"Adek ingat kan kalau dulu Adek sering sakit bahkan sampai hampir merenggut nyawa?" Kini giliran Bunda Nawa bersuara yang dibalas anggukan oleh Azwa.
“Semuanya bermula dari sana. Kami meminjam uang kepada mereka untuk pengobatan Adek sampai benar-benar sembuh sekaligus buat pendidikan Mas Diaz.”
“Dulu hidup kita serba kesusahan, Dek, apalagi setelah bangun rumah ini. Ndak ada yang bisa kami mintai tolong saat itu. Kamu tau sendiri keluarga Ayah gimana. Saudara-saudara Bunda juga kondisi ekonominya sama kayak kita,” jelasnya.
"Berkali-kali Ayah nunggak karena gaji Ayah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok. Bahkan dengan tak tau dirinya Ayah kembali meminjam lagi dan lagi yang malah bikin utangnya membengkak. Ayah semakin ndak sanggup membayarnya, Dek, hingga membuat mereka hilang kesabaran," sambung Ayah Abyaz.
Laki-laki paruh baya itu menghela napas sebelum melanjutkan, "saat usia Adek tujuh tahun, bos besar mereka datang ke rumah membawa surat perjanjian. Disana tertulis bahwa Ayah diberi jangka waktu dua belas tahun buat melunasi semuanya.”
“Jika selama itu belum bisa lunas juga, maka Ayah harus terima konsekuensinya termasuk dipenjara. Ayah pun terpaksa menandatangani surat itu karena ndak punya pilihan lain."
"Tahun ini adalah tahun terakhir kami melunasi semuanya. Kata mereka tinggal dua puluh persen lagi, tapi jatuh temponya udah habis. Sesuai perjanjian, Ayah harus terima konsekuensinya."
"Dipenjara?" tanya Azwa dengan suara tercekat dan napas tertahan.
Melihat sang ayah mengangguk pelan, dia langsung menyandarkan tubuhnya ke tembok yang seketika terasa lemas. "Terus hubungannya sama Adek apa?"
"Seminggu yang lalu ada seorang pemuda yang datang ke Ayah bersama orang tuanya. Dia melamar Adek," kata Ayah Abyaz dengan hati-hati.
"La-lamar?" Belum cukup rasa syoknya mendengar tentang utang itu, kini dikejutkan lagi dengan datangnya lamaran. Ya Allah… apalagi ini? batin Azwa menjerit.
"Iya, Sayang. Yang lebih mengejutkan lagi ternyata pemuda itu adalah anak dari bos besar rentenir. Dia bilang kalau dia udah menyukai Adek dari dulu dan ingin menjadikan Adek pendamping hidupnya," timpal Bunda Nawa.
Deg!
Jantung Azwa seolah berhenti berdetak. Nafasnya tercekat, seakan-akan pasokan udara disekitarnya telah habis. Sejenak, dia terdiam kaku.
Hati Azwa menjadi tak karuan mendengar perkataan bundanya. Dia menatap sang ayah dengan sorot mata penuh tanya. "Ayah jawab apa?"
"Ayah belum menjawabnya. Kami menunggu Adek pulang dan mendiskusikannya dengan Adek."
Azwa menghembuskan napas lega. Setidaknya dia masih bisa menolak. Yakali menikah dengan anak rentenir, mau dibawa kemana rumah tangganya nanti. Namun, ucapan Ayah berikutnya kembali membuat gadis itu panas-dingin.
"Melihat Ayah yang belum memberikan keputusan, sang bos besar pun memberikan tawaran. Bila Ayah menerima lamaran itu dan menikahkan Adek dengan putranya, semua utang dianggap lunas.”
“Kalau ndak, Ayah harus bersedia dipenjara. Ini benar-benar situasi yang sangat sulit buat kita, Dek. Ayah ndak pengen mengorbankan kebahagiaan Adek. Dipenjara pun Ayah ndak masalah, tapi gimana kalian kalau tanpa Ayah?" ungkap Ayah Abyaz.
"Kita dikasih waktu seminggu buat berpikir dan ini hari terakhirnya. Kita harus menjawab lamaran itu hari ini." Bunda Nawa menggenggam tangan putrinya erat dengan mata berkaca-kaca.
"Karena itulah Ayah sama Bunda minta Adek pulang. Kami ingin membicarakan hal ini ke Adek," tuturnya.
"Ayah minta tolong, Dek. Terima lamaran itu, ya. Adek satu-satunya harapan kami," ucap Ayah Abyaz sendu.
Mendengar itu, Azwa terkekeh miris. "Jadi, Adek disuruh pulang terus dijadiin alat bayar utang gitu?"
Bunda Nawa menggeleng. "Bukan gitu, Sayang–"
"Tapi nyatanya seperti itu, Bun. Semua utang lunas kalau Adek menikah dengan anaknya bos rentenir. Itu sama aja kalian menjual Adek," potong Azwa dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa nggak ada satupun yang kasih tau Adek tentang semua itu? Apa kalian udah nggak sayang lagi sama Adek?" tanyanya.
"Ndak gitu, Adek salah paham. Kami sayang banget sama Adek, makanya ndak beritahu Adek. Ayah sama Bunda ndak pengen membebani Adek dengan masalah itu," ujar Bunda Nawa.
“Justru dengan nggak beritahu Adek bikin Adek semakin terbebani!" Azwa bangkit dari duduknya dengan amarah yang memuncak.
“Kalian yang punya utang, kenapa harus Adek yang menanggungnya?! Adek bela-belain pulang cepat demi kalian, tapi ternyata ini yang Adek dapatin! Sia-sia Adek pulang!”
Gadis itu mengusap kasar air matanya yang menetes. "Persetan dengan utang Ayah! Adek nggak peduli! Sampai kapanpun Adek nggak mau nikah sama dia!”
“Kalau Ayah-Bunda tetap maksa, Adek akan pergi jauh dari sini dan nggak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi!" ucapnya semakin tak terkontrol. Dadanya naik turun dengan napas yang memburu. Emosi yang ditahannya sedari tadi meluap sudah.
"Adek, jangan coba-coba melakukan itu!" tegur Ayah Abyaz dengan nada suara tinggi.
"Kenapa? Toh, sama aja kan. Adek akan pergi dari rumah ini. Daripada Adek dijual mending pergi sekalian!" Azwa menatap mereka satu per satu dengan sorot marah, terluka, dan kecewa. "Adek kecewa sama kalian semua!"
Setelah mengucapkan itu, Azwa berlari menuju kamarnya mengabaikan panggilan mereka. Sesampainya di kamar, dia langsung mengunci pintu dan menangis sejadi-jadinya di dalam sana.
Hanya itu yang bisa dirinya lakukan sekarang ini karena hari mulai gelap dan dia terlalu takut keluar rumah malam-malam. Tidak tahu bila besok.
—o0o—
Suara azan subuh sayup-sayup mulai menghilang tergantikan dengan kokokan ayam yang bersahut-sahutan. Kicauan burung fajar ikut serta meramaikan suasana pagi ini.
Langit masih petang ketika seorang laki-laki tampan baru saja turun dari mushola dan kembali ke rumah. Tanpa melepaskan pecinya, dia langsung menuju kamar sang adik berniat membangunkan.
"Dek, bangun, subuh," ujar Diaz sambil mengetuk pintu kamar adiknya. Tak sahutan dari dalam membuatnya mengernyit heran.
Biasanya Azwa langsung menyahut ketika dibangunkan walaupun hanya mendengar ketukan pintu saja. Tidak ingin berpikiran macam-macam, dia langsung membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.
Kamar Azwa kosong. Diaz tidak menemukan keberadaan sang adik di dalam kamar. Dia pun keluar guna mencari adiknya di seluruh penjuru rumah.
Namun, nihil. Azwa tetap tidak ada. Laki-laki itu kembali ke kamar dan memindai seluruh ruangan. Seketika, raut wajahnya berubah panik.
"Ayah, Bunda, Adek nggak ada di kamar," beritahu Diaz kepada orang tuanya yang baru pulang dari mushola.
"Udah dicek ke semua ruangan?" balas Ayah Abyaz.
"Iya, lagi mandi mungkin. Biasanya kan Adek mandi subuh," timpal Bunda Nawa.
"Tetap nggak ada, Yah, Bun. Tas yang biasanya Adek gunakan buat pulkam juga nggak ada ditempatnya."
"Apa?!"
Suasana hiruk-pikuk di terminal menjadi pemandangan yang Azwa lihat ketika turun dari ojek online. Meski terbilang masih terlalu pagi, tetapi tak menyurutkan mereka untuk melakukan rutinitas seperti hari biasanya. Gadis yang mengenakan gamis warna biru bermotif kupu-kupu itu berjalan menuju tempat pemberangkatan bus ke luar kota jurusan Surabaya. Dia duduk di bangku yang tersedia menunggu bus datang sembari memakan roti untuk mengganjal perut. Tatapan matanya lurus ke depan dengan pikiran menerawang jauh mengingat aksi nekatnya hari ini. Azwa kira hidupnya damai tak memiliki masalah apapun yang berat. Hidup di tengah-tengah keluarga yang harmonis, tentram, dan bahagia membuatnya sangat bersyukur. Namun, dia salah. Cobaan, ujian, dan masalah akan selalu datang selama manusia masih hidup. Tanpa sadar dibalik keharmonisan itu menyimpan masalah besar yang baru hari ini diketahuinya. Dia tak tahu langka apa yang harus diambil setelah ini. Azwa memutuskan pergi dari rumah tanpa membe
"Pak, saya mohon jangan bawa suami saya," kata Bunda Nawa dengan memelas kepada dua orang berbadan kekar yang menyeret suaminya. Air matanya mengalir deras berharap mereka memiliki belas kasih. "Nggak bisa! Suamimu tetap kami bawa!" balas salah satu dari mereka yang berambut gondrong. "Tolong, Pak. Setidaknya tunggu anak-anak saya pulang." "Nggak ada menunggu lagi! Selama ini kami udah cukup sabar menghadapi kalian. Kali ini nggak ada toleransi lagi!" ujar temannya yang memakai kaos hitam pendek hingga memperlihatkan tato di lengannya. "Emang anakmu kemana? Jangan-jangan kabur lagi. Udahlah! Kami nggak punya banyak waktu. Bawa aja dia." Kedua orang itu membawa Ayah Abyaz keluar rumah. Banyak tetangga yang menonton kejadian ini. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak menolong karena tidak ingin ikut campur lebih jauh. Bunda menahan lengan pria berambut gondrong itu. "Jangan bawa suami saya, Pak." Pria itu menarik tangannya kasar hingga membuat Bunda Nawa sedikit oleng. "Kami udah
"Loh, Fal, udah pulang? Katanya mau mampir ke rumah teman?" "Nggak jadi. Papa mana, Ma?" "Di ruang kerja seperti biasa." Tanpa banyak kata, pemuda yang disapa 'Fal' itu berlalu dari hadapan ibunya yang tengah bersantai di ruang keluarga. Dia melangkah cepat ke ruang kerja ayahnya sambil mengepalkan tangan kuat menahan emosi. Brak! Suara pintu yang dibuka keras membuat sang penghuni ruangan terkejut. Begitu tahu siapa pelakunya, orang itu tersenyum. "Ada apa gerangan yang membuat seorang Aufal mau mendatangi ruang kerja ayahnya?" "Papa bohong soal lamaran itu." Pemuda yang bernama Aufal itu berdiri di hadapan ayahnya dengan tatapan menyorot tajam dan dingin. "Bohong gimana? Kan bener, lamaranmu diterima." "Dengan cara dipaksa?" "Yang penting diterima kan? Sesuai keinginanmu." Pria paruh baya itu membalas dengan santai tanpa merasa terintimidasi sedikitpun. "Ya, tapi nggak dengan dipaksa juga, Pa!" "Terus maumu apa? Diterima dengan sukarela gitu?" tanya Papa Wirya, ayahnya Au
Hari yang paling dihindari oleh Azwa akhirnya tiba. Hari dimana statusnya akan berubah menjadi istri orang. Tak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya akan menikah secepat ini apalagi dengan anak rentenir. Citra buruk rentenir di masyarakat umum membuat dia harus menjauhi segala sesuatu yang berhubungan dengan rentenir. Namun kini, dia harus terjebak dalam pernikahan yang sama sekali tidak diinginkannya. Di dalam sebuah kamar, Azwa sudah siap dengan kebaya warna putih serta kerudung menutupi dada. Dia tengah duduk sendirian di tepi ranjang menanti ijab-qabul terucap. Pandangannya lurus ke depan dengan tatapan kosong. Kecantikan make up yang pengantin menghiasi wajah tak mampu menutupi raut kesedihannya. Gadis itu tak tahu apa yang tengah dirasakannya saat ini, terlalu abstrak untuk digambarkan. Yang jelas tak ada rasa bahagia yang tertanam dalam hatinya. Entahlah, rasanya campur aduk hingga membuat dadanya seakan-akan terhimpit oleh sesuatu yang besar dan berat. Sungguh Azw
Di dalam sebuah kamar yang cukup luas, seorang gadis menatap sendu pantulan dirinya di depan cermin. Kemudian pandangannya beralih pada pakaian yang dikenakannya saat kumpul keluarga malam ini. Gamis berwarna putih dipadukan dengan pashmina putih masih melekat apik di tubuhnya. Terlintas dalam benaknya kejadian beberapa jam yang lalu, dimana seseorang dengan gagah mengucap janji suci di hadapan sang ayah, penghulu serta seluruh tamu undangan yang hadir. Mengingat itu, membuat dia semakin sesak entah karena apa. Air matanya pun menetes tanpa diminta, mengalir deras membasahi kedua pipi. Tok tok tok Suara ketukan pintu dari luar membuat gadis itu cepat-cepat menghapus air matanya. Tak lama, muncullah seseorang yang menjadi pemeran utama dalam perubahan hidupnya mulai sekarang. Aufal Abrisam Ar-Rasyid. Nama lengkap seseorang yang kini menjadi suaminya. Suami? Rasanya sangat aneh menyebut Aufal sebagai suami. Laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Azwa hanya mengenal sekila
“Mas sebenarnya juga nggak pengen kita nikah cepat-cepat kayak gini. Mas ingin mengenalmu lebih dalam sebelum menikah. Mas juga sanggup jika harus menunggumu sampai lulus, tapi Papa memaksa Mas untuk menikahimu secepatnya paling lambat satu bulan setelah lamaran.” “Kalau nggak, Papa akan menjodohkan Mas dengan anak sahabat Papa dan memberikan ancaman lain yang membuat Mas sama sekali nggak bisa berkutik.” “Papa nggak pernah main-main sama ucapannya. Jadi, Mas memilih menikahimu secepatnya,” jelas Aufal panjang lebar dengan tenang tanpa ada kemarahan. “Kenapa Mas nggak pilih dijodohkan aja? Kan biar sama-sama sepadan, dibandingkan dengan Azwa yang nggak punya apa-apa.” “Karena yang Mas inginkan itu kamu. Mas sangat ingin menjadikanmu istri dan ibu dari anak-anak Mas. Bukan yang lain.” Jeda sejenak sebelum Aufal kembali melanjutkan perkataannya. “Mas menolak perjodohan itu karena Mas takut nggak bisa bahagiakan dia dan ujung-ujungnya malah saling menyakiti karena Mas sama sekali ng
Aufal Abrisam Ar-Rasyid, laki-laki berusia 24 tahun itu merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Razan yang bekerja sebagai ASN yang ditugaskan di luar pulau dan menetap di sana. Sementara itu, adiknya bernama Syamil saat ini tengah menempuh pendidikan SMA kelas 12 di salah satu pesantren terkenal di Jawa Timur. Aufal sendiri sebelumnya bekerja di Jakarta tepatnya di perusahaan milik keluarga Kahfi, sahabat waktu kuliah, dengan jabatan terakhir sebagai kepala divisi IT. Karirnya akan semakin cemerlang ketika dia menjadi salah satu kandidat dalam promosi jabatan di level manajer, jika saja tidak menuruti perintah sang ayah untuk resign dan kembali ke perusahaan keluarganya. Kurang lebih seperti itu sedikit gambaran tentang Aufal. Kini, Azwa sedang membantu ibu mertua, kakak ipar, dan bibi membereskan meja makan usai sarapan. “Ada di rumah mertua itu harus tau diri. Bukannya malah enak-enakan di kamar. Mentang-mentang pengantin baru,” sindir Reana, istri Razan,
Azwa senantiasa menatap lantai sambil memainkan jemarinya yang berkeringat dingin. Jantungnya berdetak kencang tanpa bisa dikendalikan. Dia menahan rasa takut berhadapan langsung dengan ayah mertuanya. “Kamu takut sama Papa, Azwa?” tanya Papa Wirya tiba-tiba membuat Azwa tersentak kaget. Beliau terkekeh kecil melihat menantunya yang sangat gugup. “Tanpa kamu menjawab pun Papa udah tau jawabannya.” Pria yang usianya memasuki setengah abad itu menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “nggak banyak yang ingin Papa sampaikan ke kamu. Papa cuma mau bilang, tolong terima Aufal sebagai suamimu, ya. Dia sangat mencintaimu dengan tulus.” “Papa nggak pernah melihat Aufal jatuh cinta sedalam ini kecuali denganmu. Kamu lihat sendiri kan tadi? Aufal sangat protektif terhadapmu bahkan sama ayahnya sendiri. Padahal kan Papa niatnya cuma bicara berdua sama kamu,” jelasnya. Azwa diam berusaha mencerna ucapan Papa Wirya. Jadi, Aufal beneran mencintainya? Bukan hanya obsesi semata? Sudah dua orang
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup