Ruangan yang bisa menampung seribu penonton lebih itu tampak dipadati pengunjung. Sejak tadi beberapa seniman lokal yang berasal dari mahasiswa dan murid sekolah musik bergantian membawakan lagu yang diiringi dengan piano. Aeris, Leon, Brian, Anne, dan Sean duduk di kursi paling depan agar bisa melihat penampilan Alea dengan jelas."Leon, aku deg-degan. Bagaimana jika adikku melakukan kesalahan?""Katanya adikmu pemain piano yang hebat, dia pasti tidak akan melakukan kesalahan.""Penampilan selanjutnya adalah … saya kira semua penonton di sini pasti sudah tahu dia siapa. Beri tepuk tangan paling meriah untuk—" MC terdengar menahan suaranya sebelum menyebut nama, "Alea!"Sambutan yang didapat sangat meriah, seolah-olah mampu menggetarkan ruangan tersebut. Tepuk tangan dan wajah antusias langsung terlihat di mana-mana. Namun, tidak dengan Leon. Wajahnya pias dengan jantung yang berdetak hebat. Leon terenyak di kursinya."Itu adik tiri aku, Sayang. Dia cantik, kan?"Leon tidak menyahut.
Apa pun yang terjadi aku akan tetap di sampingmu, karena hatiku telah memilihmu'-Chandra Yasodana Leon-Suasana terasa sangat menegangkan. Alea melayangkan tatapan marah, kecewa, dan sakit pada lelaki yang terus menggenggam jemari Aeris. Sementara Leon terlihat lebih tenang, tatapan kedua matanya begitu meneduhkan, tapi dalam di saat yang sama, seperti jelaga.Genggaman Leon terasa begitu hangat, tapi hal itu tidak bisa membuat perasaan Aeris tenang. Syaraf-syaraf di otak Aeris mendadak bekerja dengan sangat cepat, menghubungkan cerita demi cerita yang dia dengar dari Alea dan Leon. Aeris sangat membenci hal itu.Cinta pertama.Mantan kekasih saat SMA.Gagal move on.Dan ….Anak.Entah dia yang terlalu bodoh atau otaknya memang bekerja terlalu lambat. Kenapa dia baru menyadari kalau cerita Alea dan Leon saling berkaitan? Ya Tuhan, kenapa!Rasanya Aeris ingin sekali menangis, tapi air matanya seolah-olah mengering. Kenyataan jika Alea adalah mantan kekasih Leon membuatnya sangat terpu
"Apa kamu tahu, Leon? Nenek dan mamamu selama ini menentang keras hubungan kita, alasannya karena ibuku telah merebut suami dari sahabat baik nenekmu, dan aku baru tahu jika sahabat baik nenekmu itu ternyata ibu kandung Kak Aeris, kakak tiriku sendiri. Mama dan nenekmu selalu menyuruhku untuk pergi meninggalkanmu, padahal saat itu aku sedang mengandung anak kita. Aku terus berusaha meyakinkan mereka jika aku berbeda dengan ibu, tapi mereka terus saja menghinaku anak jalang, wanita murahan, perebut suami orang. Aku tidak tahan mendengar makian mereka. Rasanya sangat menyakitkan, Leon. Apa salah jika aku terlahir dari rahim wanita jalang?"Aeris dan Leon tertegun mendengar cerita Alea barusan. Leon benar-benar tidak menyangka Hana dan Aerin tega berkata kasar pada Alea. Leon pikir, Alea pergi karena tidak mencintainya lagi, tapi dugannya salah. Ternyata Alea pergi meninggalkannya karena Hana dan Aerin.Alea menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi sesak yang mengimpit dada sebelum kem
"Kamu dari mana saja, Alea? Kenapa baru pulang sekarang? Aku dengar konsermu sudah selesai jam delapan tadi."Pertanyaan yang keluar dari mulut Kai menyambut Alea saat menginjakkan kaki di rumah. Gadis itu malah berjalan begitu saja tanpa menjawab pertanyaan dari kakaknya."Aku sudah mengurus paspor dan berkas kepindahanmu ke Amsterdam. Besok lusa kita berangkat."Alea sontak berhenti melangkah. Sepasang mata bulat miliknya menatap Kai dengan sinis. Apa selama ini Kai tahu suami Aeris adalah Leon?"Kak Kai terlalu naif.""Ma-maksudmu apa bicara seperti itu, Alea?" Kai sangat terkejut mendengar ucapan Alea barusan.Alea malah menyeringai. "Kak Kai pasti sudah tahu kalau suami kak Aeris itu Leon, kan? Apa ini yang membuat Kak Kai menyuruh Alea meninggalkan Indonesia?"Kai tersentak, rahangnya pun mengatup rapat. Apa Alea sudah tahu jika Leon adalah suami Aeris?"Alea sudah tahu semuanya. Kenapa Kak Kai masih bisa bersikap biasa saja padahal hati Kakak hancur melihat kak Aeris bersama Le
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, entah kenapa kedua mata Aeris sulit sekali untuk dipejamkan. Perasaan Aeris mendadak tidak tenang sejak pulang dari restoran karena memikirkan hubungan antara Leon dan Alea. Masih tergambar jelas di ingatan Aeris bagaiamana ekspresi Alea saat menceritakan mantan kekasihnya di rumah sakit seminggu yang lalu. Saat itu Alea terlihat sangat kacau. Amarah dan kekecewaan terpancar jelas dari kedua sorot matanya. Aeris bisa melihat dengan jelas jika Alea amat sangat mencintai mantan kekasihnya, dan dia baru tahu jika mantan kekasih Alea ternyata Leon, suaminya sendiri."Ya Tuhan ...." Aeris menekan dadanya kuat-kuat. Alea sudah kehilangan bayinya, gadis itu pasti terpuruk jika kehilangan seseorang yang sangat dicintainya. Sebagai seorang kakak, Aeris tidak ingin melihat Alea kembali terpuruk. Haruskah dia menghancurkan pernikahannya sendiri demi Alea?Namun, di lain sisi Aeris tidak ingin pernikahannya berakhir dengan perceraian seperti yang
"Alea di mana, Kai? Kenapa dia belum turun?" tanya Kris saat mereka sarapan bersama di ruang makan."Kai tidak tahu, Pa. Mungkin Alea masih tidur."Kris melirik benda mungil bertali yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Aneh sekali Alea belum bangun padahal sekarang sudah jam tujuh. "Ada hal penting yang ingin papa katakan pada Alea, suruh dia turun."Azura sontak berhenti memakan nasi gorengnya. Keningnya berkerut dalam menatap lelaki yang sudah menjadi pendamping hudupnya selama hampir tiga puluh tahun tahun lamanya. Azura tidak tahu hal penting apa yang ingin Kris bicarakan dengan Alea. "Mas ingin membicarakan hal penting apa sama Alea?"Kris meletakkan sendok kemudian menopang dagu dengan kedua tangan yang terlipat di atas meja. "Aku setuju dengan keputusan Kai untuk mengirim Alea kembali ke Amsterdam."Tubuh Azura menegang mendengae ucapan Kris barusan. "Aku tidak setuju Mas, Alea baru saja kembali ke Indonesia. Kenapa Mas ingin mengirim Alea kembali ke Amsterdam?"Azura
Alea menyantap sarapannya dengan lahab, sepiring nasi goreng dengan lauk telur mata sapi di rumah Brian. Pagi-pagi sekali, gadis itu pergi ke rumah Brian sambil membawa koper kecil berisi pakaian. Alea tidak ingin pergi ke Amsterdam karena masih ada yang perlu dia perjuangkan di Indonesia. Cintanya, pada seorang lelaki bernama Chandra Yasodana Leon.Brian bersedekap sambil menatap Alea dengan lekat. Kemarin malam Alea terlihat sangat menyedihkan, menangis tersedu-sedu seperti orang kesurupan di restoran, tapi gadis itu sekarang terlihat baik-baik saja. Apa setan di tubuh Alea sedang pergi jalan-jalan?"Kenapa kamu menatapku seperti itu, Brian?" tanya Alea karena merasa risih diperhatikan."Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu sudah merasa lebih baik?"Alea menarik napas panjang lantas meletakkan sendok karena nasi gorengnya sudah habis."Mau tambah lagi?"Alea menggeleng. "Tidak, aku sudah kenyang, terima kasih untuk sarapannya."Brian mengangguk. Sebenarnya ada perlu apa Alea pagi
Aeris memoles make up sedikit tebal untuk menutupi wajahnya yang terlihat sedikit pucat. Aeris sebenarnya merasa kurang enak badan, tapi Kris meminta untuk bertemu dan dia tidak enak jika menolak."Kalau kamu merasa kurang enak badan, lebih baik tidak usah memaksa pergi. Papa pasti mengerti."Aeris menggeleng. "Katanya ada hal penting yang ingin papa sampaikan, aku tidak enak jika menolak." Leon menghela napas, lalu mengusap keringat dingin yang membasahi kening Aeris. "Baiklah, kalau kamu merasa nggak kuat, bilang. Aku akan minta izin ke papa untuk pulang lebih dulu."Aeris mengangguk.Lagi-lagi Leon menghela napas. Aeris seolah-olah membangun dinding tidak kasat mata di antara mereka. Apa Aeris masih kecewa pada dirinya?Entahlah, Leon tidak tahu. Dia ingin hubungannya dan Aeris kembali seperti dulu, saat Aeris belum mengetahui jika Alea adalah mantan kekasihnya. Begitu manis, hingga membuat cokelat dan es krim iri melihat hubungan mereka.Leon mengirim pesan pada Brian jika dia ha
Seorang dokter dan empat orang perawat akan membantu proses persalinan Aeris. Mereka semua perempuan karena Leon tidak ingin Aeris ditangani oleh dokter maupun perawat laki-laki. Dia memang possesive."Tarik napas panjang Sayang, embuskan." Leon berusaha menenangkan Aeris meskipun dia sendiri juga panik karena sebentar lagi Leon junior akan lahir ke dunia."Kenapa kamu membuatku hamil, Leon? Aduh, rasanya sakit sekali!" Aeris menarik rambut Leon kuat-kuat hingga membuat Leon meringis kesakitan."Aduh, Sayang, sakit!"Aeris terus mengaduh kesakitan. Perutnya seperti akan terbelah karena suatu di dalam sana berusaha merangkak keluar. Sepasang bayi kembar, kacang kecilnya.Aeris tanpa sadar meremas tangan Leon semakin erat karena perutnya benar-benar terasa sakit."Aduh, Sayang, sakit. Jangan meremas tanganku terlalu kuat!"Aeris tidak peduli Leon meringis kesakitan karena perutnya benar-benar sakit."Tarik napas panjang dan keluarkan perlahan-lahan."Aeris pun mengikuti perintah dokter.
Leon tersenyum tipis. Sangat tipis dan nyaris tidak terlihat. Penyesalan, rasa bersalah, juga rindu yang teramat dalam terpancar jelas dari kedua sorot matanya saat menatap Aeris."Pizza pesanan Anda sudah datang, Nona."Aeris menepis pizza di tangan Leon dengan kasar lantas melemparkan diri dalam dekapan lelaki itu. Tangis Aeris seketika pecah. Dia sangat mencintai Leon dan tidak ingin berpisah dengan lelaki itu."Aku tidak ingin berpisah denganmu, Leon. Aku mohon, jangan pernah ceraikan aku," gumam Aeris dengan suara gemetar.Leon menarik napas panjang. Hatinya begitu sakit melihat air mata yang membasahi pipi Aeris. Leon merasa sangat menyesal sudah menyakiti Aeris dan membuat wanita yang dia cintai itu menangis."Aku takut sekali karena kamu tiba-tiba tidak peduli dan bersikap dingin lagi kepadaku, Leon. Aku nyaris gila karena memikirkan nasib pernikahan dan buah hati kita. Aku takut kamu akan menceraikanku ....""Maaf," ucap Leon sambil mengecup puncak kepala Aeris berkali-kali.
Leon menghela napas panjang. "Aku pikir pernikahanku dan tante Aeris akan berjalan baik-baik saja dan berakhir bahagia sampai maut memisahkan kami berdua. Tapi kenyataannya tidak, tante Aeris ternyata mencintai lelaki lain."Meeta terhenyak medengar ucapan Leon barusan. "Aeris tidak mungkin mencintai lelaki lain, Leon. Sebagai sesama perempuan aku bisa melihat dengan jelas kalau Aeris sangat mencintai kamu."Leon mengangkat kedua bahunya ke atas, kesedihan dan kekecewaan terpancar jelas dari kedua sorot matanya. "Terserah kalau kamu tidak percaya. Tapi aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau tante Aeris sedang berpelukan mesra dengan lelaki lain.""Memangnya kamu tahu siapa lelaki yang dicintai Aeris?"Leon mengangguk."Siapa?" tanya Meeta ingin tahu."Aku malas menyebut namanya. Terima kasih banyak sudah mau mengobati lukaku, Meeta."Meeta mengangguk. "Sama-sama. Sebaiknya selesaikan masalahmu dengan Aeris baik-baik. Aku harap kalian tidak akan pernah berpisah."Leon mengangguk
Aerin hanya bisa diam melihat Setya yang memukul Leon karena dia juga kecewa dengan keputusan putra sulungnya itu.Leon mendesis sambil mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. Rasanya sangat perih bercampur dengan ngilu. Rahangnya pun seolah-olah patah karena pukulan Setya sangat keras. "Untuk anak, Papa tenang saja. Leon akan tetap tanggung jawab."Rahang Setya semakin mengeras. "Anak bodoh! Tolol! Pernikahan itu bukan main-main, Leon!""Leon tidak pernah mempermainkan pernikahan, tapi tante Aeris yang telah mempermainkan perasaan Leon. Ugh...!" Leon memegangi perutnya karena Setya tiba-tiba menendangnya dengan cukup keras."Anak bodoh! Selama dua puluh lima tahun menikah papa selalu berusaha membuat mamamu jangan sampai meneteskan air mata, tapi kamu malah tega membuat Aeris menangis. Di mana hatimu, Leon?""Hati Leon sudah lama mati.""Leon!" Setya menghajar Leon tanpa ampun untuk melampiaskan amarah sekaligus kekecewaannya. Leon tidak bisa melawan karena sang ayah
Hana berjalan cepat menghampiri Leon dan menggebrak meja dengan cukup keras hingga membuat cucu kesayangannya itu berjingkat kaget. Kedua mata Hana menatap Leon tajam, dadanya naik turun menahan emosi yang siap untuk meledak."Kenapa Nenek datang ke kantor Leon?" tanya Leon berusaha tetap tenang."Kenapa kamu ingin menceraikan Aeris, Leon? Apa kamu sudah kehilangan akal?"Leon tanpa sadar menelan ludah, terkejut karena Hana tahu kalau dia ingin menceraikan Aeris. "Da-dari mana Nenek tahu?""Aeris sudah menceritakan semuanya sama nenek. Kamu itu sudah dewasa, Leon. Masalah itu harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik-baik. Jangan malah lari seperti seorang pengecut."Leon mengembuskan napas kasar sebelum bicara. "Untuk apa Leon mempertahankan pernikahan ini kalau tante Aeris tidak sungguh-sungguh mencintai Leon, Nek?"Mulut Hana sontak menganga lebar. "Kamu benar-benar bodoh, Leon. Aeris itu cinta mati sama kamu. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?"Leon malah mendengkus. "Nene
"Sshh ...." Aeris memegangi kepalanya yang terasa berdenyut lalu menarik napas dalam-dalam karena perutnya tiba-tiba saja terasa kram. Semoga kacang kecilnya baik-baik saja.Aeris kembali menarik napas panjang, tapi rasa sakit di perutnya tidak mau hilang. Sakitnya malah semakin menjadi-jadi. Dia pun meraih ponselnya yang ada di atas meja karena ingin menghubungi Leon.Namun, nomor Leon lagi-lagi tidak aktif. Aeris pun beranjak ke kamar karena ingin beristirahat, akan tetapi dia tidak sanggup berdiri karena kedua kakinya terasa sangat lemas. Aeris ingin meminta tolong pada Bik Ijah, tapi dia lupa kalau asisten rumah tangganya itu sedang izin pulang kampung. Aeria benar-benar sendirian di rumah.Aeris ingin meminta tolong pada Anne, tapi dia tidak jadi melakukannya karena sahabatnya itu pasti lelah setelah mengurus butik sendirian. Aeris tidak mungkin minta tolong Sean karena cowok itu sedang fokus belajar untuk mengukuti ujian.Aeris merintih karena perutnya semakin terasa sakit. Dia
Tangis Aeris seketika pecah. Mimpi buruk yang dia jalani di awal pernikahannya dan Leon kembali terulang. Namun, mimpi buruknya kali ini terasa lebih menyakitkan karena ada nyawa yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.Kenapa Tuhan kembali memberi ujian saat dia baru saja meneguk manisnya pernikahan bersama Leon?Kenapa?"Tuhan, tolong selamatkan pernikahanku," gumamnya terdengar pilu.***Tidak ada satu orang pun yang tahu jika ada badai yang menerpa rumah tangga Aeris dan Leon. Pernikahan mereka seolah-olah terlihat baik-baik saja dan tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Aeris benar-benar menyimpan masalahnya dengan rapat. Dia memendam rasa sakit itu sendirian karena tidak ingin membuat orang-orang di sekitarnya khawatir.Namun, pertahanan seketika Aeris hancur karena menemukan sebuah surat yang tergeletak di atas meja kerja Leon. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan sangat kuat hingga membuatnya kesulitan bernapas. Dadanya sesak.Tubuh Aeris
Aeris mengerjapkan kedua matanya perlahan karena Leon menepuk lengannya pelan. "Maaf, aku ketiduran. Apa kamu baru pulang?" tanyanya dengan wajah mengantuk.Leon mengangguk."Kamu sudah makan belum? Kalau belum kita makan bersama, ya?""Aku tadi sudah makan bersama klien," ucap Leon tanpa merasa bersalah sedikit pun.Wajah Aeris seketika berubah sendu. Padahal dia sudah menunggu Leon hingga ketiduran di meja makan agar mereka bisa makan malam bersama, tapi Leon malah makan di luar bersama klien."Kamu mau mandi? Mau aku siapin air hangat, ya?"Leon menggeleng pelan. "Tidak perlu," jawabnya sambil berjalan ke kamar, meninggalkan Aeris sendirian di meja makan.Aeris menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat untuk menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Entah kenapa Aeris merasa kalau Leon bersikap dingin lagi pada dirinya. Apa dia telah berbuat salah?Aeris tanpa sadar menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran buruknya barusan. Leon tidak mungkin bersikap dingin lagi pada dirinya
Brian terkejut karena Leon tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya dan membanting pintu dengan cukup keras. Padahal Leon tadi mengatakan ingin menjemput Aeris di rumah sakit sekalian pulang dan tidak akan kembali ke kantor.Brian pun berdiri lantas menghampiri Leon yang sedang membolak-balik berkas di tangan dengan kasar. Napas Leon terdengar tidak beraturan, menahan cemburu dan amarah yang sudah berkumpul di dalam dadanya"Kau tadi bilang mau ngabisin waktu berdua dengan Aeris di rumah. Kenapa kamu malah balik ke kantor, Leon?""Ingin saja," jawab Leon malas.Brian memperhatikan Leon dengan lekat, sepertinya suasana hati sahabatnya itu sedang tidak baik. "Apa kau bertengkar dengan Aeris?"Leon menggeleng pelan."Lalu?"Leon mengempaskan punggung ke kursi lalu memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa penat. Sepenat hatinya sekarang. "Aku tadi lihat Aeris pelukan sama Kai," ucapnya lirih.Mulut Brian sontak menganga lebar. "A-apa?! Kai?!" Calon kakak ipar? Imbuhnya dalam hati.Leon mengang