“Apa saja yang kamu dengar di ruang dokter tadi?” cerca Khaysan tanpa basa-basi sembari mencekal lengan Melody yang baru selesai menebus obat Nathan di apotik.
Melody terkejut bukan main melihat mantan suaminya. Wanita itu spontan menyembunyikan bungkusan obat milik Nathan di tasnya sebelum Khaysan menyadari hal itu dan bertanya macam-macam. Lelaki itu tak boleh mengetahui jika Nathan berada di sini juga. Apalagi kondisi putranya sangat mengkhawatirkan.Entah bagaimana caranya Khaysan mengetahui jika dirinya menguping di ruang obgyn tadi. Atau mungkin lelaki itu juga melihatnya?Apa pun itu, Melody tidak peduli. Ia hanya tak ingin Khaysan bertemu dengan Nathan setelah mengetahui alasan lelaki itu menginginkan anaknya. Nathan adalah miliknya, tidak ada yang boleh mengambil darah dagingnya.“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan! Lepaskan aku!” sentak Melody sembari berusaha melepas cekalan Khaysan. Namun, lelaki itu malah semakin mengeratkannya dan menariknya menjauh dari tempat itu menuju area yang lebih sepi.“Jawab jujur! Kamu pasti menguping di ruang obgyn tadi, ‘kan? Apa yang kamu dengar?” Khaysan kembali mencerca dengan nada tak sabaran. Lelaki itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya, memastikan tak ada yang memperhatikan mereka.Melody tersenyum kecut. Sepertinya Rosetta memiliki posisi yang sangat spesial di hati mantan suaminya ini. Ketika mereka masih bersama saja lelaki itu tak pernah menganggapnya ada, apalagi memperlakukan spesial seperti ini.Melody segera menepis pikiran anehnya. Tidak ada gunanya mengenang masa lalu yang menyedihkan itu. Sejak awal Khaysan memang tak pernah menginginkan hubungan mereka. Wajar saja jika lelaki itu tak memedulikan dirinya sama sekali.“Sebenarnya aku memang mendengar semuanya. Memangnya kenapa?” Melody menyentak keras tangannya dari cekalan Khaysan dan kali ini berhasil. Wanita itu melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap sang mantan dengan sorot menantang.“Jadi, alasanmu menanyakan anak karena kamu akan sulit mendapat anak dari tunanganmu? Kasihan sekali. Terima saja kalau kamu tidak bisa memiliki anak. Bukan malah ingin mengambil anak orang lain,” imbuh Melody dengan seringai lebar yang terukir di wajahnya.“Pergilah, temani tunanganmu. Mungkin dia masih menangis meratapi nasibnya.” Wanita itu menyandarkan punggungnya di tembok dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tak terpengaruh oleh aura mengintimidasi yang Khaysan pancarkan.“Aku yakin anak itu anakku! Di mana anak itu? Aku memiliki hak untuk bertemu dengannya! Jangan mencoba-coba menyembunyikan dia dariku! Atau aku akan mengambilnya secara paksa!” ancam Khaysan dengan rahang mengeras.Melody tertawa sumbang. “Mengambil paksa? Apa yang ingin kamu ambil? Bukankah aku sudah pernah mengatakan kalau anak itu tidak ada? Jangan terlalu banyak berharap. Pikirkan saja hubunganmu dan tunanganmu itu. Jangan menggangguku lagi!”Jika Khaysan tulus hanya ingin bertemu anak mereka, mungkin dirinya akan mempertimbangkan. Namun, yang lelaki itu inginkan adalah mengambil Nathan demi kepentingannya sendiri. Setelah berjuang sendirian selama bertahun-tahun, Melody tak akan sebodoh itu menyerahkan satu-satunya sumber semangat hidupnya.“Aku yakin anakku masih hidup!” sahut Khaysan yang tak mempercayai kata-kata Melody. “Kamu terusir tanpa membawa apa pun. Aku tidak yakin kamu bisa membiayai kebutuhan anakku dengan baik!” tambahnya meremehkan.Ungkapan yang sangat meremehkan itu benar-benar menyinggung perasaan Melody. Walaupun dirinya terusir tanpa membawa apa pun, bukan berarti dirinya tak bisa membiayai kebutuhan anaknya. David yang membantunya langsung mencarikan pekerjaan untuknya untuk menyambung hidup sekaligus membiayai kebutuhan putranya.Melody memang tidak mampu menandingi kekayaan Khaysan. Tetapi, selama ini ia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Nathan. Lelaki itu tak berhak meremehkannya setelah membuangnya dengan cara yang amat keji.“Kamu tidak berhak menilai kehidupanku!” balas Melody penuh penekanan. Wanita itu menghela napas pelan, berusaha mengontrol emosinya. “Tapi, sebenarnya aku ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih sudah melepasku dari neraka itu.”Melody buru-buru beranjak pergi setelah itu tanpa memedulikan Khaysan yang tampaknya belum selesai bicara. Ia sudah terlalu lama meninggalkan Nathan. Namun, sayangnya Melody tak bisa langsung kembali ke ruang perawatan putranya.Kantin rumah sakit menjadi tempat paling efektif untuk mengecoh Khaysan yang masih mengikutinya. Ia memesan beberapa menu makanan dan berpura-pura melahapnya. Kemudian, bergegas pergi setelah memastikan Khaysan tak mengikutinya lagi.“Kenapa dunia begitu sempit sampai aku harus bertemu dia lagi?” gumam Melody dengan helaan napas berat.***[“Melody, maaf aku tidak bisa menemani Nathan sampai kamu pulang. Ada meeting mendadak yang harus aku hadiri sore ini. Nathan baru saja tidur. Aku sudah meminta anak buahku menjaganya, tapi dia belum datang. Sepertinya terjebak macet.”]“Tidak apa-apa, Dave. Aku malah tidak enak karena merepotkanmu hari ini. Harusnya aku yang menemani Nathan. Kebetulan pekerjaanku sudah selesai, aku akan pulang sebentar lagi. Tidak perlu meminta anak buahmu menemani Nathan. Terima kasih banyak sudah membantuku. Sepertinya aku harus secepatnya mendadak pengasuh untuknya,” jawab Melody sembari merapikan mejanya.Nathan sudah keluar dari rumah sakit sejak seminggu. Tentu saja Melody tak tega membiarkan putranya di tempat penitipan anak karena khawatir bocah itu kelelahan dan berakhir drop lagi. Untuk itu, ia memilih cuti selama beberapa hari. Sayangnya, hari ini masa cutinya sudah habis dan dirinya tidak enak menambah waktu liburnya lagi.Tadinya Melody hendak kembali menitipkan Nathan di tempat penitipan anak seperti biasa. Namun, David yang katanya hari ini sedang memiliki waktu luang memaksa untuk menggantikannya menjaga sang putra.[“Aku sudah mendapat rekomendasi yayasan pengasuh anak yang bagus. Bagaimana kalau weekend ini kita berangkat ke sana bersama-sama? Siapa tahu di antara mereka ada yang cocok menjadi pengasuh Nathan.”]“Aku merepotkanmu lagi. Terima kasih. Aku tidak tahu bagaimana nasib kami kalau tidak ada kamu. Tapi, aku setuju. Berikan saja alamatnya. Saat luang nanti, aku akan mengunjungi tempat itu,” sahut Melody tak enak hati.Decak samar terdengar dari seberang sana. [“Jangan bicara seperti itu. Aku tidak keberatan membantumu. Aku sudah memberitahu Nathan juga dan dia ingin ikut. Jadi, kita berangkat bersama-sama nanti. Sampai jumpa. Hati-hati di jalan, Cantik.”]Setelah panggilannya dengan David terputus, Melody bergegas merapikan seluruh barang-barangnya dan beranjak pergi dari ruang kerjanya. Sebelum pulang, wanita itu menyempatkan mengunjungi salah satu minimarket yang dilewatinya dan membelikan cemilan untuk putranya. Ketika masih berada di rumah tadi, bocah itu sudah memesan beberapa cemilan padanya.Begitu sampai di unit apartemen yang disewanya, Melody mengerutkan kening saat mendapati sepasang sepatu formal yang ada di rak sepatunya. Seharusnya David sudah pergi sejak tadi dan ia juga meminta lelaki itu tak perlu mengirim siapa pun ke apartemennya.“Siapa yang datang?” monolog Melody seraya memacu langkah memasuki unit apartemennya.Hanya David satu-satunya orang yang mengetahui tempat tinggal barunya dan sering berkunjung kemari. Bahkan, Melody tak mengenal orang-orang yang menjadi tetangganya karena lebih banyak menghabiskan waktu di kantor dan di dalam unit apartemennya.Kekhawatiran mulai menyusupi dada Melody. Iris hazelnya menatap awas ke sekelilingnya, memastikan tak ada yang janggal di sudut mana pun. Wanita itu bergegas berlari ke kamarnya dan putranya. Dan ternyata ruangan itu kosong.“Nathan! Nathan! Kamu di mana, Nak?” panggil Melody agak keras. Namun, tetap saja tak ada sahutan sama sekali dari putra semata wayangnya itu.Sayup-sayup Melody mendengar suara Nathan dari arah dapur yang sedang berbincang dengan lelaki dewasa. Tungkai jenjangnya segera berpacu ke arah sana dengan kekhawatiran yang semakin menjadi-jadi.Melody terbelalak melihat siapa yang sedang bersama putranya di dapur. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya dengan amarah yang memenuhi dadanya. “Apa yang kamu lakukan di sini?!”Bentakan nyaring Melody mengejutkan kedua lelaki berbeda usia yang sedang sibuk memasak di dapur. Nathan yang berada dalam gendongan Khaysan spontan hendak beranjak turun melihat mommynya marah besar. Namun, Khaysan malah sengaja mengeratkan rengkuhannya. Melody tak menyangka Khaysan akan menemukan tempat tinggalnya secepat ini. Yang lebih mengejutkan lagi, dengan mudahnya lelaki itu dapat mengambil perhatian putranya. Padahal Nathan termasuk anak yang sulit beradaptasi dengan orang baru. Terutama dengan orang dewasa. Ikatan batin di antara ayah dan anak itu memang tak mungkin terpisahkan. Padahal sebelumnya Melody tak pernah menceritakan atau memperlihatkan foto Khaysan pada putranya. Ia sengaja melakukan itu karena menurutnya Nathan tidak perlu tahu dulu bagaimana ayahnya. Entah bagaimana caranya Khaysan mendapat akses untuk memasuki apartemen ini dan membuat putra mereka luluh begitu cepat. Hal itu semakin memicu ketakutannya, kalau sampai Nathan bersedia ikut dengan Khaysan, ent
“Tingkat kecocokannya akan lebih tinggi jika dari saudara kandung Nathan sendiri.” Senyum yang semula menghiasi wajah Melody perlahan meredup. Secercah harapan yang tadinya ia kira akan menjadi solusi terbaik malah membuat hatinya dilema. Dirinya tak mungkin memiliki anak lagi dengan orang yang sama demi memberikan saudara kandung untuk Nathan. Melody tak terlalu mendengarkan penjelasan dokter setelah itu. Opsi yang dokter berikan malah membuatnya semakin bimbang. Kepalanya mendadak pening. Sedangkan, mencari pendonor lain di luar sana bukanlah sesuatu yang mudah. Melody melirik Khaysan yang duduk di sampingnya lewat ekor matanya. Ia tak tahu bagaimana reaksi lelaki itu setelah mendengar saran dari dokter. Khaysan masih mempertahankan ekspresi datar andalannya, tetapi tampak masih memperhatikan penjelasan dokter. “Terima kasih, Dok. Kami akan mempertimbangkannya,” ucap Khaysan seraya bangkit dari tempat duduknya dan lebih dulu melangkah pergi dari ruangan itu, meninggalkan Melody y
“Kamu pikir aku sudi kembali bersamamu?! Jangan bicara macam-macam! Pergi dari sini sebelum aku memanggil security untuk menyeretmu!” bentak Melody tanpa peduli suaranya akan terdengar hingga ke kamar dan membangunkan Nathan. Melody mengurungkan niatnya untuk beranjak dan kembali menatap Khaysan yang memasang ekspresi datar dengan sorot berapi-api. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran lelaki di hadapannya ini. Jelas-jelas Khaysan sudah memiliki tunangan yang merupakan atasannya sendiri. Namun, sekarang lelaki itu malah mengajaknya menikah lagi. Itu sama saja dirinya akan menjadi orang ketiga dalam hubungan Khaysan dan Rosetta. Bahkan, dapat menghancurkan hubungan keduanya. Ia tidak akan menghancurkan kehidupannya yang damai selama ini karena label wanita perebut yang akan disandangnya nanti. Selain itu, ada terlalu banyak risiko yang harus dirinya hadapi jika mereka kembali bersama. Melody tak sanggup kembali terjebak dalam hubungan yang rumit dengan orang yang sama. Tak mudah ba
Melody tak membutuhkan waktu sampai 3 hari untuk memutuskan tindakan yang harus ia ambil ke depannya. Bahkan, dirinya juga belum sempat mencari pendonor di luar sana untuk sang putra. Keputusan besar ini akhirnya tercetus setelah mendengar curhatan Nathan yang ternyata selama ini sering mendapat perundungan dari orang-orang di sekitarnya. Melody hanya berharap jika keputusan yang diambilnya sudah tepat dan tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Sebab, membutuhkan waktu lama untuk sembuh dari luka yang membekas. Melody yang memang malas berbasa-basi dengan sang mantan langsung meminta lelaki itu menemuinya untuk membahas syarat yang dirinya berikan. Lelaki itu langsung menyetujui dan menjemputnya ketika waktu makan siang tiba. “Kamu ingin memperhatikan Nathan atau membahas syarat yang ingin kamu berikan?” tanya Khaysan setengah menyindir karena sedari tadi Melody hanya memperhatikan Nathan yang sedang bermain di playgound yang tersedia di restoran yang dipilihnya. “Cepat kat
“Kalau kamu memiliki urusan dengan orang yang tinggal di rumah ini, jangan mengajakku dan Nathan. Ayo, Nak! Kita pulang saja!” Melody langsung membuka seatbelt yang terpasang di tubuhnya dan hendak membuka pintu mobil yang ternyata masih terkunci. “Buka pintunya! Aku ingin pulang!” Kemarahan langsung memenuhi dadanya dalam sekejap. Ia mengira Khaysan akan benar-benar mengajaknya ke butik. Tetapi, ternyata lelaki itu menipunya dan malah membawanya ke tempat yang masih menyiksakan luka mendalam di dadanya sampai sekarang. Setelah bertahun-tahun memilih mengasingkan diri, seharusnya Melody merindukan rumah yang menjadi tempat tinggal dan tempatnya tumbuh selama puluhan tahun. Sayangnya, kerinduan itu terkikis oleh kenangan buruk yang mungkin tak akan pernah bisa ia lupakan. Melody tak tahu apa yang sebenarnya Khaysan rencanakan sampai mengajaknya ke mendatangi rumah ayahnya. Bahkan, tak pernah sekalipun mereka membahas tentang menemui ayahnya. Lagipula belum tentu juga Argani peduli de
Jantung Melody berdebar dua kali lebih cepat bersamaan dengan tertutupnya pintu yang otomatis juga mengunci pintu tersebut. Khaysan benar-benar tak memberinya jeda bahkan untuk sekadar menghapus riasan apalagi mengganti pakaian. Keduanya memang telah resmi menikah, namun tetap saja Melody memerlukan persiapan mental sebelum mereka melakukan sesuatu malam ini. Di pernikahan pertama mereka, Khaysan tak pernah sekalipun melakukan ini. Padahal saat itu Melody sudah jauh mempersiapkan diri. Pertama dan terakhir kalinya Khaysan menyentuhnya adalah ketika lelaki itu sedang mabuk. Sungguh miris sekali. Apa yang lelaki itu lakukan malam ini bagaikan mewujudkan mimpi tertunda Melody. Sayangnya, wanita itu sudah tak menginginkannya lagi. Terlepas dari semuanya, tak bisa dipungkiri Melody juga menikmati apa yang Khaysan lakukan. Melody tidak sadar sejak kapan Khaysan menurunkan resleting gaunnya. Ia baru menyadari hal itu ketika merasakan punggungnya yang langsung bergesekan dengan seprei putih
Melody spontan menoleh ke belakang setelah mendengar suara yang familiar itu. Manik matanya melebar sempurna mengetahui siapa yang menyapanya. “Mama? Sejak kapan Mama datang?” Melisa, mama dari Khaysan yang sekarang kembali menjadi mama mertuanya. Wanita paruh baya itu dan Bagas—papa dari Khaysan tinggal di luar negeri sejak Melody dan Khaysan menikah dulu. Walupun tak sering bertemu, tetapi Melisa adalah mertua yang baik dan menyayanginya. Akan tetapi, entah bagaimana dengan sekarang. Melisa memang tinggal di luar negeri, namun penyebab perceraian Melody dan Khaysan di masa lalu pasti sampai ke telinga wanita paruh baya inj juga. Mungkin Melisa juga menganggapnya seperti wanita murahan yang gemar berselingkuh sampai hamil. Dugaan Melody terpatahkan ketika Melisa memeluknya erat, masih sama seperti setiap kali mereka bertemu dulu. Jika Melisa juga menjadi salah satu orang yang salah paham padanya, tak mungkin dirinya mendapat rengkuhan hangat seperti ini. “Mama senang bisa bertemu
Melody nyaris tersedak karena dikejutkan oleh kedatangan suaminya. Ia spontan mengedarkan pandangan, khawatir keributan ini memancing perhatian orang lain. Untungnya, suara Khaysan masih relatif pelan meski penuh penekanan. Jadi, keributan ini tidak sampai terdengar ke pengunjung restoran lainnya. Melody tak menyangka akan bertemu dengan Khaysan di sini. Kantor lelaki itu cukup jauh dari sini, seharusnya hal itu meminimalisir pertemuan mereka. Ia mendorong kursinya dan bangkit dari sana. Sorot tajam dari tatapan suaminya itu membuat nyalinya tiba-tiba menciut. Melody merasa seperti ketahuan berselingkuh. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Seharusnya ia tidak perlu takut lelaki itu tahu apalagi marah, sebab mereka hanya menikah kontrak. Akan tetapi, kemarahan yang terpancar dari wajah Khaysan tak bisa Melody abaikan begitu saja. “Apa kamu tidak bisa bicara baik-baik? Lagipula memangnya kenapa kalau Melody bersamaku?” sahut David yang langsung bangkit dari tempat duduknya. Lelaki
“Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bisa ada di sini? Siapa yang memberitahumu?” tanya Melody yang menatap David dengan sorot tak percaya. Melody merasa tak pernah memberitahu lokasinya pada David. Sebab, Khaysan pasti semakin kesal jika ia sampai berani memberitahu David di mana lokasi mereka. Tidak mungkin lelaki itu tiba-tiba mengetahui di mana keberadaannya. “Melody, bisakah kamu membantuku agar boleh masuk? Anak buah suamimu ini sangat menyebalkan!” gerutu David yang sedang berusaha melepaskan diri dari kedua anak buah suaminya yang menghadangnya. “Nathan yang memberitahuku tempatnya berada. Kebetulan aku ada waktu luang, jadi aku menyempatkan datang.”Melody semakin terkejut dan panik. Setelah memberikan ponselnya pada Nathan, ia tidak terlalu mendengarkan apa saja obrolan putranya dengan David. Dirinya tidak menyadari kapan Nathan memberitahu lokasi mereka dan kapan David menjanjikan akan datang kemari. Kemarin Melody membiarkan Nathan yang mematikan telepon tersebut. Seanda
Mata Melody terasa panas melihat pemandangan yang tersaji tepat di depan matanya. Kejadian beberapa bulan lalu kembali terulang. Di mana Lusy dengan begitu percaya dirinya langsung memeluk Khaysan tanpa basa-basi di depannya. Saat itu mungkin Lusy memang belum mengetahui jika dirinya adalah istri Khaysan. Akan tetapi, sekarang berbeda. Jelas-jelas wanita itu tahu dan baru saja melewati Melody yang membukakan pintu. Menyebabkan Melody agak meneysak telah membukakan pintu. Padahal seharusnya tidak perlu. Melody berdeham agak keras, sengaja ingin mengalihkan atensi Lusy yang masih menempeli suaminya. Ia tahu suaminya juga risih dengan pelukan mendadak itu, tetapi Lusy tak akan mengerti jika tidak diberi ultimatum secara langsung. Melody tak akan bertindak bodoh dengan meninggalkan mereka berduaan seperti tempo hari. Tungkai jenjang Melody bergerak mendekati ranjang suaminya. Tanpa basa-basi, ia langsung menarik paksa Lusy dari sisi suaminya. “Maaf sekali, tapi suamiku sedang sakit, ja
“Eh, bagaimana, Sayang?” Melody berbalik bertanya, takut salah dengar. Sebenarnya Melody sudah mendengar dengan jelas tentang permintaan Nathan barusan. Akan tetapi, ia tidak bisa serta merta mengikuti keinginan sang putra. Jika Nathan meminta seperti ini di tahun-tahun sebelumnya, ia pasti langsung menuruti. Sedangkan sekarang ada Khaysan yang terang-terangan tidak menyukai apa pun yang berhubungan dengan David. Sudah lama sekali Nathan tidak menanyakan tentang David. Apalagi berkomunikasi secara langsung. Namun, hanya berselang beberapa jam setelah bocah itu sadarkan diri dari tidur panjangnya, permintaan pertamanya malah seperti ini. Sepertinya Nathan sangat merindukan David karena biasanya anaknya selalu bergantung pada lelaki itu. “Nathan boleh video call sama Uncle Dave sebentar saja? Biasanya Uncle Dave yang video call duluan, tapi sekarang sudah tidak pernah lagi. Apa Uncle Dave sangat sibuk?” Nathan kembali mengulang permintaannya dengan ekspresi agak cemberut seolah kesal
Mata Melody terasa panas melihat pemandangan yang tersaji tepat di depan matanya. Kejadian beberapa bulan lalu kembali terulang. Di mana Lusy dengan begitu percaya dirinya langsung memeluk Khaysan tanpa basa-basi di depannya. Saat itu mungkin Lusy memang belum mengetahui jika dirinya adalah istri Khaysan. Akan tetapi, sekarang berbeda. Jelas-jelas wanita itu tahu dan baru saja melewati Melody yang membukakan pintu. Menyebabkan Melody agak meneysak telah membukakan pintu. Padahal seharusnya tidak perlu. Melody berdeham agak keras, sengaja ingin mengalihkan atensi Lusy yang masih menempeli suaminya. Ia tahu suaminya juga risih dengan pelukan mendadak itu, tetapi Lusy tak akan mengerti jika tidak diberi ultimatum secara langsung. Melody tak akan bertindak bodoh dengan meninggalkan mereka berduaan seperti tempo hari. Tungkai jenjang Melody bergerak mendekati ranjang suaminya. Tanpa basa-basi, ia langsung menarik paksa Lusy dari sisi suaminya. “Maaf sekali, tapi suamiku sedang sakit, ja
Meja makan yang tadinya dilingkupi oleh suasana hangat itu berubah menjadi penuh dengan kepanikan. Apalagi ketika Nathan nyaris terjatuh dari kursi karena pingsan. Untung saja Khaysan yang juga duduk bersebelahan dengan sang putra dengan sigap mengangkat bocah itu ke gendongannya. “Kita ke rumah sakit sekarang!” seru Melody panik. Mereka bergegas keluar rumah dan langsung kembali memasuki mobil yang tadi mereka tumpangi saat pulang dari rumah sakit. Kali ini Bagas lah yang mengemudi sementara Melody dan Khaysan duduk di belakang menemani Nathan yang sudah tidak sadarkan diri. Melody dan Khaysan terus berusaha membangunkan sang putra. Akan tetapi, tak ada respon sama sekali dari bocah itu. Semuanya semakin panik, apalagi mulut Nathan juga tidak berhenti mengeluarkan darah. Khaysan juga terus meminta papanya mengendarai mobil lebih cepat. Begitu sampai di rumah sakit, Khaysan langsung turun dari mobil dan melangkah cepat memasuki area rumah sakit dan berseru meminta tolong pada pet
Meja makan yang tadinya dilingkupi oleh suasana hangat itu berubah menjadi penuh dengan kepanikan. Apalagi ketika Nathan nyaris terjatuh dari kursi karena pingsan. Untung saja Khaysan yang juga duduk bersebelahan dengan sang putra dengan sigap mengangkat bocah itu ke gendongannya. “Kita ke rumah sakit sekarang!” seru Melody panik. Mereka bergegas keluar rumah dan langsung kembali memasuki mobil yang tadi mereka tumpangi saat pulang dari rumah sakit. Kali ini Bagas lah yang mengemudi sementara Melody dan Khaysan duduk di belakang menemani Nathan yang sudah tidak sadarkan diri. Melody dan Khaysan terus berusaha membangunkan sang putra. Akan tetapi, tak ada respon sama sekali dari bocah itu. Semuanya semakin panik, apalagi mulut Nathan juga tidak berhenti mengeluarkan darah. Khaysan juga terus meminta papanya mengendarai mobil lebih cepat. Begitu sampai di rumah sakit, Khaysan langsung turun dari mobil dan melangkah cepat memasuki area rumah sakit dan berseru meminta tolong pada pet
Melody memilih menebalkan wajah dengan kembali ke rumah sakit menemui suaminya. Tanpa memedulikan segala risiko yang mungkin terjadi. Meskipun ada kemungkinan dirinya akan kembali diusir, baik itu secara halus maupun secara kasar. Ia sudah tidak memedulikan itu lagi. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit tadi, Melody tak berhenti menyakinkan dirinya sendiri. Sekalipun Khaysan mengusirnya atau meminta anak buah lelaki itu yang mengusirnya secara paksa, ia tidak akan pergi. Ia akan tetap berada di sini hingga dirinya sendiri lah yang ingin pergi. Keputusan ini membuatnya nyaris tak bisa tidur semalaman. Sebab nyatanya, meski sebelumnya Khaysan telah melontarkan kalimat pedas yang menyakiti hatinya, ia malah terus kepikiran pada lelaki di hadapannya ini. Dirinya merasa lebih tenang jika berada tepat di hadapan Khaysan walaupun risikonya akan dibuat semakin sakit hati. “Silakan kalau kamu ingin mengusirku atau memerintah siapa pun untuk mengusirku. Tapi, aku tidak akan pergi
Melody memilih menebalkan wajah dengan kembali ke rumah sakit menemui suaminya. Tanpa memedulikan segala risiko yang mungkin terjadi. Meskipun ada kemungkinan dirinya akan kembali diusir, baik itu secara halus maupun secara kasar. Ia sudah tidak memedulikan itu lagi. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit tadi, Melody tak berhenti menyakinkan dirinya sendiri. Sekalipun Khaysan mengusirnya atau meminta anak buah lelaki itu yang mengusirnya secara paksa, ia tidak akan pergi. Ia akan tetap berada di sini hingga dirinya sendiri lah yang ingin pergi. Keputusan ini membuatnya nyaris tak bisa tidur semalaman. Sebab nyatanya, meski sebelumnya Khaysan telah melontarkan kalimat pedas yang menyakiti hatinya, ia malah terus kepikiran pada lelaki di hadapannya ini. Dirinya merasa lebih tenang jika berada tepat di hadapan Khaysan walaupun risikonya akan dibuat semakin sakit hati. “Silakan kalau kamu ingin mengusirku atau memerintah siapa pun untuk mengusirku. Tapi, aku tidak akan pergi se
Mata Melody terasa panas melihat pemandangan yang tersaji tepat di depan matanya. Kejadian beberapa bulan lalu kembali terulang. Di mana Lusy dengan begitu percaya dirinya langsung memeluk Khaysan tanpa basa-basi di depannya.Saat itu mungkin Lusy memang belum mengetahui jika dirinya adalah istri Khaysan. Akan tetapi, sekarang berbeda. Jelas-jelas wanita itu tahu dan baru saja melewati Melody yang membukakan pintu. Menyebabkan Melody agak meneysak telah membukakan pintu. Padahal seharusnya tidak perlu.Melody berdeham agak keras, sengaja ingin mengalihkan atensi Lusy yang masih menempeli suaminya. Ia tahu suaminya juga risih dengan pelukan mendadak itu, tetapi Lusy tak akan mengerti jika tidak diberi ultimatum secara langsung. Melody tak akan bertindak bodoh dengan meninggalkan mereka berduaan seperti tempo hari.Tungkai jenjang Melody bergerak mendekati ranjang suaminya. Tanpa basa-basi, ia langsung menarik paksa Lusy dari sisi suaminya. “Maaf sekali, tapi suamiku sedang sakit, jadi