Melody mengintip Khaysan yang sedang mengobrol dengan Lusy di luar kamar rawat inapnya. Lebih tepatnya diujung lorong yang cukup jauh dari ruangannya. Seolah sengaja agar dirinya tak mendengar pembicaraan mereka. Padahal setengah jam lalu, katanya Lusy sudah ingin pulang. Tetapi ternyata malah masih mengobrol dengan Khaysan. Jika memang masih ada yang perlu dibicarakan, di ruangan Melody pun bisa. Melody tidak akan mengganggu mereka, apalagi jika berkaitan dengan pekerjaan. Namun, mereka malah memilih berbicara secara sembunyi-sembunyi. Bahkan, sangat jauh dari ruangannya. Tadinya Melody ingin mengunjungi Nathan sekalian menjenguk putrinya di ruangan khusus bayi. Namun, keberadaan Khaysan dan Lusy di ujung sana menarik perhatiannya. Ia pikir Khaysan pergi ke mana, ternyata lelaki itu hanya ingin menemui Lusy di belakangnya. “Pantas saja dia buru-buru keluar, ternyata untuk mengobrol dengan wanita itu. Apa yang mereka bicarakan sampai aku tidak boleh dengar?” gumam Melody sembari
Seminggu kemudian akhirnya Nathan diperbolehkan pulang. Setelah kondisi bocah itu benar-benar stabil. Jadi, Melody tidak perlu bolak-balik ke rumah sakit lagi seperti beberapa hari ke belakang. “Sayang, apa kita mampir ke salah sati restoran dulu dan makan siang di sana? Nathan pasti sudah lapar,” tawar Khaysan ketika mobil yang dikendarainya terhenti di lampu merah. Lelaki itu menoleh ke samping, menatap istrinya yang tampak lebih dingin selama beberapa hari terakhir. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah menjemput Nathan dari rumah sakit. Hanya bertiga saja karena Lavina ditinggal di rumah bersama orang tua Khaysan dan ayah Melody. Kebetulan mereka menginap di tempat tinggal Melody dan Khaysan sejak Melody dan Lavina diperbolehkan pulang tiga hari lalu. “Tidak usah. Kita makan di rumah saja. Nathan tidak boleh makan sembarangan,” jawab Melody datar, tanpa menatap Khaysan sama sekali. Sebenarnya Melody tak berniat mengabaikan Khaysan. Hanya saja, kekesalan yan
“Kamu membeli … ini untuk apa?” tanya Melody dengan manik mata membola sempurna setelah mengetahui barang apa yang diantar ke rumah ini. Melody pikir Khaysan hanya membeli barang-barang furnitur untuk melengkapi rumah ini. Namun, ternyata yang lelaki itu beli malah perlengkapan rumah sakit. Sekarang barang-barang itu sedang dirapikan di ruang tengah dan barang-barang yang sebelumnya berada di sana telah disingkirkan. Ruang tengah memang tidak terlalu luas. Oleh karena itu, barang lain yang semula berada di sana harus dipindahkan. Melody tak habis pikir kenapa Khaysan sampai melakukan ini. Padahal jarak rumah ini ke rumah sakit hanya 15 menit. “Aku tidak membeli. Aku hanya menyewa dari rumah sakit. Ini untuk berjaga-jaga. Setidaknya kalau terjadi sesuatu, kita bisa melakukan pertolongan pertama sebelum ke rumah sakit. Apalagi jarak rumah sakit cukup jauh dari sini,” jawab Khaysan santai. “Jauh? 15 menit menurutmu jauh? Kalau begitu kenapa tidak mencari rumah yang lebih dekat sa
“Apa? Melahirkan?!” David yang sedang duduk santai spontan berdiri. Lelaki itu memacu langkah secepat mungkin ke arah Melody yang berpegangan pada tembok rumah sakit. “Kamu serius akan melahirkan sekarang?”Melody ingin berpegangan pada bahu David, namun malah kerah kemeja lelaki itu yang ditarik oleh jemarinya. Ia tak sempat memperhatikan apa yang dilakukannya, apalagi ketika kontraksi itu kembali datang dengan frekuensi yang lebih besar. “Kamu pikir hal-hal seperti ini bisa dijadikan bercandaan, hah?!” sembur Melody yang semakin mencengkram kemeja David. “Perutku sakit sekali. Aku tidak kuat lagi, sepertinya aku akan melahirkan di sini!”“Eh, tunggu! Jangan dulu. Aku akan membawamu ke ruang bersalin … atau … IGD!” Melihat Melody yang mengerang kesakitan membuat David semakin panik. David langsung menggendong Melody. Keringat lelaki itu sudah bercucuran karena panik dan khawatir. Bak seorang suami yang kelimpungan dan mengkhawatirkan keadaan istrinya. Ia memang sangat mengkhawa
Khaysan meminta Melody agar menunggu di dalam kamar saja bersama Nathan. Namun, Melody lebih memilih ikut bersama suaminya keluar. Tentu saja ia tidak akan meninggalkan putranya sendirian. Meskipun bocah itu masih tidur, Melody menggendongnya dan membawa sang putra saat menyusul suaminya.Khaysan sudah beranjak lebih dulu, beberapa meter di depan Melody. Tetapi, pantulan senter yang lelaki itu bawa membuat Melody dapat mengikuti langkah sang suami. Seluruh rumah benar-benar gelap gulita. Beberapa bodyguard Khaysan juga berkeliaran di sana, hendak keluar dan mengecek keadaan. Ketika Khaysan berbalik dan menatap ke arahnya, Melody spontan melebarkan senyum. Tampak jelas dari ekspresi sang suami jika lelaki itu kesal. Tetapi, Melody malah takut kalau berdiam di kamar dan hanya berduaan dengan Nathan dalam keadaan gelap gulita begini. “Aku malah tidak tenang kalau menunggu di kamar. Aku janji tidak akan macam-macam,” tutur Melody sebelum Khaysan membuka suara. Ia tahu suaminya pasti
Melody menatap satu per satu hidangan yang tersaji di atas meja makan. Keningnya berkerut samar melihat hidangan yang tersaji di sana. Roti bakar yang nyaris hangus separuhnya begitu juga dengan omelette yang hangus separuh sedangkan separuhnya masih setengah matang. “Kamu memakai semua bahan yang ada?” tanya Melody spontan. Melihat banyaknya menu yang tersaji di meja membuat Melody menebak jika Khaysan menghabiskan seluruh bahan makanan yang tersedia di dapur. Atau mungkin bahkan ada yang terbuang juga, entahlah. Padahal kalau dirinya yang memasak tadi, ia tidak berencana memasak sebanyak ini. Melody tak berani melirik dapur yang sepertinya sudah mirip kapal pecah. Apalagi sedari tadi terdengar suara barang berjatuhan. Entah apa saja yang Khaysan dan Nathan lakukan di sana. Khaysan melarangnya ikut serta, namun mengajak Nathan memasak bersama. “Ya. Ini yang tersisa. Sisanya sangat hangus. Aku takut rasanya pahit, jadi aku membuangnya. Sebenarnya ini juga separuh hangus. Seper
“Aku tidak punya waktu untuk bertemu denganmu. Katakan sekarang kalau ada yang ingin kamu bicarakan,” jawab Melody datar. Nada bicara sopan yang selama ini selalu ia pertahankan ketika berbincang dengan Rosetta telah hilang tak bersisa. Setelah mengetahui apa yang wanita itu rencanakan bersama suaminya, respeknya benar-benar lenyap. Selama ini Rosetta berpura-pura sedih di hadapannya. Padahal wanita itu telah mengetahui segalanya. Pantas saja Rosetta begitu mudah menceritakan kisah cinta yang berakhir pahit itu padanya. Rupanya itu adalah sindiran halus karena jelas-jelas wanita itu tahu siapa dirinya. Tadinya Melody mengiba melihat kesedihan Rosetta setelah ditinggal tiba-tiba oleh Khaysan. Padahal mereka akan menikah dalam hitungan bulan saat itu. Namun, ternyata dirinya lah yang lebih patut dikasihani.[“Benarkah tidak apa-apa kalau aku bicara sekarang? Padahal aku ingin bicara baik-baik padamu. Untuk waktunya terserah padamu saja. Kapan kamu punya waktu luang dan kita bisa
“Aku tidak punya waktu untuk bertemu denganmu. Katakan sekarang kalau ada yang ingin kamu bicarakan,” jawab Melody datar. Nada bicara sopan yang selama ini selalu ia pertahankan ketika berbincang dengan Rosetta telah hilang tak bersisa. Setelah mengetahui apa yang wanita itu rencanakan bersama suaminya, respeknya benar-benar lenyap. Selama ini Rosetta berpura-pura sedih di hadapannya. Padahal wanita itu telah mengetahui segalanya. Pantas saja Rosetta begitu mudah menceritakan kisah cinta yang berakhir pahit itu padanya. Rupanya itu adalah sindiran halus karena jelas-jelas wanita itu tahu siapa dirinya. Tadinya Melody mengiba melihat kesedihan Rosetta setelah ditinggal tiba-tiba oleh Khaysan. Padahal mereka akan menikah dalam hitungan bulan saat itu. Namun, ternyata dirinya lah yang lebih patut dikasihani.[“Benarkah tidak apa-apa kalau aku bicara sekarang? Padahal aku ingin bicara baik-baik padamu. Untuk waktunya terserah padamu saja. Kapan kamu punya waktu luang dan kita bisa