Gredek gredek. ...Suara ranjang dorong pasien terdengar begitu keras di koridor rumah sakit itu. Stephanie pun terus menangis syok melihat kondisi Laura yang bersimbah darah. "Ibu ... Ibu ...." Stephanie sudah sesenggukan dan melangkah dengan cepat, sedangkan Sierra terus menenangkan Stephanie dengan memeluk bahunya dan membelainya sayang. Perasaan ini sama persis seperti saat Sierra menangisi Lidya dulu. Lidya juga mengalami kecelakaan sampai kondisinya kritis, walaupun saat ini kondisi Laura terlihat jauh lebih parah. "Mohon keluarga menunggu di sini, kami akan segera melakukan tindakan!" kata suster, sebelum ia membawa Laura yang sudah tidak sadarkan diri itu masuk ke ruang tindakan. Semua orang begitu syok tadi saat mendengar kabar bahwa Laura mengalami kecelakaan bersama Gery. Mobil yang mereka tumpangi menabrak pagar pembatas beton dan terlempar cukup jauh. Mobil mereka pun sempat berputar cepat dalam keadaan terbalik sampai akhirnya tubuh dua orang manusia terlempar ta
Sierra menyandarkan kepalanya di bahu Bastian malam itu dan mereka pun tidur bersama di ruang tunggu di dekat ruangan operasi. Operasi Laura baru selesai menjelang pagi, namun Laura masih ditempatkan di ruangan khusus untuk observasi karena kondisinya masih kritis. Rasa kantuk dan lelah pun tidak bisa tertahan lagi sampai semua orang tidur di kursi termasuk Stephanie yang tertidur dengan air mata yang tetap mengalir. Sampai pagi itu, akhirnya suara seorang anak membuat semua orang terbangun. "Aunty ... Uncle ...."Lalita yang sudah bangun duluan meminta Tory untuk mengantarnya bertemu dengan Bastian dan Sierra yang begitu dirindukan dan Tory pun mengantarnya. Bastian dan Sierra sendiri refleks membuka matanya tegang. Rasanya ketegangan kemarin masih membuat syaraf mereka waspada.Namun saat membuka mata, mereka pun menyadari kalau tidak kondisi tegang lagi.Sierra bangkit duluan dari kursi dan menatap sayang pada Lalita. "Lalita Sayang ...." Sierra membuka kedua lengannya dan an
Rasanya seperti mendapat angin sejuk saat Bastian dan Sierra mau menerimanya kembali. Stephanie pun tidak berhenti mengucap syukur dalam hatinya dan rasa syukur pun malah membuatnya terus menangis haru. Stephanie berpelukan dengan Sierra sambil memejamkan matanya dan saat ia membuka matanya, tatapannya pun bertemu dengan tatapan Lalita, anak kandungnya, anak kandung yang sudah ia sia-siakan. Perlahan Stephanie melepaskan pelukannya dari Sierra dan terus menatap Lalita."Lalita ... Lalita, anak Mama ...," ucap Stephanie sambil bangkit berdiri dari kursinya. Bastian dan Sierra yang melihatnya pun sedikit menyingkir, memberikan jalan untuk Stephanie sampai Stephanie pun bisa melangkah perlahan mendekati Lalita. Namun, Lalita malah melangkah mundur, seolah masih ketakutan. Stephanie yang melihatnya pun menghentikan langkahnya dengan ragu, takut kalau Lalita malah akan berlari ketakutan. "Lalita, ini Mama, Sayang! Maafkan Mama, Lalita ... maafkan Mama ...."Stephanie menatap Lalita
"Apa posisinya sudah pas, Pak?"Seorang suster membantu Jacob dalam posisi duduk bersandar di ranjang pasiennya. Jacob mengalami syok yang cukup lumayan kemarin sampai ia sempat lemas dan tidak sadarkan diri. Tubuh tuanya pun sakit semua dan ada memar di beberapa bagian. Namun, untungnya memarnya termasuk tidak parah. Jacob pun diberi bantuan oksigen dan perawatan intensif sepanjang malam sampai akhirnya siang ini Jacob sudah lebih segar setelah selesai makan siang. "Ah, posisi ini sudah pas, aku bisa bernapas lega sekarang.""Anda juga terlihat lebih segar, Pak.""Ya, terima kasih pada kalian semua! Kurasa aku masih bisa hidup beberapa tahun lagi."Suster itu tersenyum mendengarnya. "Oh ya, aku sudah memanggil keluarga Anda dan sebentar lagi mereka akan kemari jadi kalau tidak ada hal lain, aku permisi dulu, Pak!""Ya, baiklah!" Jacob mengangguk dan menatap punggung suster yang melangkah keluar itu. Tidak lama kemudian, pintu dibuka lagi dan Jacob pun langsung menoleh ke sana. J
Terkadang tidak mempunyai ingatan mungkin itu lebih baik, apalagi bagi pria tua yang sudah melakukan banyak hal buruk seperti Jacob. Bahkan Jacob sering kali berandai-andai kalau masa lalunya dulu tidak pernah terjadi, ia tidak pernah meninggalkan istrinya dan Bastian. Atau minimal hapus saja ingatan buruk itu dari otaknya. Ya, itu harapan Jacob walaupun nyatanya harapan itu tidak pernah menjadi kenyataan. Bahkan dengan penyakitnya yang sekarang, ingatan tentang hal yang disesalinya itu masih tetap melekat erat di otaknya. Karena itu, Jacob berpikir berpura-pura melupakan Sierra mungkin akan menjadi keputusan terbaiknya saat ini. Bukan karena Jacob belum menerima Sierra, bukan karena itu. Jacob tidak tahu apa Sierra adalah benar jodoh Bastian dan wanita yang terbaik untuk Bastian, namun Jacob cukup tahu kalau Sierra adalah wanita yang baik, walaupun hidup Sierra sendiri terbilang cukup sial dan berat. Memutuskan menerima Sierra begitu saja sebagai kekasih Bastian, mungkin akan
"Apa yang sebenarnya terjadi padanya, Dokter? Dia terlihat baik-baik saja dan mengingat semuanya tapi dia melupakan Sierra. Hanya satu orang saja yang dia lupakan. Bagaimana ini bisa terjadi?"Bastian dan Sierra langsung menemui dokter setelah selesai berbicara dengan Jacob. Walaupun jujur mereka senang karena reaksi Jacob yang begitu ramah pada Sierra, namun tetap saja reaksi itu tidak normal dan Bastian maupun Sierra pun merasakan sedikit kecemasan di dalam kelegaan mereka. "Baiklah, secara fisik, kondisi Pak Jacob tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua lukanya hanya luka luar dan akan pulih, walaupun mungkin sedikit lebih lama dibanding anak muda karena umurnya sendiri sudah tua.""Tapi mengenai mengapa dia melupakan Bu Sierra, baiklah, kita tahu sendiri kalau Pak Jacob mengidap penyakit Alzheimer, yang salah satu gejalanya adalah mengalami penurunan daya ingat.""Memang secara teori, penurunan daya ingat ini bertahap dan biasanya pasien akan melupakan ingatan jangka pendeknya
"Benarkah dia melupakanmu, Sierra?" Valdo yang barusan datang ke rumah sakit pun begitu kaget mendengar Jacob melupakan Sierra. "Ya, dia melupakanku. Tapi dokter bilang selain dia yang mendadak melupakan aku, kondisinya yang lain masih sama dan tidak memburuk. Kurasa itu cukup melegakan kan?""Ya, aku tidak tahu harus berkomentar seperti apa. Aku lega karena Pak Jacob bisa menerimamu, tapi aku turut sedih karena dia melupakanmu, Sierra.""Tapi aku tidak apa, Valdo, sungguh! Malahan kalau dia mengingatku, belum tentu dia bisa menerimaku kan? Jadi aku baik-baik saja. Seperti yang Bastian bilang, mungkin memang jalannya harus begini."Valdo pun mengangguk. "Tentu, Sierra! Tentu!" Jacob sendiri sempat dirawat di ICU karena takut kondisinya yang akan kolaps, tapi setelah melihat semuanya stabil, Jacob pun akhirnya bisa dipindahkan ke ruang rawat inap biasa. Cukup lama semua menunggu sampai akhirnya Jacob pun selesai dipindahkan ke ruang rawat inap biasa dan semua orang bisa masuk sekal
"Jadi kau tidak punya rumah di sini? Kalau begitu, tinggallah di rumah kami! Bastian, bawa dia ke rumah!"Jacob meminta semua orang pulang untuk beristirahat siang itu, menyisakan Valdo yang menemaninya. Jacob pun menanyakan di mana rumah Sierra dan Sierra memberitahu bahwa rumahnya ada di luar kota. "Aku akan melakukannya, Ayah! Sierra akan tinggal bersamaku di rumah!" jawab Bastian cepat. "Ah, haha, baiklah! Pulanglah! Tidur di rumah saja! Tidak usah ke sini lagi nanti! Ayah juga baik-baik saja! Tidak ada yang perlu dikhawatirkan!""Eh, tapi, Om ...," protes Sierra. "Tapi apa? Kalian pasti tidak tidur dari semalam! Dengan tubuh yang begitu lelah, kalau kalian terus menemaniku di sini, kalian juga bisa jatuh sakit! Jadi dengarkan aku! Pulanglah dan tidur di rumah! Besok baru ke sini lagi! Lagipula, kasihan Lalita! Dia juga harus ditemani di rumah!"Jacob menatap cucu kesayangannya itu yang sedang duduk sambil memeluk Bik Mala. Sierra belum sempat menyahut lagi, tapi Bastian lang
Kalau di rumah Jacob, kondisinya sangat menyedihkan, di rumah keluarga Adipura, kondisinya tidak lebih baik. Imelda mengurung diri di kamar dengan air mata yang terus meleleh. Imelda sama sekali belum keluar dari kamar sejak Rosella pergi tadi, bahkan Imelda juga belum mandi sampai malam itu. Ia hanya duduk di ranjangnya sambil menangis tanpa mengucapkan sepatah kata pun, seolah ia mengalami kesedihan yang teramat sangat karena kehilangan orang yang ia cintai. Adipura sendiri pun tidak lebih baik. Adipura terus meringis sambil memegangi dadanya, namun ia tidak mau minum obat dan tidak mau siapa pun memperhatikannya. Saat jam makan malam tiba, ia hanya duduk di tempat yang biasanya tapi ia tidak benar-benar makan melainkan hanya mengacak-acak makanannya, sebelum ia memutuskan kembali ke ruang kerjanya. Jessica dan Jordan yang melihatnya pun ikut tidak berniat makan karena suasana hati mereka juga tidak baik. Tidak ada yang bicara lagi dan tidak ada yang membahas masalah Rosella sa
"Semuanya sudah berakhir, Stephanie. Semuanya sudah berakhir." Rosella tidak dapat menahan kesedihannya lagi dan ia menangis sedih di pelukan Stephanie begitu ia tiba di rumahnya. Stephanie yang kebetulan pulang dari kantor untuk melihat Lalita dan Julio pun sampai tidak berniat kembali ke kantor karena ia juga begitu sedih mendengar semua cerita Rosella. Stephanie memeluk Rosella begitu erat dan ikut menangis bersamanya. "Jangan sedih, Rosella! Jangan sedih! Ada aku bersamamu. Ada aku bersamamu." "Aku berusaha untuk tidak sedih, tapi rasanya sakit sekali, Stephanie. Sakit sekali. Bahkan aku yang seharusnya sudah tahu kalau kejadiannya akan seperti ini saja masih terasa sakit, Stephanie. Sakit sekali ...." Rosella terus merintih sakit di pelukan Stephanie, bukan di tubuhnya namun di hatinya. Rasanya begitu sesak seperti ditusuk-tusuk benda tumpul dan Rosella tidak bisa bernapas. "Aku tahu, Rosella. Aku tahu. Aku bersamamu, Rosella. Aku bersamamu," ulang Stephanie tanpa henti.
Jordan kembali masuk ke dalam rumah setelah mengusir lucu dan ia mendapati suasana di ruang keluarga masih mencekam. Adipura masih duduk dengan wajah penuh amarah, dengan Jessica yang duduk di sampingnya sambil memegangi lengan pria itu. Sedangkan Imelda terus menunduk sambil menangis dan Rosella sendiri hanya berdiri di posisinya tadi dengan air mata yang tetap mengalir namun ekspresi wajahnya sudah putus asa. Tidak ada yang bicara di sana, namun Jordan pun menelan salivanya dan mencoba mencairkan suasana. "Dia sudah pergi! Livy itu agak stres jadi kuharap jangan sampai ada yang terpengaruh pada ucapannya! Livy itu ...." Belum sempat Jordan menyelesaikan ucapannya, Rosella sudah menyelanya. "Cukup, Jordan! Cukup! Tidak usah membelaku lagi!" kata Rosella lemas. Imelda yang mendengar suara Rosella pun langsung mendongak dan menatap calon menantu kesayangannya itu dengan tatapan yang begitu sedih. "Aku ... tidak perlu dibela lagi, Jordan. Karena aku memang salah," ucap Rosella l
Jordan baru saja menghentikan mobilnya di depan rumah saat ia melihat mobil Livy di depan rumahnya. "Oh, sial, ini mobil Livy, Jessica!" Jessica pun menggeram kesal melihatnya. "Sial, apa maksudnya wanita itu!" Jessica langsung turun duluan sedangkan Jordan pun menemani Rosella turun. Mereka bersama-sama melangkah cepat ke arah sumber suara di rumah dan mereka langsung mengarah ke ruang keluarga. Mereka pun baru saja masuk ke ruang keluarga saat mereka mendengar ucapan Livy yang membuat semua orang syok bersamaan. "Dan aku tidak bohong kalau Rosella itu gila karena memang dia menjadi gila selama enam tahun karena kasus itu! Dia adalah pasiennya Jonathan! Kau tahu Jonathan adalah seorang psikiater kan? Jonathan mengobati orang gila dan Rosella adalah orang gilanya!" Deg!Untuk sesaat, semuanya terdiam mendengarnya. Suasananya begitu hening sampai semuanya mematung dengan ekspresi yang berbeda-beda. Rosella sendiri sudah menitikkan air matanya lagi tanpa ia bermaksud melakukanny
Cukup lama Rosella menenangkan dirinya bersama Tami, sebelum akhirnya ia mencari Jordan ke ruang kerjanya, tapi Jordan tidak ada. Rosella pun akhirnya memberanikan diri menghampiri ruang kerja Jessica dan ia mematung mendapati Jordan dan Jessica di sana. Jordan dan Jessica sendiri menatap Rosella dengan lega karena Rosella sudah terlihat lebih tenang, tapi raut wajah Rosella nampak begitu serius sampai mereka pun penasaran. "Jordan, Jessica ... aku ... aku minta maaf karena sudah membuat kekacauan seperti ini." "Aku ... aku tidak akan menyalahkan siapa pun, aku yang salah, mungkin memang aku yang tidak teliti, aku yang teledor, dan aku yang harus bertanggung jawab." "Jangan sampai WHA menjadi omongan orang hanya karena aku. Maafkan aku sekali lagi!" "Tapi kalau tidak keberatan, maukah kalian menemaniku menemui Om dan Tante? Jujur aku masih takut menemui mereka sendirian karena itu, aku minta ditemani.""Aku ... aku mau meminta maaf dan mengakui semuanya, mengakui semua kebohonga
"Kita tidak boleh membiarkan Livy sampai buka mulut, Jordan! Dia itu ternyata pengacau yang mempunyai hati yang busuk!" Jessica terus menggeram kesal saat ia sudah ada di ruang kerjanya bersama Jordan. Jordan sendiri membawa Livy keluar dari perusahaan tadi dan setelah memastikan Livy pergi dengan mobilnya, Jordan pun menghampiri Rosella, namun Rosella sudah diurus oleh Tami dan Tami pun meminta Jordan menemui Jessica saja. Jordan sendiri begitu kaget mendengar ucapan Jessica karena ia belum tahu kalau Jessica sudah mengetahui semua kisah hidup Rosella. Walaupun malam itu Jordan mengantarkan Jessica yang mabuk pulang ke rumah, tapi ia sama sekali tidak tahu apa yang Rosella dan Jessica bicarakan sewaktu Jordan mengambil jasnya di bawah. "Kau ...." Jordan nampak ragu. "Kau ...," ulang Jordan yang begitu bingung dengan sikap Jessica. Namun, Jessica yang memahami maksud adiknya hanya memicingkan mata. "Aku apa? Aku sudah tahu apa yang menimpa Rosella. Aku sudah tahu kalau dia per
Para peserta rapat akhirnya mengikuti keluar dengan suara yang masih ribut dan dalam sekejap ruang rapat pun menjadi sepi. Hanya tersisa Tami dan beberapa arsitek yang tergabung dalam tim, Jordan, Rosella, Jessica, dan Livy. Livy nampak tersenyum tipis menatap Rosella dan menatap semua kekacauan ini lalu dengan santai ia melenggang keluar dari ruang rapat. Namun, Jessica tidak membiarkannya pergi begitu saja. "Livy!" teriak Jessica yang mengikutiLivy keluar dari ruangan. Livy pun menoleh menatap Jessica. "Kau juga tidak percaya padaku, hah, Jessica? Dia itu mantan orang gila yang mungkin sampai sekarang masih tetap gila. Untuk apa kau membelanya lagi?" "Bukan dia yang gila, tapi kau yang gila, Livy! Mengapa kau harus mengatakan semua itu di depan banyak orang, hah? Benar saja kata ayahku kalau semua orang di sana tidak berpendidikan, termasuk kau, Livy!" "Terserah kau mau bilang apa, Jessica! Tapi semua yang kukatakan adalah kenyataan!" Jessica yang mendengarnya hanya tertawa
Suara lantang Livy membuat semua orang membelalak kebingungan. Jessica sendiri langsung membelalak dan menoleh tidak percaya ke arah Livy. Memang Jessica sudah mengetahui semuanya, namun Jessica tutup mulut dan ikut menyembunyikan semuanya sampai detik ini. Karena itu, Jessica sama sekali tidak menyangka kalau Livy mengetahui kenyataan itu dan membocorkannya seperti ini di depan semua orang. Jordan dan Rosella sendiri juga membelalak. Jordan yang panik mendengar Livy mengatakannya, sedangkan Rosella yang langsung gemetar karena masa lalunya terungkap. Rosella melirik ke arah Jessica dan Rosella pun pasrah kalau memang Jessica yang membocorkan semuanya, walaupun Rosella masih belum mau menuduh. Tapi selama ini Rosella tahu Jessica sangat dekat dengan Livy. Adipura dan Imelda juga membelalak kaget, namun ia masih belum mengerti apa maksud Livy, begitupun dengan peserta rapat yang juga masih tidak mengerti maksud Livy. "Apa maksudnya, Bu Livy? Siapa yang mantan pasien dengan gang
Rosella berangkat ke kantor pagi itu dan semua arsitek yang akan ikut rapat ternyata sudah menunggunya. Mereka pun saling memberi semangat, sebelum akhirnya mereka dibriefing singkat dan masuk ke ruang rapat yang lebih besar daripada biasanya, seperti ruang sebaguna yang besar dan artistik. Jantung Rosella pun berdebar begitu kencang begitu ia masuk, tapi Jordan terus menyemangatinya. Tidak lama kemudian, satu persatu peserta masuk ke sana yang terdiri dari banyak manager senior. Ada juga perwakilan perusahaan lain yang langsung menempati posisi masing-masing. Dan terakhir Adipura dan Imelda juga masuk ke sana, diikuti oleh Jessica dan Livy. "Aku senang sekali semua berkumpul di sini. Seperti yang kita tahu kali ini kita akan mengerjakan proyek besar dan aku juga sudah menunjuk arsitek utama yang akan bertanggung jawab dalam proyek ini." Adipura membuka rapat. "Arsitek muda yang belum lama bergabung dengan WHA, tapi kemampuannya sudah tidak perlu diragukan lagi." "Mari kita sam