“Selamat malam.” Maura berusaha menyembunyikan keterkejutannya ketika mendapati semua orang berkumpul di meja makan. Bibi Tilda dan Ingrid langsung menghambur ke arah Maura. Sementara Dave hanya melihat sekilas lalu kembali menatap meja makan.
“Kamu ke mana saja? Kenapa baru pulang?” Bibi Tilda membelai rambut Maura yang kusut masai. Kemudian tangan rentanya menyapu dahi Maura yang basah.
“Maaf, aku jalan-jalan dulu.” Dusta Maura. Sebenarnya ada banyak hal yang telah dikerjakan Maura, mulai mencetak beberapa foto untuk dibawa Ingrid seandainya ia jadi pergi ke Indonesia dan bekerja di sebuah café dan mendapat lima puluh euro.
Maura memang sengaja memmisahkan diri dari rombongan ketika kembali dari piknik mereka. ia berdalih mencetak beberapa foto. Sampai di sini Maura memang tidak berbohong, namun ia sengaj
Ponsel Maura yang berada di atas meja makan bergetar cukup lama. Maura menghentikan kegiatan memasaknya bersama Bibi Tilda. Diraihnya ponsel yang terus berkedip. Begitu melihat nama Ingrid yang memanggil, bergegas Maura menerima panggilannya.“Maura, aku lolos.” Ujar Ingrid tanpa memberi kesempatan Maura untuk mengatakan halo.“Benarkah?” sepasang mata Maura membola. Ia sangat senang mendengar kabar yang disampaikan Ingrid. Sambungan kemudian diinterupsi bunyi tut tut, tanda Ingrid mengganti panggilan suara ke video.“Tentu saja. Kau tahu, aku akan berangkat pekan depan.” Wajah Ingrid yang menunjukkan rasa puas dan gembira begitu menyenangkan untuk dilihat.“Wah, secepat itu?” Maura berseru takjub bercampur heran. Mau
Maura baru sadar jika ia sudah terlalu lama terduduk di depan ruang kerja Dave. Bisa saja Dave tiba-tiba membuka pintu dan mendapatinya bersimpuh sambil menangis. Tidak, tepergok Dave dalam kondisi seperti ini bukanlah hal yang diinginkan Maura. Ia tidak mau Dave prihatin melihat kondisinya kemudian menaruh belas kasihan. Maura sungguh tidak menghendaki itu.Tergesa-gesa Maura menyeka air mata yang telah menganak sungai lalu beranjak dari duduknya dengan susah payah. Bergegas Maura bangun dan berjalan dengan langkah lebar menuju dapur. Ia ingin minum. Tenggorokannya terasa sangat kering setelah menangis. Minum segelas air dingin mungkin akan sedikit menolongnya. Menolong tubuh dan perasaannya agar lebih baik.Setelah menandaskan segelas air, Maura menuju bak cuci piring untuk mencuci gelas yang baru saja dipakainya. Hampir saja gelas yang tengah dib
Langkah kaki Maura menuju paviliun Bibi Tilda berubah melambat. Sayup-sayup didengarnya beberapa pelayan tengah bercakap-cakap. Maura berusaha menajamkan pendengarannya. Hal itu perlu dilakukannya karena topik yang mereka bicarakan sangatlah menarik, yaitu pertunangan Dave dan Rosaline.“Kemarin Nona Rosaline bicara padaku bahwa ia akan bertunangan dengan Tuan Dave pada awal bulan depan.” Seorang pelayan bicara dengan nada penuh semangat. Ia seperti mendapat informasi besar yang teramat sayang jika tidak dibagi pada teman-temannya. Tentu saja pertunangan Dave menjadi berita besar yang sangat ditunggu realisasinya oleh seluruh penghuni rumah, tak terkecuali Maura.Masih terekam jelas di ingatan Maura, ketika mereka semua berpiknik di kebun tulip dan ditutup oleh pengumuman yang dibuat Rosaline. Maura segera tergugah kembali untuk memasang telinganya
“Maura, Dave memanggilmu sekarang.” Kata Bibi Tilda sambil menutup pintu ruang kerja Dave. Maura yang baru datang segera menghentikan langkahnya.“Aku?” Tunjuk Maura pada dirinya sendiri sambil memasang wajah heran. Bibi Tilda mengangguk.“Cepatlah. Sepertinya ada hal penting.”Ketukan pada pintu segera mendapat jawaban dari dalam. Maura bergegas masuk dan berjalan mendekat ke arah meja kerja Dave.“Kau memanggilku?”“Iya. Ada notifikasi transaksi dalam jumlah besar masuk ke surelku.”“Benarkah?” Maura menatap Dave tidak percaya. Sepengetahuan Maura, transaksi dengan kartu debit tidak memuncu
"Aku naik kereta saja, Matt." Pinta Maura pada Matt yang telah duduk di balik kemudi. "Jangan konyol. Sekarang sudah malam. Kereta terakhir sudah berangkat satu jam yang lalu." Sahut Matt kesal. "Baiklah." Jawab Maura sambil mengalihkan pandangannya dari Matt. Mendapati Maura menjawab singkat saja, tanpa mengajak berdebat seperti biasanya, membuat Matt merasa heran hingga refleks kedua alisnya terangkat. "Bolehkah aku tidur sebentar?" Tanya Maura ragu. Perjalanan yang cukup jauh membuatnya lelah dan ingin memejamkan mata, meskipun sebentar. "Tidurlah." "Tapi kau akan menyetir sendirian." Maura menatap Matt khawatir. Ia khawatir rasa kantuk juga menghinggapi Matt
Dave terlihat sangat ingin menyobek lembaran dokumen di hadapannya. Dokumen perjanjian kerja sama yang harus segera ia tanda tangani. Melihat dokumen itu, amarah Dave pada Rosaline kembali memuncak. Dengan mudahnya Rosaline memegang kendali atas Dave melalui proyek kerja sama pembangunan gedung pertunjukan di Eropa Timur. Bisnis di dunia pertunjukan adalah hal baru bagi Dave sehingga tanpa ragu ia mengucap kata setuju begitu Rosaline menawarkan kerja sama. Kala itu pertimbangan utama Dave adalah orang tua Rosaline. Ayah Rosaline adalah pemain lama dalam bisnis pertunjukan. Proyek-proyeknya tidak hanya tersebar di Eropa Barat, tapi juga telah ekspansi ke Amerika dan Australia. Namun, lagi-lagi, Dave tidak menyangka jika Rosaline dengan liciknya mengatakan pada orang tuanya agar membantu Dave karena laki-laki itu adalah kekasihnya. “Matt, ke ruangan
“Maaf, Ibu Maura, apakah ada kelas sekarang?” Seorang mahasiswa yang telah cukup lama berdiri di hadapan Maura akhirnya berani bersuara. Maura yang melamun pun tersentak oleh sosok yang tetiba ada di hadapannya. “Maaf, ada apa?” Tanya Maura tergagap. Ia benar-benar larut dalam lamunan hingga melupakan sekitar. “Apa sekarang ada kelas, Bu?” Ulang mahasiswa itu takut-takut. Maura melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya. “Tentu. Tolong tunggu lima, eh sepuluh menit lagi. Terima kasih.” Mahasiswa itu pun mengangguk paham kemudian mohon diri. Ya Tuhan, apa yang aku lakukan? Melamun di jam kerja. Semua ini gara-gara Matt. Maura geram pada dirinya dan j
“Selamat datang di Surabaya.” Sambut wakil rektor ramah sambil mengulurkan tangan. Dekan dan Dave menyambut uluran tangan wakil rektor kemudian mereka saling berjabat tangan erat. “Kita akan makan malam dulu kemudian menuju hotel.” Imbuh wakil rektor lagi. Dekan dan Dave mengangguk mengiyakan rencana yang telah disusun oleh pihak universitas. Rombongan Dave dan dekan beserta wakil rektor universitas menuju rumah makan khas Jawa Timur yang terletak di pusat kota. “Aku tidak melihat Maura.” Bisik Dave pada dekan begitu ada kesempatan. Dekan mengedarkan pandangan kemudian membenarkan ucapan Dave. “Mungkin Maura tidak termasuk panitia kegiatan ini. Atau ia tidak dilibatkan karena masih junior. Kau bilang dia dosen baru di sini.” Dekan tersenyum sambil menyalami sat
“Kau tampak menyedihkan, Dave.” Ujar Maura sambil menyunggingkan senyum. Ia sengaja menghentikan langkahnya demi mengamati sosok lelaki yang dicintainya. Dave yang menunggunya di depan pintu kedatangan bandara memang terlihat sangat memprihatinkan. Cambang yang tumbuh tidak terawat, lingkaran hitam di bawah mata, dan keseluruhan penampilan Dave yang kusut masai, meskipun lelaki itu tengah memakai setelan jas mahal. Dave terkekeh menanggapi komentar Maura akan dirinya. Dalam hati, ia tidak menyangkal penilaian perempuan yang sangat dipujanya itu. Beberapa peristiwa yang telah berlalu memang sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran Dave. Kini, setelah ia berhasil melalui semuanya, meskipun dengan susah payah, Dave hanya menginginkan satu hal, yakni Maura. “Dan kau tampak semakin menggairahkan, Maura.” Ujar Dave sambil melangkah mendekati Maura. Maura memalingkan wajahnya guna menyembunyikan senyum le
Maura masih memandangi pantulan dirinya di cermin. Perasaannya campur aduk, susah untuk dijelaskan. Maura masih sulit untuk percaya bahwa hari ia akan menikah. Melepas masa lajang kalau kata orang. Ia akan menikah dengan laki-laki yang belum dikenalnya. Maura memang pernah bertemu satu kali dengan lelaki itu, tapi tentu saja pertemuan yang hanya sebentar itu tidak serta merta membuatnya langsung mengenal kepribadian lelaki itu. Jangankan mengenal kepribadiannya, namanya saja Maura tidak tahu. Seingat Maura, laki-laki itu tidak pernah menyebut apa pun tentang dirinya termasuk nama.Ditengah kecamuk pikiran dan kegalauan yang melanda hatinya, Maura dikejutkan oleh suara adiknya, Naura. Adik Maura itu tengah sibuk mengecek sekali lagi buket bunga yang akan dibawa oleh kakaknya."Ayo, Kak." Kata Naura sambil mengangsurkan buket bunga berwarna putih. Maura men
“Lepaskan!” Suara laki-laki dengan nada tinggi karena amarah sukses menghentikan kegiatan membaca Dave. Sambil terus menatap layar laptop yang menampilkan seorang lelaki muda bersama orang bayarannya, Dave meletakkan pembatas buku untuk menandai halaman terakhir yang dibacanya. Suara khas benturan lembaran buku yang tertutup sempat mengisi keheningan ruang kerja Dave. “Apa yang kamu lakukan?” Dave menanyai orang bayarannya. Lelaki yang ditanya itu pun menghadapkan tubuhnya ke layar yang menampilkan sosok Dave. “Dia menolak ketika saya ajak bertemu Bos.” Lelaki itu menjawab dengan suara yang menunjukkan ketegasan. “Siapa kamu?” Lelaki yang telah duduk pada sebuah kursi kayu sederhana itu pun memotong pembicaraan Dave dan orang bayarannya. Dave tidak segera menyahut. Sebagai gantinya, ia melempar senyuman tipis. Senyuman yang terlihat manis, namun berbahaya karena tidak bisa dengan mudah diartikan maknanya. Lelaki itu pun terlihat kesal karena Dave tida
“Silakan, Maura.” Rektor mengangkat satu tangannya guna menyilakan Maura duduk di kursi yang ada di seberang meja kerjanya. Maura duduk dengan terlebih dahulu melepas ranselnya. Tas berwarna abu-abu muda itu kemudian diletakkan Maura di sisi kaki kirinya dengan alas tas menempel permukaan karpet tebal yang melapisi lantai ruangan rektor.“Terima kasih, Pak.” Jawab Maura sambil menyilangkan kedua tangannya di atas pangkuan.“Saya tidak ingin berlama-lama karena masih ada yang harus saya kerjakan.”“Baik, Pak.” Tidak tahu harus merespons apa, Maura lebih memilih mengiyakan kalimat rektor. Tentu saja ia tidak akan menyangkal jika rektor memiliki banyak pekerjaan.“Saya mohon maaf, tapi dengan berat hati saya katakan bahw
“Aku pergi dulu, Bi.” Kata Maura sembari meraih tas ranselnya di salah satu kursi meja makan. Dengan langkah gontai Maura menuju pintu utama tanpa mengatakan sepatah kata pun. Maura merasa semangatnya hilang. Tercerabut bersama kenyataan yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Sesampainya di ruang tamu, Maura sempat berhenti beberapa waktu. Rasanya ia ingin menoleh ke samping kanannya, meskipun itu artinya dia akan kembali melihat foto pengantin Dave dan Rosaline. Hati Maura memintanya untuk jangan melihat, tapi sepasang matanya seolah dipaksa untuk melakukan sebaliknya. Dan akhirnya, Maura menyerah. Ia kembali melihat foto itu. Dengan senyum yang jelas sangat dipaksakan, Maura bergumam sambil matanya menatap lurus ke arah foto Dave. “Semoga kau bahagia, Dave.” Setelahnya, Maura mempercepat langkah dengan sedikit berlari. Ia harus segera meninggalkan ruma
Vania mengetuk dua kali pintu kayu dengan ukiran khas wilayah Pesisir Utara Jawa Timur di hadapannya. Terdengar sahutan dari dalam ruangan yang mengizinkannya masuk. Perlahan, Vania membuka pintu besar berwarna coklat terang itu kemudian melongokkan wajahnya.“Permisi, Pak Rektor.” Sapa Vania disertai senyuman yang mengembang di wajahnya. Pak Rektor melihat Vania sekilas kemudian mempersilakan gadis itu masuk. Setelah diizinkan duduk, Vania belum juga mengatakan maksud kedatangannya.“Ada apa, Vania?” Tanya Pak Rektor tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang tengah dibacanya.“Ini…tentang Maura lagi, Pak.” Vania terlihat sangat berhati-hati ketika menyebut nama Maura. Vania tahu saat ini masih terlalu pagi untuk membuat laporan tentang Maura lagi. Terlebih, ia sudah perna
“David, kuharap kamu tidak keberatan menunda kepulanganmu ke Belanda.” Ujar rektor setelah acara peresmian gedung pertunjukan berakhir. Dave yang ditepuk bahu belakangnya pun serta merta mengiyakan permintaan rektor.“Ada masalah apa, Pak Rektor?”Rektor tersenyum sambil kembali menepuk bahu Dave.“Senin kau akan tahu. Tolong temui saya di kantor sebelum jam makan siang.”Dave mengangguk sambil mengatakan iya untuk permintaan rektor. Setelah rektor pergi meninggalkan Dave, Vania segera mendekati Dave. sambil melingkarkan tangannya ke lengan Dave, Vania menanyai lelaki itu. Mencoba mengorek informasi, meskipun secuil.“Ada apa dengan Pak Rektor?” Tanya Vania dengan su
Entah Maura harus merasa senang atau sedih ketika ia dan Dave ternyata tidak punya waktu untuk bersama, meskipun mereka berada di kota dan negara yang sama. Baik Maura maupun Dave sama-sama disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Short course yang sudah berjalan selama dua pekan memaksa Maura untuk memusatkan perhatian hanya pada kegiatan tersebut. Walaupun tidak bisa dipungkiri, segala hal yang berhubungan dengan Vania termasuk mimpi buruk yang dialaminya sebelum berangkat ke Belanda masih terus mengganggu pikirannya.Rutinitas harian Maura yang didominasi oleh kursus memang terasa sangat menjemukan. Bisa dikatakan, Maura tidak punya kegiatan lain selain mengikuti kursus. Maura mengawali hari dengan persiapan yang ala kadarnya karena ia selalu terlambat bangun. Terlambat bangun, tapi tidak boleh terlambat hadir
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Vania?" Maura berusaha menekan suaranya agar tidak berteriak. Dadanya terasa mau meledak karena kesal bercampur marah. Bukannya menjawab, Vania justru tertawa terbahak. Suaranya yang nyaring begitu memekakkan telinga, membuat Maura semakin terpancing amarahnya.Maura tahu dan sepenuhnya sadar bahwa dirinya tengah dipermainkan oleh Vania. Dan Maura yang ingin menyudahi semuanya terlihat begitu bernafsu meladeni permainan Vania. Maura benar-benar tidak ingin membuang waktu. Ia ingin semua yang mengganjal dan membuatnya tidak nyaman ini segera berakhir dan jelas.Maura sudah tidak tahan dengan perlakuan orang-orang di tempat kerjanya akibat terpengaruh hasutan Vania."Aku ulangi lagi. Apa maumu, Vania?" Maura berkata sambil memekik tertahan. Napasnya yang sedikit tersenga