“Sayang! Sayang! Bangun!” Khaysan menepuk pelan pipi Melody, berusaha membangunkan sang istri. Wajah wanita itu bahkan terasa lebih dingin dari biasanya. “Bagaimana ini bisa terjadi? Kalau sampai terjadi sesuatu pada istriku, aku akan membunuh kalian semua!” bentak Khaysan dengan suara menggelegar. “Kami akan mengusahakan yang terbaik untuk istri Tuan. Kami mohon Tuan untuk tenang,” jawab salah seorang asisten dokter kandungan yang membantu persalinan Melody. Khaysan hanya melangkah mundur hingga ke ujung ruangan meski sang asisten dokter telah memberi isyarat agar dirinya menunggu di luar. Ia tidak akan pergi ke mana pun sebelum keadaan Melody membaik. Kekhawatiran tampak sangat jelas dari wajahnya. Kedua tangan Khaysan terkepal hingga gemetar. Lelaki itu menyentuh dadanya yang terasa amat sesak hingga mencekiknya. Sorot matanya yang penuh dengan kekhawatiran terus tertuju ke arah Melody yang masih mendapat penanganan dari dokter. Tangis nyaring putrinya, mengalihkan atensi
Rahang Khaysan mengeras. “Apa maksudmu?!” Suasana yang sedari tadi sudah memanas kian memanas karena kata-kata David. Tawa sumbang lelaki itu menyembur. Sengaja memancing amarah Khaysan yang tampaknya sudah di ujung tanduk. “Melody pernah mengatakan kalau kalian hanya menikah kontrak. Bahkan, kontrak itu sudah selesai jauh sebelum Melody melahirkan. Apa lagi yang ingin kamu tunggu? Waktumu sudah berakhir,” balas David dengan seringai penuh makna. “Aku yang selalu ada untuk Melody selama ini. Dan apa yang kamu lakukan? Kamu sudah menyia-nyiakannya, meragukan, dan membuangnya. Apa kamu tidak tahu malu? Jangan terlalu percaya diri. Melody kembali menerimamu hanya karena penyakit Nathan.” David sengaja menyiram bensin yang membuat amarah Khaysan semakin meluap-luap. Khaysan mencengkeram kerah kemeja David. Urat-urat di lehernya sudah menonjol, menyiratkan emosi tertahan yang sangat pekat. “Kamu merasa hebat dan berjasa hanya karena dia mengandalkanmu? Kamu pikir iru bisa membuatnya
“Aku dengar istrimu baru melahirkan. Aku kebetulan lewat dan mampir. Maaf tidak sempat memberi kabar. Apa aku mengganggu?” tutur Lusy yang baru saja memasuki kamar rawat Melody dengan senyum lebar. “Karena buru-buru, aku tidak sempat membelikan kado untuk anak dan istrimu. Kapan-kapan aku akan membawakannya.” Sebelum dipersilakan masuk, Lusy langsung melangkah mendekati Naomi dan meletakkan keranjang buah yang dibawanya di atas nakas. “Kenapa kalian diam? Apa aku datang di saat yang tidak tepat?” Lusy kembali bersuara karena Khaysan dan Melody tak menjawab. “Oh, tentu saja tidak mengganggu. Terima kasih sudah menyempatkan datang. Padahal tidak perlu repot-repot,” sahut Melody dengan senyum amat tipis. Melody ingin mengutuk siapa pun yang memberitahu Lusy jika dirinya baru saja melahirkan. Bahkan, ia baru sadarkan diri dan belum sempat menjenguk Nathan ataupun Lavina. Dan Lusy malah sudah datang, menghancurkan suasana hatinya yang baru saja membaik. Melody menatap tajam ke ara
Melody mengintip Khaysan yang sedang mengobrol dengan Lusy di luar kamar rawat inapnya. Lebih tepatnya diujung lorong yang cukup jauh dari ruangannya. Seolah sengaja agar dirinya tak mendengar pembicaraan mereka. Padahal setengah jam lalu, katanya Lusy sudah ingin pulang. Tetapi ternyata malah masih mengobrol dengan Khaysan. Jika memang masih ada yang perlu dibicarakan, di ruangan Melody pun bisa. Melody tidak akan mengganggu mereka, apalagi jika berkaitan dengan pekerjaan. Namun, mereka malah memilih berbicara secara sembunyi-sembunyi. Bahkan, sangat jauh dari ruangannya. Tadinya Melody ingin mengunjungi Nathan sekalian menjenguk putrinya di ruangan khusus bayi. Namun, keberadaan Khaysan dan Lusy di ujung sana menarik perhatiannya. Ia pikir Khaysan pergi ke mana, ternyata lelaki itu hanya ingin menemui Lusy di belakangnya. “Pantas saja dia buru-buru keluar, ternyata untuk mengobrol dengan wanita itu. Apa yang mereka bicarakan sampai aku tidak boleh dengar?” gumam Melody sembari
Seminggu kemudian akhirnya Nathan diperbolehkan pulang. Setelah kondisi bocah itu benar-benar stabil. Jadi, Melody tidak perlu bolak-balik ke rumah sakit lagi seperti beberapa hari ke belakang. “Sayang, apa kita mampir ke salah sati restoran dulu dan makan siang di sana? Nathan pasti sudah lapar,” tawar Khaysan ketika mobil yang dikendarainya terhenti di lampu merah. Lelaki itu menoleh ke samping, menatap istrinya yang tampak lebih dingin selama beberapa hari terakhir. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah menjemput Nathan dari rumah sakit. Hanya bertiga saja karena Lavina ditinggal di rumah bersama orang tua Khaysan dan ayah Melody. Kebetulan mereka menginap di tempat tinggal Melody dan Khaysan sejak Melody dan Lavina diperbolehkan pulang tiga hari lalu. “Tidak usah. Kita makan di rumah saja. Nathan tidak boleh makan sembarangan,” jawab Melody datar, tanpa menatap Khaysan sama sekali. Sebenarnya Melody tak berniat mengabaikan Khaysan. Hanya saja, kekesalan yan
“Kamu membeli … ini untuk apa?” tanya Melody dengan manik mata membola sempurna setelah mengetahui barang apa yang diantar ke rumah ini. Melody pikir Khaysan hanya membeli barang-barang furnitur untuk melengkapi rumah ini. Namun, ternyata yang lelaki itu beli malah perlengkapan rumah sakit. Sekarang barang-barang itu sedang dirapikan di ruang tengah dan barang-barang yang sebelumnya berada di sana telah disingkirkan. Ruang tengah memang tidak terlalu luas. Oleh karena itu, barang lain yang semula berada di sana harus dipindahkan. Melody tak habis pikir kenapa Khaysan sampai melakukan ini. Padahal jarak rumah ini ke rumah sakit hanya 15 menit. “Aku tidak membeli. Aku hanya menyewa dari rumah sakit. Ini untuk berjaga-jaga. Setidaknya kalau terjadi sesuatu, kita bisa melakukan pertolongan pertama sebelum ke rumah sakit. Apalagi jarak rumah sakit cukup jauh dari sini,” jawab Khaysan santai. “Jauh? 15 menit menurutmu jauh? Kalau begitu kenapa tidak mencari rumah yang lebih dekat sa
“Apa? Melahirkan?!” David yang sedang duduk santai spontan berdiri. Lelaki itu memacu langkah secepat mungkin ke arah Melody yang berpegangan pada tembok rumah sakit. “Kamu serius akan melahirkan sekarang?”Melody ingin berpegangan pada bahu David, namun malah kerah kemeja lelaki itu yang ditarik oleh jemarinya. Ia tak sempat memperhatikan apa yang dilakukannya, apalagi ketika kontraksi itu kembali datang dengan frekuensi yang lebih besar. “Kamu pikir hal-hal seperti ini bisa dijadikan bercandaan, hah?!” sembur Melody yang semakin mencengkram kemeja David. “Perutku sakit sekali. Aku tidak kuat lagi, sepertinya aku akan melahirkan di sini!”“Eh, tunggu! Jangan dulu. Aku akan membawamu ke ruang bersalin … atau … IGD!” Melihat Melody yang mengerang kesakitan membuat David semakin panik. David langsung menggendong Melody. Keringat lelaki itu sudah bercucuran karena panik dan khawatir. Bak seorang suami yang kelimpungan dan mengkhawatirkan keadaan istrinya. Ia memang sangat mengkhawa
Khaysan meminta Melody agar menunggu di dalam kamar saja bersama Nathan. Namun, Melody lebih memilih ikut bersama suaminya keluar. Tentu saja ia tidak akan meninggalkan putranya sendirian. Meskipun bocah itu masih tidur, Melody menggendongnya dan membawa sang putra saat menyusul suaminya.Khaysan sudah beranjak lebih dulu, beberapa meter di depan Melody. Tetapi, pantulan senter yang lelaki itu bawa membuat Melody dapat mengikuti langkah sang suami. Seluruh rumah benar-benar gelap gulita. Beberapa bodyguard Khaysan juga berkeliaran di sana, hendak keluar dan mengecek keadaan. Ketika Khaysan berbalik dan menatap ke arahnya, Melody spontan melebarkan senyum. Tampak jelas dari ekspresi sang suami jika lelaki itu kesal. Tetapi, Melody malah takut kalau berdiam di kamar dan hanya berduaan dengan Nathan dalam keadaan gelap gulita begini. “Aku malah tidak tenang kalau menunggu di kamar. Aku janji tidak akan macam-macam,” tutur Melody sebelum Khaysan membuka suara. Ia tahu suaminya pasti