Mas Brian mengajak aku pulang setelah dari taman. Di halaman rumah terlihat mobil ibu dan bapak mas Brian.
Keduanya datang secara tiba-tiba. Aku menghampiri dan mencium punggung tangan mereka. Sudah terbiasa saat mereka datang, pelan-pelan belajar menjadi menantu yang baik.
Aroma parfum Ibu Arumi sangat harum. Calon Ibu mertuaku terlihat masih cantik di usia yang terbilang tidak muda lagi. Pantas saja Bapak semakin mencintai sang istri.
Mas Brian duduk bersama kedua orang tuanya. duduk di ruang tamu. Hari ini mereka tiba-tiba saja datang, kulihat Mas Brian terlihat santai dengan wejangan dari Ibunya. Sesekali dia melirik ke arah aku berdiri.
"Papa mau mengenalkan kamu sama anak temen Papa."
"Aku sudah punya calon sendiri," ucapnya tegas. Aku mendengar saat aku menyajikan minuman.
"Apa benar, yang kamu bilang?" tanya Bapak Mas Brian.
"Jangan bercanda kamu. Umur kamu sudah kepala tiga, Mama nggak mau kamu jadi perjaka tua."
Aku terkekeh mendengar Ibu Arum bicara. Bukan takut lagi, tapi udah kali jadi perjaka tua.
Aku menguping, yah memang aku tengah mendengarkan mereka berbincang. Aku heran dengan Mas Brian, kenapa tidak terima saja perjodohannya. Dengan wanita yang sudah pasti cantik dan sekelas dengan mereka.
"Tenang saja, Ma, aku nggak akan jadi bujang lapuk. Mama juga bakal dapet bonus menantu dan cucu." Mas Brian berbicara dengan santai, tapi tegas.
"Menantu dan cucu?" Kompak kedua orang tuanya bertanya.
Menantu dan cucu? Maksudnya apa? Bukannya semalam dia meminta aku pura-pura jadi kekasihnya? Lantas, apa dia punya calon lain yang sudah mempunyai anak?
"Fit, sini." Mas Brian memanggilku.
Aku berjalan cepat menghampiri mereka. "Iya, Mas, " ucapku.
"Ma, Pa, aku dan Fitri akan menikah."
Sambil menggenggam tanganku, kemudian kami saling berpandangan seolah memperkuat drama. Akan tetapi, aku takut, Mas.
"Apa?" Keduanya terkesiap dan saling pandang.
"Fitri mau menikah dengan siapa?" tanya Bulek saat mendengar ucapan Mas Brian.
"Saya akan menikahi Fitri," ujar Mas Brian.
"Fitri, kamu Bulek ajak kerja bukan buat ganjen sama Mas Brian." Bulek sepertinya marah padaku, aku tidak tahu kalau Bulek bisa semarah itu.
"Ibu, Bapak, maafkan Fitri, ya, mungkin Mas Brian hanya bercanda."
Bulek menarik lenganku hingga berada di sampingnya. Aku hanya menunduk merasa tidak enak hati.
"Mbok Darmi, kami juga heran. Mungkin ini akal-akalan Brian saja untuk menolak perjodohan dari kami," ucap Bapak Adi, ayahnya Mas Brian.
"Mas, Mas Brian lagi nge-prank kita kan?" Bulek kembali bertanya karena memang dia hobi nonton video nge-prank para artis. Apalagi prank Baim Wong.
Mas Brian mengusap wajah dengan kasar. Aku tahu dia sedang berpikir untuk melancarkan kebohongannya. Bagaimana ini?
"Aku serius, apa aku terlihat ada bakat buat nge-prank kalian?" Mas Brian mencoba tenang dan tidak gugup.
"Fit, benar apa yang Brian ucapkan?" Ibu Arum bertanya padaku.
Bu Arum menatap penuh selidik. Aku hanya tertunduk malu, apa yang harus aku jawab. Ya Tuhan, gimana ini? Kebohongan Mas Brian membawa pada kesulitan.
"Fit, jawab pertanyaan Ibu Arum tadi?" Bulek menggoyang-goyangkan tubuh ini. Dia sangat marah padaku.
Aku bergeming, mencoba tenang. Perlahan aku mengatur napas, sebisa mungkin aku harus tenang menjawab pertanyaan mereka.
"I ... iya, Bu. Kami mau menikah."
"Fitri! sudah berulang kali Bulek bilang jangan mengkhayal terlalu tinggi. Kamu dan Mas Brian bagaikan langit dan bumi. Kita tidak sebanding dengan derajat Mas Brian, harusnya kamu sadar diri Fit." Bulek memukul-mukul aku sembari menangis tergugu.
Ya Allah, aku tak tahan melihat Bulek seperti ini. Aku seperti melempar kotoran ke wajah Bulek. Kasihan dia, harus menahan malu.
"Bulek, maafkan Fitri. Fitri cuma--"
Belum selesai aku bicara Mas Brian sudah memotong pembicaraan.
"Ini bukan salah Fitri Mbok, tapi aku yang mulai. Fitri nggak salah."
Menyebalkan, janjinya hanya berpura-pura. Kenapa berasa sesak dada ini. Melihat Bulek menangis tergugu.
"Kalau kami tidak setuju bagaimana?" Pak Adi bertanya dengan tegas. "Kamu tahu siapa Fitri?"
"Kalian harus setuju, karena Fitri mengandung darah dagingku!"
Aku menutup mulut dengan tangan. Tak percaya Mas Brian tega berbicara seperti itu.
Pipiku terasa panas saat tangan Bulek menamparku keras. Bulek masih histeris memukuliku. Demi drama yang kami lakukan, Mas Brian menarik dan memeluk erat tubuh ini.
"Sudah Bulek, yang harus di salahkan aku. Bukan Fitri," ujar Mas Brian.
Aku hanya bisa menangis, hatiku perih melihat Bulek menangis histeris. Ingin rasanya aku bicara kami hanya berpura-pura.
"Mbok, sabar , Bulek. Kita bicarakan baik-baik," ucap Pak Adi.
"Saya malu, Pak, keluarga Bapak baik sama saya. Akan tetapi, Fitri membuat malu, Pak." Bulek sesenggukan bicara.
"Bulek, Fitri ---" tanganku di genggam keras Mas Brian. Netranya menatapku tajam seperti mengancam.
"Kita duduk, bicarakan sekarang," ajak Pak adi.
Kedua orang tua Mas Brian duduk bersebelahan. Ibu terlihat agak sedih mungkin dia syok, tapi Bapak masih terlihat sabar dengan masalah ini.
Aku tidak berani menatap mereka, keduanya orang baik. Kenapa aku tega ikut mempermainkan kedua majikanku? Terutama Bulek yang aku hormati.
"Kamu tahu, perbuatan kalian salah. Zina sangat berdosa. Papa nggak bisa ngomong apa-apa. Mau menyalahkan siapa juga, kalian berdua salah," kata Pak Adi.
"Brian tahu, Pa, Brian akan tanggung jawab," timpal Mas Brian lagi.
"Mama nggak bisa berkata apa-apa, mau marah, tapi Mama lega. Mama kira kamu penyuka sesama jenis sampai sekarang nggak nikah-nikah. Perbuatan kamu salah juga," ucapnya.
"Brian normal, Mah."
"Mbok, saya atas nama keluarga memohon maaf atas kelakuan Brian. Kalian di mata kami sama, bukan derajat yang membedakan. Hanya iman dan takwa yang membedakan kita. Mbok, saya juga orang tua sama seperti si mbok, kecewa pasti. Namun, semua sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa."
Terbuat dari apa, sih hati kedua majikanku ini? Kenapa mereka tidak marah dan mengusir kami?
"Bu, Pa, Fitri minta maaf," ucapku dengan isak tangis.
Bagaimana tidak menangis, gara-gara Mas Brian aku jadi merasa tak enak. Selama dua tahun ini mereka sangat baik sama aku dan Bulek. Akan tetapi, diri ini seperti orang yang tidak tahu terima-kasih. Secara tidak langsung aku mencoreng nama baik mereka.
"Ya, sudah. Kamu kenapa bisa hamil sama Brian?" Ibu Arum menatapku tajam dan apa yang harus aku lakukan dan jawab.
Pertanyaan Bu Arum membuat aku terkesiap. Pertanyaan macam apa itu? Semua ini gara-gara Mas Brian. Masa ia aku harus menjawab karena Mas Brian meniduriku.
Di cium saja belum, ini malah sudah hamil. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
***
"Fitri khilaf, Bu."Hanya itu yang bisa aku katakan. Sejujurnya sangat malu mengucapkannya. Kulirik Mas Brian yang tenang di sana. Semua gara-gara ulah dia kenapa harus aku yang ikutan malu dengan apa yang dilakukannya.Aku tidak percaya kalau akan mengalami nasib ini. Seperti pembantu tidak tahu diri, hamil dengan majikan sendiri. Bagaimana kata orang, harga diri ini di pertaruhkan.Ini di luar kesepakatan. Kenapa Mas Brian bilang aku sedang hamil? Dasar, mau untung sendiri tanpa memikirkan aku."Pak, cepat nikahkan mereka. Sebelum perut fitri besar. Haduh, lega, sih, lega. Tahu kalau Brian masih suka perempuan, tapi nggak gini juga," keluh Mama Mas Brian.Nikah secepatnya? Astaga, kenapa jadi nikah beneran, karena hamil pula. Jadi, terkesan aku wanita tidak baik. Aku kembali menoleh ke atas si sumber masalah. Lagi-lagi pria itu seperti tak merasa bersalah.Mas Brian harus tanggung jawab semuanya. Enak saja dia lepas dari perjodohan dan aku terbelenggu pernikahan dengannya. "Besok j
Aku seperti mimpi, hari ini aku berdiri di depan cermin dengan menggunakan kebaya putih. Sebentar lagi akan menyandang status nyonya Brian. Rasanya seperti mimpi saja, awalnya Mas Brian hanya meminta untuk aku berpura-pura, tapi kenapa harus menjadi istri sesungguhnya.Bulek dan Bu Arum menghampiri aku, ia mengajak aku ke luar karena sudah di tunggu penghulu.***"Saya terima nikah dan kawinnya Fitri Lestari binti Budiyono dengan mas kawin perhiasan emas seberat sepuluh gram dibayar tunai." Dengan mantap Mas Brian mengucapkan ijab kobul hari ini. Setelah ijab kobul artinya aku sudah sah menjadi istri Mas Brian. Kucium punggung tangannya, kemudian meminta maaf pada kedua orang tua Mas Brian dan Bulek.Tak henti Bulek mengeluarkan air mata. Berapa nasihat dia berikan padaku, pun tak kuasa menahan tangis. Semakin kencang kupeluk Bulek. "Jadi istri yang baik, ya, Fit. Layanin suamimu dengan benar. " "Iya, Bulek," jawabku pelan. Acara akad nikah tapi bagaikan resepsi, ramainya dengan
Indah sekali gedung besar yang ada di hadapanku. Sepanjang jalan ke ruangan, aku tak berhenti memuji tempat besar ini."Jangan, norak," bisik Mas Brian di telingaku. Aku hanya mengerucutkan bibir, suka kesel dengan mulut lemes Mas Brian. Sesaat kami sudah berada di ruang yang cukup luas. Tertata dengan rapi, tetapi hanya ada satu kamar, ruang santai, dapur dan kamar mandi. Mas Brian langsung ke kamar mandi, katanya keringatan dan mau mengguyur badan.Aku merebahkan tubuh di kasur. Rasanya lelah sekali, kupejamkan mata berharap rasa capek ini akan hilang besok. Beberapa menit, tapi kembali terdengar suara nyaring Mas Brian."Fitri! Ngapain kamu tidur di kasur?" teriak Mas Brian. Dengan berat kubuka mata perlahan. Kulihat Mas Brian sudah segar dengan rambut basah. "Lah, terus aku tidur di mana?" "Sofa," jawabnya ketus. "Nggak mau! Mas Brian aja yang di sofa, aku di kasur," ucapku dengan penekanan. Mas Brian menarik tanganku, aku menahan tubuh agar tidak ikut tertarik. "Bangun!"
Aku menatap sekeliling mencari Mas Brian ada di mana. Mendengar suara air dari kamar mandi, sepertinya dia sedang mandi.Benar, kan, tidak lama dia ke luar dengan sambut basah dan tentunya wajah glowing yang membuat aku semakin terpesona. apalagi arti status istri yang hanya bisa mengagumi suami pura-puranya. Tidak terbayang saat kontrak itu berakhir, hal indah pun mungkin sudah sampai di sana saja. "Heh, terpesona liat aku, ya?" "Ih, enggak." Aku membuang muka saat pria di hadapanku memuji dirinya sendiri. Malas sekali mendengarnya. Aku gegas ke kamar mandi selain menghindar, ini pun sudah pagi enggak etis kalau Mas Brian sudah mandi aku belum."Aku duluan ke bawah, ya. Kamu nyusul aja, bisa, kan?" tanya Mas Brian ."Iya, Mas, bisa. Nanti aku turun!" Aku berteriak dari dalam kamar mandi.Semalam ia mengatakan akan bertemu dengan Mas Erik, tapi enggak tahu jam berapa. Aku lagi enggak mood mandi, setelah sabunan dan sikat gigi aku langsung bergegas memakai baju.Di depan lemari, bi
Kuedarkan pandangan kesekeliling kafe yang ramai ini, tapi aku terasa sepi. Sejak pertengkaran dengan Mas Brian aku memilih duduk di kafe dekat apartemen.Suara merdu sang penyanyi membuat lagu yang dinyanyikan terasa dalam ke hati. Jus strawbery yang kupesan terasa hambar, aku hanya mengaduk hingga terlihat busa mengembang. "Ada yang mau request lagu?" Aku mengangkat tangan, penyanyi itu datang menghampiri di mana aku duduk."Nama kakak siapa? " tanyanya halus. Dari dekat wajah pria itu terlihat sangat tampan. Kiranya seumuran denganku. "Fitri," jawabku pelan. Dia tersenyum manis, aroma maskulin tubuhnya terasa sekali. "Mau request lagu apa ka? ""Utopia, baby doll.""Siap, ka."Pria itu melangkah ke atas panggung lagi. "Untuk Kak Fitri yang ada di sana!" teriaknya. Sepenggal lagu itu membuat hati semakin sakit. Seperti apa yang di lakukan Mas Brian padaku. Jatuh cinta itu tidak enak. Rasanya indah jika terbalaskan, tetapi perih saat mendapat penolakan. Aku Fitri, anak kemar
Akibat insiden celana dalam, aku malas menggunakan dress lagi. Sengaja kuminta Mas Brian membelikan baju tidur yang satu stel dengan celana panjang.Pria di hadapanku masih saja menertawakan kejadian semalam. Katanya kalau tidak kuat, dia akan menjebol sesuatu. Menyebalkan bukan ucapannya."Sudah tertawanya?""Belum. Belum, puas.""Mas, belikan, ya?" Aku merajuk padanya."Ngga usah beli lagi, mendingan pakai dress saja. Sexy Fit, aku suka." Mas Brian menaik turunkan alisnya. Sungguh suami pura-puraku sangat menyebalkan."Mas.""Sudah, enggak usah, apalagi kalau kamu—“"Apa?" Aku membulatkan mata sekaligus berkaca pinggang."Ngga pakai baju," ucapnya sambil berlari masuk ke kamar mandi.Kugedor keras pintu kamar mandi. Kesal sekali aku padanya. Seenaknya berbicara, memang aku wanita gampangan seenaknya saja bicara menyebalkan."Buka, Mas, buka!" teriakku"Mau apa? Aku sudah buka baju, kamu mau mandi bareng?" Terdengar teriakan dari kamar mandi.Argh ... menyebalkan sekali dia. "Ogah!"
Setelah Coky pulang, Mas Brian masih terduduk di sofa sembari memegangi luka di wajahnya. Aku langsung menghampiri Mas Brian, siapa tahu masih ada uang bisa aku bantu.Meskipun penuh luka, wajah suamiku tetap tampan. Namun, terkadang menyebalkan. Perasaan tadi masih bercampur aduk saat melihatnya dihantam oleh Mas Erik. Akibat wanita jalang itu, mereka berdua jadi salah paham. "Fit, makasih kamu sudah percaya sama, Mas.""Sama -sama, Mas. Sebagai istri yang baik jadi harus percaya sama suami."Kulihat wajah Mas Brian yang merengut. Apa ucapanku salah? Sepertinya tidak ada yang salah?Masa bodoh, kutinggalkan saja Mas Brian. Gara-gara masalah tadi, aku tidak jadi beli baju baru. Besok saja kujadwal ulang."Fit, sebagai istri yang baik, kenapa kamu tidak memberikan hakku sebagai seorang suami?" Kulempar bantal ke wajahnya yang mesum itu. Sudah babak belur, masih saja otak mesum. Dasar, majikan aneh, eh suami aneh."Kasar, banget sama suamimu. Nanti direbut orang marah.""Hih, pede ban
Diamnya aku pasti bikin Mas Brian bingung. Seperti sekarang, dia sibuk bertanya keinginanku. Semalam, dia menantangku. Kini, dia sibuk mencari perhatianku."Aku kerja nggak apa-apa?" tanyanya."Hmm ...." Aku hanya berdehem saat dia bertanya."Fit jangan seperti itu. Setidaknya kamu menjawab. Kalau kamu mau aku belum masuk kerja, nggak masalah.""Aku harus bagaimana?""Nah, kaya gitu aja. Ngomel nggak masalah, asal jangan Diamin aku."Aku melirik kesal. Apa dia lupa kesalahannya, memeluk wanita lain di depanku. Hah, kesal sekali mengingat kenapa mantan pria itu berdatangan mengganggu pernikahanku, walaupun hanya pernikahan settingan."Aku kasih uang jajan buat traktir Murni. Pasti kamu telepon temen kamu, kan?"Kenapa dia tahu aku mau bertemu dengan Murni? Pasti dia dengar saat aku meneleponnya semalam. Dasar tukang menguping."Kasih kabar, jangan ngilang. Inget, jangan dua-duaan sama Coky.""Bukannya kebalik?""Mas jalan dulu," ucapnya tanpa menjawab pertanyaanku.Aku bergegas merapik
“Tuh, kan Coky bilang mirip sama aku,” goda Coky pad Mas Brian.“Dih! Lihat tuh hidungnya mancung, jelas-jelas mirip Dadynya. Ngarang, lo, Ky.” Senggol Mas Brian.Mama, Papa, Bulek dan Selina hanya tertawa melihat kakak adik tak sekandung itu meributkan wajah anakku. Anakku terlihat menjiplak sekali Dadynya, curang banget sama sekali nggak ada miripnya sama aku.“Ayo kalian keluar, Fitri mau menyusui anaknya.” Mama terlihat mengusir Mas Brian dan Coky.“Coky aja yang keluar, aku, kan Dadynya,” tolak Mas Brian.“Sudah kalian jangan ribut.”Rasanya sempurna menjadi seorang Ibu, aku mulai memberikan asi kepada anak pertamaku. Mulut kecilnya mulai menghisap ASI. “Cucu Mama gantengnya, mau kamu kasih nama siapa?”“Terserah Mas Brian aja, Ma.” Aku sih terserah aja mau di kasih nama apa aja yang penting anakku jangan di kasiih nama aneh-aneh deh sama Dadynya. ***Perkembangan Abiyan Angkasa Pratama sangat baik, sampai saat ini usianya memasuki usia lima bulan. Dimana dia sangat gesit me
Aku mematut diriku di depan cermin. Kulihat perut ini sudah membuncit, tubuh terlihat membesar, dan pipi juga terlihat chubby. Mas Brian memelukku dari belakang, hembusan napasnya sangat terasa dan membuat leherku menggeli. Mas Brian mencium leher jenjangku yang sekarang terlihat banyak lipatan lemak. “Tetap sexy kok Mom,” bisiknya halus.“Aku jelek, ya Dad?” tanyaku lagi.“Tetep cantik kok.”Berada dipelukannya setiap pagi membuat aku merasa penuh semangat melalui hari-hari kehamilanku. Mas Brian benar-benar menjaga dan membuat diri ini nyaman dengan perlakuan manisnya.“Hari ini jadwal control jam berapa Mom?” tanyanya lagi.“Jam 14.00 siang, Dad, jangan lupa ya.” Aku mengingatkan Mas Brian dengan jadwal kontrol bulananku.“Mom duluan aja, aku ada meeting dengan klien dulu, jadi Mommy ke dokternya duluan minta antar Mama atau Bulek ,ya,” ucap Mas Brian seraya menicum pipiku.Aku mengangguk setuju usulan Mas Brian. Masih dengan posisi memelukku, dia tak mau melepaskannya. Padahal s
Selesai makan aku dan Mas Brian berjalan-jalan, mumpung di pekalongan anggap aja honeymoon. Kami sampai di musium batik, Mas brian takjub dengan koleksi batik di tempat ini, mulai dari batik yang tua sampai batik modern baik dari daerah pesisiran dan berbagai daerah lainnya.Di sana juga tak hanya tempat untuk memamerkan batik saja, tapi juga sebagai tempat pelatihan membatik. “Mas mau coba membatik?” tawarku."Nggak ah, mau lihat-lihat aja. Mau beli coupelan juga buat kita sama orang rumah,” ungkapnya.“Buat karyawan jadi?”“Jadi, tapi mau lihat motif saja dulu. Nanti kalo sudah oke di kondisikan sama ukuran baju mereka. Biar by phone saja ordernya,” kata Mas Brian menjelaskan.“Aku mau buat Murni, Coky dan Selina, ya?” “ Boleh, sekalian permintaan maaf aku sama Coky.”“Asik.”“Fit, kamu mau mengadakan resepsi pernikahan apa nggak?”“Nggak usah, Mas, pengajian aja di rumah, ngundang anak yatim ya Mas, biar berkah pernikahan kita,” ucapku disambut gembira Mas Brian.“Siap Nyonya B
Sepulang dari pasar aku lihat Bulek uring-uringan. Beberapa kali dia ngedumel tidak jelas. Aku menghampirinya seraya membantu mengupas sayuran.“Bulek kenapa, sih?” tanyaku iseng.“Bulek sebel, Fit. Itu si Shinta temen sekolahmu, baru aja dapet calon orang Jakarta gayanya selangit. Ngomong kesana-kesini macam-macam, sampe bilang kamu di Jakarta cuma jadi pembantu dan balik lagi ke sini tetep aja miskin. Nggak bisa dapet suami kaya. Sebel Bulek dengernya,” celoteh Bulek sambil memotong kentang.“Bulek nggak bilangkan tentang Mas Brian?”“Nggaklah. Bulek mah nggak norak kaya dia.”Aku menghela nafas tenang, untung saja Bulek nggak cerita tentang Mas Brian. Takutnya aku pisah sama Mas Brian malah jadi bahan omongan satu kampung. Dasar Shinta nggak pernah berubah.“Aku mau datang ke tempat reuni Bulek nanti jam 10.00. Bulek masak, kok banyak banget?” tanyaku heran.“Buat persediaan, aja. Kan, kamu bentar-bentar makan,” ucap Bulek tersenyum lebar.Setelah merapihkan sayuran, aku bergegas b
Kurebahkan tubuhku di kasur, kubalik badan hingga membelakangi Mas Brian. Hati ini masih sakit, dia ternyata masih mencintai Adisty. Mungkin Coky sudah mengirimi alamat Ronald, tapi aku tidak yakin dia akan kesana. Tak seperti malam-malam sebelumnya. Mas Brian malam ini sangat dingin. Tak ada ucapan kata maaf dari dia, bahkan pelukan atau kecupan kecil dari dirinya. Sebegitu marahkan dia kepadaku? Aku hanya ingin melihat dia tidak merasa bersalah. Aku tahu dia selalu merasa bersalah terhadap Adisty. Saat kemarin aku memergokinya memandangi nomer ponsel Adisty, seakan dia akan menelfon dan meminta maaf. Aku mau, dia tahu yang sebenarnya. Aku mau dia tahu Adisty tak selugu yang dia bayangkan. Namun, mungkin caraku salah, hingga dia marah besar seperti itu. Sampai pagi datang dia masih diam seribu bahasa. Hanya menjawab sekenanya setiap aku bertanya. Saat makan, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang saling beradu. Setelah itu menjelang sore Mas Brian habiskan menatap laptop.
Setelah tahu aku hamil, Mas Brian semakin perhatian padaku. Hari ini dia mengajakku jalan pagi, dan bilang akan mengajak belanja kebutuhan selama hamil. Begitu juga baju sampai keperluan pakaian hamilku. "Segerkan Fit," tanyanya sambil melompat-lompat, dan menggerakkan kedua tangannya. "Iya Mas, udah lama aku nggak ke taman ini. Jadi inget lagi pacaran, Eh ... salah deh, waktu masih jadi pembantu kamu," ungkapku dengan senyum."Fit, sekarang manggil aku jangan Mas dong. Kan, kita mau punya anak, Jadi manggil aku Dady ya. Biar anak kita nanti manggilnya juga Dady." Senyum lebar tersirat dari bibirnya. "Dady?" tanyaku seakan tak percaya."Yes, Mommy.""What? Mommy?" tanyaku sambil terkekeh "Iya, Momy and Dady," tambahnya. Ya Tuhan lucu sekali suamiku ini. Mungkin dia cocok dipanggil dengan sebutan Dady. Lah aku? Mommy? Biasanya makan ubi dan Singkong mau gaya-gayaan manggil mommy. "Mom? ""Yes, Dad. Heheheeh .... " jawabku sambil terkekeh."Kok ketawa? Ada yang lucu?""Ngga
Mas Brian berlalu meninggalkan kamarku. Tidak nampak apa yang mereka bicarakan.Kenapa ada dokter di rumah ini? Ada apa sebenarnya?Astaga, aku menutup kedua wajahku. Kayanya akan terbongkar kebohongannya kita. Semoga mereka tidak marah kalau tahu aku tidak hamil. Aku dan Mas Brian sama-sama merasa cemas. Apalagi Mas Brian, di bolak-balik seperti gosokan.Tak lama dokter teman Mama datang untuk memeriksa aku. Mas Brian berdiri tegang disampingku."Siang cantik," sapa dokter cantik itu yang datang bersama Mama. Bulek dan Papa Ikut mengekor Mama di belakangnya."Siang Dokter." Aku tersenyum membalas senyumannya. Banyak alat yang di bawanya. Sepeti alat USG untuk kehamilan. Ya, tamat kah cerita ini? Maksudnya cerita kehamilan bohonganku.Dokter itu memulai mengoleskan gel ke atas perutku. Diputarnya alat USG mengitari bagian perutku. Ish, jangan tanya sakitnya.Dia tersenyum menatapku, apa dia sudah tau kalau tidak ada apa-apa di perutku?"Hmm ... Ibu Fitri abis olah raga pagi sama suam
"Bri, kapan kalian periksa kehamilan lagi?" pertanyaan Papa tiba-tiba menjadi sangat horor saat kami dengar."Hmm ... Masih lama Pah. Mungkin sebulan lagi." Mas Brian menjawab dengan setenang mungkin."Masih lama dong lahirnya?" Tanya Papa lagi membuat tingkat ketakutan aku dan Mas Brian meningkat."Iya Pa, sabar aja." Mas Brian tersenyum kecut sekecut-kecutnya.Nah kan, senjata makan tuan ya Mas. Aku melirik dengan sedikit menyunggingkan bibir. Mas Brian mulai berkeringat, mungkin mencari cara agar topik pembicaraan beralih ketopik yang lain. “Temen Papa kemarin cucunya baru lahir. Makanya Papa mau buru-buru lihat cucu Papa,” ucapnya dengan bersemangat. “Ih, Papa nggak sabar banget sih.”goda Mama. Mas Brian terlihat salah tingkah mendengar ucapan Papa dan Mama. Bahkan keringat dingin mengucur. Makannya pun jadi gelisah."Pap, aku mau beli rumah kayanya. Tinggal di apartment sempit," Tukasnya."Hmm ... Bagus itu Bri. Pemikiran calon Ayah yang hebat, sebentar lagi mau punya anak jad
Mobil milik martuaku memasuki halaman rumah, terlihat mama turun dari mobil. Sementara, sudah beberapa jam lalu mas Brian meninggal rumah Mama."Loh ,ada Fitri.""Kok mama pulang?" "Oh, iya. Enggak jadi Papa ada urusan.""Fit, kamu nyidam apa hari ini? Mama beliin mangga muda, nih." Mama menatapku lekat, yang dia tahu aku sedang mengandung."Hmm ... Aku lagi pengen ngejambak rambut Masih Brian, Mah. Terus aku pengen nimpukin dia pake batu kerikil kolam ikan Mama," jawabku sekenanya. Karena hanya Itu yang aku pengen.Mama tertawa renyah mendengar ocehanku. Dia mengelus rambutku."Ih, kok sama deh sama Mama dulu pas hamil Brian. Bawaannya kesel mulu sama Papanya. Kayanya enek gitu, kalau deket-deket dia." Tawa renyahnya kembali terdengar. Sesekali dia menggulum senyum yang memperlihatkan wajah cantiknya.Mama mertuaku masih terlihat cantik meski umur tak lagi muda. Kerut wajahnya pun tak terlihat, beda dengan ibu-ibu komplek sini yang sudah banyak berkerut dan hobby bergosip."Fit, ik