Indah sekali gedung besar yang ada di hadapanku. Sepanjang jalan ke ruangan, aku tak berhenti memuji tempat besar ini.
"Jangan, norak," bisik Mas Brian di telingaku.
Aku hanya mengerucutkan bibir, suka kesel dengan mulut lemes Mas Brian. Sesaat kami sudah berada di ruang yang cukup luas. Tertata dengan rapi, tetapi hanya ada satu kamar, ruang santai, dapur dan kamar mandi.
Mas Brian langsung ke kamar mandi, katanya keringatan dan mau mengguyur badan.
Aku merebahkan tubuh di kasur. Rasanya lelah sekali, kupejamkan mata berharap rasa capek ini akan hilang besok. Beberapa menit, tapi kembali terdengar suara nyaring Mas Brian.
"Fitri! Ngapain kamu tidur di kasur?" teriak Mas Brian.
Dengan berat kubuka mata perlahan. Kulihat Mas Brian sudah segar dengan rambut basah.
"Lah, terus aku tidur di mana?"
"Sofa," jawabnya ketus.
"Nggak mau! Mas Brian aja yang di sofa, aku di kasur," ucapku dengan penekanan.
Mas Brian menarik tanganku, aku menahan tubuh agar tidak ikut tertarik.
"Bangun!" serunya dengan emosi.
Terjadi tarik menarik. Tidak jarang hal ini terjadi di kehidupan sehari-hari kami. Biasanya Bulek bilang aku dan Mas Brian seperti kucing dan guguk.
"Aku nggak mau Mas, ngalah, sih sama perempuan," ucapku kekeh.
"Kamu di sofa."
Mas Brian terus memaksa, hingga dia jatuh di atas tubuhku dan kedua bibir kami saling menempel. Inikah yang namanya ciuman?
Aliran darahku seakan mengalir deras, jantung ini berpacu sangat kencang. Mas Brian mengangkat tubuhnya dengan cepat. Membuang pandangannya dariku.
"Biar aku yang di sofa." Mas Brian berjalan cepat keluar kamar.
"Yes, aku menang," ucapku.
Sambil tersenyum aku terus memegangi bibir yang tadi tersentuh Mas Brian.
Mas Brian membalikan tubuhnya, dia menatapku kesal. "Nggak usah senyum-senyum. Itu ngapain bibirnya di pegang-pegang? Pengen beneran di cium?"
Netraku membulat, aku berdecak kesal. Sembarangan ngomongnya, siapa juga yang mau dicium Mas?
"Mas kali yang mau, bukan aku!" seruku dengan penuh penekanan.
Mas Brian terseyum genit menatapku. Menyebalkan, mengambil kesempatan dalam kesempitan.
***
Aku masih ingin berlama-lama dalam balutan selimut. Kutarik kembali, biarlah menikmati masa indah ini, sebelum Mas Brian menyiksaku.
"Fit, Fit ... bangun dong. Aku laper nih, buatin aku susu coklat dan roti bakar."
Bener, kan, belum juga beberapa menit. Tidak bisa lihat orang senang Mas Brian. Aku beranjak dari ranjang. Melangkah gontai ke arah dapur.
Mengikat rambut yang panjang, dengan masih berbalut baju tidur aku langsung memasak di dapur.
Beberapa menit kemudian aku selesai membuat sarapan untuk Mas Brian. Kusajikan di meja makan.
"Nih, Mas." Aku menyodorkan segelas susu cokelat dan roti panggang.
"Makan bareng sini," ajaknya.
"Aku mau mandi," jawabku pelan.
Aku melangkah memasuki kamar mandi. Rasa gerah melanda tubih ini.
Kutinggalkan Mas Brian yang asik menyantap sarapan paginya. Guyuran shower membuat jernih sedikit otakku yang hampir gila dengan ulah Mas Brian.
***
Aku tak suka berlama-lama dalam kamar mandi. Setelah selesai, aku mematut diri di depan cermin, Kupandangi diri sendiri dengan balutan dress selutut, sengaja membiarkan rambut ini tergerai.
"Ternyata aku cantik juga ya," ucapku, lalu tersenyum puas.
"Jangan lama-lama ngacanya, nanti kacanya pecah," ledek Mas Brian.
"Tinggal beli lagi aja Mas, jangan kaya orang susah deh," cibirku pedas.
"Ish!" Mas Brian berdecak kesal.
"Nanti kita ke mall beli baju buat kamu."
"Jalan-jalan Mas? Boleh beli baju? Di beliin, kan?"
"Iya, kamu mau apa aja aku turutin. Kemarin aku udah janji sama kamu."
Wah, pasti hari penuh kesenangan dan barang-barang mewah, nih. Jarang aku belanja di Mall, biasanya di pasar malam bareng Murni.
"Sejak kapan kamu suka menggunakan dress? Selutut pula?" tanyanya heran.
Netranya memperhatikan aku dari atas sampai bawah.
"Ini Mama yang beliin. Katanya harus dipakai buat sehari-hari."
"Mama?" tanyanya dengan mengerutkan kening.
"Ibu maksud aku, Mas. Dia memintaku memanggilnya Mama sekarang."
Mas Brian terus memperhatikanku, entah apa yang ada dipikirannya. Dia berbalik badan, lalu melangkah keluar.
Aku mengikuti dari belakang. Berusaha menyamai langkah Mas Brian. Ini bukan kali pertama kami ke Mall. Sudah sering aku ikut kemana saja dia pergi.
Mas Brian langsung masuk mobil dan aku pun tak ketinggalan. Tak lama ia melajukan dengan kencang mobil kesayangannya.
"Mas, aku mau ke salon, dong, " pintaku pada Mas Brian.
"Hmm .... " hanya itu yang keluar dari mulutnya, sambil fokus mengendarai mobil.
"Luluran boleh? "
"Hmm .... " hanya itu lagi yang keluar tanpa menoleh ke arahku.
"Mas, lihat, dong kalau aku ngomong!" teriakku.
Mas Brian menghentikan laju mobilnya secara mendadak. "Aghhh ... Mas hati-hati dong," omelku.
"Makanya diam. Berisik tahu nggak kamu, ngomong mulu. Aku lagi bawa mobil, tadi aku udah bilang kamu mau apa aja boleh tinggal tunjuk. Lagian kamu mau ngapain, sih ke salon sama luluran?"
"Ke salon biar aku cantiklah Mas. Luluran biar badanku nggak capek, Mas tahu sendiri kalau aku luluran biasanya hanya di rumah manggil tukang urut buat luluran. Nah, sesekali, sih di mall gitu." Aku mengambil kesempatan mumpung Mas Brian lagi baik hati.
Mas Brian tak berkomentar, dia melajukan kembali mobilnya. Aku hanya diam memandang wajah tampan suami pura-puraku ini. Andai ini nyata, bukan pura-pura bahagianya aku.
Hanya memakai celana jeans biru dan sweater membuat Mas Brian terlihat lebih muda. Perawakannya yang tinggi 175cm, kulit putih dan gayanya yang cool membuat sekeliling menatap takjub.
"Mau ke salon dulu apa belanja dulu?" tanyanya saat kami sampai di Mall.
"Belanja dulu Mas," ucapku.
Bener-bener, nih, upik abu jadi Cinderella. Tidak terbayang jadi orang kaya dadakan. Punya suami tampan pula. Wow, sekali, andai bisa pamer sama temen-temen kampung rasanya sesuatu, deh.
Aku berputar mencari baju yang pas. Mengambil yang aku suka, tanpa harus memikirkan berapa harganya. Mataku tertuju dengan sebuah pakaian tipis yang berbahan sutra. Baju begini aja mahal amat harganya. kurang bahan, tipis pula.
"Ambil aja kalau mau." Suara Mas Brian terdengar seperti meledek.
"Apa sih! Nggaklah, masa aku pake ini. Sama aja aku nggak make baju."
"Nggak apa-apa, lah. Aku seneng kok liatnya," ucap Mas Brian dengan menaik turunkan alisnya
"Dih mesum."
"Biarin, sama istri sendiri," timpalnya lagi.
Apa-apaan tuh, istri sendiri. Kesepakatan, kan hanya pura-pura kenapa jadi ganjen. Mas brian tertawa renyah. "Udah belum?"
"Udah," jawabku.
Setelah puas memilih baju, aku menuju salon yang masih berada di Mall ini. Tak heran Mas Brian selalu menjadi pusat perhatian kaum hawa. Saat memasuki salon, banyak mata yang tak berkedip menatapnya. Dengan cepat aku mengapit lengannya berjalan lagi keluar.
"Kenapa keluar lagi?" tanya heran.
"Nggak jadi. Udah males, nanti di rumah aja."
"Oh, mau sama Mas aja lulurnya?"
tanyanya dengan kembali meledek.
Aku memukul lengannya, dia hanya tertawa kecil. "Pulang aja."
***
Sesampainya di apartemen, Mas Brian langsung menghempaskan tubuh di sofa. Matanya terpejam masih dengan memakai sepatu lengkap.
Lelah sekali dia sampe tertidur di sofa. Kuhampiri dia, perlahan membuka sepatu, tapi dia bergeming. Pulas sekali tidurnya. Kucuri tatap wajahnya, ah ... andai dia benar milikku. Bayi besar yang suka berteriak dan memerintah sesuka hatinya.
Aku duduk sembari mendengarkan lagu kesayanganku. Lalu, menatap ponsel dan bermain sosial media. sesekali selfie dan memamerkan di laman I*******m.
Dengan bertuliskan 'Santai sejenak, selagi bayi besarnya tidur. Love u baby.' Tak lama banyak memberikan like di foto yang aku unggah. Aku tersenyum lebar.
***
Aku menatap sekeliling mencari Mas Brian ada di mana. Mendengar suara air dari kamar mandi, sepertinya dia sedang mandi.Benar, kan, tidak lama dia ke luar dengan sambut basah dan tentunya wajah glowing yang membuat aku semakin terpesona. apalagi arti status istri yang hanya bisa mengagumi suami pura-puranya. Tidak terbayang saat kontrak itu berakhir, hal indah pun mungkin sudah sampai di sana saja. "Heh, terpesona liat aku, ya?" "Ih, enggak." Aku membuang muka saat pria di hadapanku memuji dirinya sendiri. Malas sekali mendengarnya. Aku gegas ke kamar mandi selain menghindar, ini pun sudah pagi enggak etis kalau Mas Brian sudah mandi aku belum."Aku duluan ke bawah, ya. Kamu nyusul aja, bisa, kan?" tanya Mas Brian ."Iya, Mas, bisa. Nanti aku turun!" Aku berteriak dari dalam kamar mandi.Semalam ia mengatakan akan bertemu dengan Mas Erik, tapi enggak tahu jam berapa. Aku lagi enggak mood mandi, setelah sabunan dan sikat gigi aku langsung bergegas memakai baju.Di depan lemari, bi
Kuedarkan pandangan kesekeliling kafe yang ramai ini, tapi aku terasa sepi. Sejak pertengkaran dengan Mas Brian aku memilih duduk di kafe dekat apartemen.Suara merdu sang penyanyi membuat lagu yang dinyanyikan terasa dalam ke hati. Jus strawbery yang kupesan terasa hambar, aku hanya mengaduk hingga terlihat busa mengembang. "Ada yang mau request lagu?" Aku mengangkat tangan, penyanyi itu datang menghampiri di mana aku duduk."Nama kakak siapa? " tanyanya halus. Dari dekat wajah pria itu terlihat sangat tampan. Kiranya seumuran denganku. "Fitri," jawabku pelan. Dia tersenyum manis, aroma maskulin tubuhnya terasa sekali. "Mau request lagu apa ka? ""Utopia, baby doll.""Siap, ka."Pria itu melangkah ke atas panggung lagi. "Untuk Kak Fitri yang ada di sana!" teriaknya. Sepenggal lagu itu membuat hati semakin sakit. Seperti apa yang di lakukan Mas Brian padaku. Jatuh cinta itu tidak enak. Rasanya indah jika terbalaskan, tetapi perih saat mendapat penolakan. Aku Fitri, anak kemar
Akibat insiden celana dalam, aku malas menggunakan dress lagi. Sengaja kuminta Mas Brian membelikan baju tidur yang satu stel dengan celana panjang.Pria di hadapanku masih saja menertawakan kejadian semalam. Katanya kalau tidak kuat, dia akan menjebol sesuatu. Menyebalkan bukan ucapannya."Sudah tertawanya?""Belum. Belum, puas.""Mas, belikan, ya?" Aku merajuk padanya."Ngga usah beli lagi, mendingan pakai dress saja. Sexy Fit, aku suka." Mas Brian menaik turunkan alisnya. Sungguh suami pura-puraku sangat menyebalkan."Mas.""Sudah, enggak usah, apalagi kalau kamu—“"Apa?" Aku membulatkan mata sekaligus berkaca pinggang."Ngga pakai baju," ucapnya sambil berlari masuk ke kamar mandi.Kugedor keras pintu kamar mandi. Kesal sekali aku padanya. Seenaknya berbicara, memang aku wanita gampangan seenaknya saja bicara menyebalkan."Buka, Mas, buka!" teriakku"Mau apa? Aku sudah buka baju, kamu mau mandi bareng?" Terdengar teriakan dari kamar mandi.Argh ... menyebalkan sekali dia. "Ogah!"
Setelah Coky pulang, Mas Brian masih terduduk di sofa sembari memegangi luka di wajahnya. Aku langsung menghampiri Mas Brian, siapa tahu masih ada uang bisa aku bantu.Meskipun penuh luka, wajah suamiku tetap tampan. Namun, terkadang menyebalkan. Perasaan tadi masih bercampur aduk saat melihatnya dihantam oleh Mas Erik. Akibat wanita jalang itu, mereka berdua jadi salah paham. "Fit, makasih kamu sudah percaya sama, Mas.""Sama -sama, Mas. Sebagai istri yang baik jadi harus percaya sama suami."Kulihat wajah Mas Brian yang merengut. Apa ucapanku salah? Sepertinya tidak ada yang salah?Masa bodoh, kutinggalkan saja Mas Brian. Gara-gara masalah tadi, aku tidak jadi beli baju baru. Besok saja kujadwal ulang."Fit, sebagai istri yang baik, kenapa kamu tidak memberikan hakku sebagai seorang suami?" Kulempar bantal ke wajahnya yang mesum itu. Sudah babak belur, masih saja otak mesum. Dasar, majikan aneh, eh suami aneh."Kasar, banget sama suamimu. Nanti direbut orang marah.""Hih, pede ban
Diamnya aku pasti bikin Mas Brian bingung. Seperti sekarang, dia sibuk bertanya keinginanku. Semalam, dia menantangku. Kini, dia sibuk mencari perhatianku."Aku kerja nggak apa-apa?" tanyanya."Hmm ...." Aku hanya berdehem saat dia bertanya."Fit jangan seperti itu. Setidaknya kamu menjawab. Kalau kamu mau aku belum masuk kerja, nggak masalah.""Aku harus bagaimana?""Nah, kaya gitu aja. Ngomel nggak masalah, asal jangan Diamin aku."Aku melirik kesal. Apa dia lupa kesalahannya, memeluk wanita lain di depanku. Hah, kesal sekali mengingat kenapa mantan pria itu berdatangan mengganggu pernikahanku, walaupun hanya pernikahan settingan."Aku kasih uang jajan buat traktir Murni. Pasti kamu telepon temen kamu, kan?"Kenapa dia tahu aku mau bertemu dengan Murni? Pasti dia dengar saat aku meneleponnya semalam. Dasar tukang menguping."Kasih kabar, jangan ngilang. Inget, jangan dua-duaan sama Coky.""Bukannya kebalik?""Mas jalan dulu," ucapnya tanpa menjawab pertanyaanku.Aku bergegas merapik
Aku terbangun dengan kepala masih sangat pening, sepertinya malam tadi aku berada di luar apartemen. Kenapa bisa aku ada di kamar. Lalu, bajuku sudah berganti, siapa yang menggantikannya?Kututup mulut ini sembari mengingat-ingat siapa yang menggantikan baju yang dikenakan semalam. Apa jangan-jangan, Mas Brian? Ah, tidak, astaga, bagaimana jika benar dia."Nggak usah bangun," ucap Mas Brian yang baru saja datang."Kepala aku pusing Mas, aku kenapa?" tanyaku heran"Kamu pingsan tadi. Kamu kehujanan gitu aja sakit sih, Fit. Besok kita ke dokter aja, yah. Takut kamu malah berlanjut sakitnya nanti aku repot,” ucap Mas Brian.Masih saja memikirkan diri sendiri. Kepala ini masih snsagt pusing, mungkin aku kurang vitamin hingga masih lemas. Ah, kenapa jadi teringat kembali tentang baju yang kukenakan semalam."Mas, siapa yang gantiin baju aku?" tanyaku pada Mas Brian langsung dari pada bertanya-tanya sendiri."Aku lah, siapa lagi.""Hah! " Refleks aku menarik selimut menutupi tubuh. Apa yang
"Wah kebetulan yang di sengaja apa tidak?" tanyaku menatap tajam Mas Brian."Maksud kamu, Fit?" Mas Brian malah bertanya seolah-olah tak mengerti jika dia melakukan hal salah. Habis unboxing aku, eh malah berdua dengan mantanya.Aduh, kok tiba-tiba perutku sakit ya? Apa karena aku makan terlalu banyak sambel jadi sakit. Aku meringis memegangi perut. Coky menatapku kasihan, dia mencoba membantu. Begitu juga Adisty ikut repot membopongku."Kita ke dokter aja, ayo bawa ke mobil," ujar Mas Brian.Aku tahu dia bingung mau bagaimana, ada aku dan Adisty. Biar saja, kamu pusing Mas. Memangnya aku bisa di permainkan begitu saja olehnya."Nggak usah, aku istirahat aja," tolakku cepat."Aduh Fit, kasian kandungan kamu. Mending kita cek aja," bujuk Adisty padaku.Hampir saja Coky tertawa mendengar ucapan Adisty. Buru-buru aku senggol supaya diam."Sttt." Aku berbisik pelan.Dengan keadaan sakit gini aku terus meringis. Ini beneran loh, aku tidak akting. Bisa-bisanya Mas Brian hanya diam memperhat
Pagi ini aku masih meringkuk menutupi tubuh dengan selimut. Mas Brian duduk di ranjang, mungkin heran karena sepagi ini aku belum menyiapkan sarapan untuknya. Aku ngambek Mas, kamu tahu nggak aku ngambek. Ya bujuk dong aku gitu."Fit ... Masih marah?" tanya Mas Brian sambil naik ke ranjang dan memeluk dari belakang.Dia memelukku erat, menciumi leher juga. “Aku enggak tahu kenapa bisa aku selalu ingin dekat dengan kamu. Jangan marah, ya.”Suara berat Mas Brian terdengar berbisik di telinga. Aku pun begitu Mas, takut kehilanganmu. Tanpa terasa aku terlelap lagi di pelukan Mas Brian. Aku cinta kamu Mas, jangan pernah memilih yang lain.Aku tak bisa berlama-lama marah padanya, setelah bangun aku menyiapkan makanan untuknya. Mas Brian terlihat sudah bangun, dia duduk di depan TV. Seperti biasa dia meminta susu cokelat padaku. Lalu, Mas Brian menarik aku kedalam pelukannya."Maafin aku ya," ucapnya terlihat tulus tapi terlihat ada udang di balik batu."Minta maaf mulu ngulangin lagi. Kaya
“Tuh, kan Coky bilang mirip sama aku,” goda Coky pad Mas Brian.“Dih! Lihat tuh hidungnya mancung, jelas-jelas mirip Dadynya. Ngarang, lo, Ky.” Senggol Mas Brian.Mama, Papa, Bulek dan Selina hanya tertawa melihat kakak adik tak sekandung itu meributkan wajah anakku. Anakku terlihat menjiplak sekali Dadynya, curang banget sama sekali nggak ada miripnya sama aku.“Ayo kalian keluar, Fitri mau menyusui anaknya.” Mama terlihat mengusir Mas Brian dan Coky.“Coky aja yang keluar, aku, kan Dadynya,” tolak Mas Brian.“Sudah kalian jangan ribut.”Rasanya sempurna menjadi seorang Ibu, aku mulai memberikan asi kepada anak pertamaku. Mulut kecilnya mulai menghisap ASI. “Cucu Mama gantengnya, mau kamu kasih nama siapa?”“Terserah Mas Brian aja, Ma.” Aku sih terserah aja mau di kasih nama apa aja yang penting anakku jangan di kasiih nama aneh-aneh deh sama Dadynya. ***Perkembangan Abiyan Angkasa Pratama sangat baik, sampai saat ini usianya memasuki usia lima bulan. Dimana dia sangat gesit me
Aku mematut diriku di depan cermin. Kulihat perut ini sudah membuncit, tubuh terlihat membesar, dan pipi juga terlihat chubby. Mas Brian memelukku dari belakang, hembusan napasnya sangat terasa dan membuat leherku menggeli. Mas Brian mencium leher jenjangku yang sekarang terlihat banyak lipatan lemak. “Tetap sexy kok Mom,” bisiknya halus.“Aku jelek, ya Dad?” tanyaku lagi.“Tetep cantik kok.”Berada dipelukannya setiap pagi membuat aku merasa penuh semangat melalui hari-hari kehamilanku. Mas Brian benar-benar menjaga dan membuat diri ini nyaman dengan perlakuan manisnya.“Hari ini jadwal control jam berapa Mom?” tanyanya lagi.“Jam 14.00 siang, Dad, jangan lupa ya.” Aku mengingatkan Mas Brian dengan jadwal kontrol bulananku.“Mom duluan aja, aku ada meeting dengan klien dulu, jadi Mommy ke dokternya duluan minta antar Mama atau Bulek ,ya,” ucap Mas Brian seraya menicum pipiku.Aku mengangguk setuju usulan Mas Brian. Masih dengan posisi memelukku, dia tak mau melepaskannya. Padahal s
Selesai makan aku dan Mas Brian berjalan-jalan, mumpung di pekalongan anggap aja honeymoon. Kami sampai di musium batik, Mas brian takjub dengan koleksi batik di tempat ini, mulai dari batik yang tua sampai batik modern baik dari daerah pesisiran dan berbagai daerah lainnya.Di sana juga tak hanya tempat untuk memamerkan batik saja, tapi juga sebagai tempat pelatihan membatik. “Mas mau coba membatik?” tawarku."Nggak ah, mau lihat-lihat aja. Mau beli coupelan juga buat kita sama orang rumah,” ungkapnya.“Buat karyawan jadi?”“Jadi, tapi mau lihat motif saja dulu. Nanti kalo sudah oke di kondisikan sama ukuran baju mereka. Biar by phone saja ordernya,” kata Mas Brian menjelaskan.“Aku mau buat Murni, Coky dan Selina, ya?” “ Boleh, sekalian permintaan maaf aku sama Coky.”“Asik.”“Fit, kamu mau mengadakan resepsi pernikahan apa nggak?”“Nggak usah, Mas, pengajian aja di rumah, ngundang anak yatim ya Mas, biar berkah pernikahan kita,” ucapku disambut gembira Mas Brian.“Siap Nyonya B
Sepulang dari pasar aku lihat Bulek uring-uringan. Beberapa kali dia ngedumel tidak jelas. Aku menghampirinya seraya membantu mengupas sayuran.“Bulek kenapa, sih?” tanyaku iseng.“Bulek sebel, Fit. Itu si Shinta temen sekolahmu, baru aja dapet calon orang Jakarta gayanya selangit. Ngomong kesana-kesini macam-macam, sampe bilang kamu di Jakarta cuma jadi pembantu dan balik lagi ke sini tetep aja miskin. Nggak bisa dapet suami kaya. Sebel Bulek dengernya,” celoteh Bulek sambil memotong kentang.“Bulek nggak bilangkan tentang Mas Brian?”“Nggaklah. Bulek mah nggak norak kaya dia.”Aku menghela nafas tenang, untung saja Bulek nggak cerita tentang Mas Brian. Takutnya aku pisah sama Mas Brian malah jadi bahan omongan satu kampung. Dasar Shinta nggak pernah berubah.“Aku mau datang ke tempat reuni Bulek nanti jam 10.00. Bulek masak, kok banyak banget?” tanyaku heran.“Buat persediaan, aja. Kan, kamu bentar-bentar makan,” ucap Bulek tersenyum lebar.Setelah merapihkan sayuran, aku bergegas b
Kurebahkan tubuhku di kasur, kubalik badan hingga membelakangi Mas Brian. Hati ini masih sakit, dia ternyata masih mencintai Adisty. Mungkin Coky sudah mengirimi alamat Ronald, tapi aku tidak yakin dia akan kesana. Tak seperti malam-malam sebelumnya. Mas Brian malam ini sangat dingin. Tak ada ucapan kata maaf dari dia, bahkan pelukan atau kecupan kecil dari dirinya. Sebegitu marahkan dia kepadaku? Aku hanya ingin melihat dia tidak merasa bersalah. Aku tahu dia selalu merasa bersalah terhadap Adisty. Saat kemarin aku memergokinya memandangi nomer ponsel Adisty, seakan dia akan menelfon dan meminta maaf. Aku mau, dia tahu yang sebenarnya. Aku mau dia tahu Adisty tak selugu yang dia bayangkan. Namun, mungkin caraku salah, hingga dia marah besar seperti itu. Sampai pagi datang dia masih diam seribu bahasa. Hanya menjawab sekenanya setiap aku bertanya. Saat makan, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang saling beradu. Setelah itu menjelang sore Mas Brian habiskan menatap laptop.
Setelah tahu aku hamil, Mas Brian semakin perhatian padaku. Hari ini dia mengajakku jalan pagi, dan bilang akan mengajak belanja kebutuhan selama hamil. Begitu juga baju sampai keperluan pakaian hamilku. "Segerkan Fit," tanyanya sambil melompat-lompat, dan menggerakkan kedua tangannya. "Iya Mas, udah lama aku nggak ke taman ini. Jadi inget lagi pacaran, Eh ... salah deh, waktu masih jadi pembantu kamu," ungkapku dengan senyum."Fit, sekarang manggil aku jangan Mas dong. Kan, kita mau punya anak, Jadi manggil aku Dady ya. Biar anak kita nanti manggilnya juga Dady." Senyum lebar tersirat dari bibirnya. "Dady?" tanyaku seakan tak percaya."Yes, Mommy.""What? Mommy?" tanyaku sambil terkekeh "Iya, Momy and Dady," tambahnya. Ya Tuhan lucu sekali suamiku ini. Mungkin dia cocok dipanggil dengan sebutan Dady. Lah aku? Mommy? Biasanya makan ubi dan Singkong mau gaya-gayaan manggil mommy. "Mom? ""Yes, Dad. Heheheeh .... " jawabku sambil terkekeh."Kok ketawa? Ada yang lucu?""Ngga
Mas Brian berlalu meninggalkan kamarku. Tidak nampak apa yang mereka bicarakan.Kenapa ada dokter di rumah ini? Ada apa sebenarnya?Astaga, aku menutup kedua wajahku. Kayanya akan terbongkar kebohongannya kita. Semoga mereka tidak marah kalau tahu aku tidak hamil. Aku dan Mas Brian sama-sama merasa cemas. Apalagi Mas Brian, di bolak-balik seperti gosokan.Tak lama dokter teman Mama datang untuk memeriksa aku. Mas Brian berdiri tegang disampingku."Siang cantik," sapa dokter cantik itu yang datang bersama Mama. Bulek dan Papa Ikut mengekor Mama di belakangnya."Siang Dokter." Aku tersenyum membalas senyumannya. Banyak alat yang di bawanya. Sepeti alat USG untuk kehamilan. Ya, tamat kah cerita ini? Maksudnya cerita kehamilan bohonganku.Dokter itu memulai mengoleskan gel ke atas perutku. Diputarnya alat USG mengitari bagian perutku. Ish, jangan tanya sakitnya.Dia tersenyum menatapku, apa dia sudah tau kalau tidak ada apa-apa di perutku?"Hmm ... Ibu Fitri abis olah raga pagi sama suam
"Bri, kapan kalian periksa kehamilan lagi?" pertanyaan Papa tiba-tiba menjadi sangat horor saat kami dengar."Hmm ... Masih lama Pah. Mungkin sebulan lagi." Mas Brian menjawab dengan setenang mungkin."Masih lama dong lahirnya?" Tanya Papa lagi membuat tingkat ketakutan aku dan Mas Brian meningkat."Iya Pa, sabar aja." Mas Brian tersenyum kecut sekecut-kecutnya.Nah kan, senjata makan tuan ya Mas. Aku melirik dengan sedikit menyunggingkan bibir. Mas Brian mulai berkeringat, mungkin mencari cara agar topik pembicaraan beralih ketopik yang lain. “Temen Papa kemarin cucunya baru lahir. Makanya Papa mau buru-buru lihat cucu Papa,” ucapnya dengan bersemangat. “Ih, Papa nggak sabar banget sih.”goda Mama. Mas Brian terlihat salah tingkah mendengar ucapan Papa dan Mama. Bahkan keringat dingin mengucur. Makannya pun jadi gelisah."Pap, aku mau beli rumah kayanya. Tinggal di apartment sempit," Tukasnya."Hmm ... Bagus itu Bri. Pemikiran calon Ayah yang hebat, sebentar lagi mau punya anak jad
Mobil milik martuaku memasuki halaman rumah, terlihat mama turun dari mobil. Sementara, sudah beberapa jam lalu mas Brian meninggal rumah Mama."Loh ,ada Fitri.""Kok mama pulang?" "Oh, iya. Enggak jadi Papa ada urusan.""Fit, kamu nyidam apa hari ini? Mama beliin mangga muda, nih." Mama menatapku lekat, yang dia tahu aku sedang mengandung."Hmm ... Aku lagi pengen ngejambak rambut Masih Brian, Mah. Terus aku pengen nimpukin dia pake batu kerikil kolam ikan Mama," jawabku sekenanya. Karena hanya Itu yang aku pengen.Mama tertawa renyah mendengar ocehanku. Dia mengelus rambutku."Ih, kok sama deh sama Mama dulu pas hamil Brian. Bawaannya kesel mulu sama Papanya. Kayanya enek gitu, kalau deket-deket dia." Tawa renyahnya kembali terdengar. Sesekali dia menggulum senyum yang memperlihatkan wajah cantiknya.Mama mertuaku masih terlihat cantik meski umur tak lagi muda. Kerut wajahnya pun tak terlihat, beda dengan ibu-ibu komplek sini yang sudah banyak berkerut dan hobby bergosip."Fit, ik