Diamnya aku pasti bikin Mas Brian bingung. Seperti sekarang, dia sibuk bertanya keinginanku. Semalam, dia menantangku. Kini, dia sibuk mencari perhatianku."Aku kerja nggak apa-apa?" tanyanya."Hmm ...." Aku hanya berdehem saat dia bertanya."Fit jangan seperti itu. Setidaknya kamu menjawab. Kalau kamu mau aku belum masuk kerja, nggak masalah.""Aku harus bagaimana?""Nah, kaya gitu aja. Ngomel nggak masalah, asal jangan Diamin aku."Aku melirik kesal. Apa dia lupa kesalahannya, memeluk wanita lain di depanku. Hah, kesal sekali mengingat kenapa mantan pria itu berdatangan mengganggu pernikahanku, walaupun hanya pernikahan settingan."Aku kasih uang jajan buat traktir Murni. Pasti kamu telepon temen kamu, kan?"Kenapa dia tahu aku mau bertemu dengan Murni? Pasti dia dengar saat aku meneleponnya semalam. Dasar tukang menguping."Kasih kabar, jangan ngilang. Inget, jangan dua-duaan sama Coky.""Bukannya kebalik?""Mas jalan dulu," ucapnya tanpa menjawab pertanyaanku.Aku bergegas merapik
Aku terbangun dengan kepala masih sangat pening, sepertinya malam tadi aku berada di luar apartemen. Kenapa bisa aku ada di kamar. Lalu, bajuku sudah berganti, siapa yang menggantikannya?Kututup mulut ini sembari mengingat-ingat siapa yang menggantikan baju yang dikenakan semalam. Apa jangan-jangan, Mas Brian? Ah, tidak, astaga, bagaimana jika benar dia."Nggak usah bangun," ucap Mas Brian yang baru saja datang."Kepala aku pusing Mas, aku kenapa?" tanyaku heran"Kamu pingsan tadi. Kamu kehujanan gitu aja sakit sih, Fit. Besok kita ke dokter aja, yah. Takut kamu malah berlanjut sakitnya nanti aku repot,” ucap Mas Brian.Masih saja memikirkan diri sendiri. Kepala ini masih snsagt pusing, mungkin aku kurang vitamin hingga masih lemas. Ah, kenapa jadi teringat kembali tentang baju yang kukenakan semalam."Mas, siapa yang gantiin baju aku?" tanyaku pada Mas Brian langsung dari pada bertanya-tanya sendiri."Aku lah, siapa lagi.""Hah! " Refleks aku menarik selimut menutupi tubuh. Apa yang
"Wah kebetulan yang di sengaja apa tidak?" tanyaku menatap tajam Mas Brian."Maksud kamu, Fit?" Mas Brian malah bertanya seolah-olah tak mengerti jika dia melakukan hal salah. Habis unboxing aku, eh malah berdua dengan mantanya.Aduh, kok tiba-tiba perutku sakit ya? Apa karena aku makan terlalu banyak sambel jadi sakit. Aku meringis memegangi perut. Coky menatapku kasihan, dia mencoba membantu. Begitu juga Adisty ikut repot membopongku."Kita ke dokter aja, ayo bawa ke mobil," ujar Mas Brian.Aku tahu dia bingung mau bagaimana, ada aku dan Adisty. Biar saja, kamu pusing Mas. Memangnya aku bisa di permainkan begitu saja olehnya."Nggak usah, aku istirahat aja," tolakku cepat."Aduh Fit, kasian kandungan kamu. Mending kita cek aja," bujuk Adisty padaku.Hampir saja Coky tertawa mendengar ucapan Adisty. Buru-buru aku senggol supaya diam."Sttt." Aku berbisik pelan.Dengan keadaan sakit gini aku terus meringis. Ini beneran loh, aku tidak akting. Bisa-bisanya Mas Brian hanya diam memperhat
Pagi ini aku masih meringkuk menutupi tubuh dengan selimut. Mas Brian duduk di ranjang, mungkin heran karena sepagi ini aku belum menyiapkan sarapan untuknya. Aku ngambek Mas, kamu tahu nggak aku ngambek. Ya bujuk dong aku gitu."Fit ... Masih marah?" tanya Mas Brian sambil naik ke ranjang dan memeluk dari belakang.Dia memelukku erat, menciumi leher juga. “Aku enggak tahu kenapa bisa aku selalu ingin dekat dengan kamu. Jangan marah, ya.”Suara berat Mas Brian terdengar berbisik di telinga. Aku pun begitu Mas, takut kehilanganmu. Tanpa terasa aku terlelap lagi di pelukan Mas Brian. Aku cinta kamu Mas, jangan pernah memilih yang lain.Aku tak bisa berlama-lama marah padanya, setelah bangun aku menyiapkan makanan untuknya. Mas Brian terlihat sudah bangun, dia duduk di depan TV. Seperti biasa dia meminta susu cokelat padaku. Lalu, Mas Brian menarik aku kedalam pelukannya."Maafin aku ya," ucapnya terlihat tulus tapi terlihat ada udang di balik batu."Minta maaf mulu ngulangin lagi. Kaya
Aku sengaja tidak bercerita tentang Adisty pada Mas Brian. Menyebalkan, mana ada wanita baik-baik datang hanya untuk meminta suami orang. Kurasa tidak waras dia dan sudah gila menurut aku.Ponselku bergetar saat hendak berberes rumah. Ternyata dari Mas Brian.[Fit, ke kantorku, ya. Kita makan malam. Sebagai permintaan maaf yang kemarin][Oke, Mas]Segera aku merapikan apartemen. Lalu, melipat beberapa baju terlebih dahulu sebelum pergi ke kantor Mas Brian.Ah, makan malam romantis pastinya. Mas Brian tahu aja kalau aku ngambek kemarin. Aku, kan, tidak tahu jalan. Apa aku minta antar Coky saja untuk ke kantor Mas Brian? Pasti dia tidak akan menolak. Segera aku menghubunginya, benar, dia mau mengantarku.Tak lama Coky menelepon dan sudah ada di basemen. Segera aku bergegas turun ke bawah.Aku mencari-cari di mana Coky, netraku menemukan dia di dalam mobil. Tangannya melambai ke arahku."Mobil siapa?" tanyaku heran.Bukan aku merendahkan, setahu aku Coky hanya penyanyi kafe. Eh, tapi dia
Wajah Mas Brian masam saat aku menyebut nama Coky."Mas nggak marah kalau kamu izin.""Iya, darurat, Mas.""Sedarurat apa pun, kamu harus izin suami. Apalagi jalan sama pria lain. Kamu aja Mas sama Adisty marah," ujar Mas Brian.Jadi, dia cemburu pada Coky? Kenapa aku tidak sadar hal ini? Aduh, merasa bersalah banget aku sama Mas Brian.Pria bermata cokelat itu menatap kesal padaku. Aku tahu kesalahan ini memang tidak aku sengaja. Tidak enak kalau diintimidasi seperti ini."Mas, maafin Fitri. Janji nggak akan mengulanginya,” ujarku.Kupeluk ia dari belakang. Hanya cara ini yang bisa aku lakukan untuk meluluhkan hati pria ini. Tuh, dia beneran marah, sampai tidak membalas pelukanku."Mas, udah marahnya."Tiba-tiba dia melepas tanganku dari pinggangnya, lalu berbalik. Mengecup perlahan, hingga membuatku larut dalam permainan bibirnya.Setengah tersengal-sengal aku menarik diri."Makanya jangan nakal, hukuman buat kamu.""Mas, ngambil kesempatan dalam kesempitan.""Biarin, sama istri sen
“Mas, dompet kamu ada di sini?”Dengan getir aku memberikan dompet yang menjadi alasannya pergi. Begitu naif memang, kemarin bicara sudah tidak ingin berhubungan, tetapi aku melihat kembali mereka bersama.“Fitri.” Mas Brian terkejut melihatku datang. Dia mencoba menenangkanku, tapi aku sudah tak ingin mendengar semua ucapannya.“Fit, ini enggak seperti yang kamu bayangin, “ bela Adisty.“Ck! Kalian berdua memang nggak punya malu. Kamu punya istri, Mas. Apa yang kamu pikirkan saat ini dengan memeluk wanita lain. Kamu enggak memikirkan aku, hah?” Napasku terasa berat saat emosi ini begitu memuncak.Mas Brian terus saja meminta aku tenang dan berusaha menjelaskan. Tapi, apa arti semua penjelasan itu jika dia masih bersama dengan wanita itu. Berpelukan di depan aku, bagaimana jika di belakangku. Apa yang mereka lakukan.“Aku hanya ingin menyelesaikan masalah dengan Adisty. Hanya itu, kan, Dis?” Mas Brian terlihat meminta Adisty membelanya.“Iya, harusnya kamu bersyukur memiliki Brian.”M
Ini bukan masalah tidak setia, tapi aku selalu merasa Mas Brian itu seolah-olah mempermainkan aku. Hari ini dia minta maaf, esok kembali melakukan hal yang sama.Aku lelah selalu memaafkan dan tersakiti. Namun, ada benarnya juga perkataan Coky jika aku mengalah dan bercerai, hal itu pun akan membuat aku sakit hati.Aku tersadar dari lamunan saat Coky menjentikkan jari di depan wajahku.“Fix mau cerai?” tanya Coky.“Aku masih bingung.”“Segala sesuatu tidak bisa di putuskan secara terburu-buru. Contohnya perceraian, memang kalian sebelum menikah tidak saling cinta? Pikirkan saja masa-masa bahagia kalian.”Saling cinta? Lucu sekali aku mendengarnya. Coky tidak tahu pernikahan kami berawal dari kepura-puraan. Aku terkekeh sendiri jika mengingat kebodohan yang selama ini aku lakukan.“Makan nasinya, sebentar lagi film mulai.”“Iya.”Makanan di hadapanku pun tak menggugah selera, apalagi mengingat masalah malam tadi. Rasanya muak dan benci dengan Mas Brian.Namun, aku tidak enak jika tak m
“Tuh, kan Coky bilang mirip sama aku,” goda Coky pad Mas Brian.“Dih! Lihat tuh hidungnya mancung, jelas-jelas mirip Dadynya. Ngarang, lo, Ky.” Senggol Mas Brian.Mama, Papa, Bulek dan Selina hanya tertawa melihat kakak adik tak sekandung itu meributkan wajah anakku. Anakku terlihat menjiplak sekali Dadynya, curang banget sama sekali nggak ada miripnya sama aku.“Ayo kalian keluar, Fitri mau menyusui anaknya.” Mama terlihat mengusir Mas Brian dan Coky.“Coky aja yang keluar, aku, kan Dadynya,” tolak Mas Brian.“Sudah kalian jangan ribut.”Rasanya sempurna menjadi seorang Ibu, aku mulai memberikan asi kepada anak pertamaku. Mulut kecilnya mulai menghisap ASI. “Cucu Mama gantengnya, mau kamu kasih nama siapa?”“Terserah Mas Brian aja, Ma.” Aku sih terserah aja mau di kasih nama apa aja yang penting anakku jangan di kasiih nama aneh-aneh deh sama Dadynya. ***Perkembangan Abiyan Angkasa Pratama sangat baik, sampai saat ini usianya memasuki usia lima bulan. Dimana dia sangat gesit me
Aku mematut diriku di depan cermin. Kulihat perut ini sudah membuncit, tubuh terlihat membesar, dan pipi juga terlihat chubby. Mas Brian memelukku dari belakang, hembusan napasnya sangat terasa dan membuat leherku menggeli. Mas Brian mencium leher jenjangku yang sekarang terlihat banyak lipatan lemak. “Tetap sexy kok Mom,” bisiknya halus.“Aku jelek, ya Dad?” tanyaku lagi.“Tetep cantik kok.”Berada dipelukannya setiap pagi membuat aku merasa penuh semangat melalui hari-hari kehamilanku. Mas Brian benar-benar menjaga dan membuat diri ini nyaman dengan perlakuan manisnya.“Hari ini jadwal control jam berapa Mom?” tanyanya lagi.“Jam 14.00 siang, Dad, jangan lupa ya.” Aku mengingatkan Mas Brian dengan jadwal kontrol bulananku.“Mom duluan aja, aku ada meeting dengan klien dulu, jadi Mommy ke dokternya duluan minta antar Mama atau Bulek ,ya,” ucap Mas Brian seraya menicum pipiku.Aku mengangguk setuju usulan Mas Brian. Masih dengan posisi memelukku, dia tak mau melepaskannya. Padahal s
Selesai makan aku dan Mas Brian berjalan-jalan, mumpung di pekalongan anggap aja honeymoon. Kami sampai di musium batik, Mas brian takjub dengan koleksi batik di tempat ini, mulai dari batik yang tua sampai batik modern baik dari daerah pesisiran dan berbagai daerah lainnya.Di sana juga tak hanya tempat untuk memamerkan batik saja, tapi juga sebagai tempat pelatihan membatik. “Mas mau coba membatik?” tawarku."Nggak ah, mau lihat-lihat aja. Mau beli coupelan juga buat kita sama orang rumah,” ungkapnya.“Buat karyawan jadi?”“Jadi, tapi mau lihat motif saja dulu. Nanti kalo sudah oke di kondisikan sama ukuran baju mereka. Biar by phone saja ordernya,” kata Mas Brian menjelaskan.“Aku mau buat Murni, Coky dan Selina, ya?” “ Boleh, sekalian permintaan maaf aku sama Coky.”“Asik.”“Fit, kamu mau mengadakan resepsi pernikahan apa nggak?”“Nggak usah, Mas, pengajian aja di rumah, ngundang anak yatim ya Mas, biar berkah pernikahan kita,” ucapku disambut gembira Mas Brian.“Siap Nyonya B
Sepulang dari pasar aku lihat Bulek uring-uringan. Beberapa kali dia ngedumel tidak jelas. Aku menghampirinya seraya membantu mengupas sayuran.“Bulek kenapa, sih?” tanyaku iseng.“Bulek sebel, Fit. Itu si Shinta temen sekolahmu, baru aja dapet calon orang Jakarta gayanya selangit. Ngomong kesana-kesini macam-macam, sampe bilang kamu di Jakarta cuma jadi pembantu dan balik lagi ke sini tetep aja miskin. Nggak bisa dapet suami kaya. Sebel Bulek dengernya,” celoteh Bulek sambil memotong kentang.“Bulek nggak bilangkan tentang Mas Brian?”“Nggaklah. Bulek mah nggak norak kaya dia.”Aku menghela nafas tenang, untung saja Bulek nggak cerita tentang Mas Brian. Takutnya aku pisah sama Mas Brian malah jadi bahan omongan satu kampung. Dasar Shinta nggak pernah berubah.“Aku mau datang ke tempat reuni Bulek nanti jam 10.00. Bulek masak, kok banyak banget?” tanyaku heran.“Buat persediaan, aja. Kan, kamu bentar-bentar makan,” ucap Bulek tersenyum lebar.Setelah merapihkan sayuran, aku bergegas b
Kurebahkan tubuhku di kasur, kubalik badan hingga membelakangi Mas Brian. Hati ini masih sakit, dia ternyata masih mencintai Adisty. Mungkin Coky sudah mengirimi alamat Ronald, tapi aku tidak yakin dia akan kesana. Tak seperti malam-malam sebelumnya. Mas Brian malam ini sangat dingin. Tak ada ucapan kata maaf dari dia, bahkan pelukan atau kecupan kecil dari dirinya. Sebegitu marahkan dia kepadaku? Aku hanya ingin melihat dia tidak merasa bersalah. Aku tahu dia selalu merasa bersalah terhadap Adisty. Saat kemarin aku memergokinya memandangi nomer ponsel Adisty, seakan dia akan menelfon dan meminta maaf. Aku mau, dia tahu yang sebenarnya. Aku mau dia tahu Adisty tak selugu yang dia bayangkan. Namun, mungkin caraku salah, hingga dia marah besar seperti itu. Sampai pagi datang dia masih diam seribu bahasa. Hanya menjawab sekenanya setiap aku bertanya. Saat makan, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang saling beradu. Setelah itu menjelang sore Mas Brian habiskan menatap laptop.
Setelah tahu aku hamil, Mas Brian semakin perhatian padaku. Hari ini dia mengajakku jalan pagi, dan bilang akan mengajak belanja kebutuhan selama hamil. Begitu juga baju sampai keperluan pakaian hamilku. "Segerkan Fit," tanyanya sambil melompat-lompat, dan menggerakkan kedua tangannya. "Iya Mas, udah lama aku nggak ke taman ini. Jadi inget lagi pacaran, Eh ... salah deh, waktu masih jadi pembantu kamu," ungkapku dengan senyum."Fit, sekarang manggil aku jangan Mas dong. Kan, kita mau punya anak, Jadi manggil aku Dady ya. Biar anak kita nanti manggilnya juga Dady." Senyum lebar tersirat dari bibirnya. "Dady?" tanyaku seakan tak percaya."Yes, Mommy.""What? Mommy?" tanyaku sambil terkekeh "Iya, Momy and Dady," tambahnya. Ya Tuhan lucu sekali suamiku ini. Mungkin dia cocok dipanggil dengan sebutan Dady. Lah aku? Mommy? Biasanya makan ubi dan Singkong mau gaya-gayaan manggil mommy. "Mom? ""Yes, Dad. Heheheeh .... " jawabku sambil terkekeh."Kok ketawa? Ada yang lucu?""Ngga
Mas Brian berlalu meninggalkan kamarku. Tidak nampak apa yang mereka bicarakan.Kenapa ada dokter di rumah ini? Ada apa sebenarnya?Astaga, aku menutup kedua wajahku. Kayanya akan terbongkar kebohongannya kita. Semoga mereka tidak marah kalau tahu aku tidak hamil. Aku dan Mas Brian sama-sama merasa cemas. Apalagi Mas Brian, di bolak-balik seperti gosokan.Tak lama dokter teman Mama datang untuk memeriksa aku. Mas Brian berdiri tegang disampingku."Siang cantik," sapa dokter cantik itu yang datang bersama Mama. Bulek dan Papa Ikut mengekor Mama di belakangnya."Siang Dokter." Aku tersenyum membalas senyumannya. Banyak alat yang di bawanya. Sepeti alat USG untuk kehamilan. Ya, tamat kah cerita ini? Maksudnya cerita kehamilan bohonganku.Dokter itu memulai mengoleskan gel ke atas perutku. Diputarnya alat USG mengitari bagian perutku. Ish, jangan tanya sakitnya.Dia tersenyum menatapku, apa dia sudah tau kalau tidak ada apa-apa di perutku?"Hmm ... Ibu Fitri abis olah raga pagi sama suam
"Bri, kapan kalian periksa kehamilan lagi?" pertanyaan Papa tiba-tiba menjadi sangat horor saat kami dengar."Hmm ... Masih lama Pah. Mungkin sebulan lagi." Mas Brian menjawab dengan setenang mungkin."Masih lama dong lahirnya?" Tanya Papa lagi membuat tingkat ketakutan aku dan Mas Brian meningkat."Iya Pa, sabar aja." Mas Brian tersenyum kecut sekecut-kecutnya.Nah kan, senjata makan tuan ya Mas. Aku melirik dengan sedikit menyunggingkan bibir. Mas Brian mulai berkeringat, mungkin mencari cara agar topik pembicaraan beralih ketopik yang lain. “Temen Papa kemarin cucunya baru lahir. Makanya Papa mau buru-buru lihat cucu Papa,” ucapnya dengan bersemangat. “Ih, Papa nggak sabar banget sih.”goda Mama. Mas Brian terlihat salah tingkah mendengar ucapan Papa dan Mama. Bahkan keringat dingin mengucur. Makannya pun jadi gelisah."Pap, aku mau beli rumah kayanya. Tinggal di apartment sempit," Tukasnya."Hmm ... Bagus itu Bri. Pemikiran calon Ayah yang hebat, sebentar lagi mau punya anak jad
Mobil milik martuaku memasuki halaman rumah, terlihat mama turun dari mobil. Sementara, sudah beberapa jam lalu mas Brian meninggal rumah Mama."Loh ,ada Fitri.""Kok mama pulang?" "Oh, iya. Enggak jadi Papa ada urusan.""Fit, kamu nyidam apa hari ini? Mama beliin mangga muda, nih." Mama menatapku lekat, yang dia tahu aku sedang mengandung."Hmm ... Aku lagi pengen ngejambak rambut Masih Brian, Mah. Terus aku pengen nimpukin dia pake batu kerikil kolam ikan Mama," jawabku sekenanya. Karena hanya Itu yang aku pengen.Mama tertawa renyah mendengar ocehanku. Dia mengelus rambutku."Ih, kok sama deh sama Mama dulu pas hamil Brian. Bawaannya kesel mulu sama Papanya. Kayanya enek gitu, kalau deket-deket dia." Tawa renyahnya kembali terdengar. Sesekali dia menggulum senyum yang memperlihatkan wajah cantiknya.Mama mertuaku masih terlihat cantik meski umur tak lagi muda. Kerut wajahnya pun tak terlihat, beda dengan ibu-ibu komplek sini yang sudah banyak berkerut dan hobby bergosip."Fit, ik