"Alea di mana, Kai? Kenapa dia belum turun?" tanya Kris saat mereka sarapan bersama di ruang makan."Kai tidak tahu, Pa. Mungkin Alea masih tidur."Kris melirik benda mungil bertali yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Aneh sekali Alea belum bangun padahal sekarang sudah jam tujuh. "Ada hal penting yang ingin papa katakan pada Alea, suruh dia turun."Azura sontak berhenti memakan nasi gorengnya. Keningnya berkerut dalam menatap lelaki yang sudah menjadi pendamping hudupnya selama hampir tiga puluh tahun tahun lamanya. Azura tidak tahu hal penting apa yang ingin Kris bicarakan dengan Alea. "Mas ingin membicarakan hal penting apa sama Alea?"Kris meletakkan sendok kemudian menopang dagu dengan kedua tangan yang terlipat di atas meja. "Aku setuju dengan keputusan Kai untuk mengirim Alea kembali ke Amsterdam."Tubuh Azura menegang mendengae ucapan Kris barusan. "Aku tidak setuju Mas, Alea baru saja kembali ke Indonesia. Kenapa Mas ingin mengirim Alea kembali ke Amsterdam?"Azura
Alea menyantap sarapannya dengan lahab, sepiring nasi goreng dengan lauk telur mata sapi di rumah Brian. Pagi-pagi sekali, gadis itu pergi ke rumah Brian sambil membawa koper kecil berisi pakaian. Alea tidak ingin pergi ke Amsterdam karena masih ada yang perlu dia perjuangkan di Indonesia. Cintanya, pada seorang lelaki bernama Chandra Yasodana Leon.Brian bersedekap sambil menatap Alea dengan lekat. Kemarin malam Alea terlihat sangat menyedihkan, menangis tersedu-sedu seperti orang kesurupan di restoran, tapi gadis itu sekarang terlihat baik-baik saja. Apa setan di tubuh Alea sedang pergi jalan-jalan?"Kenapa kamu menatapku seperti itu, Brian?" tanya Alea karena merasa risih diperhatikan."Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu sudah merasa lebih baik?"Alea menarik napas panjang lantas meletakkan sendok karena nasi gorengnya sudah habis."Mau tambah lagi?"Alea menggeleng. "Tidak, aku sudah kenyang, terima kasih untuk sarapannya."Brian mengangguk. Sebenarnya ada perlu apa Alea pagi
Aeris memoles make up sedikit tebal untuk menutupi wajahnya yang terlihat sedikit pucat. Aeris sebenarnya merasa kurang enak badan, tapi Kris meminta untuk bertemu dan dia tidak enak jika menolak."Kalau kamu merasa kurang enak badan, lebih baik tidak usah memaksa pergi. Papa pasti mengerti."Aeris menggeleng. "Katanya ada hal penting yang ingin papa sampaikan, aku tidak enak jika menolak." Leon menghela napas, lalu mengusap keringat dingin yang membasahi kening Aeris. "Baiklah, kalau kamu merasa nggak kuat, bilang. Aku akan minta izin ke papa untuk pulang lebih dulu."Aeris mengangguk.Lagi-lagi Leon menghela napas. Aeris seolah-olah membangun dinding tidak kasat mata di antara mereka. Apa Aeris masih kecewa pada dirinya?Entahlah, Leon tidak tahu. Dia ingin hubungannya dan Aeris kembali seperti dulu, saat Aeris belum mengetahui jika Alea adalah mantan kekasihnya. Begitu manis, hingga membuat cokelat dan es krim iri melihat hubungan mereka.Leon mengirim pesan pada Brian jika dia ha
Azura merasa sangat terkejut mendengar ucapan Aeris barusan, begitu pula dangan Leon dan Kris. Hati Azura terasa begitu sakit mendengarnya. Namun, rasa sakit yang dia rasakan tidak sebanding dengan apa yang sudah dia lakukan pada Aeris dan Aileen. Azura memang pantas mendapatkan semua itu.Kristal bening itu meluncur begitu saja membasahi pipi Azura. Penyasalan dan rasa bersalah tergambar jelas di wajahnya. "Saya mengaku salah. Saya sungguh-sungguh minta maaf, Aeris. Saya mohon maaf," ucapnya di sela isak tangisnya.Aeris memejamkan kedua matanya perlahan karena pesan Aileen sebelum meninggal tiba-tiba melintas di ingatan.'Jaga diri baik-baik dan tetap sehat.''Aeris anak mama yang paling cantik dan baik, jangan pernah membenci papa, karena bagaimana pun juga dia papa kamu.''Jangan menjadi seorang pendendam, maafkan semua kesalahan orang-orang yang telah menyakitimu.''Janji, ya?'Aeris membuka kedua matanya perlahan. Aileen tidak ingin dia hidup menjadi seorang pendendam. Haruskah
"Alea, bangun!" Brian menguncang tubuh Alea yang tidur di sofa pojok di dalam ruangannya."Erngh ...." Alea mengerang tertahan karena merasa tidurnya terganggu.Brian mengela napas panjang lalu berjongkok tepat di depan Alea dan memperhatikan wajah gadis itu dengan lekat. Alea ternyata ridak kalah cantik dari Aeris, pikir Brian. Gadis itu memiliki mata bulat, hidung bangir, dan bibir tipis berwarna merah alami. Namun, sifat Alea sangat bertolak belakang dengan Aeris. Gadis itu sangat keras kepala. Seperti batu."Sudah puas liatin akunya?"Brian tersentak. Dia refleks mundur saat mendengar suara Alea. Apa gadis itu sudah bangun?"Sudah puas belum?" tanya Aela sambil mendudukkan diri di sofa.Wajah Brian sontak memerah, jantung pun berdetak dua kali lebih cepat karena ketahuan sedang memperhatikan Alea. Alea terkikik geli melihat pipi Brian yang bersemu merah, seperti buah tomat. Sedikit pun dia tidak pernah menyangka sahabat baik Leon itu ternyata memiliki rasa pada dirinya."Mungkin
Aeris membungkukkan badan sekilas untuk balas menyapa orang yang bertemu dengannya di lobi. Hari ini dia terpaksa pulang dari butik sendirian karena Leon tidak bisa menjemput. Apartemen Leon yang semula gelap seketika berubah terang katika dia menekan saklar lampu yang berada di belakang pintu.Kening Aeris berkerut dalam melihat sebuah kotak berukuran sedang yang tergeletak di depan pintu. Dia pun berjongkok lantas membuka kotak dengan hiasan pita berwarna merah muda tersebut.Aeris tercengang, mulutnya seketika menganga lebar ketika melihat isi kotak tersebut. Isinya sepasang stiletto berwarna merah yang sangat indah. Apa stiletto ini untuknya?Aeris meraih sebuah kertas kecil yang terselip di dalam kotak tersebut. Kedua matanya tampak begitu serius membaca sederet kalimat yang tertulis di kertas berwarna biru muda itu. 'Selamat malam, istriku. Kalau kamu sudah menemukan kotak ini berarti kamu sudah pulang. Bagaimana stiletto-nya? Apa kamu suka?'~Leon~Aeris mengangguk, senyum bah
Aeris pun balas tersenyum lantas melemparkan diri ke dalam dekapan lelaki tersebut. Leon memeluk Aeris dengan begitu erat sambil mengecup puncak kepala Aeris dengan penuh sayang. Dia sangat suka menghirup aroma apel manis yang menguar dari tubuh Aeris. Aroma yang sangat menenangkan sekaligus membuat jantungnya berdebar. "Terima kasih untuk semua hadiahnya, Leon. Aku sangat menyukainya," ucap Aeris di dalam dekapan Leon."Sama-sama, Istriku. Jangan pernah pergi meninggalkanku apa pun yang terjadi," ucap Leon sambil mengecup puncak kepala Aeris dalam-dalam. Dia benar-benar takut kehilangan Aeris."Janji?" Aeris mengangguk. Kali ini dia ingin egois karena Leon adalah suaminya. Lelaki yang sudah Tuhan takdirkan untuk menjadi pendamping hidupnya. Aeris amat sangat mencintai Leon, begitu pula sebaliknya. Tidak ada salahnya kan, kalau dia ingin mempertahankan pernikahannya?"Aku berjanji," jawabnya.Leon sontak mengembuskan napas lega setelah mendengar jawaban yang keluar dari bibir mungil
Napas Aeris tercekat, jantungnya pun berdetak hebat karena Leon menatapnya dengan lekat dan penuh minat. Apa Leon menginginkannya? Sekarang?Leon perlahan mendekat, tapi Aeris malah mendorongnya."Kenapa sih, Sayang?" tanya Leon kesal karena gairahnya sudah di atas puncak."Aku belum mandi, kamu pasti juga belum mandi, kan?""Lalu kenapa kalau kita belum mandi? Apa kita bercinta saja di kamar mandi seperti kemarin?"Kedua mata Aeris sontak membulat mendengar ucapan Leon barusan. Leon gemas sekali melihatnya.Aeris refleks memukul kepala Leon. "Jangan bercanda!" Leon malah terkekeh. "Aku serius, Sayang. Lagi pula bercinta di kamar mandi rasanya lebih menantang."Wajah Aeris sontak bersemu merah, mengingat kemarin pagi mereka bercinta di kamar mandi. "Ki-kita bercinta di sini saja," ucapnya malu-malu.Leon tersenyum penuh kemenangan. "Baiklah, kita bercinta di sini setelah bercinta di kamar mandi."Mulut Aeris sontak menganga lebar. Leon pun tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Di
Seorang dokter dan empat orang perawat akan membantu proses persalinan Aeris. Mereka semua perempuan karena Leon tidak ingin Aeris ditangani oleh dokter maupun perawat laki-laki. Dia memang possesive."Tarik napas panjang Sayang, embuskan." Leon berusaha menenangkan Aeris meskipun dia sendiri juga panik karena sebentar lagi Leon junior akan lahir ke dunia."Kenapa kamu membuatku hamil, Leon? Aduh, rasanya sakit sekali!" Aeris menarik rambut Leon kuat-kuat hingga membuat Leon meringis kesakitan."Aduh, Sayang, sakit!"Aeris terus mengaduh kesakitan. Perutnya seperti akan terbelah karena suatu di dalam sana berusaha merangkak keluar. Sepasang bayi kembar, kacang kecilnya.Aeris tanpa sadar meremas tangan Leon semakin erat karena perutnya benar-benar terasa sakit."Aduh, Sayang, sakit. Jangan meremas tanganku terlalu kuat!"Aeris tidak peduli Leon meringis kesakitan karena perutnya benar-benar sakit."Tarik napas panjang dan keluarkan perlahan-lahan."Aeris pun mengikuti perintah dokter.
Leon tersenyum tipis. Sangat tipis dan nyaris tidak terlihat. Penyesalan, rasa bersalah, juga rindu yang teramat dalam terpancar jelas dari kedua sorot matanya saat menatap Aeris."Pizza pesanan Anda sudah datang, Nona."Aeris menepis pizza di tangan Leon dengan kasar lantas melemparkan diri dalam dekapan lelaki itu. Tangis Aeris seketika pecah. Dia sangat mencintai Leon dan tidak ingin berpisah dengan lelaki itu."Aku tidak ingin berpisah denganmu, Leon. Aku mohon, jangan pernah ceraikan aku," gumam Aeris dengan suara gemetar.Leon menarik napas panjang. Hatinya begitu sakit melihat air mata yang membasahi pipi Aeris. Leon merasa sangat menyesal sudah menyakiti Aeris dan membuat wanita yang dia cintai itu menangis."Aku takut sekali karena kamu tiba-tiba tidak peduli dan bersikap dingin lagi kepadaku, Leon. Aku nyaris gila karena memikirkan nasib pernikahan dan buah hati kita. Aku takut kamu akan menceraikanku ....""Maaf," ucap Leon sambil mengecup puncak kepala Aeris berkali-kali.
Leon menghela napas panjang. "Aku pikir pernikahanku dan tante Aeris akan berjalan baik-baik saja dan berakhir bahagia sampai maut memisahkan kami berdua. Tapi kenyataannya tidak, tante Aeris ternyata mencintai lelaki lain."Meeta terhenyak medengar ucapan Leon barusan. "Aeris tidak mungkin mencintai lelaki lain, Leon. Sebagai sesama perempuan aku bisa melihat dengan jelas kalau Aeris sangat mencintai kamu."Leon mengangkat kedua bahunya ke atas, kesedihan dan kekecewaan terpancar jelas dari kedua sorot matanya. "Terserah kalau kamu tidak percaya. Tapi aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau tante Aeris sedang berpelukan mesra dengan lelaki lain.""Memangnya kamu tahu siapa lelaki yang dicintai Aeris?"Leon mengangguk."Siapa?" tanya Meeta ingin tahu."Aku malas menyebut namanya. Terima kasih banyak sudah mau mengobati lukaku, Meeta."Meeta mengangguk. "Sama-sama. Sebaiknya selesaikan masalahmu dengan Aeris baik-baik. Aku harap kalian tidak akan pernah berpisah."Leon mengangguk
Aerin hanya bisa diam melihat Setya yang memukul Leon karena dia juga kecewa dengan keputusan putra sulungnya itu.Leon mendesis sambil mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. Rasanya sangat perih bercampur dengan ngilu. Rahangnya pun seolah-olah patah karena pukulan Setya sangat keras. "Untuk anak, Papa tenang saja. Leon akan tetap tanggung jawab."Rahang Setya semakin mengeras. "Anak bodoh! Tolol! Pernikahan itu bukan main-main, Leon!""Leon tidak pernah mempermainkan pernikahan, tapi tante Aeris yang telah mempermainkan perasaan Leon. Ugh...!" Leon memegangi perutnya karena Setya tiba-tiba menendangnya dengan cukup keras."Anak bodoh! Selama dua puluh lima tahun menikah papa selalu berusaha membuat mamamu jangan sampai meneteskan air mata, tapi kamu malah tega membuat Aeris menangis. Di mana hatimu, Leon?""Hati Leon sudah lama mati.""Leon!" Setya menghajar Leon tanpa ampun untuk melampiaskan amarah sekaligus kekecewaannya. Leon tidak bisa melawan karena sang ayah
Hana berjalan cepat menghampiri Leon dan menggebrak meja dengan cukup keras hingga membuat cucu kesayangannya itu berjingkat kaget. Kedua mata Hana menatap Leon tajam, dadanya naik turun menahan emosi yang siap untuk meledak."Kenapa Nenek datang ke kantor Leon?" tanya Leon berusaha tetap tenang."Kenapa kamu ingin menceraikan Aeris, Leon? Apa kamu sudah kehilangan akal?"Leon tanpa sadar menelan ludah, terkejut karena Hana tahu kalau dia ingin menceraikan Aeris. "Da-dari mana Nenek tahu?""Aeris sudah menceritakan semuanya sama nenek. Kamu itu sudah dewasa, Leon. Masalah itu harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik-baik. Jangan malah lari seperti seorang pengecut."Leon mengembuskan napas kasar sebelum bicara. "Untuk apa Leon mempertahankan pernikahan ini kalau tante Aeris tidak sungguh-sungguh mencintai Leon, Nek?"Mulut Hana sontak menganga lebar. "Kamu benar-benar bodoh, Leon. Aeris itu cinta mati sama kamu. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?"Leon malah mendengkus. "Nene
"Sshh ...." Aeris memegangi kepalanya yang terasa berdenyut lalu menarik napas dalam-dalam karena perutnya tiba-tiba saja terasa kram. Semoga kacang kecilnya baik-baik saja.Aeris kembali menarik napas panjang, tapi rasa sakit di perutnya tidak mau hilang. Sakitnya malah semakin menjadi-jadi. Dia pun meraih ponselnya yang ada di atas meja karena ingin menghubungi Leon.Namun, nomor Leon lagi-lagi tidak aktif. Aeris pun beranjak ke kamar karena ingin beristirahat, akan tetapi dia tidak sanggup berdiri karena kedua kakinya terasa sangat lemas. Aeris ingin meminta tolong pada Bik Ijah, tapi dia lupa kalau asisten rumah tangganya itu sedang izin pulang kampung. Aeria benar-benar sendirian di rumah.Aeris ingin meminta tolong pada Anne, tapi dia tidak jadi melakukannya karena sahabatnya itu pasti lelah setelah mengurus butik sendirian. Aeris tidak mungkin minta tolong Sean karena cowok itu sedang fokus belajar untuk mengukuti ujian.Aeris merintih karena perutnya semakin terasa sakit. Dia
Tangis Aeris seketika pecah. Mimpi buruk yang dia jalani di awal pernikahannya dan Leon kembali terulang. Namun, mimpi buruknya kali ini terasa lebih menyakitkan karena ada nyawa yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.Kenapa Tuhan kembali memberi ujian saat dia baru saja meneguk manisnya pernikahan bersama Leon?Kenapa?"Tuhan, tolong selamatkan pernikahanku," gumamnya terdengar pilu.***Tidak ada satu orang pun yang tahu jika ada badai yang menerpa rumah tangga Aeris dan Leon. Pernikahan mereka seolah-olah terlihat baik-baik saja dan tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Aeris benar-benar menyimpan masalahnya dengan rapat. Dia memendam rasa sakit itu sendirian karena tidak ingin membuat orang-orang di sekitarnya khawatir.Namun, pertahanan seketika Aeris hancur karena menemukan sebuah surat yang tergeletak di atas meja kerja Leon. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan sangat kuat hingga membuatnya kesulitan bernapas. Dadanya sesak.Tubuh Aeris
Aeris mengerjapkan kedua matanya perlahan karena Leon menepuk lengannya pelan. "Maaf, aku ketiduran. Apa kamu baru pulang?" tanyanya dengan wajah mengantuk.Leon mengangguk."Kamu sudah makan belum? Kalau belum kita makan bersama, ya?""Aku tadi sudah makan bersama klien," ucap Leon tanpa merasa bersalah sedikit pun.Wajah Aeris seketika berubah sendu. Padahal dia sudah menunggu Leon hingga ketiduran di meja makan agar mereka bisa makan malam bersama, tapi Leon malah makan di luar bersama klien."Kamu mau mandi? Mau aku siapin air hangat, ya?"Leon menggeleng pelan. "Tidak perlu," jawabnya sambil berjalan ke kamar, meninggalkan Aeris sendirian di meja makan.Aeris menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat untuk menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Entah kenapa Aeris merasa kalau Leon bersikap dingin lagi pada dirinya. Apa dia telah berbuat salah?Aeris tanpa sadar menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran buruknya barusan. Leon tidak mungkin bersikap dingin lagi pada dirinya
Brian terkejut karena Leon tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya dan membanting pintu dengan cukup keras. Padahal Leon tadi mengatakan ingin menjemput Aeris di rumah sakit sekalian pulang dan tidak akan kembali ke kantor.Brian pun berdiri lantas menghampiri Leon yang sedang membolak-balik berkas di tangan dengan kasar. Napas Leon terdengar tidak beraturan, menahan cemburu dan amarah yang sudah berkumpul di dalam dadanya"Kau tadi bilang mau ngabisin waktu berdua dengan Aeris di rumah. Kenapa kamu malah balik ke kantor, Leon?""Ingin saja," jawab Leon malas.Brian memperhatikan Leon dengan lekat, sepertinya suasana hati sahabatnya itu sedang tidak baik. "Apa kau bertengkar dengan Aeris?"Leon menggeleng pelan."Lalu?"Leon mengempaskan punggung ke kursi lalu memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa penat. Sepenat hatinya sekarang. "Aku tadi lihat Aeris pelukan sama Kai," ucapnya lirih.Mulut Brian sontak menganga lebar. "A-apa?! Kai?!" Calon kakak ipar? Imbuhnya dalam hati.Leon mengang