"Papa, Mama. Pagi ini juga, kami akan pindah ke rumahku," Ucap Gema membuat semua orang menatap heran.
"Buru-buru amat?" Tanya Mama, tetapi Zahira yakin, itu hanya pemanis bibir saja. Mereka semua pasti akan lebih senang jika dirinya segera enyah dari tempat ini.
"Iya, Ma. Biar kami lebih dekat kalau mau berangkat ke kampus," Jawabnya.
"Oh, kalau memang itu sudah jadi keputusan kamu, ya, kami bisa apa. Iya kan, Pa?" Mama bertanya pada suaminya, dan yang ditanya hanya mengangguk tanpa kata. Pria muda saudara kandung Gema pun, sejak tadi hanya fokus dengan makanannya saja.
"Makasih, Ma, Pa. Kami akan berangkat sekarang." Gema beranjak, mengabaikan piring yang masih tersisa setengah. Zahira yang baru menyuap beberapa sendok pun kaget dan ikut berdiri.
"Hati-hati."
Hanya itu saja ucapan mama, tanpa ada pamitan menyentuh. Zahira tak heran, mungkin memang seperti itu kebiasaan keluarga mereka. Ditambah lagi, kehadirannya di sini, pasti membuat mereka semakin dingin.
Setengah jam berikutnya, mereka tiba di depan rumah minimalis berlantai dua. Gadis itu baru paham, bahwa ternyata Dosen itu telah memiliki rumah sendiri. Rumah yang ia lewati setiap hari ketika berangkat ke kampus. Sebab dari sini ke kampus, hanya berjarak sekitar dua ratusan meter saja.
Kini, seperti orang bodoh, ia mengekor langkah Gema. Masuk rumah dan mengamati sekeliling ruangan, tempat yang menurut Zahira sangat mewah.
"Mulai sekarang, kamu tinggal di sini. Ruangan kita berbeda, kamu di sini, dan saya di atas. Kamu, jangan pernah sekali-sekali menginjak lantai atas." Gema berpesan sambil berlalu menaiki tangga. Langkah cepatnya, membuat Zahira hanya memberikan respon helaan nafas kesal.
Di rumah sebagus ini, ia harusnya bahagia bukan. Tapi lihat, alasan apa yang membuatnya bisa bahagia. Baru saja ia melihat-lihat sekeliling, pria tadi kembali turun dengan membawa tas kerja.
"Eh, Pak. Tunggu dulu," Ucap Zahira meski ragu, Gema berhenti tanpa menatap lawan bicara. "Saya harus ke kampus, sekarang." Lagi-lagi, Gema bicara sambil berlalu, bahkan tak menunggu jawaban istrinya.
"Pak, tapi saya gimana? Saya kan ada jadwal kuliah," Teriaknya menyusul ke ambang pintu. Gema tak menggubris dan telah berada di dekat kendaraannya.
"Itu urusanmu," Seru Gema, membuka pintu mobil dan membawanya pergi. Meninggalkan Zahira tertegun tak percaya.
"Hah, yang bener aja. Gimana coba caranya ke kampus? Perlengkapan semua ada di rumah, motor juga ada di sana. Dan .... " Ia berbicara sendiri, sambil mengingat-ingat sesuatu.
"Hah, jadwal pertama kan, Pak Gema?" Buru-buru ia menutup pintu dan berlari keluar, menyetop taksi mana saja yang bisa membawanya pulang ke rumah untuk mengambil pakaian dan motor.
Sejauh lima ratus meter di gang sempit menuju rumah, ia harus berjalan kaki setengah berlari. Bahkan prosesnya menata semua pakaian perlengkapan pribadi, tak membutuhkan waktu lama. Zahira keluar dengan dua tas ransel besar dan membawanya dengan motor.
Ia kembali ke rumah Gema, untuk selanjutnya bersiap ke kampus. Tiba di depan kelas, pintu telah tertutup rapat. Menandakan Pak Gema telah ada di dalam, dan keterlambatannya kali ini pasti akan kembali menimbulkan masalah.
Namun, jika ia tidak masuk, masalah akan lebih besar. Akhirnya ia memberanikan diri, mengetuk pintu, dan membukanya perlahan. Zahira maju selangkah demi selangkah, membiarkan dirinya menjadi pusat perhatian seluruh penghuni kelas.
"Maaf, Pak. Saya terlambat lagi," Lirihnya, mendapatkan tatapan sinis dari semua teman di kelas.
Dosen yang duduk di singgasananya itu, berdiri dan melipat tangan angkuh. Sama sekali tak melihat mahasiswanya yang baru datang dan meminta maaf dengan wajah tertunduk.
"Kalian semua lihat, apa dia ini benar-benar ingin menuntut ilmu?" Suara Pak Gema, menggema di seluruh ruang kelas.
"Pasti cuma mau main-main tuh, Pak." Salah satu menjawab.
"Iya, tuh."
"Dihukum lagi aja, Pak."
"Untuk hukumannya, saya serahkan sama kalian semua," Ucap Gema. Melirik sekilas Zahira, kemudian mengambil buku dan keluar kelas.
"Teman-teman, hukuman apa yang pantas untuk pelajar nggak bener kayak dia?" Ketua kelas berbicara, di sambut tawa cekikikan dari yang lain.
"Dia itu orang miskin. Kayaknya, cocok deh, kalau disuruh nyikat sepatu kita semua," Mahasiswi paling cantik mengusulkan, yang lain serentak setuju.
Suara riuh pun memenuhi seluruh kelas, memaksa Zahira untuk membersihkan sepatu dari semua temannya. Gadis itu menurut tanpa suara, dan mereka semua tidak menyadari, dosen yang baru saja keluar tadi masih menyaksikan dari balik pintu.
Melihat bagaimana Zahira diperlukan layaknya pelayan dari semua teman sekelas.
"Hey, hey. Cukup, berhenti!" Gema yang masih mengintip dari balik pintu ikut tertegun, salah satu teman Zahira bersuara lantang.
"Gimanapun juga, Zahira ini teman kita. Kita nggak boleh memperlakukan dia seperti ini!" Seorang mahasiswa berparas tampan, mencegah tindakan semua temannya.
Saat mereka semua kembali ke tempat duduk masing-masing, Gema menghela nafas dan pergi dari sana.
Hari ini, Zahira ada jadwal hingga jam dua siang. Ia pulang, membawa wajah letih, dan makin lelah saat melihat mobil Gema telah berada di depan rumah.
Saat masuk rumah, di lantai bawah yang ada ruang tamu, dapur dan kamarnya itu terlihat sepi. Mungkin Gema sedang beristirahat di lantas atas sana, Zahira mendongak, memastikan tak ada suara apapun yang terdengar.
Namun, saat melihat meja makan, ia menemukan beberapa lembar uang dengan secarik kertas di sana. "Saya lapar, buatkan makanan dengan uang itu." Tulisan dalam kertas yang membuat Zahira mendesah tak habis pikir.
"Sebenarnya, ini istri apa pelayan, sih?" Gerutunya. Namun ia tetap menunaikan tugas dengan cepat. Membeli bahan dapur yang kebetulan ada di seberang jalan. Sebab di depan rumah ini memang jalur strategis.
Beruntungnya lagi, sejak kecil ia memang terbiasa mandiri. Jadi, untuk membuat masakan ini, baginya bukan beban berat. Tak butuh waktu lama, makanan telah terhidang di atas meja.
Bingung hendak memanggil Gema, ia naik ke atas dan berpapasan di depan kamar. Pria itu mungkin juga akan turun, melihat ada Zahira di depannya, ia menatap tajam.
"Lupa dengan aturan di rumah ini?" Tanya Gema dengan nada paling galak.
"Tapi, saya cuma mau ngasih tau. Makanan sudah siap, Pak."
"Saya tau!" Zahira merengut, melihat Gema melewatinya begitu saja. Dan ia pun segera menyusul, sadar kawasan ini bukan untuknya. Jika terlalu lama di sini, bisa-bisa pemiliknya kembali mengerang lantang.
Zahira begidik sambil berlari menuruni anak tangga. Ia juga tak peduli, duduk di depan Gema. Sebab perutnya pun meraung meminta jatah. Makanan lezat tadi pagi, di rumah orang tua pria itu, nyatanya tak memberikan kenikmatan sama sekali.
"Pergi." Suara Gema, spontan menghentikan tangan Zahira saat akan menyuapi mulutnya. "Pergi, kemana?" Gumamnya.
"Ini bukan meja makanmu."
"Loh, terus saya di mana?" Tanya Zahira lagi, kini wajahnya makin terlihat tak Terima. Apalagi telah sebagian waktu yang seharusnya ia gunakan untuk promosi, kini malah mengurus rumah dan pemiliknya.
"Terserah." Jawaban acuh, Zahira makin kesal. Dengan sengaja ia meletakkan sendok hingga menimbulkan suara. Gema memang melirik sekilas, tetapi kembali fokus pada piringnya.
"Nggak adil banget sih, Pak? Saya nggak boleh ke lantai atas, tapi bapak bebas kemana aja. Ini adil nggak?" Zahira berteriak kesal.
"Ini rumah saya sendiri," Tukas pria itu dengan santainya.
"Tapi tetap aja nggak adil. Apalagi kita udah jadi suami istri, kan?" Zahira mengambil nada tinggi. Namun tatapan nyalangnya berubah khawatir, sebab Gema melemparkan sendok ke piring dengan kasar.
"Hanya status!"
"Hanya status? Bapak pikir saya ini apa? Enak aja. Lagian apa coba, tujuan pernikahan sandiwara ini. Yang ada bapak cuma membuat rugi buat saya!"
Gema tak menjawab, pria itu hanya bangkit dan membuang nasi di piringnya ke lantai. Tak hanya itu, semua yang ada di atas meja makan, ditumpahkan begitu saja tanpa keterangan apapun.
"Apa-apaan ini?" Zahira memekik.
"Hukuman untuk kamu. Bersihkan semuanya, dan masak untuk makan malam."
***
"Apa-apaan ini?" Zahira memekik."Hukuman untuk kamu. Bersihkan semuanya, dan masak untuk makan malam." Dengan angkuh, Gema berucap. Bibirnya menyunggingkan senyuman miring, Zahira berdecak kesal, apalagi pria itu pergi setelahnya. "Dasar, orang nggak punya perasaan!" Teriak Zahira, sengaja bersuara keras agar Gema mendengarnya. Meskipun ia sebenarnya sudah tau, teriakannya itu tak akan berpengaruh apapun pada keputusan Gema.Ia mengamati meja makan, dan lantai yang kotor dengan wajah lelah. Ditambah lagi, perutnya belum terasa kenyang, sebab makan yang belum seberapa, dan semua makanan telah berserakan di lantai.Beruntung. Di mesin penanak nasi tadi, ia masih menyisakan nasi beberapa sendok. Dimakannya hingga habis, dengan tangan telanjang. Makan nasi tanpa lauk begini, baginya telah terbiasa.Ia juga tidak menyadari, bahwa dari atas tangga, ternyata Gema masih memperhatikan. Pria itu pergi setelah berdecak entah dengan maksud apa.Malam telah datang, dan Zahira baru usai dari akti
"Mulai sekarang, baju kotor nggak usah lagi di bawa ke loundry. Serahkan saja ke saya. Oke?" Zahira berlari ke arah dapur, Gema tertegun memandang kepergiannya.Gema tak berkata apapun, hanya melangkah mendekati meja makan. Melihat semua telah tersedia di sana, pria itu kembali tertegun sesaat. Kesadarannya pulih lebih cepat, saat mendengar Zahira kembali."Silahkan duduk, Pak. Pak Gema mau sarapan pakai apa?" Seperti sudah siap menjadi seorang istri yang baik, Zahira dengan cekatan melayani suaminya. Mengambilkan piring yang diisinya dengan makanan. Tentu saja dengan mulut tak berhenti bertanya pada Gema."Oh iya, Pak. Nanti pulang jam berapa?" Tanya Zahira."Belum tau." Jawaban Gema masih sesingkat biasanya."Yah .... " Lirih gadis itu mengerucutkan bibir, "kalau saya tau jadwal pulangnya Pak Gema, kan enak, mau masaknya."Tak ada jawaban, Gema hanya menyudahi makan dengan meneguk air putih dan berdiri. Zahira tak ingin terlambat, ia juga berdiri cepat. Membantu membawakan tas kerja
"Bukankah kamu selalu ingin jadi istriku?""Sadar, Pak. Pak Gema lagi mabuk!" Teriak Zahira panik bukan main, sebab pria itu nyaris saja menguasai bibirnya.Sebenarnya, ia telah halal bagi Gema. Tetapi karena cinta yang belum ada di antara mereka, membuat Zahira tak rela jika dirinya disamakan dengan perempuan penjaja harga diri. Apalagi saat ini, kondisi pria itu sedang setengah tak sadar.Beruntung, saat wajah Gema bergerak mendekat, Zahira sigap menghindar. Ia pikir pria itu akan kembali berulah, ternyata badannya malah merosot ke lantai. Sepertinya tertidur."Pak, Pak Gema?" Panggilnya pada badan yang telah luruh ke atas lantai. Ia bahkan kebingungan, bagaimana caranya untuk membantu Gema ke ranjangnya.Ia berusaha mengangkat badan dengan susah payah, dan berhasil membantu Gema menuju ranjangnya. Namun betapa Zahira kaget, saat akan membaringkan badan pria itu, tangannya malah ditarik.Ia ambruk ke atas badan Gema, bersamaan dengan berbaringnya pria itu. Sekejap dapat ia dengarkan
Zahira kaget bukan main, saat Aurel yang meminta ijin ke belakang, ternyata malah menumpahkan jus ke pakaiannya."Ups, nggak sengaja. Maaf, ya." Suara Aurel tampak tak bersalah sama sekali. Gadis itu tak peduli Zahira yang mukanya memerah, sambil kerepotan membersihkan pakaian di sebelah depan.Ia kembali kaget, Tiba-tiba Gema mendekat dengan beberapa lembar tissu, membantu membersihkan bajunya. Dadanya bergemuruh dengan perlakuan suaminya kali ini, tetapi ia harus sadar. Bahwa yang dilakukan Gema itu, pasti hanya karena sedang di depan orang tuanya. Sementara mereka semua diam saja dengan sikap Aurel pada Zahira barusan."Kamu, gadis kampung. Siapa sih, namanya? Kamu kesal ya, sama aku tadi?" Tanya Aurel ditujukan langsung ke arah Zahira, gadis yang ditanya mendadak gugup.Bingung harus menjawab apa, melirik Gema untuk meminta perlindungan pun rasanya tak mungkin. Pria itu masih sibuk membersihkan baju sang istri."Diam, kamu!" Gema yang menjawab."Aku nggak tanya kamu, ya. Aku tany
Lima belas menit, keduanya tiba di depan area kampus. Saat motor berhenti, tiba-tiba gerimis datang. Gema turun dari motor, yang langsung diserbu beberapa mahasiswi dengan membawa payung. Mengajak dosen itu menuju kantornya, tanpa peduli bagaimana reaksi Zahira melihat tingkah mereka tadi."Pak, kok bisa sih, Pak Gema numpang cewek culun begitu?" Tanya salah satu, yang tanpa dijawab sama sekali oleh sang dosen. Sementara Zahira masih mendengar dengan jelas."Iya, Pak. Kalo mobilnya kenapa-kenapa, kan bisa panggil salah satu dari kami.""Iya, Pak. Mending panggil saya aja, deh.""Saya aja deh, Pak."Masih terdengar beberapa mahasiswa centil itu saling berebut menawarkan diri untuk membantu dosennya. Memang, meskipun tidak ramah pada semua orang, Gema memiliki paras rupawan, yang membuat para gadis berebut ingin mendekati.Di tempatnya, Zahira masih berdiri menatap jengah orang-orang tadi. Hingga suaminya itu menghilang balik ruangan kantor, ia baru sadar, gerimis makin deras. Gadis itu
"Tapi, jas hujannya? Helmnya, gimana, Pak?""Nggak apa-apa, ayo naik.""Ini, Pak." Gadis itu memberikan atasan jas hujan ke depan Gema yang kemudian mendelik tak habis pikir. "Jangan bercanda, kamu!" Hardiknya."Nggak, Pak. Saya sudah pakai jaket, helm juga. Tapi pak Gema nggak pakai semuanya, biar nggak masuk angin, Pak. Pakai ini." Zahira tetap mendesak, dan akhirnya Gema mau menerima jas hujan itu. Ia memakainya.Lalu, keduanya berada di atas motor. Melaju perlahan, menerobos hujan deras bercampur angin dan petir. Bahkan sepanjang jalan aspal ini, air telah menggenang sebatas mata kaki.Perjalanan yang harusnya bisa ditembus lima belas menit, kini jadi melambat. Apalagi di depan mereka beberapa mobil tak bisa berjalan cepat. Di tempatnya, Zahira telah menggigil kedinginan.Jaket tipisnya, tak mampu menghalau hembusan angin bercampur guyuran hujan lebat. Badannya basah kuyup, hanya kepala dan wajah saja yang dirasa aman."Pegangan yang kuat. Kita akan menyalib mobil-mobil itu!" Teri
Gema melirik ke arah meja makan, tak mungkin pria itu tidak mencium aroma makanan yang sedap. "Jangan salah sangka, hanya karena kejadian kemarin, lalu saya berubah pikiran tentang status pernikahan kita."Suara lantang, yang tentu saja membuat Zahira tercengang. Gadis itu secara tak sadar, menatap sang suami dengan mata bergetar. Lalu mengerjap samar sambil memalingkan pandangan ke arah meja makan."Tapi, saya sudah masak banyak, Pak. Juga, udah menghabiskan banyak dari tabungan saya," Lirihnya."Saya tidak memintamu, kan?" Suara Gema lagi. Kemudian, setelah menarik nafas dalam-dalam untuk membentengi diri agar linangan di pelupuk mata tidak tumpah, Zahira tersenyum tipis."Iya, Pak. Saya tau, kok. Dan makanan ini, nggak ada hubungannya sama hati saya. Jadi, Pak Gema nggak usah khawatir. Makan, ya." Zahira masih terus berusaha mendesak, senyum palsu selalu ia pamerkan. Agar pria itu tidak melihat berapa kecewa hatinya saat ini."Saya harus berangkat sekarang juga." Gema tetap pada pe
Melihat Gema mengamati gadis itu, Yasmin kembali mengerutkan keningnya. "Kenapa, sih? Kamu lihatin gadis itu terus?" Pertanyaan Yasmin itu membuat Gema menoleh kaget. Ia menarik nafas ringan, demi mendapatkan jawaban yang tepat dan bisa diterima."Nggak apa-apa. Ayo pergi.""Hey, pergi kemana?" Yasmin mengejar Gema hingga memegangi lengannya. "Keluar.""Keluar? Terus, apa tujuan kamu ke sini tadi?" Tak disangka, Yasmin akan mengejarnya dengan pertanyaan itu. Gema yang biasanya terlihat gagah dan elegant, kini kikuk menghadapi pertanyaan yang ia sendiri bingung dengan jawabannya.Ia tak menjawab, malah pergi begitu saja mendahului Yasmin yang mengejarnya. Memanggilnya beberapa kali, hingga suara itu didengar tak jelas oleh Zahira.Gadis itu menoleh ke arah pintu keluar yang telah sepi, dengan mata mengernyit penuh tanya. "Kok kayak ada yang manggil nama, Gema? Siapa, ya?" Gumamnya, sambil berdiri melongok ke depan jendela di samping.Dari sini, terlihat keadaan di bawah sana, yang tern
Zahira menahan kesal. Ia memilih pergi, menerobos hujan.Sedangkan Gema sebenarnya termangu di tempat. Namun, pria itu cepat berdecih tak suka. "Dasar, gadis bodoh!" Rutuknya membuka pintu mobil.Gema pun menerobos hujan bercampur petir, menggunakan mobilnya. Kendaraan roda empat itu melaju kencang. Bahkan telah beberapa kali mendapatkan peringatan dari kendaraan yang lain, berupa klakson keras-keras. Sebab ia menyalip tanpa aturan.Ia tak peduli lagi pada sosok tercengang di dekat pintu sebelah. "Kenapa buru-buru sekali, sih?" Gumam Yasmin tampak tak nyaman. Wanita itu sesekali berjingkit, bahkan menutup mata ketika mobil melaju dengan kecepatan maksimal."Gema, kamu kenapa, sih?" Tak lantas mendapatkan jawaban, Yasmin menyentak. Gema yang dari tadi fokus ke depan itu hanya menatap sekilas. Lalu kembali pada posisi semula."Ini hujan deras. Aku harus cepat nganterin kamu pulang," Jawab Gema tanpa menatap lawan bicara."Tapi, katanya kita mau makan siang dulu?""Sedang hujan. Lain kal
Zahira beberapa kali menyalakan mesin motor yang entah kenapa tak juga menyala. Lalu dengan sengaja, Gema melajukan Mobil, seperti tak melihat kesulitan yang Zahira alami.Pria itu hanya sekilas saja melirik ke arah Zahira, lalu bukannya membantu atau mengajak berangkat bersama. Gema bahkan tetap acuh, dan melintas di depan sang gadis dengan cepat.Membiarkan Zahira berdecih tak habis pikir, "jangan kamu pikir aku bakal ngemis, mau ikut mobil kamu ya, pak!" Ia mendengus. Melirik jam tangan, yang tak lama lagi mata kuliah akan dimulai.Mata kuliah Gema, ia harus segera berangkat, meksipun harus berjalan kaki. Beberapa ratus meter perjalanan, ketika ia melangkah cepat, dengan sesekali menyeka keringat di dahi. Tiba-tiba ada motor sport berhenti di samping."Kok jalan kaki?" Tanya pemilik motor gede itu."Eh, motorku mogok tadi, dan nggak mungkin mampir ke bengkel. Bisa telat," Jawabnya tersipu."Ya udah. Ayo, naik." Pria yang selalu baik padanya itu menawarkan bantuan. Kemudian, mana mu
"Kamu mau halangi saya lagi?" Yasmin yang telah tiba di depan pintu kamar Gema itu menyentak. Zahira awalnya berwajah tegang, tapi hanya sesaat saja. Setelahnya, gadis itu tersenyum ceria.Bahkan malah membukakan pintu kamar Gema. Ia masuk terlebih dahulu, dan Yasmin mengekor di belakang, mengamati sang gadis yang meletakkan nampan ke atas meja di depan ranjang Gema."Yasmin, kamu datang lagi?" Tanya Gema, pria itu baru saja terbangun dari tidurnya. Yang ditanya segera mendekat."Iya, Gema. Gimana keadaan kamu? Udah lebih baik?" Wanita itu memperlihatkan wajah penuh kekhawatiran."Sudah. Kamu harus berterimakasih dengan Zahira." Gema menunjuk pada gadis yang dimaksud, membuat Yasmin mengikuti arah wajah pria itu. Yasmin mendengus dalam hatinya. "Kenapa?" Ia bertanya. Tatapannya masih terarah pada sosok Zahira yang senyam-senyum, seperti tanpa dosa."Karena dia, aku bisa sembuh tanpa harus pergi ke dokter.""Ck! Maksudnya apa, ini? Kamu mau menghina aku?""Kenapa kami jadi sewot begitu
Zahira mengejar, hingga terjadi kegaduhan sejenak di depan pintu kamar Gema. Bahkan hingga Yasmin membuka kasar pintu itu, dan melihat si pemilik kamar duduk. Menatap tajam mereka berdua."Apa maksud kalian?" Tanya pria yang terlihat masih belum ada perubahan dari Sebelumnya. Zahira ingin mendekat, tetapi dicegah oleh Yasmin. Dan wanita cantik itu yang berhasil mendekati tempat tidur Gema."Gema, kamu kenapa? Kok nggak masuk? Aku tadi mau kesini, tapi dilarang sama dia. Makanya sempat ribut," Ungkap wanita dewasa yang cantik itu. Gema mengikuti arah telunjuk pada gadis yang dimaksud, ia melihat Zahira melepas nafas lirih sambil menunduk."Keluar!" Gema memerintah ke arah Zahira, gadis itu mendongak kaget. "Tapi, Pak. Gimana kalau Pak Gema .... ""Kamu pikir saya orang jahat?" Sentak Yasmin, Zahira kembali tertunduk. Entah mengapa ada perasaan khawatir dengan suaminya itu, padahal sudah jelas, kedua dosen itu saling mencintai dan menginginkan."Cepat, keluar. Jangan ikut campur dengan
"Pak," Panggil Zahira yang langsung membuat pria di atas sana hanya menoleh sekilas."Gimana kalau saya nggak mau?" Pertanyaan gadis itu, sontak membuat Gema menghentikan langkah. Tatapannya menyipit ke arah yang bertanya.Sementara Zahira, gadis itu mulai tersenyum menang. Ia yakin, pria di atas sana pasti bingung hendak menjawabnya."Bukan urusan saya!" Jawaban yang keluar dari bibir Gema, diluar perkiraan. Zahira tercengang melihat sosok tadi melanjutkan langkah dan menghilang di sana.Wajah yang tadi membentuk senyuman, kini ditariknya lagi. Zahira mendengus kecil sambil menghentakkan kaki. Selanjutnya, daripada pusing memikirkan yang tidak jelas, ia memilih untuk segera masuk kamar. Beristirahat sejenak, sebab sebentar lagi ia harus bekerja di dapur. Membuat makan malam untuk dirinya dan sang suami, jika Gema bersedia.Hari-hari kembali berlalu seperti biasa. Tak ada lagi komunikasi yang baik antara Gema dan Zahira. Nampaknya pria itu benar-benar tak ingin merubah prinsip sedikit
Zahira mendekati meja makan, ia dan Yasmin menatap heran pria yang berlari, sambil membekap mulut itu. "Gema kenapa?" Tanya Yasmin pada Zahira di sebelahnya."Jadi, saya atau anda yang paham dengan kondisi Pak Gema?" Zahira menggumam jengah.Wanita tadi mungkin sadar bahwa dirinya memang salah. Namun, karena enggan mengakui, Yasmin hanya mendengus dan berlari menyusul Gema yang sudah berada di dalam kamar. Zahira juga tak mau kalah.Kini, kedua perempuan itu telah berada di depan pintu kamar Gema. Mereka saling menatap, ragu untuk segera mengetuk pintu.Cukup lama mereka di sana, dan pada saat Yasmin akan mengetuk pintu, Gema telah muncul dari sana. Membuat dua orang perempuan tadi mendongak penasaran."Ngapain kalian di sini?" Tanya Gema."Gema, kamu tadi kenapa? Kamu, nggak apa-apa, kan? Boleh aku masuk?" Pertanyaan beruntun dari Yasmin, dan entah kenapa, Gema mengangguk tanpa bertanya.Namun, pada saat Zahira akan mengikuti langkah Yasmin, Gema menghadangnya. "Kamu mau kemana?" Tan
Namun, karena mendengar seperti suara berdebat, Zahira melongok di pintu. Ia melihat ada bu Yasmin yang melebarkan mata saat menatap ke arahnya.Sementara Gema yang juga kaget, karena akhirnya dosen cantik itu mengetahui keberadaan Zahira di sini, ia berlari. Mendekati Zahira dan mendorong kasar badan kecil gadis itu, hingga menabrak meja ruang tamu."Bodoh, kamu!" Dengus Gema menatap kesal, Zahira yang bingung dengan kesalahannya, ia hanya menampilkan wajah penuh tanya."Kenapa kamu malah mengintip di pintu, hah? Atau kamu memang sengaja, agar mereka semua tau?""Pak Gema?" Belum sempat Zahira menjawab, suara Bu Yasmin telah terdengar dari ambang pintu. Perempuan itu masih tak percaya dengan apa yang dilihat saat ini. Ia berjalan mendekati mereka, perlahan sambil memperhatikan wajah keduanya secara bergantian.Begitu pula Gema yang bingung, karena ia berfikir statusnya ini akan terbongkar. Pria itu bahkan membiarkan Zahira yang meringis kesakitan. Ia lebih memilih mendekati Yasmin, m
Namun, saat ia akan mengambil dompet di tas, Gema telah mengulurkan beberapa lembar uang ke kasir. Zahira kaget. Gadis itu menatap sang suami penuh tanya, saat petugas kasir mengucapkan terimakasih dan memberikan uang kembaliannya."Loh, Pak?" Ia hendak bertanya, tetapi pria itu malah beranjak pergi. Maka, mau tidak mau Zahira menyusul dengan langkah panjangnya."Pak, tunggu, Pak. Pak Gema!" Teriak gadis itu menyusul Gema yang telah berada di depan mobil."Ada apa lagi?" Tanya pria itu. Sementara Zahira malah mengamati sekeliling, banyak orang. Tak mungkin ia bertanya di tempat ramai seperti ini, jika tidak ingin membuat dirinya malu."Ayo, masuk." Gema memerintahkan, dan dia telah berada di dalam mobil. Zahira mengangguk cepat, juga segera menyusul sang suami ke sana. Mobil melaju perlahan."Pak, kenapa tadi Bapak yang bayarin?" Zahira akhirnya memberanikan diri. Ia menoleh Gema yang tetap berkonsentrasi ke arah depan, tetapi nampak pria itu membuat senyum miring."Memangnya, uangmu
"Sore, Pak. Baru pulang?" Zahira menyapa, tetapi Gema hanya bergeming. Pria itu memperhatikan Zahira yang tangannya masih memegangi ponsel, yang entah kapan benda itu sangat melekat dengannya.Gema hanya mendengus, sambil beranjak cepat menaiki anak tangga. Ke lantai atas. Sementara Zahira, ia tak merasa curiga atau apapun. Sebab setelah Gema menghilang dari depannya, gadis itu kembali melebarkan senyum. Mengarahkan sorot matanya kembali ke layar ponsel.Ia pasti tidak tau, bahwa Gema di atas sana masih melongok ke bawah. Memastikan apa yang terjadi, dan hanya membuatnya semakin jengah.Saat senja telah berakhir, Zahira keluar dari kamar, dengan penampilan lebih segar dari sebelumnya. Pakaian yang ia kenakan juga terbaik di lemarinya.Gadis itu, sejak seperti tak pernah berhenti tersenyum. Ia berlari cepat, naik ke lantai atas. Mungkin lupa atau tidak peduli dengan aturan rumah yang dibuat Gema."Pak Gema, Pak. Buka pintunya," Teriak Zahira sambil menggedor-gedornya beberapa kali. Hin