"Tema konsermu tentang apa?"Temanya tentang cinta pertama.""Wah, tema yang sangat bagus. Nanti pasti banyak pasangan yang datang melihat konsermu," komentar Anne lantas meminta salah satu karyawannya membuat minuman untuk Alea dan Kai."Kalian mau minum apa?""Apa pun asalkan jangan sirup kelapa," jawab Kai membuat Anne tercengang karena Alea memiliki alergi yang sama dengan Aeris. Selain wajah mereka yang mirip, Aeris dan Alea ternyata memiliki alergi yang sama.Butuh waktu yang tidak sebentar bagi Aeris untuk merancang gaun yang sesuai dengan keinginan Alea. Gadis itu menggambar setiap detail gaun tersebut dengan sangat teliti karena tidak ingin mengecewakan Alea. Gaun sabrin yang menjuntai hingga menutupi mata kaki dengan hiasan pita di bagian belakang sepertinya cocok dengan tema cinta pertama yang Alea inginkan. Entah kenapa Aeris memikirkan Leon ketika menggambar gaun tersebut. Mungkin karena lelaki itu yang menjadi cinta pertamanya.Aeris memejamkan kedua matanya erat-erat ka
Aeris mengerjapkan kedua matanya perlahan. Awalnya penglihatannya terlihat samar, tapi lama-kelamaan berubah lebih jelas saat cahaya putih menerobos masuk ke dalam matanya.Helaan napas panjang sontak keluar dari bibirnya melihat ruangan serba putih dan selang infus yang terpasang di pergelangan tangan kanannya. Aroma obat-obatan pun menyeruak di indra penciumannya. Aeris yakin sekali jika dirinya sekarang sedang berada di rumah sakit."Kamu sudah sadar?"Aeris mengerutkan dahi, menatap lelaki berkulit tan yang duduk di kursi yang berada tepat di sebelah tempat tidurnya."Kai?!"Kai mengembuskan napas lega. "Syukurlah kamu sudah sadar."Lipatan di kening Aeris semakin bertambah. "Memangnya aku tidak sadarkan diri berapa lama?"Kai melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Kurang lebih enam jam."Kedua mata Aeris sontak membulat. "Apa? Enam jam?" tanyanya tidak percaya."Iya.""Apa kamu terus menungguku selama tidak sadar?"Kai kembali mengangguk.Aeris menghela na
Leon sejak tadi terus berbalik mencari posisi tidur yang nyaman. Padahal sekarang sudah hampir jam dua belas malam. Entah kenapa kedua matanya sulit sekali untuk dipejamkan. Leon tidak bisa tidur karena perasaannya mendadak tidak tenang.Leon akhirnya memutuskan untuk bangun lalu menundukkan di atas tempat tidur. Kamar bagus serta tempat tidur yang nyaman ternyata tidak bisa membuatnya tidur nyenyak. Dia gelisah.Leon pun meraih ponselnya yang tergeletak di meja kecil samping tempat tidur. Senyum kecil menghiasi bibirnya ketika melihat foto Aeris yang dia ambil diam-diam saat tidur. Entah kenapa gadis itu terlihat sangat menggemaskan di matanya.Helaan napas panjang lolos dari bibir Leon. Entah kenapa dia tiba-tiba sangat merindukan Aeris. Sedang apa gadis itu sekarang? Apa Aeris juga tidak bisa tidur seperti dirinya?Leon menatap kontak Aeris yang ada di ponselnya dengan ragu. Haruskah dia menelepon gadis itu?Leon memutuskan untuk menelepon Aeris. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih
Alea sontak berhenti melangkah saat melihat Kai terduduk lesu di depan rumah sakit."Apa yang Kak Kai lakukan di sini?"Kai mengangkat kepalanya perlahan karena mendengar suara Alea. Alea tampak terkejut melihat mata Kai yang sembab."Apa terjadi sesuatu dengan Kak Aeris?" tanyanya terdengar khawatir."Tidak," jawab Kai lirih.Alea pun duduk di samping Kai, kemudian meraih jemari kakak kandunya itu dan menggenggamnya dengan lembut. Sebagai seorang adik, Alea tahu kalau suasana hati Kai sekarang sedang tidak baik."Kenapa Kak Kai terlihat sedih jika kak Aeris baik-baik saja?"Kai mengatupkan rahangnya rapat untuk menahan air mata yang mendesak ingin keluar karena dia tidak mau Alea melihatnya menangis, apalagi karena cinta. Lagi pula dia bukan lelaki lemah. Namun, Kai tidak bisa membohongi kalau hatinya sekarang sedang hancur. Kai tidak yakin hatinya bisa kembali utuh."Bukankah kamu ingin menjenguk Aeris?" Kai berusaha mengalihkan perhatian Alea."Baiklah kalau Kak Kai belum siap berce
"Sepertinya aku tadi mendengar suara orang lain." Leon keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang sedikit basah dengan sebuah handuk kecil.Aeris sontak mengalihkan padang dari novel yang sedang dibacanya untuk menatap Leon. Sedetik kemudian dia cepat-cepat menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Tadi ada temanku yang datang. Kamu bisa nggak sih, kalau keluar dari kamar mandi pakai baju dulu?""Memangnya kenapa?""Kamu nggak malu?" Aeris masih setia menutupi wajahnya. Entah kenapa Leon suka sekali bertelanjang dada saat keluar dari kamar mandi."Kenapa harus malu? Kamu kan, istriku."Wajah Aeris semakin terasa panas. Apa lagi saat Leon mendekat lalu menurunkan kedua tangannya yang menutupi wajah dengan paksa. Aroma laut berpadu dengan kayu manis yang menguar dari tubuh Leon membuat Aeris megap-megap. Gadis itu butuh oksigen untuk bernapas."Memangnya kenapa kalau aku bertelanjang dada?""Duh, Gusti!" Aeris mengusap wajah kasar. Apa Leon tidak tahu kalau tubuhnya itu
Alea sejak tadi mengaduk-aduk jus alpukat-nya tanpa minat. Helaan napas panjang berulang kali lolos dari bibirnya. Entah kenapa Alea terus saja memikirkan kemeja milik suami Aeris. Kemeja putih itu mirip sekali dengan kemeja yang dia berikan untuk Leon. Apa mungkin Leon suami Aeris?"Alea!"Alea sontak menatap Kai yang duduk tepat di hadapannya. "Ya, Kak?""Melamun lagi?" Kai menatap Alea dengan lekat. Gadis itu sering sekali melamun dan tidak fokus saat diajak bicara sejak pulang dari rumah sakit menjenguk Aeris.Alea menggeleng pelan. Sebenarnya dia ingin tahu apa yang menyebabkan Kai menangis saat di rumah sakit tadi. Namun, dia malah asyik dengan pikirannya sendiri."Melamun lagi, kan?"Alea tergagap. "Maaf ....""Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu, coba cerita sama kakak."Alea menyedot minumannya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "Tidak mau, Alea ingin tahu kenapa mata Kak Kai sembab waktu di rumah sakit.""Mata kakak kelilipan.""Bohong banget!" Alea mende
"Leon!" Kedua mata Aeris sontak membulat.Leon terkekeh geli melihatnya. Entah kenapa dia sekarang suka sekali membuat Aeris kesal. "Tunggu sebentar ya, Sayang."Tubuh Aeris merinding mendengar Leon memanggilnya sayang. Apa suami sekaligus keponakannya itu salah minum obat?Leon mendorong kursi roda Aeris menuju taman rumah sakit. Sedari tadi banyak pasang mata yang menatap iri pada Aeris karena Leon begitu sabar dan perhatian pada dirinya."Leon, berhenti.""Kenapa kamu tiba-tiba minta berhenti?" tanya Leon tidak mengerti."Aku ingin es krim.""Apa?! Es krim?" Leon tersentak mendengar ucapan Aeris barusan.Aeris mengangguk. Entah kenapa dia tiba-tiba ingin sekali makan es krim."Tapi kamu sedang sakit, Sayang.""Dokter tadi bilang aku bisa makan apa pun."Leon menghela napas panjang. Dia tidak tega meninggalkan Aeris sendirian karena letak kantin lumayan jauh dari taman. Apa lagi angin sekarang berembus sedikit kencang."Kita kembali ke kamar dulu, ya?"Aeris menggeleng. "Nggak mau."
Kekasih, tidur bersama, dan anak. Tiga kata itu terus berputar di otak Aeris bagai kaset rusak. Entah kenapa oksigen di sekitarnya seolah-olah lenyap, sekarang rasanya sulit sekali bagi Aeris untuk mengambil napas, dadanya sesak.Aeris tidak ingin percaya dengan apa yang Meeta katakan kalau Leon pernah memiliki anak dengan mantan kekasihnya, tapi kenapa air mata ini tidak juga mau berhenti keluar?Sialan!"Ya Tuhan, apa ini yang menyebabkan Leon selama ini bersikap dingin kepadaku?" gumam Aeris menahan nyeri di dada.Gadis itu kembali teringat akan sikap Leon di awal pernikahan mereka. Leon tidak pernah memedulikannya, status pernikahan di antara mereka pun seolah-olah tidak ada artinya di mata lelaki itu. Leon bahkan menolak bercinta dengannya malam itu. Aeris sekarang menyadari satu hal. Leon tidak pernah mencintainya. Lelaki itu mau menikah dengannya karena terpaksa.Andai saja dia dan Leon tidak menikah, Leon pasti akan menikahi mantan kekasihnya karena sudah ada anak dalam hubung
Seorang dokter dan empat orang perawat akan membantu proses persalinan Aeris. Mereka semua perempuan karena Leon tidak ingin Aeris ditangani oleh dokter maupun perawat laki-laki. Dia memang possesive."Tarik napas panjang Sayang, embuskan." Leon berusaha menenangkan Aeris meskipun dia sendiri juga panik karena sebentar lagi Leon junior akan lahir ke dunia."Kenapa kamu membuatku hamil, Leon? Aduh, rasanya sakit sekali!" Aeris menarik rambut Leon kuat-kuat hingga membuat Leon meringis kesakitan."Aduh, Sayang, sakit!"Aeris terus mengaduh kesakitan. Perutnya seperti akan terbelah karena suatu di dalam sana berusaha merangkak keluar. Sepasang bayi kembar, kacang kecilnya.Aeris tanpa sadar meremas tangan Leon semakin erat karena perutnya benar-benar terasa sakit."Aduh, Sayang, sakit. Jangan meremas tanganku terlalu kuat!"Aeris tidak peduli Leon meringis kesakitan karena perutnya benar-benar sakit."Tarik napas panjang dan keluarkan perlahan-lahan."Aeris pun mengikuti perintah dokter.
Leon tersenyum tipis. Sangat tipis dan nyaris tidak terlihat. Penyesalan, rasa bersalah, juga rindu yang teramat dalam terpancar jelas dari kedua sorot matanya saat menatap Aeris."Pizza pesanan Anda sudah datang, Nona."Aeris menepis pizza di tangan Leon dengan kasar lantas melemparkan diri dalam dekapan lelaki itu. Tangis Aeris seketika pecah. Dia sangat mencintai Leon dan tidak ingin berpisah dengan lelaki itu."Aku tidak ingin berpisah denganmu, Leon. Aku mohon, jangan pernah ceraikan aku," gumam Aeris dengan suara gemetar.Leon menarik napas panjang. Hatinya begitu sakit melihat air mata yang membasahi pipi Aeris. Leon merasa sangat menyesal sudah menyakiti Aeris dan membuat wanita yang dia cintai itu menangis."Aku takut sekali karena kamu tiba-tiba tidak peduli dan bersikap dingin lagi kepadaku, Leon. Aku nyaris gila karena memikirkan nasib pernikahan dan buah hati kita. Aku takut kamu akan menceraikanku ....""Maaf," ucap Leon sambil mengecup puncak kepala Aeris berkali-kali.
Leon menghela napas panjang. "Aku pikir pernikahanku dan tante Aeris akan berjalan baik-baik saja dan berakhir bahagia sampai maut memisahkan kami berdua. Tapi kenyataannya tidak, tante Aeris ternyata mencintai lelaki lain."Meeta terhenyak medengar ucapan Leon barusan. "Aeris tidak mungkin mencintai lelaki lain, Leon. Sebagai sesama perempuan aku bisa melihat dengan jelas kalau Aeris sangat mencintai kamu."Leon mengangkat kedua bahunya ke atas, kesedihan dan kekecewaan terpancar jelas dari kedua sorot matanya. "Terserah kalau kamu tidak percaya. Tapi aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau tante Aeris sedang berpelukan mesra dengan lelaki lain.""Memangnya kamu tahu siapa lelaki yang dicintai Aeris?"Leon mengangguk."Siapa?" tanya Meeta ingin tahu."Aku malas menyebut namanya. Terima kasih banyak sudah mau mengobati lukaku, Meeta."Meeta mengangguk. "Sama-sama. Sebaiknya selesaikan masalahmu dengan Aeris baik-baik. Aku harap kalian tidak akan pernah berpisah."Leon mengangguk
Aerin hanya bisa diam melihat Setya yang memukul Leon karena dia juga kecewa dengan keputusan putra sulungnya itu.Leon mendesis sambil mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. Rasanya sangat perih bercampur dengan ngilu. Rahangnya pun seolah-olah patah karena pukulan Setya sangat keras. "Untuk anak, Papa tenang saja. Leon akan tetap tanggung jawab."Rahang Setya semakin mengeras. "Anak bodoh! Tolol! Pernikahan itu bukan main-main, Leon!""Leon tidak pernah mempermainkan pernikahan, tapi tante Aeris yang telah mempermainkan perasaan Leon. Ugh...!" Leon memegangi perutnya karena Setya tiba-tiba menendangnya dengan cukup keras."Anak bodoh! Selama dua puluh lima tahun menikah papa selalu berusaha membuat mamamu jangan sampai meneteskan air mata, tapi kamu malah tega membuat Aeris menangis. Di mana hatimu, Leon?""Hati Leon sudah lama mati.""Leon!" Setya menghajar Leon tanpa ampun untuk melampiaskan amarah sekaligus kekecewaannya. Leon tidak bisa melawan karena sang ayah
Hana berjalan cepat menghampiri Leon dan menggebrak meja dengan cukup keras hingga membuat cucu kesayangannya itu berjingkat kaget. Kedua mata Hana menatap Leon tajam, dadanya naik turun menahan emosi yang siap untuk meledak."Kenapa Nenek datang ke kantor Leon?" tanya Leon berusaha tetap tenang."Kenapa kamu ingin menceraikan Aeris, Leon? Apa kamu sudah kehilangan akal?"Leon tanpa sadar menelan ludah, terkejut karena Hana tahu kalau dia ingin menceraikan Aeris. "Da-dari mana Nenek tahu?""Aeris sudah menceritakan semuanya sama nenek. Kamu itu sudah dewasa, Leon. Masalah itu harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik-baik. Jangan malah lari seperti seorang pengecut."Leon mengembuskan napas kasar sebelum bicara. "Untuk apa Leon mempertahankan pernikahan ini kalau tante Aeris tidak sungguh-sungguh mencintai Leon, Nek?"Mulut Hana sontak menganga lebar. "Kamu benar-benar bodoh, Leon. Aeris itu cinta mati sama kamu. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?"Leon malah mendengkus. "Nene
"Sshh ...." Aeris memegangi kepalanya yang terasa berdenyut lalu menarik napas dalam-dalam karena perutnya tiba-tiba saja terasa kram. Semoga kacang kecilnya baik-baik saja.Aeris kembali menarik napas panjang, tapi rasa sakit di perutnya tidak mau hilang. Sakitnya malah semakin menjadi-jadi. Dia pun meraih ponselnya yang ada di atas meja karena ingin menghubungi Leon.Namun, nomor Leon lagi-lagi tidak aktif. Aeris pun beranjak ke kamar karena ingin beristirahat, akan tetapi dia tidak sanggup berdiri karena kedua kakinya terasa sangat lemas. Aeris ingin meminta tolong pada Bik Ijah, tapi dia lupa kalau asisten rumah tangganya itu sedang izin pulang kampung. Aeria benar-benar sendirian di rumah.Aeris ingin meminta tolong pada Anne, tapi dia tidak jadi melakukannya karena sahabatnya itu pasti lelah setelah mengurus butik sendirian. Aeris tidak mungkin minta tolong Sean karena cowok itu sedang fokus belajar untuk mengukuti ujian.Aeris merintih karena perutnya semakin terasa sakit. Dia
Tangis Aeris seketika pecah. Mimpi buruk yang dia jalani di awal pernikahannya dan Leon kembali terulang. Namun, mimpi buruknya kali ini terasa lebih menyakitkan karena ada nyawa yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.Kenapa Tuhan kembali memberi ujian saat dia baru saja meneguk manisnya pernikahan bersama Leon?Kenapa?"Tuhan, tolong selamatkan pernikahanku," gumamnya terdengar pilu.***Tidak ada satu orang pun yang tahu jika ada badai yang menerpa rumah tangga Aeris dan Leon. Pernikahan mereka seolah-olah terlihat baik-baik saja dan tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Aeris benar-benar menyimpan masalahnya dengan rapat. Dia memendam rasa sakit itu sendirian karena tidak ingin membuat orang-orang di sekitarnya khawatir.Namun, pertahanan seketika Aeris hancur karena menemukan sebuah surat yang tergeletak di atas meja kerja Leon. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan sangat kuat hingga membuatnya kesulitan bernapas. Dadanya sesak.Tubuh Aeris
Aeris mengerjapkan kedua matanya perlahan karena Leon menepuk lengannya pelan. "Maaf, aku ketiduran. Apa kamu baru pulang?" tanyanya dengan wajah mengantuk.Leon mengangguk."Kamu sudah makan belum? Kalau belum kita makan bersama, ya?""Aku tadi sudah makan bersama klien," ucap Leon tanpa merasa bersalah sedikit pun.Wajah Aeris seketika berubah sendu. Padahal dia sudah menunggu Leon hingga ketiduran di meja makan agar mereka bisa makan malam bersama, tapi Leon malah makan di luar bersama klien."Kamu mau mandi? Mau aku siapin air hangat, ya?"Leon menggeleng pelan. "Tidak perlu," jawabnya sambil berjalan ke kamar, meninggalkan Aeris sendirian di meja makan.Aeris menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat untuk menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Entah kenapa Aeris merasa kalau Leon bersikap dingin lagi pada dirinya. Apa dia telah berbuat salah?Aeris tanpa sadar menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran buruknya barusan. Leon tidak mungkin bersikap dingin lagi pada dirinya
Brian terkejut karena Leon tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya dan membanting pintu dengan cukup keras. Padahal Leon tadi mengatakan ingin menjemput Aeris di rumah sakit sekalian pulang dan tidak akan kembali ke kantor.Brian pun berdiri lantas menghampiri Leon yang sedang membolak-balik berkas di tangan dengan kasar. Napas Leon terdengar tidak beraturan, menahan cemburu dan amarah yang sudah berkumpul di dalam dadanya"Kau tadi bilang mau ngabisin waktu berdua dengan Aeris di rumah. Kenapa kamu malah balik ke kantor, Leon?""Ingin saja," jawab Leon malas.Brian memperhatikan Leon dengan lekat, sepertinya suasana hati sahabatnya itu sedang tidak baik. "Apa kau bertengkar dengan Aeris?"Leon menggeleng pelan."Lalu?"Leon mengempaskan punggung ke kursi lalu memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa penat. Sepenat hatinya sekarang. "Aku tadi lihat Aeris pelukan sama Kai," ucapnya lirih.Mulut Brian sontak menganga lebar. "A-apa?! Kai?!" Calon kakak ipar? Imbuhnya dalam hati.Leon mengang