Selena mengamati Raka yang sedang melakukan evaluasi bulanan di setiap bidang perusahaan. Pria itu tampak menguasai setiap bidang dan mempunya strategi untuk mengembangkan bidang yang sedang dibahas.
Sepanjang peengamatannya pada Raka, tak bisa Selena pungkiri. Raka memang tampan, di usianya yang sudah 25 tahun ia terlihat gagah dan karimastik. Sebagai pria, ia mendekati kata sempurma. Secara fisik, psikis, dan juga kekayaan. Raka sangat mapan.
"Pantas saja, Naomi bilang banyak wanita yang ingin menjadi istri Raka," gerutu batin Naomi.
Naomi mengepalkan tangan. Ia tak menyangka. Jika suaminya akan dikelilingi banyak wanita seperti ini. Mau tidak mau, ia harus lebih unggul daripada mereka. Ia harus mempertahankan posisinya sebagai istri sah Raka.
Raka melirik Selena. Ia melihatnya bingung ketika mengamati istrinya itu mengerucutkan bibir, seperti sedang kesal.
"Apakah ada pertanyaan?" tanya Raka pada manager yang hadir.
***
Setelah rapat selama tiga jam. Raka membawa Selena makan di restoran. Sekalian untuk meeting bersama klien nanti.
"Naomi ke mana?" tanya Selena melihat Naomi yang tidak ada di sekitar mereka.
Naomi selalu mengikutinya dan Raka. Jadi jelas aneh jika wanita itu tidak ada.
"Kamu ingin makan bersama Naomi?"
"Bukan begitu. Naomi selalu mengikuti kita. Aneh jika dia tidak ikut."
"Naomi sekretaris kita. Jadi wajar kalau dia selalu ikut."
"Sekretaris kamu bukan sekretarisku." ucap Selena memperjelas.
"Naomi hanya membantuku di hal-hal kecil. Sekarang dia menjadi sekretarismu. Jika kamu perlu sesuatu, bisa mengatakannya pada Naomi."
"Tunggu. Untuk apa Naomi menjadi sekretarisku? Aku hanya mahasiswa. Tidak perlu sekretaris."
Raka terdiam. Ia mencoba memberi alasan.
"Kamu sedang menyiapkan proposal, skripsi, sebentar lagi wisuda. Kamu bisa meminta bantuan Naomi."
Selena berpikir, sepertinya itu terlalu berlebihan. Proposal, skripsi, ia bisa melakukannya sendiri. Lagi pula ini tugasnya sebagai mahasiswa.
Pelayan datang membawa pesanan. Mereka pun makan siang bersama tanpa obrolan.
***
Maria mengibaskan rambutnya ke belakang. Tangan kirinya menyangga dagu. Matanya menatap genit pria di depannya.
"Bagaimana Pak Raka? Bisa melanjutkan kerja sama kita?" ucapnya dengan senyum manis.
Selena mengamati klien wanita Raka ini tidak suka. Maria tidak lebih seperti karyawan kantor, yang suka mencari perhatian suaminya.
Raka menutup map dan meletakkannya di meja.
"Akan saya pertimbangkan."
Maria menegapkan tubuhnya.
"Saya menunggu kabar baik dari Pak Raka.
Maria menarik kerah bajunya hingga dadanya semakin terlihat.
"Pantas saja Naomi bilang aku harus mempertahankan pernikahan. Wanita disekeliling Raka benar-benar ingin menjadi istrinya."
***
Hari ketiga menjadi istri, sudah dua malam tidur di kamar, Selena belum juga menjalankan tugasnya. Ia bahkan tidak tahu jika Raka tidur di kamar yang sama dengannya. Kini, ia turun dari lantai dua sembari mengamati rumah yang tampak sepi.
"Naomi. Di mana Raka?" tanya Selena begitu melihat Naomi lewat.
"Tuan sudah berangkat ke kantor, Nyonya. Ada meeting mendadak."
Selena mengangguk.
"Hari ini aku tidak ada kuliah. Aku ingin pergi ke salon."
"Baik, Nyonya."
"Aku juga ingin membeli beberapa baju."
"Baik, Nyonya."
Selena memicingkan mata.
"Mengapa kamu memanggilku Nyonya? Sementata suamiku kamu panggil Raka?"
Naomi terdiam. Mencoba memberi alasan untuk pertanyaan Selena.
"Saya sudah bekerja bersama Tuan cukup lama. Dan dia ingin dipanggil namamya."
"Jadi, jika kalian berdua, kalian saling memanggil nama?"
Naomi mengangguk membenarkan.
Entah mengapa Selena jadi curiga dengan Naomi. Jika Naomi dan Raka seakrab itu hingga memanggil nama, bukankah itu bisa menjadin ancaman? Naomi bisa merebut posisinya.
"Jika begitu, panggil aku nama saja."
"Tapi ...."
"Jika tidak, aku akan meminta Raka memecatmu."
Selena terkejut. Ia tidak menyangka jika akan diancam hanya karena panggilanan nama.
"Baik ... Selena."
"Juga, bicaralah sewajarnya seperti kamu dengan suamiku. Jangan terlalu kaku begitu."
Naomi bingung, tapi ia tetap mengangguk.
"Aku akan bersiap-siap."
Selena kembali naik ke lantai dua. Ia merutuki dirinya sendiri yang mengancam Naomi. Bagaimana bisa ia mengancam sekretaris kepercayaan Raka?
Selena menepuk jidatnya sendiri. Merasa bodoh dengan tindakannya pagi ini.
***
Selena keluar dari ruang ganti. Naomi yang menunggunya sembari membaca majalah mendongak, ia tampak terkejut dengan pilihan dress yang dipilih Selena.
"Bagaimana?" tanya Selena pada Naomi dengan melihat cermin.
Naomi tersenyum.
"Cantik. Kamu memiliki selera yang bagus."
Aku ingin mencoba yang lain."
Selena masuk ruang ganti lagi dan mengganti dressnya, yang panjangnya selutut jadi di atas lutut. Kali ini ia lebih berani memakai belahan dada yang lebih terbuka.
Ia kembali keluar dan memperlihatkanya pada Naomi. Naomi tidak dapat berkata-kata. Ia merasa ada yang aneh dengan Selena, hingga gadis itu ingin mengubah penampilannya.
"Naomi. Berapa uang bulanan yang diberikan Raka?"
"Seratus juta."
"Apa! Kau serius?!"
Naomi mengangguk yakin dan berkata, "Jika kamu merasa kurang, aku akan katakan pada Raka."
"Apanya yang kurang, itu lebih dari cukup."
Naomi membayangkan uang seratus juta, tapi segera menepisnya karena tak sanggup membayangkan.
"Hahhh ...."
Naomi menghela napas. Fasilitas yang diberikan Raka benar-benar mewah. Ia tak bisa melepaskannya begitu saja.
"Ayo, kita ke salon."
***
Selena tiba di kantor bersama Naomi. Penampilannya yang berbeda dari kemarin membuatnya menjadi pusat perhatian. Rambutnya yang dulu diikat, kini terurai cantik sepunggung. Anting-anting panjang menambah kesan cantik elegan. Dress sepanjang lutut yang menunjukan lekuk tubuhnya membuat kaum adam di kantor melongo.Selena tampil elegan, tak kalah dengan Naomi yang dikenal sebagai sekretaris cantik sang CEO. Bagaimana ia melangkah sudah terlihat luwes, padahal high heel yang dipakai Selena setinggi sebelas sentimeter.Keluar dari lift, Selena menuju ruangan Raka."Aku ada urusan dengan manager keuangan, kamu duluan menemui Raka."Selena mengangguk. Naomi berbelok ke ruangan yag dituju. Selena tetap lurus ke arah ruang Raka."Selamat siang, Bu," sapa Maya pada istri bosnya itu."Siang," sahut Selena dengam senyuman.Ia langsung membuka pintu ruangan tanpa ketuk pintu. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati Jessie dengan posisi seper
Selena masih tak percaya. Bagaimana ia dibayar Raka karena telah menggodanya pagi tadi. Jika dikatakan menggoda, memang benar, ia menggoda Raka supaya pria itu tidak tergoda wanita lain selain dirinya. Jadi, Selena tetap mempertahankan posisinya sebagai istri Raka.Selena tersenyum kecut. Ia tak menyangka jika akan dibayar semudah ini. Meski begitu, ada hati kecil Selena yang tak terima dengan perlakuan Raka. Ia seperti wanita bayaran."Hahhh ...."Menikah tanpa dasar cinta, apa yang Selena harapkan. Sejak awal dirinya sudah seperti wanita bayaran. Menikah hanya karena fasilitas mewah yang akan diberikan."Nyonya Selena. Lebih baik saya saja yang masak," ucap Bi Rohimah, asisten rumah tangga bagian masak."Tidak, Bi. Saya saja. Saya istri Tuan Raka. Jadi, biarkan saya yang menyiapkan semuanya.""Tapi, Nyonya...."Selena menoleh dan berkata, "Bagaimana jika aku butuh sesuatu, Bibi membantuku mengambilkannya?"Bi Rohimah te
Selena memasak untuk sarapan pagi ini, meski Raka sudah pergi ke kantor. Selama ini ia jarang sarapan karena menghemat, berhubung di rumah Raka ada begitu banyak bahan makanan, kenapa tidak ia masak? Lagi pula bisa mubazir jika bahan makanan itu membusuk.Rupanya seperti ini tipe ideal Raka. Gadis cantik dengan kebiasaan ibu rumah tangga. Berbeda dengan perempuan di sekeliling Raka. Hm … menarik, batin Naomi mengamati Selena dari meja makan.Selena mulai mencicipi masakannya."Hm …."Ia tersenyum puas dengan hasil masakannya. Rasanya enak di lidah. Segera selena menyajikan makanan buatannya ke meja makan."Aku akan membantumu."Naomi berdiri.
"Dua puluh juta?!" seru Selena setelah melihat nominal biaya kuliahnya. Ia tak percaya dengan nominal yang tertera di surat edaran elektronik. Berulang kali ia hitung jumlah nol di belakang angka dua yang berderat rapi. Tetaplan sama. Ia tak salah baja. Selena merasakan kakinya lemas detik itu juga. Ia langsung jongkok dan menundukkan kepala. "Gimana caranya aku bayar biaya kuliah sebanyak itu?" Gadis berambut panjang sepinggang itu tampak bingung. Uang dari orang tuanya, hasil jual tanah di kampung sudah habis untuk semester tujuh kemarin. Uang itu benar-benar tidak mencukupi semua kebutuhannya. Ia sampai bekerja paruh waktu untuk menutupi biaya hidupnya di Jakarta. Selena mengembuskan napas panjang. Melepas sedikit beban yang ia rasakan. Lalu berdiri dan menyemangati diri sendiri. "Masih ada waktu buat nyari uang, aku pasti bisa lulus." Selena mengangguk, meyakinkan dirinya sendiri sembari mengepalkan tangan. Ia yakin bisa membayar biaya kuliahnya dan lulus dari jurusan akuntans
Selena menggeser ke atas layar ponselnya. Ia membaca lowongan kerja yang terpampang di website. Tak ada yang menarik untuknya, terlebih gaji yang ditawarkan kecil. Tak akan mencukupi tagihannya.Setelah bolak-balik membaca website yang memberi info lowongan kerja, akhirnya Selena menutup ponselnya. Ia menghela napas untuk menenangkan pikirannya. Di saat seperti ini, ia harus berpikir positif."Lena. Kenapa?" tanya Sherly, teman satu siftnya hari ini, di mini market tempat ia bekerja paruh waktu."Hah? Emang aku kenapa?" tanya Selena balik."Lesu gitu, lagi mikiran apa?"Selena tersenyum."Nggak mikirin apa-apa kok.""Beneran?"Selena mengangguk. Tak mungkin ia menceritakan keluhannya saat ini pada Sherly. Ia tahu betul bagaimana kondisi gadis di depannya."Ya udah, aku cek barang-barang dulu, ya."Selena kembali mengangguk. Membiarkan temannya itu mengecek barang-barang di rak.Pintu mini market
Mata Selena membulat sempurna. Bibirnya tertutup rapat. Ia tidak dapat berkata-kata dengan keberadaannya saat ini. Setelah kemarin malam ia meminta pekerjaan pada Jane, kini ia mendapat pekerjaan baru. Sebagai pelayan bar. "Lena. Biasa aja." Selena menoleh pada Jane. Wanita di hadapannya ini sudah tampil cantik. Rambut panjangnya diikat tinggi. Menunjukkan leher jenjang yang indah miliknya. Jane semakin tampil liar mana kala ia menggunakan dress dengan pola v neck yang cukup ke bawah. Panjang dressnya tidak sampai lutut. Bahkan cenderung ke atas, hampir mendekati bokong. Dress yang ketat menunjukkan lekuk tubuhnya yang terlihat seksi bak body gitar. High heel yang diperkirakan setinggi sepuluh sentimenter itu membuatnya tinggi menjulang, layaknya model. "Kamu butuh uang, kan?" Selena mengangguk membenarkan. Kemarin malam, kan ia sudah mengakuinya. "Ini adalah pekerjaan yang pas buat kamu." Selena mengeryitkan keningnya.
"Lena."Selena menoleh."Ya?""Gimana? Mau nambah fee nggak?" tanya Jane mendekati Selena yang sudah berganti seragam hitam putih."Ya mau, tapi ....""Sekarang aja, Len. Udah hari kedua kamu kerja di sini. Kamu juga udah lihat kan aku nawarin botol. Kenapa nggak kamu coba sekarang?"Selena terdiam. Ia memang membutuhkan uang. Ia bisa saja mendapatkan uang lebih dari semalam, jika ia mau berkeliling, tapi apa bisa? Ia sendiri masih asing dan canggung."Dulu aku juga kayak kamu, Len. Awalnya malu gitu. Canggung. Pokoknya nggak nyaman deh. Eh, malah kesenangan."Jane terkekeh mengingat dirinya yang dulu, mirip dengan Selena."Gimana, ya?" Selena bingung. "Kamu yakin aku bisa?"Jane mengangguk mantap dan memberikan senyun tulusnya."Aku yakin kamu bisa. Kamu cuma perlu nawarin sambil keliling. Nanti kalau ada macam-macam, bilang aja sama aku. Biar aku sikat."Selena mengangguk dan berkata, "Oke."
"Kamu yakin? Aku pakai ini?"Selena memandang risi dress bewarna merah terang menyala yang diberikan Jane. Dress ini benar-benar menarik perhatian jika ia benar-benar memakainya. Terlebih panjangnya di atas lutut.Dress ini tidak sependek yang dipakai Jane, tapi cukup menampakkan paha Selena jika benar ia pakai."Iya, Len. Kamu butuh uang, kan?"Selena mengangguk."Nah, udah saatnya kamu keluar zona nyaman, kayak aku dulu.""Zona nyaman?""Iya, hari pertama kemarin, kan kamu udah jaga meja bar. Hari kedua kamu udah keliling. Tapi nggak banyak yang pesen, kan?"Selena mengangguk lagi."Nah, sekarang kamu coba pakai ini. Biar banyak yang manggil kamu. Aku jamin deh, pasti hari ini kamu dapat banyak fee."Jane tersenyum."Gimana, ya?""Aku tahu, kamu pasti masih merasa canggung. Aku juga gitu. Lama-lama malah ketagihan."Jane terkekeh membayangkan dirinya yang masih polos lima tahun lalu, s
Selena memasak untuk sarapan pagi ini, meski Raka sudah pergi ke kantor. Selama ini ia jarang sarapan karena menghemat, berhubung di rumah Raka ada begitu banyak bahan makanan, kenapa tidak ia masak? Lagi pula bisa mubazir jika bahan makanan itu membusuk.Rupanya seperti ini tipe ideal Raka. Gadis cantik dengan kebiasaan ibu rumah tangga. Berbeda dengan perempuan di sekeliling Raka. Hm … menarik, batin Naomi mengamati Selena dari meja makan.Selena mulai mencicipi masakannya."Hm …."Ia tersenyum puas dengan hasil masakannya. Rasanya enak di lidah. Segera selena menyajikan makanan buatannya ke meja makan."Aku akan membantumu."Naomi berdiri.
Selena masih tak percaya. Bagaimana ia dibayar Raka karena telah menggodanya pagi tadi. Jika dikatakan menggoda, memang benar, ia menggoda Raka supaya pria itu tidak tergoda wanita lain selain dirinya. Jadi, Selena tetap mempertahankan posisinya sebagai istri Raka.Selena tersenyum kecut. Ia tak menyangka jika akan dibayar semudah ini. Meski begitu, ada hati kecil Selena yang tak terima dengan perlakuan Raka. Ia seperti wanita bayaran."Hahhh ...."Menikah tanpa dasar cinta, apa yang Selena harapkan. Sejak awal dirinya sudah seperti wanita bayaran. Menikah hanya karena fasilitas mewah yang akan diberikan."Nyonya Selena. Lebih baik saya saja yang masak," ucap Bi Rohimah, asisten rumah tangga bagian masak."Tidak, Bi. Saya saja. Saya istri Tuan Raka. Jadi, biarkan saya yang menyiapkan semuanya.""Tapi, Nyonya...."Selena menoleh dan berkata, "Bagaimana jika aku butuh sesuatu, Bibi membantuku mengambilkannya?"Bi Rohimah te
Selena tiba di kantor bersama Naomi. Penampilannya yang berbeda dari kemarin membuatnya menjadi pusat perhatian. Rambutnya yang dulu diikat, kini terurai cantik sepunggung. Anting-anting panjang menambah kesan cantik elegan. Dress sepanjang lutut yang menunjukan lekuk tubuhnya membuat kaum adam di kantor melongo.Selena tampil elegan, tak kalah dengan Naomi yang dikenal sebagai sekretaris cantik sang CEO. Bagaimana ia melangkah sudah terlihat luwes, padahal high heel yang dipakai Selena setinggi sebelas sentimeter.Keluar dari lift, Selena menuju ruangan Raka."Aku ada urusan dengan manager keuangan, kamu duluan menemui Raka."Selena mengangguk. Naomi berbelok ke ruangan yag dituju. Selena tetap lurus ke arah ruang Raka."Selamat siang, Bu," sapa Maya pada istri bosnya itu."Siang," sahut Selena dengam senyuman.Ia langsung membuka pintu ruangan tanpa ketuk pintu. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati Jessie dengan posisi seper
Selena mengamati Raka yang sedang melakukan evaluasi bulanan di setiap bidang perusahaan. Pria itu tampak menguasai setiap bidang dan mempunya strategi untuk mengembangkan bidang yang sedang dibahas.Sepanjang peengamatannya pada Raka, tak bisa Selena pungkiri. Raka memang tampan, di usianya yang sudah 25 tahun ia terlihat gagah dan karimastik. Sebagai pria, ia mendekati kata sempurma. Secara fisik, psikis, dan juga kekayaan. Raka sangat mapan."Pantas saja, Naomi bilang banyak wanita yang ingin menjadi istri Raka," gerutu batin Naomi.Naomi mengepalkan tangan. Ia tak menyangka. Jika suaminya akan dikelilingi banyak wanita seperti ini. Mau tidak mau, ia harus lebih unggul daripada mereka. Ia harus mempertahankan posisinya sebagai istri sah Raka.Raka melirik Selena. Ia melihatnya bingung ketika mengamati istrinya itu mengerucutkan bibir, seperti sedang kesal."Apakah ada pertanyaan?" tanya Raka pada manager yang hadir.***Setelah rap
Selena dan Raka memasuki kamar utama."Tunggu, bajuku!"Selena membalikkan tubuhnya ketika Raka menutup pintu kamar mereka."Bajumu? Dilemari.""Lemari?"Selena mengedarkan pandangannya, tapi tak menemukan satu bentuk benda yang disebut lemari. Ia hanya menemukan meja rias di sebelah kirinya. Dan sofa beserta meja di sebelah kanan.Raka mendekati Selena."Lemari tidak ada di sini.""Lalu?"Raka menggenggam tangan Selena. Membawa gadis itu ke pintu yang dekat dengan sofa. Menembus ruangan sebelah yang berisi berbagai macam lemari putih dan lemari kaca."Semua pakaianmu ada di lemari putih. Naomi sudah menyiapkan semuanya."Selena mendekati lemari putih dan membukanya. Betapa takjubnya ia ketika dress berbagai warna tergantung rapi. Selena membuka lemari di sebelahnya. Ada linger yang pendek. Ia segera menutupnya, tak ingin Raka melihatnya."Kamu tak perlu menyembunyikannya. Aku sudah melihatnya.
Selena menyiapkan koper, menata pakaian dan barang-barangnya yang berharga. Apa Selena punya barang berharga? Tentu punya. Seperti saat ini, ia sedang memegang foto keluarga."Ibu. Bapak. Aku bakal nikah sama Raka."Selena memaksakan senyumnya."Aku udah tanda tangan kontrak nikah sama Raka. Raka bakal ngasih fasilitas untuk aku. Aku nggak salah pilih, kan, Pak, Bu?"Selena menatap foto dirinya bersama kedua orang tuanya, di mana ia berdiri di samping kanan ayahnya yang duduk, sementara ibu berdiri di kiri ayah.Selena segera memasukkan pigura kecil foto tersebut ke dalam koper. Matanya menelusuri setiap inci di kosnya, setelah memastikan tak ada yang tertinggal, barulah Selena keluar dari kos.Ia mengunci pintu kos, sebelum akhirnya benar-benar pergi. Tak lupa, ia pergi ke rumah Ibu Kos dan Jane untuk pamitan."Kamu mau pindah? Ke mana?!"Selena bingung harus menjawab apa. Tadi Ibu Kos juga bertanya hal yang sama, dan ia
Pintu rumah terbuka lebar. Menampilkan sosok pria yang duduk di sofa, terlihat tidak asing untuk Selena. Ia tampak sedang menunggu Selena. Matanya lurus menatap kedatangan gadis tersebut. Dan seorang wanita yang berdiri di sampingnya.Pria berjas yang ada di depannya berhenti. Naomi ikut berhenti. Lalu pria berjas di depannya dan yang ada di belakang menepi, berdiri di belakang pria yang duduk di sofa.Keheningan terjadi. Selena masih mencoba mengingat siapa pria yang ada dihadapannya. Sementara pria tersebut mengamati Selena. Ia sadar gadis itu tidak mengingatnya, ia bisa melihat eksprasi awal Selena ketika melihatnya.Gadis itu bukannya terkejut, malah mengerutkan kening seperti berpikir."Anda?!" seru Selena mengingat pelanggan barnya kemarin."Raka."Selena terdiam. Benar, namanya Raka. Ia ingat ketika pria yang memanggilnya kemarin menyebut nama Raka."Maaf. Em ... Saya kenapa dibawa ke sini?""Duduklah."Raka
"Kamu yakin? Aku pakai ini?"Selena memandang risi dress bewarna merah terang menyala yang diberikan Jane. Dress ini benar-benar menarik perhatian jika ia benar-benar memakainya. Terlebih panjangnya di atas lutut.Dress ini tidak sependek yang dipakai Jane, tapi cukup menampakkan paha Selena jika benar ia pakai."Iya, Len. Kamu butuh uang, kan?"Selena mengangguk."Nah, udah saatnya kamu keluar zona nyaman, kayak aku dulu.""Zona nyaman?""Iya, hari pertama kemarin, kan kamu udah jaga meja bar. Hari kedua kamu udah keliling. Tapi nggak banyak yang pesen, kan?"Selena mengangguk lagi."Nah, sekarang kamu coba pakai ini. Biar banyak yang manggil kamu. Aku jamin deh, pasti hari ini kamu dapat banyak fee."Jane tersenyum."Gimana, ya?""Aku tahu, kamu pasti masih merasa canggung. Aku juga gitu. Lama-lama malah ketagihan."Jane terkekeh membayangkan dirinya yang masih polos lima tahun lalu, s
"Lena."Selena menoleh."Ya?""Gimana? Mau nambah fee nggak?" tanya Jane mendekati Selena yang sudah berganti seragam hitam putih."Ya mau, tapi ....""Sekarang aja, Len. Udah hari kedua kamu kerja di sini. Kamu juga udah lihat kan aku nawarin botol. Kenapa nggak kamu coba sekarang?"Selena terdiam. Ia memang membutuhkan uang. Ia bisa saja mendapatkan uang lebih dari semalam, jika ia mau berkeliling, tapi apa bisa? Ia sendiri masih asing dan canggung."Dulu aku juga kayak kamu, Len. Awalnya malu gitu. Canggung. Pokoknya nggak nyaman deh. Eh, malah kesenangan."Jane terkekeh mengingat dirinya yang dulu, mirip dengan Selena."Gimana, ya?" Selena bingung. "Kamu yakin aku bisa?"Jane mengangguk mantap dan memberikan senyun tulusnya."Aku yakin kamu bisa. Kamu cuma perlu nawarin sambil keliling. Nanti kalau ada macam-macam, bilang aja sama aku. Biar aku sikat."Selena mengangguk dan berkata, "Oke."