Dave keluar dari kamar dengan tergesa. Amarah masih menyelimuti dirinya akibat penolakan Maura. bergegas Dave menuju kamarnya di lantai dua. Ia ingin segera membersihkan diri kemudian berangkat ke kantor.
Langkah Dave terhenti kala dilihatnya Maura tengah sibuk di dapur. Dengan cekatan Maura menyiapkan bahan makanan kemudian memasaknya. Dua tungku kompor yang menyala bersamaan membuat Maura harus bergerak cepat. Terlintas dalam benak Dave untuk menolak sarapan yang saat ini sedang dibuat oleh Maura, meskipun tadi ia sendiri yang meminta. Dave berencana akan mengatakan itu nanti, sebelum ia berangkat ke kantor.
*
Dave tampak memperbaiki posisi dasinya di depan cermin. Setelahnya dirasa pas, Dave kemudian mengambil salah satu jam tangan di kotak penyimpanan lalu memakain
“Kau dari mana, Dave?” Caroline langsung menanyai Dave tatkala dilihatnya Dave menuruni tangga.“Kamar Maura.” Jawab Dave singkat. Ia lalu mengempaskan tubuhnya di sofa. Caroline yang masih duduk di kursi meja makan akhirnya beranjak menghampiri Dave. Ia pun memilih duduk di samping Dave. Ditatapnya Dave yang terlihat kusut dan lesu.“Maura itu siapa?” Caroline mengawali interogasinya. Dave terlihat enggan menjawab. Ia tahu Caroline akan terus menanyainya sampai puas.“Maura itu mahasiswa master di kampus kita.”“Bagaimana kalian bertemu?”“Kami bertemu tidak sengaja. Terjadi begitu saja di kampus.”Caroline m
Dave dan Maura kini menjadi lebih irit bicara. Banyak hal yang dulunya mendekatkan mereka kini menjadi kebalikannya. Ketika harus terjebak dalam ruangan atau situasi yang sama berdua saja, baik Dave atau Maura mampu bertahan dalam kebisuan masing-masing. Ketika Dave meminta Maura untuk mengecek, membaca, dan membalas surel yang masuk, biasanya ia akan memberi tahu Maura secara langsung atau menelepon sendiri. Namun kini Dave selalu menyuruh Matt untuk memanggil Maura.Maura mengetuk pintu ruang kerja Dave satu kali. Terdengar suara Dave menjawab dari dalam. Perlahan, Maura membuka pintu dan mendapati Dave tengah sibuk di balik meja kerjanya. Dengan isyarat gerakan dagunya, Dave menunjuk apa yang harus dikerjakan Maura. Maura mengangguk paham dan segera menuju komputer yang terletak di sisi kanan meja kerja Dave.Jemari Maura yang bergerak lincah di atas
Maura berjalan dengan langkah gontai meninggalkan café Mev Inge. Hari masih sangat pagi sehingga belum ada bus yang beroperasi. Maura kecewa karena Mev Inge tidak mengizinkannya membantu pekerjaan paginya, belanja bahan makanan lalu mengolahnya.Kalian seharusnya menyelesaikan masalah secara dewasa. Orang dewasa melakukannya dengan bicara, Maura…. berkomunikasi. Bukan kabur seperti ini.Rasanya setiap kata yang diucapkan Mev Inge masih terdengar sangat jelas di telinga Maura. Maura bisa menangkap kesal yang teramat sangat pada suara Mev Inge. Tapi, mau bagaimana lagi. Maura benar-benar tidak tahan melihat tingkah Dave.Kau cemburu, Maura?“Tentu saja.” Maura menjawab pertanyaan dirinya dengan suara cukup lantang. Un
Maura sedang menuruni tangga ketika Dave muncul dengan wanita yang berbeda lagi. Maura hampir terjatuh karena mengira kakinya telah menginjak anak tangga terakhir. Untunglah refleks Maura masih bagus sehingga ia bisa dengan cepat meraih pegangan tangga yang tidak jauh darinya.Wanita berbeda lagi. Batin Maura. Maura menatap Dave dan wanita di sampingnya bergantian.“Maura, Ini Sofia.” Ucap Dave santai. Tangan Dave yang tadinya menggandeng tangan Sofia kini berubah posisi. Dave seolah sengaja melingkarkan di pinggang wanita itu. Maura masih terdiam, namun akhirnya ia membalas juga sapaan Dave.“Hai Sofia.” Maura melambaikan tangan dengan memaksakan sebuah senyuman. Dave lalu mengajak Sofia untuk duduk&
Maura menyentuh dada Dave dan mendorongnya perlahan. Napasnya terlampau sesak karena ciuman Dave yang membara. Alih-alih menghentikan ciumannya, Dave justru menggenggam pergelangan tangan Maura. Mencoba menahan dorongan Maura pada dadanya."Katakan kamu juga menginginkanku, Maura." Dave berbisik lembut begitu menyudahi ciumannya. Maura yang masih terengah-engah segera mengunci mulutnya rapat-rapat. Ia begitu mengkhawatirkan dirinya sendiri. Khawatir tidak mampu mengontrol lidahnya karena luapan hasrat yang telah sampai ke ubun-ubun. Sejujurnya Maura juga menginginkan Dave, tapi mengatakannya dengan gamblang bukanlah perkara mudah."Kau tahu, Maura. Tidak ada satu pun dari wanita-wanita itu yang kusentuh." Dave menatap bola mata Maura lekat-lekat."Kenapa, Dave?" Maura bertanya dengan terbata. Ia pun membalas t
Maura mengerjap ketika telinganya menangkap suara cicitan burung yang bersahutan. Dilihatnya jendela yang berselimut vitrase. Langit sudah tidak lagi berwarna gelap.“Sudah pagi.” Gumam Maura sambil melihat Dave di sampingnya, masih terlelap dengan lengan kanan di bawah kepalanya dan lengan kiri memeluk pinggangnya. Dada Dave yang telanjang terasa begitu nyaman sebagai naungan.“Selamat pagi, Dave.” Bisik Maura lembut. Dave tetap bergeming. Entah ia memang masih terlelap tidur atau enggan membuka mata. Maura menatap wajah damai Dave yang tampak menyunggingkan senyum.“Apakah kau tengah bermimpi, Dave?” Bisik Maura. ia benar-benar penasaran dengan senyuman Dave.“Jika memnag kamu tengah bermimpi, mimpi seperti apakah itu?&rd
Maura menghentikan langkahnya ketika mendapati seorang wanita cantik sedang duduk di ruang tamu. Kecantikan wanita itu tak biasa. Perpaduan antara Asia dan Eropa yang sempurna. Maura sempat menduga jika wanita itu blasteran Indonesia.“Hai.” Sapa Maura singkat. Ia tidak tahu harus menyapa seperti apa. Wanita itu tidak menjawab. Hanya lambaian tangannya sebagai jawaban. Maura tersenyum kecut.Ah, mungkin ia menggira aku pembantu di rumah ini. Pikir Maura sambil berusaha tidak berlama-lama memendam kecewa.Umm…. Tapi bukankah aku memang seorang pembantu di sini. Statusku dan Matt atau pun Bibi Tilda adalah sama, sama-sama pembantu Dave. Maura semakin mempertegas posisinya di rumah ini.
“Selamat pagi.” Sebuah kecupan mendarat di bibir Maura. Maura menggeliat kemudian mengerjapkan mata. “Dave....” Panggil Maura masih dengan mata sedikit terpejam. “Hmm....” Dave membalas dengan dehaman pendek. Ia pun memutuskan untuk duduk di samping Maura. “Dave....” Panggil Maura lagi. Ia terlihat masih enggan membuka mata. “Tidakkah kau ingin membuka mata, Maura. Aku sudah duduk di sampingmu dari tadi.” Dave mengembuskan nafasnya kasar. Ia sengaja berpura-pura marah. Maura langsung membuka mata begitu mendengar nada bicara Dave yang berbeda. “Kau sudah rapi?” Maura mengerjap satu kali sebelum akhirnya membelalak keheranan. “Ya.” Jawab Dave singkat. Dave beranja
“Kau tampak menyedihkan, Dave.” Ujar Maura sambil menyunggingkan senyum. Ia sengaja menghentikan langkahnya demi mengamati sosok lelaki yang dicintainya. Dave yang menunggunya di depan pintu kedatangan bandara memang terlihat sangat memprihatinkan. Cambang yang tumbuh tidak terawat, lingkaran hitam di bawah mata, dan keseluruhan penampilan Dave yang kusut masai, meskipun lelaki itu tengah memakai setelan jas mahal. Dave terkekeh menanggapi komentar Maura akan dirinya. Dalam hati, ia tidak menyangkal penilaian perempuan yang sangat dipujanya itu. Beberapa peristiwa yang telah berlalu memang sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran Dave. Kini, setelah ia berhasil melalui semuanya, meskipun dengan susah payah, Dave hanya menginginkan satu hal, yakni Maura. “Dan kau tampak semakin menggairahkan, Maura.” Ujar Dave sambil melangkah mendekati Maura. Maura memalingkan wajahnya guna menyembunyikan senyum le
Maura masih memandangi pantulan dirinya di cermin. Perasaannya campur aduk, susah untuk dijelaskan. Maura masih sulit untuk percaya bahwa hari ia akan menikah. Melepas masa lajang kalau kata orang. Ia akan menikah dengan laki-laki yang belum dikenalnya. Maura memang pernah bertemu satu kali dengan lelaki itu, tapi tentu saja pertemuan yang hanya sebentar itu tidak serta merta membuatnya langsung mengenal kepribadian lelaki itu. Jangankan mengenal kepribadiannya, namanya saja Maura tidak tahu. Seingat Maura, laki-laki itu tidak pernah menyebut apa pun tentang dirinya termasuk nama.Ditengah kecamuk pikiran dan kegalauan yang melanda hatinya, Maura dikejutkan oleh suara adiknya, Naura. Adik Maura itu tengah sibuk mengecek sekali lagi buket bunga yang akan dibawa oleh kakaknya."Ayo, Kak." Kata Naura sambil mengangsurkan buket bunga berwarna putih. Maura men
“Lepaskan!” Suara laki-laki dengan nada tinggi karena amarah sukses menghentikan kegiatan membaca Dave. Sambil terus menatap layar laptop yang menampilkan seorang lelaki muda bersama orang bayarannya, Dave meletakkan pembatas buku untuk menandai halaman terakhir yang dibacanya. Suara khas benturan lembaran buku yang tertutup sempat mengisi keheningan ruang kerja Dave. “Apa yang kamu lakukan?” Dave menanyai orang bayarannya. Lelaki yang ditanya itu pun menghadapkan tubuhnya ke layar yang menampilkan sosok Dave. “Dia menolak ketika saya ajak bertemu Bos.” Lelaki itu menjawab dengan suara yang menunjukkan ketegasan. “Siapa kamu?” Lelaki yang telah duduk pada sebuah kursi kayu sederhana itu pun memotong pembicaraan Dave dan orang bayarannya. Dave tidak segera menyahut. Sebagai gantinya, ia melempar senyuman tipis. Senyuman yang terlihat manis, namun berbahaya karena tidak bisa dengan mudah diartikan maknanya. Lelaki itu pun terlihat kesal karena Dave tida
“Silakan, Maura.” Rektor mengangkat satu tangannya guna menyilakan Maura duduk di kursi yang ada di seberang meja kerjanya. Maura duduk dengan terlebih dahulu melepas ranselnya. Tas berwarna abu-abu muda itu kemudian diletakkan Maura di sisi kaki kirinya dengan alas tas menempel permukaan karpet tebal yang melapisi lantai ruangan rektor.“Terima kasih, Pak.” Jawab Maura sambil menyilangkan kedua tangannya di atas pangkuan.“Saya tidak ingin berlama-lama karena masih ada yang harus saya kerjakan.”“Baik, Pak.” Tidak tahu harus merespons apa, Maura lebih memilih mengiyakan kalimat rektor. Tentu saja ia tidak akan menyangkal jika rektor memiliki banyak pekerjaan.“Saya mohon maaf, tapi dengan berat hati saya katakan bahw
“Aku pergi dulu, Bi.” Kata Maura sembari meraih tas ranselnya di salah satu kursi meja makan. Dengan langkah gontai Maura menuju pintu utama tanpa mengatakan sepatah kata pun. Maura merasa semangatnya hilang. Tercerabut bersama kenyataan yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Sesampainya di ruang tamu, Maura sempat berhenti beberapa waktu. Rasanya ia ingin menoleh ke samping kanannya, meskipun itu artinya dia akan kembali melihat foto pengantin Dave dan Rosaline. Hati Maura memintanya untuk jangan melihat, tapi sepasang matanya seolah dipaksa untuk melakukan sebaliknya. Dan akhirnya, Maura menyerah. Ia kembali melihat foto itu. Dengan senyum yang jelas sangat dipaksakan, Maura bergumam sambil matanya menatap lurus ke arah foto Dave. “Semoga kau bahagia, Dave.” Setelahnya, Maura mempercepat langkah dengan sedikit berlari. Ia harus segera meninggalkan ruma
Vania mengetuk dua kali pintu kayu dengan ukiran khas wilayah Pesisir Utara Jawa Timur di hadapannya. Terdengar sahutan dari dalam ruangan yang mengizinkannya masuk. Perlahan, Vania membuka pintu besar berwarna coklat terang itu kemudian melongokkan wajahnya.“Permisi, Pak Rektor.” Sapa Vania disertai senyuman yang mengembang di wajahnya. Pak Rektor melihat Vania sekilas kemudian mempersilakan gadis itu masuk. Setelah diizinkan duduk, Vania belum juga mengatakan maksud kedatangannya.“Ada apa, Vania?” Tanya Pak Rektor tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang tengah dibacanya.“Ini…tentang Maura lagi, Pak.” Vania terlihat sangat berhati-hati ketika menyebut nama Maura. Vania tahu saat ini masih terlalu pagi untuk membuat laporan tentang Maura lagi. Terlebih, ia sudah perna
“David, kuharap kamu tidak keberatan menunda kepulanganmu ke Belanda.” Ujar rektor setelah acara peresmian gedung pertunjukan berakhir. Dave yang ditepuk bahu belakangnya pun serta merta mengiyakan permintaan rektor.“Ada masalah apa, Pak Rektor?”Rektor tersenyum sambil kembali menepuk bahu Dave.“Senin kau akan tahu. Tolong temui saya di kantor sebelum jam makan siang.”Dave mengangguk sambil mengatakan iya untuk permintaan rektor. Setelah rektor pergi meninggalkan Dave, Vania segera mendekati Dave. sambil melingkarkan tangannya ke lengan Dave, Vania menanyai lelaki itu. Mencoba mengorek informasi, meskipun secuil.“Ada apa dengan Pak Rektor?” Tanya Vania dengan su
Entah Maura harus merasa senang atau sedih ketika ia dan Dave ternyata tidak punya waktu untuk bersama, meskipun mereka berada di kota dan negara yang sama. Baik Maura maupun Dave sama-sama disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Short course yang sudah berjalan selama dua pekan memaksa Maura untuk memusatkan perhatian hanya pada kegiatan tersebut. Walaupun tidak bisa dipungkiri, segala hal yang berhubungan dengan Vania termasuk mimpi buruk yang dialaminya sebelum berangkat ke Belanda masih terus mengganggu pikirannya.Rutinitas harian Maura yang didominasi oleh kursus memang terasa sangat menjemukan. Bisa dikatakan, Maura tidak punya kegiatan lain selain mengikuti kursus. Maura mengawali hari dengan persiapan yang ala kadarnya karena ia selalu terlambat bangun. Terlambat bangun, tapi tidak boleh terlambat hadir
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Vania?" Maura berusaha menekan suaranya agar tidak berteriak. Dadanya terasa mau meledak karena kesal bercampur marah. Bukannya menjawab, Vania justru tertawa terbahak. Suaranya yang nyaring begitu memekakkan telinga, membuat Maura semakin terpancing amarahnya.Maura tahu dan sepenuhnya sadar bahwa dirinya tengah dipermainkan oleh Vania. Dan Maura yang ingin menyudahi semuanya terlihat begitu bernafsu meladeni permainan Vania. Maura benar-benar tidak ingin membuang waktu. Ia ingin semua yang mengganjal dan membuatnya tidak nyaman ini segera berakhir dan jelas.Maura sudah tidak tahan dengan perlakuan orang-orang di tempat kerjanya akibat terpengaruh hasutan Vania."Aku ulangi lagi. Apa maumu, Vania?" Maura berkata sambil memekik tertahan. Napasnya yang sedikit tersenga