" tanya Indi dengan mata menatap nanar wajah Rangga. "Jangan harap gue akan melepas dia meski semua orang tahu kalau dia bermasalah, Rangga!"Rangga menggelengkan kepalanya pelan. "Dengarkan aku dan jangan pernah memotong sedikit pun ucapanku!
Mata Indi menatap dengan keterkejutannya. Tamparan keras itu tidak berasa baginya dibanding dengan pengakuan yang cukup membuatnya tercengang bukan main.“Gilak lo, ya!” Hanya itu yang bisa Indi ucapkan.Dipta tersenyum miring lalu menatap Indi dengan tatapan lekatnya. “Maria membawa anak itu di rumah sakit. Ibunya meninggal dunia setelah melahirkan dia. Darahku tidak mengalir di tubuh Damian dan untuk aku menyayanginya!”Dipta kembali melangkahkan kakinya menghampiri Indi. “Kamu, orang pertama yang akan aku musnahkan, Indi. Karena kamu, aku sulit mencapai pada suatu yang harus aku ambil dari Damian. Karena kamu, semuanya harus diundur sementara anakku, Daniel … akan tiba ke Indonesia dua bulan lagi.“Dia akan menagih janjiku dan aku belum bisa mengambilnya karena kamu, Indi! Karena kamu yang sudah menghalangi semuanya! Cepat atau lambat kamu akan musnah. Kalau tidak musnah, setidaknya kamu dan Damian berpisah!”Dipta enyah begitu saja setelah mengatakan apa yang ingin dia katakan dar
Satu minggu kemudianIndi sudah merasakan mulas yang tidak biasa. Setiap sepuluh menit sekali, la merasakan nyeri itu di perutnya.Waktu sudah menunjuk angka dua pagi. Damian yang baru masuk ke dalam kamar langsung menghampiri Indi yang tengah meringis kesakitan sembari memegang perutnya"Sayang. Damian memegang tangan Indi."Damian kayaknya aku mau lahiran deh. Perut aku sakit banget, lirih Indi lalu meringis kembali."Heeuh?" Damian tampak linglung dan juga panik. Ia kemudian menghubungi sopir untuk membawa mereka ke rumah sakit"Ketuban kamu kayaknya udah pecah juga. Sayang. Kita ke rumah sakit sekarang juga. Damian lalu menggendong tubuh Indi dan membawanya masuk ke dalam mobil"Ke rumah sakit sekarang juga!" titah Damian kepada sopirnya itu.Ia lalu menghubungi Ayu untuk memberi tahu kalau Indi akan melahirkan sekarang juga"Regina. Indi mau lahiran. Tadi gue lihat air ketuban dia udah pecah." Damian menghubungi Regina untuk mempersiapkan ruang persalinan untuk Indi.Oke, oke. Gu
Damian lalu menerima panggilan tersebut meski hatinya sudah was-was khawatir pihak kepolisian tahu siapa yang telah menyebabkan kematian Daniel"Selamat malam, Pak Damian. Mohon maaf telah mengganggu waktu Anda di malam-malam begini," ucap kepala polisi-Iman di seberang sana."Malam. Ada apa ya, Pak?" tanyanya dengan suaranya yang terdengar begitu santai. Padahal jantungnya berirama dengan cukup kencang."Jadi begini, Pak Damian. Kami mendapat laporan dari tetangga sebelah rumah yang ditempati oleh Saudara Daniel dan Pak Pradipta. Ada jasad yang dikubur di belakang rumah. Setelah diidentifikasi, ternyata mayat tersebut adalah Pak Pradipta dengan luka bekas tembak di bagian kepalanya."Kami pun melakukan memeriksa rekaman CCTV di rumah itu, dan yang telah membunuh beliau adalah anaknya sendiri yaitu Saudara Daniel. Untuk itu, besok pagi dimohon untuk membuat laporan pengambilan jenazah agar dimakamkan dengan layak. Juga dengan jasadnya Saudara Daniel yang masih ada di ruang jenazah."D
Indi menerbitkan sentumnya dengan lebar lalu menganggukkan kepalanya. "Yuk! Aku juga kepengen."Damian lantas terkekeh mendengarnya. Ia kemudian menarik tangan Indi dan membawanya masuk ke dalam kamar yang tak jauh dari tempat di mana mereka mengobrol.Setibanya di dalam kamar. Indi memilih untuk membuka bra-nya terlebih dahulu karena bra yang ia kenakan cukup susah dibuka bila selagi bercinta itu akan dilakukan.Sementara Damian membuka jam tangan lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci miliknya terlebih dahulu."Damian memang rajin. Kalau mau bercinta, pasti dicuci dulu." Indi geleng-geleng kepala lalu tersenyum tipis.Sembari menunggu Damian selesai, Indi memilih untuk membuka ponselnya dan memainkannya sebentar.Sampai akhirnya Damian pun masuk kembali ke dalam kamar. Hanya mengenakan handuk yang dia lingkarkan di pinggangnya lalu menghampiri Indi dan menautkan bibirnya dengan lembut. Tangannya menyusup di balik dress yang Indi gunakan. Mengusapi paha mulus Indi dengan lembu
Satu minggu berlaluDamian sudah diperbolehkan pulang setelah kondisinya membaik. Kini, mereka sudah berada di rumah bersama Diego dan juga Manda. Sementara Arnold tengah menyelesaikan masalahnya dengan keluarga besarnya"Ngapain juga lo harus pulang. Minggu depan juga ke rumah sakit lagi. Pan Indi mau lahiran. Udah ngos-ngosan tuh orangnya. Udah gak kuat kayaknya pengen ngeluarin tuh hasil keringat kalian." Diego menunjuk Indi yang tengah duduk menyandar di sandaran sofa.Ia lalu menoleh pada Diego dan mengusapi perut buncitnya itu. "Kayaknya nggak akan sampai seminggu deh. Dua sampai tiga hari juga udah mau bro jol Ini anak. Punggung gue udah kerasa panas soalnya," ucap Indi memprediksi kalau la akan lahiran dalam hitungan hari."Aku akan ambil cuti sampai kamu melahirkan, Sayang. Sesuai janjiku, akan menemani kamu saat lahiran nanti." Damian lalu mengulas senyumnya. Mengusapi perut buncit istrinya dengan lembut."Iya, Damian. Ternyata kamu nggak jadi pengangguran karena papa kamu m
Arnold merelakan jabatan serta statusnya demi menyelamatkan Damian agar jangan sampai diusik oleh keluarganya yang kini sudah mengetahui bila Damian adalah anak kandungnya.Sekali pun Bara tidak pernah keluar dari rumahnya padahal berita itu sudah surut karena permintaan dari Arnold. Sudah satu minggu berlalu, semuanya menjadi normal kembali setelah Arnold menyatakan yang sebenarnya tentang Damian."Jadi, Papa sama istri Papa mau udahan?" tanya Indi sembari menemani mertuanya itu makan siang di kantin rumah sakit.Arnold mengangguk. "Dan Papa tidak perlu harus ke pengadilan lagi. Karena Papa tidak akan mencari pasangan lagi. Selama ini, Papa hanya mencintai mamanya Damian, Kiran. Hanya dia satu-satunya perempuan yang mengisi hidup Papa."Indi manggut-manggut dengan pelan. "Tahu begini mah, kenapa nggak dari dulu, yaa." Indi meringis pelan menahan malu.Arnold terkekeh pelan. "Karena Om Ferdy baru kasih tahu kalau dia ternyata bukan anak kandung dari istrinya Kakek Bara. Makanya Papa t
Damian sudah dipindahkan ke ruang rawat VIP. Banyaknya media yang berdatangan ke rumah sakit untuk meminta penjelasan kepada Damian lantas membuat Indi geram."Hhh! Sialan bener ini media. Nggak tahu aра, kalau ini rumah sakit. Pengen gue bogem satu- satu kayaknya ini orang!"Indi lalu beranjak dari duduknya."Indi, Indi. Indiraaaaa!!" Bahkan Damian tidak mencegah istrinya yang ingin melabrak awak media."Heh!" Indi sudah tidak tahan lagi dan akhirnya keluar dari ruang rawat suaminya itu. "Kalian tahu privasi orang, nggak? Suami saya masih sakit! Nggak bisa diganggu apalagi ditanyakan dengan pertanyaan konyol kalian!"Semua awak media lantas terdiam mendengar Indi yang marah-marah sembari berkacak pinggang sebab kesal."Kalau memang benar suami saya adalah anaknya Pak Arnold, kalian mau apa? Mau ngantre j
Bugh!"Berita konyol apa ini, Arnold? Bahkan sudah tersebar dua hari yang lalu, hanya saja kami baru tahu sekarang! Beritanya baru saja ramai sekarang!" pekik Bara-sang papa yang begitu marah melihat berita tersebut.Arnold hanya diam. la pun bingung kenapa berita itu bisa tersebar dan orang yang menyebarkannya adalah Daniel-orang yang hampir membunuh anaknya itu."Katakan, Arnold!" pekik Bara lagi. "Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga kita! Semua orang membicarakan kamu karena hal bodoh yang sudah kamu lakukan ini, Arnold!"Bugh!Sekali lagi, lelaki berusia tujuh puluh lima tahun itu memukul wajah Arnold yang tidak mau berucap sepatah kata pun.Tak lama setelahnya, Lyra-istrinya Arnold yang tak
Dua hari berlaluPerlahan, mata Damian terbuka. la lalu mengedarkan pandangannya di seluruh sudut ruangan tersebut. Hanya terdengar suara dari monitor detak jantungnya saja. Tidak ada suara apa pun di sana.Baru saja Indi masuk ke dalam sana, ia lantas terkejut kala melihat mata Damian yang akhirnya terbuka. Dengan langkah lebarnya, ia kemudian menghampiri Damian dan menggenggam tangannya."Damian. Akhirnya kamu siuman juga," lirih Indi lalu mencium tangan suaminya itu.Damian mengulas senyum tipis. Kondisinya masih sangat lemas belum bisa berucap sepatah kata pun. Hanya menatap Indi yang tengah memanggil Dokter Ryan menggunakan tombol di sana."Lihat kamu udah buka mata kayak gini buat aku lega, Damian. Itu artinya kamu sudah
Hampir dua jam lamanya proses operasi pengambilan peluru yang menancap di dalam perut. Damian akhirnya selesai dilakukan.Damian dibawa ke dalam ruang ICU untuk dilakukan pemulihan pascaoperasi."Proses operasinya berjalan dengan lancar Beruntung, peluru itu tidak masuk ke bagian yang paling dalam. Dalam dua sampai tiga hari, Pak Damian pasti akan sluman," tutur Dokter Ryan menjelaskan kondisi Damian setelah operasiIndi meme jamkan matanya, lega mendengar ucapan Dokter Ryan karena operasi berjalan dengan baik. "Dokter gak bohong, kan? Suami saya tidak mengalami hal yang buruk, kan?" tanya Indi memastikan kembali kepada Dokter Ryan.Pria itu menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Tentu saja. Bu Indi. Kami tidak pernah memberikan keterangan palsu bila mengenai kondisi pasien. Pak Damian hanya mengalami kritis pascaoperasi saja.