Satu bulan berlalu. Proses penyembuhan penyakit yang ada di dalam diri Kevin akhirnya sudah dinyatakan sembuh. Karena berkat semangatnya yang ingin segera menghilangkan penyakit itu dari dirinya. Lantas, apa pun akan ia lakukan agar segera sembuh dan segera bisa memproduksi keturunan kembali dengan Jasmine. Kevin. Dengan penuh semangat, ia membawa surat hasil pemeriksaan jika penyakit itu sudah hilang dan bersih dari tubuhnya. “Apa ini, Mas?” tanya Jasmine yang sedang duduk di kursi ruang tengah sambil menikmati es krim kesukaannya. “Hasil tes terakhir saya, Jasmine. Penyakit itu sudah hilang dari tubuh saya. Sudah bersih,” kata Kevin menjawab pertanyaan Jasmine penuh semangat. Jasmine membukanya. Membaca dengan saksama surat tersebut. Lantas perempuan itu mengembangkan senyumnya dengan lebar. Kemudian memeluk sang suami. Ikut bahagia. Karena akhirnya Kevin berhasil menghilangkan penyakit itu dari tubuhnya. “Alhamdulillah ya, Mas. Akhirnya Mas Kevin terhindar dari penyakit itu.
Kevin terkekeh pelan. “Kan sudah istirahat selama lima belas menit. Sudah saya buatkan mie instan juga. Saya tidak mengenakan apa pun. Alami. Memang saya memiliki seksualitas yang tinggi. Maka, jangan heran.”Jasmine memutar bola matanya dengan malas. “Sama dong, nasib saya dengan Mb—““Jangan ucapkan nama dia lagi. Stop, Jasmine. Kalau kamu mau tahu, hanya seminggu dua kali saja. Tidak pernah seperti dengan kamu. Makanya dia memilih untuk mencari pria lain.”Jasmine manggut-manggut. “Makanya, Mbak Desi nyari pria lain. Karena biasa digauli, Mas-nya memilih libur. Dia kan jadi nggak kuat. Pengen disentuh.”Kevin memukul bibir Jasmine. Kesal karena istrinya itu terus membahas masa lalunya. Sementara Jasmine hanya mengerucutkan bibirnya.“Kan sudah sembuh. Nggak akan kejang-kejang lagi kayak dulu,” ujar Jasmine kemudian.“Bukan karena kejang-kejang, Jasmine. Hanya saja, membuat mood saya jadi jelek. Stop, yaa. Saya sedang ingin bercinta dengan kamu. Siapa tau besok langsung jadi. Harus
Kevin mengangguk. “Setelah pulang dari Bali, kamu bisa jenguk orang tua kamu di sana. Saya tidak bisa mengantarnya. Karena ingin bertemu dengan Arshi. Ada yang ingin saya sampaikan padanya.”“Sampaikan? Apa itu?”“Ini dan itu. Sudah waktunya saya sedikit tegas kepada Arshi. Agar dia semakin paham, kalau orang tuanya sudah tidak lagi bersama. Yang artinya, tidak bisa lagi dia ajak pergi bersama-sama.“Untuk menjaga perasaan masing-masing. Saya tahu, Gemma memang masa bodoh jika saya dan Desi juga Arshi pergi bersama. Karena memang dia mau tak mau, menikah dengan Desi.“Kalau bukan perintah saya yang meminta dia menikahi Desi, hingga saat ini mereka tidak akan pernah menikah. Tapi, saya punya kamu. Yang mencitai saya, bahkan bisa cemburu dan marah jika bertemu atau bersama dengan keluarga lama saya.”Kevin menjelaskan panjang kali lebar kepada Jasmine, tentang apa yang akan ia sampaikan kepada Arshi. Walaupun banyak poin-poin yang masih belum diberi tahu oleh pria itu.Jasmine menelan s
Jasmine tak bersuara. Hanya mengeluarkan desah lantaran Kevin menghujamnya tanpa ampun. Masih sangat terasa kala miliknya dihujam oleh benda asing yang sangat memabukan itu.“Dan untuk pertama kalinya juga, saya melakukan ini di kolam renang. Hanya bersama kamu. Walaupun kamu tidak akan percaya, i don’t care,” bisik Kevin seraya melajukan temponya di bawah sana.***Empat belas hari berlalu.Kevin dan Jasmine sudah kembali ke Jakarta. Begitu puas menikmati liburan tanpa ada hambatan ataupun gangguan yang pernah terjadi saat di Jepang.Berita tentang penyebaran video. Kemudian Arshi masuk rumah sakit. Di liburan kemarin, bahkan Andrian pun tidak mengganggunya.“Selamat pagi Pak Kevin,” sapa Andrian menghampiri bosnya yang sedang duduk sambil menatap laptop di depannya.“Pagi.”Wajah sumringah yang Kevin perlihatkan sangat terlihat oleh Andrian. Betapa senang hati pria itu kala melihat Kevin bersinar kembali.‘Jasmine benar-benar membawa perubahan yang sangat besar pada Pak Kevin. Menge
Arshi mengangguk. “Sip, Papa. Arshi akan bilang semuanya pada Papa.”Kevin mengulas senyumnya kepada anak semata wayangnya itu. “Papa juga sangat merindukan Arshi.”“Arshi juga. Semoga Papa bisa menyempatkan waktu buat main sama Arshi lagi.”“Tapi, Papa nggak bisa kalau Arshi ingin mengajak Mama juga. Nanti Mama Jasmine nangis, kalau lihat Papa jalan sama mama Arshi.”“Gitu ya, Pa. Ya udah deh. Arshi nggak mau nuruti perintah Mama lagi. Orang, Papa selalu ingin ketemu sama Arshi terus. Iya nggak, Pa?”Kevin tersenyum miring mendengar ucapan anaknya itu. ‘Ternyata memang benar. Kamu yang sudah meminta Arshi agar bisa jalan denganku.‘Mulai detik ini, jangan harap aku mau menuruti keinginan itu. Karena aku juga akan mengambil Arshi dari kamu, Desi!’**“Jadi, selama ini … Mama yang sudah meminta Arshi agar mau menuruti ucapan dia?” tanya Kevin kemudian.Arshi mengangguk. “Arshi menuruti keinginan Mama karena Mama bilang, kalau Papa nggak mau ajak Arshi liburan lagi kalau nggak sama Mama
Kevin mengadahkan wajahnya. “Mana, cek yang saya minta.”Andrian lantas memberikan dua lembar cek yang diminta oleh bosnya itu. “Untuk apa, Pak?”Kevin menghela napasnya dengan panjang. “Saya tidak percaya jika Desi masih menyimpan uang yang sudah saya berikan setelah kami bercerai dulu.“Yang waktu itu dia bilang, ia tabung untuk masa depan Arshi kelak. Saya baru ngeuh. Dan lagi-lagi saya dibodohi oleh perempuan itu.”Andrian paham dengan apa yang diucapkan oleh bosnya itu. “Lalu, Anda akan memberikan uang kembali, pada dia?”Kevin mengangguk. “Ya. Untuk mengambil Arshi darinya. Lebih banyak dari harta yang saya berikan dulu setelah kami bercerai.”“Haah! Berapa persen, Pak?”Kevin mengadahkan wajahnya kembali. “Uang itu, tidak ada harganya bagi saya, Andrian. Lebih baik kehilangan banyak uang, daripada harus kehilangan anak saya!“Uang yang akan saya berikan pada Desi dua kali lipat dari yang pernah saya berikan dulu padanya. Setelah itu, saya akan mengambil Arshi darinya.”Andrian
Kevin beranjak dari duduknya.“Kamu sudah melupakan semua kenangan dan janji kamu sendiri, Mas!” Desi berucap lirih.Kevin menoleh kembali. “Karena kamu sendiri yang sudah mengingkarinya juga, Desi. Jangan seolah-olah merasa paling tersiksa. Aku juga, Desi.“Semua masalah yang kamu perbuat, ada sebab dan akibat. Kita sudah menjadi asing. Kamu sudah bersama pria yang setiap bisa melayani nafsu kamu itu.“Dan aku sudah punya Jasmine, yang mau menungguku sampai urusan pekerjaanku selesai. Semuanya sudah berakhir. Jangan pernah mengungkit masa lalu lagi.“Kita sudah berbeda. Mana mungkin bisa disamakan lagi. Sedangkan kita sudah memiliki pasangan masing-masing. Sudah bahagia dengan cara masing-masing.”Suara itu terdengar sangat lembut. Agar Desi paham dan mau mendengar penuturan Kevin.Tapi, Desi menggelengkan kepalanya. “Masih bisa diperbaiki, Mas. Aku yakin, dari lubuk hati kamu yang paling dalam, pasti masih ada sedikit rasa untukku, kan?”Kevin tertawa campah. Kemudian memijat kening
Terdengar suara Kevin yang tengah memuntahkan isian di dalam perutnya. Lantas membuat Jasmine terkejut kala mendengarnya. Akhirnya perempuan itu masuk ke dalam kamar mandi. Ingin melihat kondisi suaminya yang sedang muntah-muntah itu. "Mas. Mas Kevin kenapa? Masuk angin?" Jasmine mengusapi punggung polos suaminya itu. Kevin menggeleng pelan. "Efek dari mabuk semalam. Biasanya akan terasa mual dan muntah di pagi harinya. Sudah biasa. Bibi menyiapkan sup pereda mabuk nggak, yaa." Kevin menjelaskan kondisi dirinya tadi. "Kayaknya nggak, Mas. Nggak ada sup apa pun di atas meja. Bibi juga kayaknya nggak tahu, kalau Mas Kevin habis mabuk." Kevin mengangguk paham. "Ya sudah kalau begitu. Tolong buatkan sup pereda mabuk dulu, yaa." "Saya nggak tahu, Mas." Kevin berhenti melangkah. Kemudian menoleh ke belakang. Menatap Jasmine yang masih berdiri di belakangnya. "Cari di g****e." Jasmine mengerucutkan bibirnya. Kemudian keluar dari kamar. Pergi ke dapur lagi, setelah menemukan sup pered
Justin mengangguk setuju. “Kamu bener, Jasmine. Si Kevin bakal rugi kalau nggak mau Gita dijodohin sama anakku. Orang ganteng-ganteng gini. Iya, nggak?”Jasmine terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. “Yang ini namanya siapa, Pak? Kan, sudah ada di sini.”“Anak yang pertama yang mana, yaa?” tanya Justin. Ia pun bingung mana anak pertama dan anak kedua.“Yang pertama yang sedang diberi ASI, Pak. Yang ini anak kedua,” kata perawat memberi tahu Justin.“Awas! Jangan sampai keliru. Wajahnya nggak mirip banget kok, Mas. Yang pertama lebih mirip kamu.”Justin menggaruk rambutnya kembali. Ia masih belum bisa membedakan kedua anaknya itu. Kemudian memberikan cengiran kepada istrinya itu.“Nanti beli baju dikasih nama masing-masing. Pesan dua ratus jenis baju beda-beda. Terus border, biar nggak keliru. Aku belum bisa membedakan mana yang pertama dan mana yang kedua,” ucapnya jujur.Selena menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kocak suaminya itu. “Terserah kamu aja!”Justin kembali m
Rosita menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Pa. Semoga nggak gila kayak papanya aja.”Kini, Antony tak bisa menahan tawanya. Mentertawakan Justin, kapan lagi. Sementara orang yang sedang mereka bicarakan tidak peduli bahkan tidak menyadari.“Justin!” panggil Antony kemudian.Justin menatap sang papa dengan malas. “Ada apa sih, Pa?” tanyanya dengan lemas.“Nama anak-anak kamu, sudah kamu siapkan?”Justin mengangguk pelan. “Udah. Kasih tau kalau Selena udah bangun.”“Dua jam lagi bangun, Justin. Kamu hitung saja. Tebakan Papa pasti bener.”Justin tak peduli. Yang ia pedulikan kini menatap Selena agar tidak tertinggal saat Selena membuka matanya.Kevin dan Jasmine baru saja tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari orang tua Justin mengenai Selena yang sudah melahirkan kedua anaknya itu. Sementara orang tua Selena masih di jalan menuju rumah sakit."Belum sadar juga?" tanya Kevin kepada ada kedua orang tua Justin. Karena ia tahu Justin tidak akan menjawab pertanyaannya.Ros
Pria itu lantas mengecup kening sang istri. “Kita akan segera melihat bayi-bayi kita. Walaupun harus melakukan perawatan terlebih dahulu di ikubator. “Selena mengulas senyum tipis. “Jangan ke mana-mana, Mas. Temani aku saat operasi nanti.”“Of course, Sayang. Aku akan menemani kamu sampai si twins keluar. Kamu jangan khawatir. Sebelum kamu meminta, aku sudah berniat akan menemani kamu.”Hati Selena sangat tenang mendengarnya. Ia kemudian menjatuhkan kepalanya di bahu Justin. “Terima kasih untuk cinta dan sayang kamu, Mas Justin. Kamu adalah alasan aku untuk bertahan dan berjuang untuk bayi kembar kita.”Justin mengusapi perut buncit Selena dengan lembut. “Anak-anak, Papa. Kita akan segera bertemu. Jangan buat Mama sakit lagi ya, Sayang-sayangnya Papa.”Selena mengulas senyum tipis kala mendengar percakapan Justin dengan bayi-bayi di dalam perutnya.“Maaf ya, Mas. Aku hanya bisa memberi kamu dua anak. Nggak akan bisa lagi kasih kamu anak lagi,” ucap Selena dengan pelan.Justin terseny
Justin menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari menangis sesenggukan. Pun dengan Selena. Lebih berduka karena kehilangan Diandra yang belum sempat berbaikan itu.“Justin! Selena! Di mana Diandra?”Kevin dan Jasmine baru tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari Selena.“Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi dengan Diandra?” tanya Kevin kembali. Kemudian menoleh ke arah Dokter Felix. “Ada apa dengan Diandra, Dok?”Dokter Felix menghela napas pelan. “Bu Diandra sudah pergi menyusul kakaknya, Pak Kevin.”Kevin menganga. Begitu juga dengan Jasmine. Kevin tersenyum pasi seolah tak percaya dengan ucapan Dokter Felix.“Anda sedang bercanda? Diandra baik-baik saja, Dok! Mana mungkin pergi!” ucap Kevin tak percaya.Dokter mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya paham. Kalian semua pasti tidak akan percaya dengan ucapan saya jika tidak melihat langsung jasad Bu Diandra yang masih berada di dalam.”Kevin menoleh ke arah pintu ruang operasi. Kemudian masuk ke dalam dengan tergesa-ge
Justin mengendikan bahunya. "Hanya Giandra yang tahu. Walaupun aku bilang nggak siap, ternyata Giandra siap. Mungkin bisa kamu tanyakan saja pada Giandra langsung.""Nggak mau!""Ya udah kalau nggak mau. Aku gak maksa juga."Selena mengerucutkan bibirnya kemudian menoleh ke arah Diandra. Perempuan itu ternyata melihat kehadiran mereka. "Mas?" panggilnya kemudian."Heung? Kenapa, Sayang?"Selena menunjuk Diandra. "Dia sudah terlanjur melihat kita. Sebaiknya kita masuk ke dalam, Mas. Setidaknya memberi semangat untuk perjuangannya."Justin menoleh ke arah Diandra kemudian menatap Selena kembali. "Ayok!" Justin menggenggam tangan Selena lalu masuk ke dalam ruangan persalinan Diandra.Pria itu menepuk bahu Giandra yang tengah duduk di samping Diandra. "Udah bukaan berapa?" tanya Justin kemudian."Baru dua," ucapnya dengan pelan.Justin manggut-manggut. Sementara Selena menghampiri Diandra yang tengah menahan rasa sakit. Namun, tak bersuara sedikit pun. Hanya mengulas senyumnya kepada Sele
Giandra menghela napas pelan. "Dari mamanya. Amanda datang ke rumah gue sambil bawa Gino. Kasih tau ke Diandra kalau itu anak gue. Bahkan, dia berani tes DNA kalau gue gak mau mengakuinya."Justin menaikkan alisnya sebelah. "Apa maksudnya si Amanda datang ke rumah? Elo gak pernah nengokin anak elo sih! Jadi marah kan, si Amanda."Giandra menelan salivanya. "Gue gak pernah tengok Gino karena ada Fery. Dia yang bilang kalau gue udah gak punya urusan lagi sama Gino. Ya udah, gue menuruti perintah si Fery. Tapi, ternyata dia jebak gue."Justin manggut-manggut. Ia paham maksud arti dari kata menjebak. Karena pada akhirnya Amanda datang ke rumahnya, membawa Gino yang akhirnya membuat Diandra murka karena tidak tahu menau perihal Giandra memiliki anak dari perempuan lain."Terus, kondisi rumah tangga elo gimana sekarang?" tanya Justin kembali.Giandra mengendikan bahunya. "Dari awal Diandra memang gak pernah cinta sama gue. Gue yang udah jatuh cinta sama dia. Bisa dianggap kalau cinta itu be
Kevin memiringkan kepalanya menatap Justin. “Ketemu Diandra di toko donnut? Beliin Selena?”Justin mengangguk. “Iyalah. Buat siapa lagi!”Kevin tersenyum miring. “Ketemu Diandra, terus nyapa elo? Biasanya gak pernah nyapa sama sekali bahkan kata elo udah kayak warga negara asing? Cukup aneh. Mau minta maaf kali, ke elo.”“Minta maaf kok gak bilang waktu ketemu.”“Siapa tahu lupa.”“Mana mungkin lupa. Minta maaf itu harus pake niat. Otomatis pasti akan keinget terus.”“Ya udah. Gue juga gak tahu alasannya kenapa. Yang penting elo bersikap biasa aja sama Diandra.”Justin menghela napas pelan. “Kalau dia mau damai sama gue, semuanya selesai. Tapi, kalau damainya karena lagi berantem sama Giandra, patut dicurigai.”“Pinter! Jangan sampai elo tergoda oleh bujuk rayunya Diandra. Selena jauh lebih baik dari dia. Diandra juga baik. Tapi, istri elo saat ini Selena, bukan Diandra. Dia hanya masa lalu elo. Jangan goyah hanya karena tahu Diandra lagi marahan sama lakinya.”Justin menganggukkan ke
Kini, kondisi Selena sudah terlihat sedikit lebih baik. Hanya main sekali tidak masalah menurutnya.Selena menganggukkan kepalanya. “Silakan, Mas Justin!” ucapnya dengan lembut.Justin lantas mengecup kening Selena dan mengulas senyumnya. “Terima kasih, Sayang. Aku janji, hanya kelembutan yang akan aku lakukan padamu.”Selena mengangguk. “I trust you!”Justin pun memulainya. Membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian pakaian Selena. Penetrasi terlebih dahulu tentunya. Walau sinyal itu sudah terpancar begitu terang, Justin tidak akan selonong boy begitu saja.Memanjakan istri juga harus. Agar menggapai kenikmatan masing-masing. Tak ingin egois adalah salah satu sikap Justin yang paling baik jika dalam hal berhubungan intim.**Pagi hari telah tiba. Terik matahari mulai menyinari bumi. Mengintip di balik tirai jendela, mencoba masuk ke dalam tirai jendela kamar. Tidur terlelap setelah pergumulan semalam yang menurut Selena begitu indah.Penuh dengan kelembutan sesuai dengan janji
Justin menghela napasnya. “Surat ini … sengaja dia kasih ke kamu agar kamu membalas cinta dia? Selama ini kamu pura-pura cinta sama aku, padahal mencintai Andrian. Begitu?”Jelas perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangannya beradu karena harus mencari alasan yang logis agar Justin tidak marah padanya.“Lalu apa, Selena?” tanya Justin dengan suara menekan.Selena menghela napas pelan. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan dari dia. Nggak ada lagi selain itu. Soal cinta, aku hanya mencintai kamu. Nggak ada lagi selain kamu.”Selena menatap Justin agar pria itu tahu, dia sedang berbicara dengan serius. Agar Justin paham dan mengurungkan niatnya untuk memarahinya.Justin memang tak berani memarahi Selena dalam keadaan hamil seperti ini. Yang dia lakukan hanya memutus kalung tersebut kemudian membuangnya dengan kasar ke lantai.Mata Selena hanya bisa menatap kalung yang kini sudah hancur itu. Sementara Justin pergi dari kamar tersebut. Namun, saa