"Fitri khilaf, Bu."
Hanya itu yang bisa aku katakan. Sejujurnya sangat malu mengucapkannya. Kulirik Mas Brian yang tenang di sana. Semua gara-gara ulah dia kenapa harus aku yang ikutan malu dengan apa yang dilakukannya.
Aku tidak percaya kalau akan mengalami nasib ini. Seperti pembantu tidak tahu diri, hamil dengan majikan sendiri. Bagaimana kata orang, harga diri ini di pertaruhkan.
Ini di luar kesepakatan. Kenapa Mas Brian bilang aku sedang hamil? Dasar, mau untung sendiri tanpa memikirkan aku.
"Pak, cepat nikahkan mereka. Sebelum perut fitri besar. Haduh, lega, sih, lega. Tahu kalau Brian masih suka perempuan, tapi nggak gini juga," keluh Mama Mas Brian.
Nikah secepatnya? Astaga, kenapa jadi nikah beneran, karena hamil pula. Jadi, terkesan aku wanita tidak baik. Aku kembali menoleh ke atas si sumber masalah. Lagi-lagi pria itu seperti tak merasa bersalah.
Mas Brian harus tanggung jawab semuanya. Enak saja dia lepas dari perjodohan dan aku terbelenggu pernikahan dengannya.
"Besok juga boleh." Pak Adi menimpali.
Wajah Mas Brian memerah seketika mendengar ucapan Pak Adi. Dia menoleh ke arahku, tapi secepat kilat aku membuang muka. Makanya jangan main api kalau susah memadamkannya.
***
Mas Brian sejak tadi meminta maaf dan merayuku. Enak saja meminta maaf lalu aku begitu saja melupakan semua yang dilakukannya.
"Jangan ngambek dong Fit, demi kebaikan bersama," ucap Mas Brian. Sedari tadi dia terus membujukku karena aku merajuk kesal.
"Kebaikan bersama apanya? Kebaikan Mas Brian doang, kan?" Aku sengaja berteriak kesal padanya. Baru kali ini aku berhasil membentaknya.
"Ng-anu ... iya sih," jawabnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Namaku jadi jelek di depan Bapak dan Ibu. Belum lagi Bulek kecewa sama aku. Dalam kesepakatan, nggak ada, tuh drama aku hamil," ucapku jengkel.
"Udah dong marahnya," ucapnya lagi merayuku.
Baru kali ini aku marah sama Mas Brian. Siapa yang tidak jengkel kalau dibilang hamil. Hamil di luar nikah pula. Apa kata dunia? Kata orang, tetangga dan murni?
"Mas, sih, nggak ngerti posisi aku! Sampe-sampe Bulek bilang aku merayu Mas Brian. Boro-boro merayu, tiap hari juga aku kena omelan Mas Brian yang galak. Gimana bisa merayu sampe hamil." Aku mendekus kesal.
"Kalau nggak bilang gitu, mereka nggak percaya," balasnya lagi.
Rasanya inginku dorong Mas Brian ke dalam kolam ini. Bukan masalah tidak percaya, bagaimana bisa percaya kalau calon menantunya pembantu. Kan, Enggak masuk akal namanya. Cari sih yang lebih dari aku.
"Gara-gara itu kita harus nikah. Emang Mas Brian cinta sama aku? Apa bedanya nikah sama perempuan yang dijodohkan mereka dengan aku? Sama aja, kan Mas, sama-sama nggak cinta."
Mas Brian terdiam mendengar ucapanku.
"Beda, Fit, kalau dia aku nggak kenal, tapi kalau kamu, kan sudah kenal aku. Jadi anggap aja seperti biasa, aku majikan kamu dan kamu --"
"Istri rasa pembantu?" Aku memotong ucapannya dengan emosi.
Mas Brian nyengir kuda. "Heheheh ... bukan aku yang bilang, loh."
Aku bergegas meninggalkan Mas Brian. Lama-lama di sini, aku bisa sakit jiwa. Ku abaikan panggilannya yang terus memanggil.
Melangkah memasuki ruang tengah rasanya masih berasa pada posisi ketika aku menyaksikan Bulek menangis kecewa.
Aku mengintip ke kamar Bulek, dia sedang duduk dan terlihat masih menangis. Ya Allah, kasihan Bulek, apa aku kasih tahu saja, ya, kalau aku hanya berpura-pura?
"Bulek, Fitri boleh masuk nggak?"
Tak ada jawaban, aku memberanikan diri masuk ke kamar Bulek. Aku duduk di samping ranjang Bulek memperhatikan wajah tuanya.
"Bulek, maafin Fitri ya."
Bulek memandangku, tapi pandangannya tak sedingin tadi. Bulek kembali seperti bulekku yang penyabar.
"Fit, Bulek tidak marah tapi Bulek kecewa sama kamu. Kalau kamu suka sama Mas Brian jangan sampai begini. Kalau kalian saling suka, ya, menikahlah, tapi jangan karena sudah hamil duluan, itu dosa."
"Bulek, sebenernya--"
"Fitri, Mbok, kita ke ruang tengah, Bapak mau bicara," ucap Bu Arum memanggil kami.
"Iyah Bu," jawab Bulek.
Bulek langsung beranjak ke ruang tengah. Padahal baru saja aku mau cerita, tapi malah gagal.
Di ruang tengah mereka sudah duduk menunggu kami. Sepertinya Bapak mau bicara sesuatu.
"Fit, Mbok, duduk silahkan."
Kami duduk bersebelahan, entah apa yang akan di bicarakan. Apa mereka akan mengusir aku dan Bulek? Perasaanku malah jadi tak karuan.
"Kamu dan Brian akan melangsungkan akad nikah seminggu lagi. Resepsi akan dilakukan sebulan setelah acara akad."
Mas Brian yang tadi santai menjadi tegang. Dia merubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. Sama seperti aku dia kaget mendengar ucapan Bapak.
"Satu minggu lagi, Pah?" tanya Mas Brian.
"Ya, karena Papa takut perut Fitri semakin besar."
Lutut ini melemas, apa yang harus diperbuat. Tak terbayangkan, seminggu lagi aku menjadi istri Mas Brian. Seperti yang selalu di impikan, menikah dengan laki-laki yang seperti Mas Brian. Namun, tidak dengan cara seperti ini.
Kulihat Mas Brian ikut cemas, jemarinya meremas kemeja yang dia pakai. Tampak sekilas menatapku, entah tatapan apa yang dia pancarkan.
"Setelah menikah lebih baik kalian tinggal di apartemen Papa. Demi menghindari bisik tetangga komplek. Si mbok biar tinggal bersama Papa dan Mama di rumah ini."
Wajah kami pucat, aku menatap Mas Brian sekiranya dia mengeluarkan penolakan. Namun, dia hanya diam seakan meng-iyakan.
Bagaimana rasanya hanya tinggal berdua dengan Mas Brian? Tanpa ada Bulek.
***
"Mas, bagaimana ini?"
"Bagaimana apanya?"
"Mas, jangan diam aja, dong. Mas lolos dari perjodohan, tapi Mas malah menikah sama aku. Mas pikir pernikahan itu bisa main-main?"
Aku terus saja mengoceh kesal. Namun, seperti tidak merasa bersalah Mas Brian terus saja bungkam.
"Mas, jawab, dong."
"Apa yang harus aku jawab?"
Astaga, ini semua nyata. Pernikahan, pangeran tampan dan harta kekayaan. Lalu, upik abu jadi Cinderella. Ya Tuhan, apa Mas Brian akan diam saja?
Ingin menangis sekencang-kencangnya. Aku bingung harus bagaimana.
"Mas, bilang saja, aku tidak hamil. Gimana?"
"Nggak usah. Biar saja kita nikah, kamu nggak mau nikah sama aku?"
Dadaku bergemuruh hebat. Siapa yang tidak mau menikah dengan pria tampan seperti Mas Brian, tapi dia menyebalkan.
"Bilang aja kamu seneng nikah sama aku. Malu-malu meong segala. Udah sih, jalanin aja. Nanti kita pikirin gimana ke depannya."
Mas Brian bangkit meninggalkan aku. Perbincangan ini belum selesai, tapi dia sudah pergi begitu saja. Siapa yang tidak kesal.
Mas Brian kembali menemui aku. Senyum dari bibirnya membuat aku geram.
"Fit, kalau sudah nikah sama aku, siap-siap hamil beneran, ya."
" Argh ... Mas Brian!"
****
Aku seperti mimpi, hari ini aku berdiri di depan cermin dengan menggunakan kebaya putih. Sebentar lagi akan menyandang status nyonya Brian. Rasanya seperti mimpi saja, awalnya Mas Brian hanya meminta untuk aku berpura-pura, tapi kenapa harus menjadi istri sesungguhnya.Bulek dan Bu Arum menghampiri aku, ia mengajak aku ke luar karena sudah di tunggu penghulu.***"Saya terima nikah dan kawinnya Fitri Lestari binti Budiyono dengan mas kawin perhiasan emas seberat sepuluh gram dibayar tunai." Dengan mantap Mas Brian mengucapkan ijab kobul hari ini. Setelah ijab kobul artinya aku sudah sah menjadi istri Mas Brian. Kucium punggung tangannya, kemudian meminta maaf pada kedua orang tua Mas Brian dan Bulek.Tak henti Bulek mengeluarkan air mata. Berapa nasihat dia berikan padaku, pun tak kuasa menahan tangis. Semakin kencang kupeluk Bulek. "Jadi istri yang baik, ya, Fit. Layanin suamimu dengan benar. " "Iya, Bulek," jawabku pelan. Acara akad nikah tapi bagaikan resepsi, ramainya dengan
Indah sekali gedung besar yang ada di hadapanku. Sepanjang jalan ke ruangan, aku tak berhenti memuji tempat besar ini."Jangan, norak," bisik Mas Brian di telingaku. Aku hanya mengerucutkan bibir, suka kesel dengan mulut lemes Mas Brian. Sesaat kami sudah berada di ruang yang cukup luas. Tertata dengan rapi, tetapi hanya ada satu kamar, ruang santai, dapur dan kamar mandi. Mas Brian langsung ke kamar mandi, katanya keringatan dan mau mengguyur badan.Aku merebahkan tubuh di kasur. Rasanya lelah sekali, kupejamkan mata berharap rasa capek ini akan hilang besok. Beberapa menit, tapi kembali terdengar suara nyaring Mas Brian."Fitri! Ngapain kamu tidur di kasur?" teriak Mas Brian. Dengan berat kubuka mata perlahan. Kulihat Mas Brian sudah segar dengan rambut basah. "Lah, terus aku tidur di mana?" "Sofa," jawabnya ketus. "Nggak mau! Mas Brian aja yang di sofa, aku di kasur," ucapku dengan penekanan. Mas Brian menarik tanganku, aku menahan tubuh agar tidak ikut tertarik. "Bangun!"
Aku menatap sekeliling mencari Mas Brian ada di mana. Mendengar suara air dari kamar mandi, sepertinya dia sedang mandi.Benar, kan, tidak lama dia ke luar dengan sambut basah dan tentunya wajah glowing yang membuat aku semakin terpesona. apalagi arti status istri yang hanya bisa mengagumi suami pura-puranya. Tidak terbayang saat kontrak itu berakhir, hal indah pun mungkin sudah sampai di sana saja. "Heh, terpesona liat aku, ya?" "Ih, enggak." Aku membuang muka saat pria di hadapanku memuji dirinya sendiri. Malas sekali mendengarnya. Aku gegas ke kamar mandi selain menghindar, ini pun sudah pagi enggak etis kalau Mas Brian sudah mandi aku belum."Aku duluan ke bawah, ya. Kamu nyusul aja, bisa, kan?" tanya Mas Brian ."Iya, Mas, bisa. Nanti aku turun!" Aku berteriak dari dalam kamar mandi.Semalam ia mengatakan akan bertemu dengan Mas Erik, tapi enggak tahu jam berapa. Aku lagi enggak mood mandi, setelah sabunan dan sikat gigi aku langsung bergegas memakai baju.Di depan lemari, bi
Kuedarkan pandangan kesekeliling kafe yang ramai ini, tapi aku terasa sepi. Sejak pertengkaran dengan Mas Brian aku memilih duduk di kafe dekat apartemen.Suara merdu sang penyanyi membuat lagu yang dinyanyikan terasa dalam ke hati. Jus strawbery yang kupesan terasa hambar, aku hanya mengaduk hingga terlihat busa mengembang. "Ada yang mau request lagu?" Aku mengangkat tangan, penyanyi itu datang menghampiri di mana aku duduk."Nama kakak siapa? " tanyanya halus. Dari dekat wajah pria itu terlihat sangat tampan. Kiranya seumuran denganku. "Fitri," jawabku pelan. Dia tersenyum manis, aroma maskulin tubuhnya terasa sekali. "Mau request lagu apa ka? ""Utopia, baby doll.""Siap, ka."Pria itu melangkah ke atas panggung lagi. "Untuk Kak Fitri yang ada di sana!" teriaknya. Sepenggal lagu itu membuat hati semakin sakit. Seperti apa yang di lakukan Mas Brian padaku. Jatuh cinta itu tidak enak. Rasanya indah jika terbalaskan, tetapi perih saat mendapat penolakan. Aku Fitri, anak kemar
Akibat insiden celana dalam, aku malas menggunakan dress lagi. Sengaja kuminta Mas Brian membelikan baju tidur yang satu stel dengan celana panjang.Pria di hadapanku masih saja menertawakan kejadian semalam. Katanya kalau tidak kuat, dia akan menjebol sesuatu. Menyebalkan bukan ucapannya."Sudah tertawanya?""Belum. Belum, puas.""Mas, belikan, ya?" Aku merajuk padanya."Ngga usah beli lagi, mendingan pakai dress saja. Sexy Fit, aku suka." Mas Brian menaik turunkan alisnya. Sungguh suami pura-puraku sangat menyebalkan."Mas.""Sudah, enggak usah, apalagi kalau kamu—“"Apa?" Aku membulatkan mata sekaligus berkaca pinggang."Ngga pakai baju," ucapnya sambil berlari masuk ke kamar mandi.Kugedor keras pintu kamar mandi. Kesal sekali aku padanya. Seenaknya berbicara, memang aku wanita gampangan seenaknya saja bicara menyebalkan."Buka, Mas, buka!" teriakku"Mau apa? Aku sudah buka baju, kamu mau mandi bareng?" Terdengar teriakan dari kamar mandi.Argh ... menyebalkan sekali dia. "Ogah!"
Setelah Coky pulang, Mas Brian masih terduduk di sofa sembari memegangi luka di wajahnya. Aku langsung menghampiri Mas Brian, siapa tahu masih ada uang bisa aku bantu.Meskipun penuh luka, wajah suamiku tetap tampan. Namun, terkadang menyebalkan. Perasaan tadi masih bercampur aduk saat melihatnya dihantam oleh Mas Erik. Akibat wanita jalang itu, mereka berdua jadi salah paham. "Fit, makasih kamu sudah percaya sama, Mas.""Sama -sama, Mas. Sebagai istri yang baik jadi harus percaya sama suami."Kulihat wajah Mas Brian yang merengut. Apa ucapanku salah? Sepertinya tidak ada yang salah?Masa bodoh, kutinggalkan saja Mas Brian. Gara-gara masalah tadi, aku tidak jadi beli baju baru. Besok saja kujadwal ulang."Fit, sebagai istri yang baik, kenapa kamu tidak memberikan hakku sebagai seorang suami?" Kulempar bantal ke wajahnya yang mesum itu. Sudah babak belur, masih saja otak mesum. Dasar, majikan aneh, eh suami aneh."Kasar, banget sama suamimu. Nanti direbut orang marah.""Hih, pede ban
Diamnya aku pasti bikin Mas Brian bingung. Seperti sekarang, dia sibuk bertanya keinginanku. Semalam, dia menantangku. Kini, dia sibuk mencari perhatianku."Aku kerja nggak apa-apa?" tanyanya."Hmm ...." Aku hanya berdehem saat dia bertanya."Fit jangan seperti itu. Setidaknya kamu menjawab. Kalau kamu mau aku belum masuk kerja, nggak masalah.""Aku harus bagaimana?""Nah, kaya gitu aja. Ngomel nggak masalah, asal jangan Diamin aku."Aku melirik kesal. Apa dia lupa kesalahannya, memeluk wanita lain di depanku. Hah, kesal sekali mengingat kenapa mantan pria itu berdatangan mengganggu pernikahanku, walaupun hanya pernikahan settingan."Aku kasih uang jajan buat traktir Murni. Pasti kamu telepon temen kamu, kan?"Kenapa dia tahu aku mau bertemu dengan Murni? Pasti dia dengar saat aku meneleponnya semalam. Dasar tukang menguping."Kasih kabar, jangan ngilang. Inget, jangan dua-duaan sama Coky.""Bukannya kebalik?""Mas jalan dulu," ucapnya tanpa menjawab pertanyaanku.Aku bergegas merapik
Aku terbangun dengan kepala masih sangat pening, sepertinya malam tadi aku berada di luar apartemen. Kenapa bisa aku ada di kamar. Lalu, bajuku sudah berganti, siapa yang menggantikannya?Kututup mulut ini sembari mengingat-ingat siapa yang menggantikan baju yang dikenakan semalam. Apa jangan-jangan, Mas Brian? Ah, tidak, astaga, bagaimana jika benar dia."Nggak usah bangun," ucap Mas Brian yang baru saja datang."Kepala aku pusing Mas, aku kenapa?" tanyaku heran"Kamu pingsan tadi. Kamu kehujanan gitu aja sakit sih, Fit. Besok kita ke dokter aja, yah. Takut kamu malah berlanjut sakitnya nanti aku repot,” ucap Mas Brian.Masih saja memikirkan diri sendiri. Kepala ini masih snsagt pusing, mungkin aku kurang vitamin hingga masih lemas. Ah, kenapa jadi teringat kembali tentang baju yang kukenakan semalam."Mas, siapa yang gantiin baju aku?" tanyaku pada Mas Brian langsung dari pada bertanya-tanya sendiri."Aku lah, siapa lagi.""Hah! " Refleks aku menarik selimut menutupi tubuh. Apa yang
“Tuh, kan Coky bilang mirip sama aku,” goda Coky pad Mas Brian.“Dih! Lihat tuh hidungnya mancung, jelas-jelas mirip Dadynya. Ngarang, lo, Ky.” Senggol Mas Brian.Mama, Papa, Bulek dan Selina hanya tertawa melihat kakak adik tak sekandung itu meributkan wajah anakku. Anakku terlihat menjiplak sekali Dadynya, curang banget sama sekali nggak ada miripnya sama aku.“Ayo kalian keluar, Fitri mau menyusui anaknya.” Mama terlihat mengusir Mas Brian dan Coky.“Coky aja yang keluar, aku, kan Dadynya,” tolak Mas Brian.“Sudah kalian jangan ribut.”Rasanya sempurna menjadi seorang Ibu, aku mulai memberikan asi kepada anak pertamaku. Mulut kecilnya mulai menghisap ASI. “Cucu Mama gantengnya, mau kamu kasih nama siapa?”“Terserah Mas Brian aja, Ma.” Aku sih terserah aja mau di kasih nama apa aja yang penting anakku jangan di kasiih nama aneh-aneh deh sama Dadynya. ***Perkembangan Abiyan Angkasa Pratama sangat baik, sampai saat ini usianya memasuki usia lima bulan. Dimana dia sangat gesit me
Aku mematut diriku di depan cermin. Kulihat perut ini sudah membuncit, tubuh terlihat membesar, dan pipi juga terlihat chubby. Mas Brian memelukku dari belakang, hembusan napasnya sangat terasa dan membuat leherku menggeli. Mas Brian mencium leher jenjangku yang sekarang terlihat banyak lipatan lemak. “Tetap sexy kok Mom,” bisiknya halus.“Aku jelek, ya Dad?” tanyaku lagi.“Tetep cantik kok.”Berada dipelukannya setiap pagi membuat aku merasa penuh semangat melalui hari-hari kehamilanku. Mas Brian benar-benar menjaga dan membuat diri ini nyaman dengan perlakuan manisnya.“Hari ini jadwal control jam berapa Mom?” tanyanya lagi.“Jam 14.00 siang, Dad, jangan lupa ya.” Aku mengingatkan Mas Brian dengan jadwal kontrol bulananku.“Mom duluan aja, aku ada meeting dengan klien dulu, jadi Mommy ke dokternya duluan minta antar Mama atau Bulek ,ya,” ucap Mas Brian seraya menicum pipiku.Aku mengangguk setuju usulan Mas Brian. Masih dengan posisi memelukku, dia tak mau melepaskannya. Padahal s
Selesai makan aku dan Mas Brian berjalan-jalan, mumpung di pekalongan anggap aja honeymoon. Kami sampai di musium batik, Mas brian takjub dengan koleksi batik di tempat ini, mulai dari batik yang tua sampai batik modern baik dari daerah pesisiran dan berbagai daerah lainnya.Di sana juga tak hanya tempat untuk memamerkan batik saja, tapi juga sebagai tempat pelatihan membatik. “Mas mau coba membatik?” tawarku."Nggak ah, mau lihat-lihat aja. Mau beli coupelan juga buat kita sama orang rumah,” ungkapnya.“Buat karyawan jadi?”“Jadi, tapi mau lihat motif saja dulu. Nanti kalo sudah oke di kondisikan sama ukuran baju mereka. Biar by phone saja ordernya,” kata Mas Brian menjelaskan.“Aku mau buat Murni, Coky dan Selina, ya?” “ Boleh, sekalian permintaan maaf aku sama Coky.”“Asik.”“Fit, kamu mau mengadakan resepsi pernikahan apa nggak?”“Nggak usah, Mas, pengajian aja di rumah, ngundang anak yatim ya Mas, biar berkah pernikahan kita,” ucapku disambut gembira Mas Brian.“Siap Nyonya B
Sepulang dari pasar aku lihat Bulek uring-uringan. Beberapa kali dia ngedumel tidak jelas. Aku menghampirinya seraya membantu mengupas sayuran.“Bulek kenapa, sih?” tanyaku iseng.“Bulek sebel, Fit. Itu si Shinta temen sekolahmu, baru aja dapet calon orang Jakarta gayanya selangit. Ngomong kesana-kesini macam-macam, sampe bilang kamu di Jakarta cuma jadi pembantu dan balik lagi ke sini tetep aja miskin. Nggak bisa dapet suami kaya. Sebel Bulek dengernya,” celoteh Bulek sambil memotong kentang.“Bulek nggak bilangkan tentang Mas Brian?”“Nggaklah. Bulek mah nggak norak kaya dia.”Aku menghela nafas tenang, untung saja Bulek nggak cerita tentang Mas Brian. Takutnya aku pisah sama Mas Brian malah jadi bahan omongan satu kampung. Dasar Shinta nggak pernah berubah.“Aku mau datang ke tempat reuni Bulek nanti jam 10.00. Bulek masak, kok banyak banget?” tanyaku heran.“Buat persediaan, aja. Kan, kamu bentar-bentar makan,” ucap Bulek tersenyum lebar.Setelah merapihkan sayuran, aku bergegas b
Kurebahkan tubuhku di kasur, kubalik badan hingga membelakangi Mas Brian. Hati ini masih sakit, dia ternyata masih mencintai Adisty. Mungkin Coky sudah mengirimi alamat Ronald, tapi aku tidak yakin dia akan kesana. Tak seperti malam-malam sebelumnya. Mas Brian malam ini sangat dingin. Tak ada ucapan kata maaf dari dia, bahkan pelukan atau kecupan kecil dari dirinya. Sebegitu marahkan dia kepadaku? Aku hanya ingin melihat dia tidak merasa bersalah. Aku tahu dia selalu merasa bersalah terhadap Adisty. Saat kemarin aku memergokinya memandangi nomer ponsel Adisty, seakan dia akan menelfon dan meminta maaf. Aku mau, dia tahu yang sebenarnya. Aku mau dia tahu Adisty tak selugu yang dia bayangkan. Namun, mungkin caraku salah, hingga dia marah besar seperti itu. Sampai pagi datang dia masih diam seribu bahasa. Hanya menjawab sekenanya setiap aku bertanya. Saat makan, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang saling beradu. Setelah itu menjelang sore Mas Brian habiskan menatap laptop.
Setelah tahu aku hamil, Mas Brian semakin perhatian padaku. Hari ini dia mengajakku jalan pagi, dan bilang akan mengajak belanja kebutuhan selama hamil. Begitu juga baju sampai keperluan pakaian hamilku. "Segerkan Fit," tanyanya sambil melompat-lompat, dan menggerakkan kedua tangannya. "Iya Mas, udah lama aku nggak ke taman ini. Jadi inget lagi pacaran, Eh ... salah deh, waktu masih jadi pembantu kamu," ungkapku dengan senyum."Fit, sekarang manggil aku jangan Mas dong. Kan, kita mau punya anak, Jadi manggil aku Dady ya. Biar anak kita nanti manggilnya juga Dady." Senyum lebar tersirat dari bibirnya. "Dady?" tanyaku seakan tak percaya."Yes, Mommy.""What? Mommy?" tanyaku sambil terkekeh "Iya, Momy and Dady," tambahnya. Ya Tuhan lucu sekali suamiku ini. Mungkin dia cocok dipanggil dengan sebutan Dady. Lah aku? Mommy? Biasanya makan ubi dan Singkong mau gaya-gayaan manggil mommy. "Mom? ""Yes, Dad. Heheheeh .... " jawabku sambil terkekeh."Kok ketawa? Ada yang lucu?""Ngga
Mas Brian berlalu meninggalkan kamarku. Tidak nampak apa yang mereka bicarakan.Kenapa ada dokter di rumah ini? Ada apa sebenarnya?Astaga, aku menutup kedua wajahku. Kayanya akan terbongkar kebohongannya kita. Semoga mereka tidak marah kalau tahu aku tidak hamil. Aku dan Mas Brian sama-sama merasa cemas. Apalagi Mas Brian, di bolak-balik seperti gosokan.Tak lama dokter teman Mama datang untuk memeriksa aku. Mas Brian berdiri tegang disampingku."Siang cantik," sapa dokter cantik itu yang datang bersama Mama. Bulek dan Papa Ikut mengekor Mama di belakangnya."Siang Dokter." Aku tersenyum membalas senyumannya. Banyak alat yang di bawanya. Sepeti alat USG untuk kehamilan. Ya, tamat kah cerita ini? Maksudnya cerita kehamilan bohonganku.Dokter itu memulai mengoleskan gel ke atas perutku. Diputarnya alat USG mengitari bagian perutku. Ish, jangan tanya sakitnya.Dia tersenyum menatapku, apa dia sudah tau kalau tidak ada apa-apa di perutku?"Hmm ... Ibu Fitri abis olah raga pagi sama suam
"Bri, kapan kalian periksa kehamilan lagi?" pertanyaan Papa tiba-tiba menjadi sangat horor saat kami dengar."Hmm ... Masih lama Pah. Mungkin sebulan lagi." Mas Brian menjawab dengan setenang mungkin."Masih lama dong lahirnya?" Tanya Papa lagi membuat tingkat ketakutan aku dan Mas Brian meningkat."Iya Pa, sabar aja." Mas Brian tersenyum kecut sekecut-kecutnya.Nah kan, senjata makan tuan ya Mas. Aku melirik dengan sedikit menyunggingkan bibir. Mas Brian mulai berkeringat, mungkin mencari cara agar topik pembicaraan beralih ketopik yang lain. “Temen Papa kemarin cucunya baru lahir. Makanya Papa mau buru-buru lihat cucu Papa,” ucapnya dengan bersemangat. “Ih, Papa nggak sabar banget sih.”goda Mama. Mas Brian terlihat salah tingkah mendengar ucapan Papa dan Mama. Bahkan keringat dingin mengucur. Makannya pun jadi gelisah."Pap, aku mau beli rumah kayanya. Tinggal di apartment sempit," Tukasnya."Hmm ... Bagus itu Bri. Pemikiran calon Ayah yang hebat, sebentar lagi mau punya anak jad
Mobil milik martuaku memasuki halaman rumah, terlihat mama turun dari mobil. Sementara, sudah beberapa jam lalu mas Brian meninggal rumah Mama."Loh ,ada Fitri.""Kok mama pulang?" "Oh, iya. Enggak jadi Papa ada urusan.""Fit, kamu nyidam apa hari ini? Mama beliin mangga muda, nih." Mama menatapku lekat, yang dia tahu aku sedang mengandung."Hmm ... Aku lagi pengen ngejambak rambut Masih Brian, Mah. Terus aku pengen nimpukin dia pake batu kerikil kolam ikan Mama," jawabku sekenanya. Karena hanya Itu yang aku pengen.Mama tertawa renyah mendengar ocehanku. Dia mengelus rambutku."Ih, kok sama deh sama Mama dulu pas hamil Brian. Bawaannya kesel mulu sama Papanya. Kayanya enek gitu, kalau deket-deket dia." Tawa renyahnya kembali terdengar. Sesekali dia menggulum senyum yang memperlihatkan wajah cantiknya.Mama mertuaku masih terlihat cantik meski umur tak lagi muda. Kerut wajahnya pun tak terlihat, beda dengan ibu-ibu komplek sini yang sudah banyak berkerut dan hobby bergosip."Fit, ik