"Duh, sial banget sih, hari ini," Rutuk seorang gadis. Berjalan tergesa-gesa sambil mengetuk keningnya beberapa kali.
Masih terlihat jelas, rutinitas sejak pagi buta tadi, hingga membuatnya terlambat masuk kelas, di hari pertama perkuliahan ini. Membuatnya diminta menghadap dosen, yang entah siapa namanya. Ia bahkan tidak sempat mengingat nama dosen muda tadi.
Seorang dosen yang menurutnya galak. Saat ini ia hanya sedang menyiapkan mental untuk kembali bertemu dengannya. Zahira menghentikan langkah di depan ruang yang pintunya tertutup rapat.
Ia menggigit bibir bawah, demi menetralisir rasa takut tanpa alasan. Ini sudah dua kali zahira mengangkat tangan untuk mengetuk pintu, tetapi tangan mungil itu masih saja tak bergerak. Terpaku oleh rasa bimbang, antara berani dan tidak.
Namun, saat ia akan memberanikan diri, pintu itu telah terbuka dari dalam. Zahira mengerjap gugup, apalagi yang nampak pertama adalah tag nama bertuliskan Gema Mahardika.
"Anda telah membuat saya menunggu lama," Suara yang memarahinya di kelas tadi, kini kembali menggema di telinga. Zahira membelalak tanpa kedip beberapa saat. Melihat sosok tinggi di depan, bersuara tanpa menatapnya sedikitpun.
"Masuk!" Sang Dosen kembali bersuara, Zahira gelagapan.
"Eh, i, iya, Pak." Ia terlambat menyadari, bahwa saat ia mengatakan kalimat bodoh itu, ternyata dosen tadi telah menghilang dari hadapan.
Zahira maju dengan langkah terseret, mendekati meja yang pemiliknya telah duduk menatap layar ponsel. Setelah berdiri beberapa saat, ia yakin, sampai nanti pun, dosen itu tidak akan pernah memintanya duduk. Maka ia memutuskan mengambil inisiatif sendiri, menjatuhkan badan ke atas kursi di dekatnya.
Menunggu sampai bosan, sebab orang yang memintanya datang ini tak segera bersuara. Malah semakin asyik dengan layar kecil di tangan. Zahira jengah, menunduk takzim sejak tadi pun rasanya tak ada guna.
"Pak, kenapa saya diminta kesini?" Zahira bertanya jengkel, menatap kesal wajah dosen yang ternyata tetap fokus pada ponselnya.
Wajah kesalnya makin menjadi, saat beberapa menit berlalu tanpa jawaban sama sekali. Zahira kembali angkat suara, "Pak! Saya tanya, kenapa saya diminta kesini?"
Suaranya cukup lantang, sosok pria itu menatapnya tajam. Zahira perlahan menyadari, bahkan belum terdengar jawaban, ia kembali menunduk.
"Kenapa? Coba tanya pada dirimu sendiri."
"Iya, Pak. Karena saya datang terlambat, maafkan saya." Zahira menjawab asal karena rasa kesal masih menggenggam dada.
"Itu, sudah tau." Zahira akan lega jika Dosen itu melanjutkan kata. Sayangnya, malah kembali pada layar ponsel.
"Saya tau, Pak. Terus, abapak minta saya kesini ini kenapa? Saya minta maaf, dan masalahnya selesai. Nggak usah dibikin panjang. Bisa, kan?"
"Apakah itu sopan?" Zahira mendelik, rasanya ingin bersumpah demi apapun. Dosen itu memiliki sifat dingin, angkuh, cuek, dan sikap-sikap lainnya yang sejenis. Ia mendesah jengkel.Bahkan saat rentetan kalimat yang ia lontarkan tadi, tak berpengaruh apapun pada wajah dosen bernama Gema.
"Saya ingin menambah hukuman Anda. Nanti sore, temui saya di tempat itu." Dosen tadi berlalu setelah menjatuhkan kertas kecil di depan Zahira.
Gadis itu, menatap heran punggung yang baru saja keluar pintu. Menggeleng tak habis pikir, bagaimana ada seorang pengajar dengan sikap kejam seperti itu.
"Restoran?" Gumamnya saat mengetahui keterangan yang ada dalam kertas kecil tadi. "Jadi, hukumannya adalah, makan?" Ia bertanya pada diri sendiri. Kejap selanjutnya, gadis itu melompat girang.
"Yes. Jarang-jarang ada pengajar yang ngasih hukuman begini. Tapi .... " Bibir yang tadinya melengkung senyum itu, kembali. "Jangan-jangan, aku yang disuruh bayarin makanan dosen galak itu? Hah? Enak aja!" Zahira melesat keluar dengan uring-uringan tak jelas.
Senang sekaligus penasaran, akan hukuman yang ternyata di restoran. Sepanjang perkuliahan, bahkan Zahira tak sabar menanti sore tiba.
Sore ini, setelah mengantarkan pesanan pembeli, Zahira memarkirkan motor scoopy kesayangan. Yang ia beli dengan jerih payahnya sendiri. Hasil dari tabungan bisnis pakaian online, selama beberapa tahun ini, hingga ia akhirnya bisa melanjutkan angan terpendam. Yaitu kuliah, meski di usia yang lebih dari yang lain.
Belum lama ia duduk, dosen tadi datang. Zahira berfikir, pria itu memang orang disiplin dan menghargai waktu. Tak heran lagi, jika hanya dengan alasan terlambat, ia harus menerima hukuman.
"Ikut saya." Suara Pak Gema, yang bahkan Zahira belum sempat menyapanya. Ia malah dibuat gelagapan dengan perintah mendadak di luar perkiraan. Bahkan saat ini, Gema telah berdiri di depan mobilnya.
"Kita mau kemana?" Zahira bertanya, setelah menyusul dengan langkah tergesa.
"Masuk!" Sekali lagi perintah dari sang dosen, Zahira menepuk kening. Meski begitu, ia akan tetap patuh.
Ia masuk setelah mendengus kecil, dan belum sempurna meletakkan badan, matanya kembali dikejutkan dengan tangan Gema, memegang tas kecil di depan wajah.
"Cepat pakai, dan rapikan rambutmu yang berantakan itu." Zahira kembali mendengus, ia bahkan belum sempat bertanya.
Beruntung ia bergerak cepat, seenaknya saja pemilik mobil itu masuk dan menghidupkan mesinnya.
"Kita mau kemana sih, pak? Terus, motor saya gimana?" Tanya Zahira saat mobil melaju kencang, menuju tempat yang ia tak tau kemana. Sayangnya, pertanyaan tadi tak pernah dijawab oleh Pak Gema.
Hanya saja, tak butuh waktu lama, mobil itu berhenti di depan rumah luas dan asri. Zahira yakin, itu pasti rumah Dosennya. Namun, hingga detik ini, ia tak mengerti, kenapa Dosen itu mengajaknya kemari.
"Siapa namamu tadi?" Suara Gema membuyarkan lamunan Zahira, membuat gadis itu terkejut berlebihan. Selebihnya adalah, tak habis pikir. Jadi, Dosen yang akan memberikan hukuman itu belum tau namanya.
Ya Tuhan, ia menepuk kening. "Nama saya Zahira, Pak. Lebih lengkapnya adalah, Wardah Zahira." Ia menekan setiap kata tentang namanya, dan mengetahui pria di depan kemudi tak bereaksi sama sekali.
"Tidak peduli siapa. Yang jelas, apapun yang akan kamu hadapi setelah ini, kamu hanya cukup menurut dan menjawab iya. Paham, kamu?"
"Iya, Pak Dosen." Ia menjawab nyengir. Mengekor saja, berjalan cepat demi mengejar langkah panjang pria tadi. Sepanjang langkah ia tetap bergumam pada diri sendiri, hukuman apa yang sebenarnya akan diterima.
Keduanya masuk ruangan depan, yang di sana terdapat beberapa orang berpenampilan indah. Zahira membelalak lebar, masih belum tau apa sebenarnya akan terjadi. Dan yang membuatnya semakin gugup adalah, mengetahui bahwa semua mata di ruangan ini, semua menatap ke arahnya.
"Gema! Jadi hanya karena perempuan jelek itu, kamu nolak aku?" Teriak sosok yang terlihat paling cantik, dengan dandanan mewah di antara yang lain.
Zahira memicing, menatap semua orang satu persatu. Tak peduli dengan pandangan mereka semua, yang menyiratkan kebencian entah karena apa. Kini, ia beralih melihat Gema. Pria itu tetap tak bereaksi di sebelahnya. Namun, sedikit banyak, ia paham apa yang terjadi.
Apalagi perempuan cantik tadi, kini perlahan mendekat, menatapnya penuh amarah dan kebencian. Tatapan yang sama juga terarah pada Gema. Zahira menghela nafas dalam-dalam, hatinya mendadak diliputi rasa khawatir.
"Jadi kamu lebih memilih dia, daripada aku yang telah bertahun-tahun mencintai kamu, Gema!"
"Kita tidak cocok." Singkat dan padat, mungkin itulah watak dari seorang dosen bernama Gema.
"Apa yang membuat kita nggak cocok? Latar belakang keluarga kita sejajar!" Perempuan tadi berteriak lantang, tetapi Gema tak lagi merespon.
"Gema. Apa-apaan ini? Kamu mau bikin malu papa dan mama?" Zahira yang kaget, saat tiba-tiba terdengar suara pria mendekat. Yang ia yakini itu adalah Ayah Gema.
"Maaf, Papa. Tapi saya tidak mencintai Aurel. Saya akan menikahi dia dalam waktu dekat, bukan begitu, Zahira?" Suara Gema, dan wajah itu mengarah ke Zahira. Ia mendelik kaget.
Bersambung ***
"Maaf, Papa. Tapi saya tidak mencintai Aurel. Saya akan menikahi dia dalam waktu dekat, bukan begitu, Zahira?" Suara Gema dan wajah itu, mengarah ke Zahira. Ia mendelik kaget.Ia semakin kaget karena merasakan kaki Gema menginjaknya dengan sengaja. Pria itu pasti sedang menunggu suara darinya, seperti yang telah diperintahkan sebelum masuk kemari tadi."Jadi benar, kamu pacarnya Gema?" Pria paruh baya tadi kembali bertanya, dan sekali lagi Zahira merasakan kakinya diinjak."Eh, itu, anu .... " Ia berucap bingung, tanganpun menggaruk kepala yang tak gatal. Mengundang pandangan aneh dari semua yang ada di sini. Apalagi saat melirik Gema, yang ia Terima adalah tatapan tajam. Zahira menunduk cepat."Kenapa situasinya aneh? Gema, kamu tidak sedang bercanda, kan?" Tanya pria tadi, mendekati sang anak dengan mata menyipit. Nampaknya mereka mulai curiga dengan sandiwara yang sedang dimainkan dosen muda itu.Melihat wajah Gema berubah sedikit panik, Zahira mengerti apa yang harus dilakukan."
"Tapi .... " Harusnya kalimat itu belum usai, tapi karena lawan bicara telah menghilang, Zahira hanya bisa menghela nafas pasrah."Tapi, kenapa?" Dan ia bergumam seorang diri, tertegun hingga beberapa saat. Hingga tersadar bahwa dirinya masih berada di tempat ini, sementara di kelas sana, perkuliahan pasti sudah berlangsung.Maka dengan tergesa-gesa, Zahira menyambar lembaran uang tebal dari Pak Gema tadi, dan membawanya berlari menuju kelas. Di sana, bahkan sepanjang materi kuliah ia tak bisa berkonsentrasi.Pikirannya masih dipusingkan dengan ucapan Pak Gema tadi, yang katanya dua hari lagi akan mereka akan segera menikah. Hah, menikah? Yang benar saja.Bahkan dalam mimpi pun ia belum pernah terpikirkan akan hal ini. Apalagi menikah dengan pria secuek itu. Apa ia bisa.Apalagi, sejak dulu ia tak memiliki teman satupun yang bisa diajak bercurah hati. Hanya sang Ayah, yang tiga tahun lalu pun pergi meninggalkanya.Kuliah di jam pertama berakhir dengan tanpa bekas apapun yang tertingga
"Papa, Mama. Pagi ini juga, kami akan pindah ke rumahku," Ucap Gema membuat semua orang menatap heran. "Buru-buru amat?" Tanya Mama, tetapi Zahira yakin, itu hanya pemanis bibir saja. Mereka semua pasti akan lebih senang jika dirinya segera enyah dari tempat ini. "Iya, Ma. Biar kami lebih dekat kalau mau berangkat ke kampus," Jawabnya. "Oh, kalau memang itu sudah jadi keputusan kamu, ya, kami bisa apa. Iya kan, Pa?" Mama bertanya pada suaminya, dan yang ditanya hanya mengangguk tanpa kata. Pria muda saudara kandung Gema pun, sejak tadi hanya fokus dengan makanannya saja. "Makasih, Ma, Pa. Kami akan berangkat sekarang." Gema beranjak, mengabaikan piring yang masih tersisa setengah. Zahira yang baru menyuap beberapa sendok pun kaget dan ikut berdiri. "Hati-hati."Hanya itu saja ucapan mama, tanpa ada pamitan menyentuh. Zahira tak heran, mungkin memang seperti itu kebiasaan keluarga mereka. Ditambah lagi, kehadirannya di sini, pasti membuat mereka semakin dingin. Setengah jam berik
"Apa-apaan ini?" Zahira memekik."Hukuman untuk kamu. Bersihkan semuanya, dan masak untuk makan malam." Dengan angkuh, Gema berucap. Bibirnya menyunggingkan senyuman miring, Zahira berdecak kesal, apalagi pria itu pergi setelahnya. "Dasar, orang nggak punya perasaan!" Teriak Zahira, sengaja bersuara keras agar Gema mendengarnya. Meskipun ia sebenarnya sudah tau, teriakannya itu tak akan berpengaruh apapun pada keputusan Gema.Ia mengamati meja makan, dan lantai yang kotor dengan wajah lelah. Ditambah lagi, perutnya belum terasa kenyang, sebab makan yang belum seberapa, dan semua makanan telah berserakan di lantai.Beruntung. Di mesin penanak nasi tadi, ia masih menyisakan nasi beberapa sendok. Dimakannya hingga habis, dengan tangan telanjang. Makan nasi tanpa lauk begini, baginya telah terbiasa.Ia juga tidak menyadari, bahwa dari atas tangga, ternyata Gema masih memperhatikan. Pria itu pergi setelah berdecak entah dengan maksud apa.Malam telah datang, dan Zahira baru usai dari akti
"Mulai sekarang, baju kotor nggak usah lagi di bawa ke loundry. Serahkan saja ke saya. Oke?" Zahira berlari ke arah dapur, Gema tertegun memandang kepergiannya.Gema tak berkata apapun, hanya melangkah mendekati meja makan. Melihat semua telah tersedia di sana, pria itu kembali tertegun sesaat. Kesadarannya pulih lebih cepat, saat mendengar Zahira kembali."Silahkan duduk, Pak. Pak Gema mau sarapan pakai apa?" Seperti sudah siap menjadi seorang istri yang baik, Zahira dengan cekatan melayani suaminya. Mengambilkan piring yang diisinya dengan makanan. Tentu saja dengan mulut tak berhenti bertanya pada Gema."Oh iya, Pak. Nanti pulang jam berapa?" Tanya Zahira."Belum tau." Jawaban Gema masih sesingkat biasanya."Yah .... " Lirih gadis itu mengerucutkan bibir, "kalau saya tau jadwal pulangnya Pak Gema, kan enak, mau masaknya."Tak ada jawaban, Gema hanya menyudahi makan dengan meneguk air putih dan berdiri. Zahira tak ingin terlambat, ia juga berdiri cepat. Membantu membawakan tas kerja
"Bukankah kamu selalu ingin jadi istriku?""Sadar, Pak. Pak Gema lagi mabuk!" Teriak Zahira panik bukan main, sebab pria itu nyaris saja menguasai bibirnya.Sebenarnya, ia telah halal bagi Gema. Tetapi karena cinta yang belum ada di antara mereka, membuat Zahira tak rela jika dirinya disamakan dengan perempuan penjaja harga diri. Apalagi saat ini, kondisi pria itu sedang setengah tak sadar.Beruntung, saat wajah Gema bergerak mendekat, Zahira sigap menghindar. Ia pikir pria itu akan kembali berulah, ternyata badannya malah merosot ke lantai. Sepertinya tertidur."Pak, Pak Gema?" Panggilnya pada badan yang telah luruh ke atas lantai. Ia bahkan kebingungan, bagaimana caranya untuk membantu Gema ke ranjangnya.Ia berusaha mengangkat badan dengan susah payah, dan berhasil membantu Gema menuju ranjangnya. Namun betapa Zahira kaget, saat akan membaringkan badan pria itu, tangannya malah ditarik.Ia ambruk ke atas badan Gema, bersamaan dengan berbaringnya pria itu. Sekejap dapat ia dengarkan
Zahira kaget bukan main, saat Aurel yang meminta ijin ke belakang, ternyata malah menumpahkan jus ke pakaiannya."Ups, nggak sengaja. Maaf, ya." Suara Aurel tampak tak bersalah sama sekali. Gadis itu tak peduli Zahira yang mukanya memerah, sambil kerepotan membersihkan pakaian di sebelah depan.Ia kembali kaget, Tiba-tiba Gema mendekat dengan beberapa lembar tissu, membantu membersihkan bajunya. Dadanya bergemuruh dengan perlakuan suaminya kali ini, tetapi ia harus sadar. Bahwa yang dilakukan Gema itu, pasti hanya karena sedang di depan orang tuanya. Sementara mereka semua diam saja dengan sikap Aurel pada Zahira barusan."Kamu, gadis kampung. Siapa sih, namanya? Kamu kesal ya, sama aku tadi?" Tanya Aurel ditujukan langsung ke arah Zahira, gadis yang ditanya mendadak gugup.Bingung harus menjawab apa, melirik Gema untuk meminta perlindungan pun rasanya tak mungkin. Pria itu masih sibuk membersihkan baju sang istri."Diam, kamu!" Gema yang menjawab."Aku nggak tanya kamu, ya. Aku tany
Lima belas menit, keduanya tiba di depan area kampus. Saat motor berhenti, tiba-tiba gerimis datang. Gema turun dari motor, yang langsung diserbu beberapa mahasiswi dengan membawa payung. Mengajak dosen itu menuju kantornya, tanpa peduli bagaimana reaksi Zahira melihat tingkah mereka tadi."Pak, kok bisa sih, Pak Gema numpang cewek culun begitu?" Tanya salah satu, yang tanpa dijawab sama sekali oleh sang dosen. Sementara Zahira masih mendengar dengan jelas."Iya, Pak. Kalo mobilnya kenapa-kenapa, kan bisa panggil salah satu dari kami.""Iya, Pak. Mending panggil saya aja, deh.""Saya aja deh, Pak."Masih terdengar beberapa mahasiswa centil itu saling berebut menawarkan diri untuk membantu dosennya. Memang, meskipun tidak ramah pada semua orang, Gema memiliki paras rupawan, yang membuat para gadis berebut ingin mendekati.Di tempatnya, Zahira masih berdiri menatap jengah orang-orang tadi. Hingga suaminya itu menghilang balik ruangan kantor, ia baru sadar, gerimis makin deras. Gadis itu
Zahira menahan kesal. Ia memilih pergi, menerobos hujan.Sedangkan Gema sebenarnya termangu di tempat. Namun, pria itu cepat berdecih tak suka. "Dasar, gadis bodoh!" Rutuknya membuka pintu mobil.Gema pun menerobos hujan bercampur petir, menggunakan mobilnya. Kendaraan roda empat itu melaju kencang. Bahkan telah beberapa kali mendapatkan peringatan dari kendaraan yang lain, berupa klakson keras-keras. Sebab ia menyalip tanpa aturan.Ia tak peduli lagi pada sosok tercengang di dekat pintu sebelah. "Kenapa buru-buru sekali, sih?" Gumam Yasmin tampak tak nyaman. Wanita itu sesekali berjingkit, bahkan menutup mata ketika mobil melaju dengan kecepatan maksimal."Gema, kamu kenapa, sih?" Tak lantas mendapatkan jawaban, Yasmin menyentak. Gema yang dari tadi fokus ke depan itu hanya menatap sekilas. Lalu kembali pada posisi semula."Ini hujan deras. Aku harus cepat nganterin kamu pulang," Jawab Gema tanpa menatap lawan bicara."Tapi, katanya kita mau makan siang dulu?""Sedang hujan. Lain kal
Zahira beberapa kali menyalakan mesin motor yang entah kenapa tak juga menyala. Lalu dengan sengaja, Gema melajukan Mobil, seperti tak melihat kesulitan yang Zahira alami.Pria itu hanya sekilas saja melirik ke arah Zahira, lalu bukannya membantu atau mengajak berangkat bersama. Gema bahkan tetap acuh, dan melintas di depan sang gadis dengan cepat.Membiarkan Zahira berdecih tak habis pikir, "jangan kamu pikir aku bakal ngemis, mau ikut mobil kamu ya, pak!" Ia mendengus. Melirik jam tangan, yang tak lama lagi mata kuliah akan dimulai.Mata kuliah Gema, ia harus segera berangkat, meksipun harus berjalan kaki. Beberapa ratus meter perjalanan, ketika ia melangkah cepat, dengan sesekali menyeka keringat di dahi. Tiba-tiba ada motor sport berhenti di samping."Kok jalan kaki?" Tanya pemilik motor gede itu."Eh, motorku mogok tadi, dan nggak mungkin mampir ke bengkel. Bisa telat," Jawabnya tersipu."Ya udah. Ayo, naik." Pria yang selalu baik padanya itu menawarkan bantuan. Kemudian, mana mu
"Kamu mau halangi saya lagi?" Yasmin yang telah tiba di depan pintu kamar Gema itu menyentak. Zahira awalnya berwajah tegang, tapi hanya sesaat saja. Setelahnya, gadis itu tersenyum ceria.Bahkan malah membukakan pintu kamar Gema. Ia masuk terlebih dahulu, dan Yasmin mengekor di belakang, mengamati sang gadis yang meletakkan nampan ke atas meja di depan ranjang Gema."Yasmin, kamu datang lagi?" Tanya Gema, pria itu baru saja terbangun dari tidurnya. Yang ditanya segera mendekat."Iya, Gema. Gimana keadaan kamu? Udah lebih baik?" Wanita itu memperlihatkan wajah penuh kekhawatiran."Sudah. Kamu harus berterimakasih dengan Zahira." Gema menunjuk pada gadis yang dimaksud, membuat Yasmin mengikuti arah wajah pria itu. Yasmin mendengus dalam hatinya. "Kenapa?" Ia bertanya. Tatapannya masih terarah pada sosok Zahira yang senyam-senyum, seperti tanpa dosa."Karena dia, aku bisa sembuh tanpa harus pergi ke dokter.""Ck! Maksudnya apa, ini? Kamu mau menghina aku?""Kenapa kami jadi sewot begitu
Zahira mengejar, hingga terjadi kegaduhan sejenak di depan pintu kamar Gema. Bahkan hingga Yasmin membuka kasar pintu itu, dan melihat si pemilik kamar duduk. Menatap tajam mereka berdua."Apa maksud kalian?" Tanya pria yang terlihat masih belum ada perubahan dari Sebelumnya. Zahira ingin mendekat, tetapi dicegah oleh Yasmin. Dan wanita cantik itu yang berhasil mendekati tempat tidur Gema."Gema, kamu kenapa? Kok nggak masuk? Aku tadi mau kesini, tapi dilarang sama dia. Makanya sempat ribut," Ungkap wanita dewasa yang cantik itu. Gema mengikuti arah telunjuk pada gadis yang dimaksud, ia melihat Zahira melepas nafas lirih sambil menunduk."Keluar!" Gema memerintah ke arah Zahira, gadis itu mendongak kaget. "Tapi, Pak. Gimana kalau Pak Gema .... ""Kamu pikir saya orang jahat?" Sentak Yasmin, Zahira kembali tertunduk. Entah mengapa ada perasaan khawatir dengan suaminya itu, padahal sudah jelas, kedua dosen itu saling mencintai dan menginginkan."Cepat, keluar. Jangan ikut campur dengan
"Pak," Panggil Zahira yang langsung membuat pria di atas sana hanya menoleh sekilas."Gimana kalau saya nggak mau?" Pertanyaan gadis itu, sontak membuat Gema menghentikan langkah. Tatapannya menyipit ke arah yang bertanya.Sementara Zahira, gadis itu mulai tersenyum menang. Ia yakin, pria di atas sana pasti bingung hendak menjawabnya."Bukan urusan saya!" Jawaban yang keluar dari bibir Gema, diluar perkiraan. Zahira tercengang melihat sosok tadi melanjutkan langkah dan menghilang di sana.Wajah yang tadi membentuk senyuman, kini ditariknya lagi. Zahira mendengus kecil sambil menghentakkan kaki. Selanjutnya, daripada pusing memikirkan yang tidak jelas, ia memilih untuk segera masuk kamar. Beristirahat sejenak, sebab sebentar lagi ia harus bekerja di dapur. Membuat makan malam untuk dirinya dan sang suami, jika Gema bersedia.Hari-hari kembali berlalu seperti biasa. Tak ada lagi komunikasi yang baik antara Gema dan Zahira. Nampaknya pria itu benar-benar tak ingin merubah prinsip sedikit
Zahira mendekati meja makan, ia dan Yasmin menatap heran pria yang berlari, sambil membekap mulut itu. "Gema kenapa?" Tanya Yasmin pada Zahira di sebelahnya."Jadi, saya atau anda yang paham dengan kondisi Pak Gema?" Zahira menggumam jengah.Wanita tadi mungkin sadar bahwa dirinya memang salah. Namun, karena enggan mengakui, Yasmin hanya mendengus dan berlari menyusul Gema yang sudah berada di dalam kamar. Zahira juga tak mau kalah.Kini, kedua perempuan itu telah berada di depan pintu kamar Gema. Mereka saling menatap, ragu untuk segera mengetuk pintu.Cukup lama mereka di sana, dan pada saat Yasmin akan mengetuk pintu, Gema telah muncul dari sana. Membuat dua orang perempuan tadi mendongak penasaran."Ngapain kalian di sini?" Tanya Gema."Gema, kamu tadi kenapa? Kamu, nggak apa-apa, kan? Boleh aku masuk?" Pertanyaan beruntun dari Yasmin, dan entah kenapa, Gema mengangguk tanpa bertanya.Namun, pada saat Zahira akan mengikuti langkah Yasmin, Gema menghadangnya. "Kamu mau kemana?" Tan
Namun, karena mendengar seperti suara berdebat, Zahira melongok di pintu. Ia melihat ada bu Yasmin yang melebarkan mata saat menatap ke arahnya.Sementara Gema yang juga kaget, karena akhirnya dosen cantik itu mengetahui keberadaan Zahira di sini, ia berlari. Mendekati Zahira dan mendorong kasar badan kecil gadis itu, hingga menabrak meja ruang tamu."Bodoh, kamu!" Dengus Gema menatap kesal, Zahira yang bingung dengan kesalahannya, ia hanya menampilkan wajah penuh tanya."Kenapa kamu malah mengintip di pintu, hah? Atau kamu memang sengaja, agar mereka semua tau?""Pak Gema?" Belum sempat Zahira menjawab, suara Bu Yasmin telah terdengar dari ambang pintu. Perempuan itu masih tak percaya dengan apa yang dilihat saat ini. Ia berjalan mendekati mereka, perlahan sambil memperhatikan wajah keduanya secara bergantian.Begitu pula Gema yang bingung, karena ia berfikir statusnya ini akan terbongkar. Pria itu bahkan membiarkan Zahira yang meringis kesakitan. Ia lebih memilih mendekati Yasmin, m
Namun, saat ia akan mengambil dompet di tas, Gema telah mengulurkan beberapa lembar uang ke kasir. Zahira kaget. Gadis itu menatap sang suami penuh tanya, saat petugas kasir mengucapkan terimakasih dan memberikan uang kembaliannya."Loh, Pak?" Ia hendak bertanya, tetapi pria itu malah beranjak pergi. Maka, mau tidak mau Zahira menyusul dengan langkah panjangnya."Pak, tunggu, Pak. Pak Gema!" Teriak gadis itu menyusul Gema yang telah berada di depan mobil."Ada apa lagi?" Tanya pria itu. Sementara Zahira malah mengamati sekeliling, banyak orang. Tak mungkin ia bertanya di tempat ramai seperti ini, jika tidak ingin membuat dirinya malu."Ayo, masuk." Gema memerintahkan, dan dia telah berada di dalam mobil. Zahira mengangguk cepat, juga segera menyusul sang suami ke sana. Mobil melaju perlahan."Pak, kenapa tadi Bapak yang bayarin?" Zahira akhirnya memberanikan diri. Ia menoleh Gema yang tetap berkonsentrasi ke arah depan, tetapi nampak pria itu membuat senyum miring."Memangnya, uangmu
"Sore, Pak. Baru pulang?" Zahira menyapa, tetapi Gema hanya bergeming. Pria itu memperhatikan Zahira yang tangannya masih memegangi ponsel, yang entah kapan benda itu sangat melekat dengannya.Gema hanya mendengus, sambil beranjak cepat menaiki anak tangga. Ke lantai atas. Sementara Zahira, ia tak merasa curiga atau apapun. Sebab setelah Gema menghilang dari depannya, gadis itu kembali melebarkan senyum. Mengarahkan sorot matanya kembali ke layar ponsel.Ia pasti tidak tau, bahwa Gema di atas sana masih melongok ke bawah. Memastikan apa yang terjadi, dan hanya membuatnya semakin jengah.Saat senja telah berakhir, Zahira keluar dari kamar, dengan penampilan lebih segar dari sebelumnya. Pakaian yang ia kenakan juga terbaik di lemarinya.Gadis itu, sejak seperti tak pernah berhenti tersenyum. Ia berlari cepat, naik ke lantai atas. Mungkin lupa atau tidak peduli dengan aturan rumah yang dibuat Gema."Pak Gema, Pak. Buka pintunya," Teriak Zahira sambil menggedor-gedornya beberapa kali. Hin