“Kita makan dulu. Nathan panggil Mommy. Tapi, kalau Mommy sedang tidur, biarkan saja. Nanti Daddy yang membawakan makanan untuk Mommy,” tutur Khaysan sembari merapikan beberapa menu makanan di atas meja makan. Makanan-makanan itu adalah hidangan yang Melody pilih di food court bandara. Karena mereka berangkat menggunakan pesawat pribadi Khaysan, semua makanan itu diletakkan di lemari pendingin. Melody yang katanya lapar malah tidak menyentuh makanan itu sama sekali. Melody mengatakan akan makan setelah mereka sampai. Namun, ternyata wanita itu malah meminta izin istirahat duluan. Padahal biasanya Melody tidak akan menunda waktu makan, apalagi jika sebelumnya mengatakan sudah lapar. “Oke, Daddy!” jawab Nathan seraya turun dari kursi dan beranjak dari ruang makan. Rumah baru yang Khaysan sewa ini tidak sebesar kediamannya di Jakarta. Mungkin luas tempat ini hanya separuh dari rumah mewah itu. Namun, tetap tidak mengurangi kenyamanannya sama sekali. Apalagi sekarang hanya mereka berti
“Kamu membeli … ini untuk apa?” tanya Melody dengan manik mata membola sempurna setelah mengetahui barang apa yang diantar ke rumah ini. Melody pikir Khaysan hanya membeli barang-barang furnitur untuk melengkapi rumah ini. Namun, ternyata yang lelaki itu beli malah perlengkapan rumah sakit. Sekarang barang-barang itu sedang dirapikan di ruang tengah dan barang-barang yang sebelumnya berada di sana telah disingkirkan. Ruang tengah memang tidak terlalu luas. Oleh karena itu, barang lain yang semula berada di sana harus dipindahkan. Melody tak habis pikir kenapa Khaysan sampai melakukan ini. Padahal jarak rumah ini ke rumah sakit hanya 15 menit. “Aku tidak membeli. Aku hanya menyewa dari rumah sakit. Ini untuk berjaga-jaga. Setidaknya kalau terjadi sesuatu, kita bisa melakukan pertolongan pertama sebelum ke rumah sakit. Apalagi jarak rumah sakit cukup jauh dari sini,” jawab Khaysan santai. “Jauh? 15 menit menurutmu jauh? Kalau begitu kenapa tidak mencari rumah yang lebih dekat saja?”
Melody menatap satu per satu hidangan yang tersaji di atas meja makan. Keningnya berkerut samar melihat hidangan yang tersaji di sana. Roti bakar yang nyaris hangus separuhnya begitu juga dengan omelette yang hangus separuh sedangkan separuhnya masih setengah matang. “Kamu memakai semua bahan yang ada?” tanya Melody spontan. Melihat banyaknya menu yang tersaji di meja membuat Melody menebak jika Khaysan menghabiskan seluruh bahan makanan yang tersedia di dapur. Atau mungkin bahkan ada yang terbuang juga, entahlah. Padahal kalau dirinya yang memasak tadi, ia tidak berencana memasak sebanyak ini. Melody tak berani melirik dapur yang sepertinya sudah mirip kapal pecah. Apalagi sedari tadi terdengar suara barang berjatuhan. Entah apa saja yang Khaysan dan Nathan lakukan di sana. Khaysan melarangnya ikut serta, namun mengajak Nathan memasak bersama. “Ya. Ini yang tersisa. Sisanya sangat hangus. Aku takut rasanya pahit, jadi aku membuangnya. Sebenarnya ini juga separuh hangus. Sepertinya
“Kamu demam? Sejak kapan? Kenapa tidak mengatakan apa pun padaku?” berondong Melody yang spontan mengubah posisinya menjadi duduk dan membalikkan paksa tubuh kekar suaminya yang panas membara. Melody khawatir bukan main merasakan panas membara yang mendera suaminya. Ia baru menyadari jika sedari tadi lelaki itu merintih kesakitan. Bulir-bulir keringat membasahi pelipis juga leher Khaysan. Wajah lelaki itu tampak sangat pucat pasi. Rasa bersalah kontan menyelimuti dada Melody. Khaysan pasti kelelahan karena menggantikan semua tugasnya belakangan ini. Ditambah lagi lelaki itu juga masih harus menyelesaikan urusan kantor meski dari kejauhan. Melody langsung menyingkap selimut yang membalut tubuhnya dan bersiap turun dari ranjang. Namun, tiba-tiba Khaysan membuka mata dan menarik tangannya. “Ada apa? Apa kamu butuh sesuatu?” “Jangan kemana-mana. Temani aku di sini saja. Aku hanya sedikit kelelahan dan perlu istirahat. Lagipula sekarang sudah malam. Kamu juga harus istirahat,” gumam Kha
“Kalau saja kamu tidak sedang dalam masa pemulihan. Aku tidak akan berpikir dua kali untuk menyerangmu sekarang juga,” bisik Khaysan sebelum kembali tidur. Karena insiden tak sengaja ‘tersenggol’ barusan, suasana canggung pun tercipta tanpa bisa dicegah. Khaysan sudah mengatakan tidak masalah. Namun, Melody yang malu setengah mati. Sampai sekarang saja wajahnya masih merah padam menahan malu, padahal suaminya sudah tertidur pulas. Efek obat demam yang Khaysan konsumsi menyebabkan lelaki itu dapat tertidur cepat. Sementara Melody yang masih menahan malu tak merasakan kantuk sama sekali. Apalagi pikirannya ‘agak’ terkontaminasi karena insiden tersebut. Helaan napas pelan lolos dari bibir Melody. Setelah berusaha menenangkan hati dan pikirannya, wanita itu langsung mengubah posisi menjadi berbaring. Ia menoleh ke samping, menatap sang suami yang tertidur pulas. “Maaf, karena harus merawatku disela kesibukanmu, kamu jadi sakit begini. Harusnya kamu tidak perlu terlalu peduli padaku,” b
“Ternyata kontraknya sudah habis,” gumam Melody sembari menatap isi kontrak pernikahannya dengan Khaysan. Dalam kontrak tersebut tertera waktu setahun dan sekarang sudah terlewat lebih dari tiga bulan sejak kontrak itu habis. Melody nyaris melupakan berkas tersebut, bahkan tidak mengingat di mana terakhir kali menyimpan berkas itu. Dan entah bagaimana bisa berkas sepenting ini malah terselip di kopernya yang mungkin nyaris hilang. Sepertinya berkas ini tidak sengaja terselip di antara tumpukan pakaiannya. Saat berkemas waktu itu, Melody memang hanya mengambil asal pakaiannya untuk dibawa. Ia tidak menyangka akan menemukan berkas ini di sini. Ia dan Khaysan tak pernah membahas kontrak ini lagi. Sepertinya Khaysan juga sudah lupa jika kontrak pernikahan mereka hanya setahun saja. Atau mungkin sebenarnya lelaki itu masih ingat, tetapi memilih pura-pura lupa. “Kenapa rasanya cepat sekali ya? Padahal rasanya seperti baru beberapa bulan lalu aku menikah dengannya.” Melody kembali menelis
“Kenapa kamu teriak-teriak? Kamu baik-baik saja, ‘kan?” Khaysan yang semula berada di teras depan langsung berlari memasuki kamar setelah mendengar teriakan istrinya. Lupa jika mereka sedang bermusuhan saat ini. Khaysan spontan menelisik sang istri yang tampak kalut. Kemarahannya kontan berganti dengan kekhawatiran yang sangat pekat. “Dari tadi aku berusaha membangunkan Nathan, tapi dia tidak bangun. Napasnya juga terasa sangat pelan. Aku takut dia kenapa-kenapa,” ucap Melody panik. Wanita itu langsung menarik suaminya memasuki kamar dengan gerakan tergesa. Khaysan menghempas selimut yang Nathan kenakan dan mengguncang tubuh putranya. Namun, seperti yang Melody katakan sebelumnya, tak ada respon sama sekali. Padahal biasanya sang putra sangat mudah dibangunkan. “Nak, bangun!” Khaysan mengguncang bahu Nathan lebih kuat, tetapi tetap saja tak ada respon bahkan napas sang putra tampak lambat. “Panggilkan dokter!” perintah lelaki itu pada anak buahnya yang berada di luar kamar. Air ma
Meskipun pengusiran terang-terangan Khaysan cukup menyentil hatinya, Melody tetap menebalkan wajah dan duduk di samping lelaki itu. Dari jarak yang lebih dekat, tatapan tak bersahabat suaminya tampak lebih jelas. Melody berdeham pelan sembari mengusap-usap lengannya. Gaun pendek yang dirinya kenakan nyatanya tak mampu menghalau udara dingin yang lumayan menusuk kulitnya. Ia lupa mengganti pakaiannya. “Ck! Kubilang juga apa! Harusnya kamu di dalam saja! Di sini dingin!” decak Khaysan sembari membuka kancing kemejanya dan langsung menyampirkan kain tersebut di bahu Melody yang terbuka. Menyisakan kaos hitam ketat yang membalut tubuh kekarnya. Perlakuan sang suami membuat Melody membeku selama beberapa saat. Ia spontan menoleh ke samping, menatap wajah dingin itu. Tak menyangka jika maksud pengusiran suaminya mengarah ke sana. Atau setidaknya ia akan menganggap seperti itu. Usai memastikan jika Khaysan tidak akan mengusirnya, Melody bergeser perlahan-lahan, memangkas jarak di antara m