Maura menghentikan langkahnya ketika mendapati seorang wanita cantik sedang duduk di ruang tamu. Kecantikan wanita itu tak biasa. Perpaduan antara Asia dan Eropa yang sempurna. Maura sempat menduga jika wanita itu blasteran Indonesia.
“Hai.” Sapa Maura singkat. Ia tidak tahu harus menyapa seperti apa. Wanita itu tidak menjawab. Hanya lambaian tangannya sebagai jawaban. Maura tersenyum kecut.
Ah, mungkin ia menggira aku pembantu di rumah ini. Pikir Maura sambil berusaha tidak berlama-lama memendam kecewa.
Umm…. Tapi bukankah aku memang seorang pembantu di sini. Statusku dan Matt atau pun Bibi Tilda adalah sama, sama-sama pembantu Dave. Maura semakin mempertegas posisinya di rumah ini.
“Selamat pagi.” Sebuah kecupan mendarat di bibir Maura. Maura menggeliat kemudian mengerjapkan mata. “Dave....” Panggil Maura masih dengan mata sedikit terpejam. “Hmm....” Dave membalas dengan dehaman pendek. Ia pun memutuskan untuk duduk di samping Maura. “Dave....” Panggil Maura lagi. Ia terlihat masih enggan membuka mata. “Tidakkah kau ingin membuka mata, Maura. Aku sudah duduk di sampingmu dari tadi.” Dave mengembuskan nafasnya kasar. Ia sengaja berpura-pura marah. Maura langsung membuka mata begitu mendengar nada bicara Dave yang berbeda. “Kau sudah rapi?” Maura mengerjap satu kali sebelum akhirnya membelalak keheranan. “Ya.” Jawab Dave singkat. Dave beranja
Dave menggenggam tangan Maura sangat erat. Ia seolah tidak rela membiarkan Maura pulang sendirian. Matt yang sedang mengemudi tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Ia khawatir tidak bisa mencapai bandara tepat waktu. “Menyetirlah dengan hati-hati, Matt.” Dave memperingatkan Matt yang melajukan mobil dengan kecepatan melebihi batas aman berkendara. Matt menekan pedal rem perlahan untuk mengurangi kecepatan. “Jika memang pesawat terakhir tidak terkejar, aku akan ikut pulang bersama Maura.” Dave membuat keputusan final. Maura segera menarik tangannya sebagai bentuk protes. “Jangan, Dave.” Maura menggeleng cepat. “Kau tidak boleh bersikap seperti ini.” Lanjut Maura. Dave menyunggingkan senyum tipis. “Kau tidak nyaman
Menyadari Maura sudah tidak ada di sampingnya, Dave menepuk kesal tempat tidur yang berantakan. Disibaknya selimut yang menutupi separuh tubuhnya. Dave menuju lemari pakaiannya kemudian mengambil kaos yang berada di tumpukan paling atas. Dengan langkah tergesa Dave keluar kamar dan menuruni anak tangga dengan cepat. Didengarnya suara berisik dari arah dapur.“Apa Maura benar-benar pergi?” Dave berdiri sambil menatap punggung Bibi Tilda. Bibi Tilda menjawab dengan anggukan tanpa melihat Dave.“Ya, sekitar setengah jam yang lalu.” Ujar Bibi Tilda sambil melirik jam meja yang bertengger di atas lemari pendingin.“Apa Maura mengatakan sesuatu?” Tanya Dave masih di posisinya berdiri.“Ya, ia bilang akan kembali hari Senin. Entah siang
“Maura, kumohon buka pintunya. Aku tahu kamu belum tidur.” Dave masih belum mau menyerah. Maura bimbang, apakah ia harus membuka pintu dan menghadapi Dave saat ini atau tetap bertahan di atas tempat tidur dan mencoba mengabaikan Dave.Ugh… Pasti mata sembabku akan membuat Dave bertanya terus. Rutuk Maura dalam hati. Sisi dirinya yang begitu ingin melihat Dave menuntun Maura membuat keputusan. Maura merangkak menuju tepi tempat tidur lalu melangkah menuju pintu dengan mengendap-endap.“Maura.” Dave langsung merengkuh Maura begitu pintu kamar terbuka. Maura merasa nafasnya sesak.“Dave, tolong lepaskan. Kau membuatku sesak nafas.”“Maaf.” Dave mengurai pelukannya perlahan
“Hmm…. Mencium aromanya saja aku jadi semakin lapar.” Dave melangkah tergesa sambil melonggarkan dasi yang melingkari lehernya.“Hai, kau sudah pulang.” Maura mendekat ke arah Dave. Dibantunya Dave melepas dasi dan kancing teratas dari kemejanya.“Kau datang sendiri?” Maura melihat ke arah pintu depan.“Kau ingin aku datang bersama Rosaline?” Dave sengaja menggoda Maura. Maura tergagap mendengar pertanyaan Dave.“Biasanya Matt menyertaimu ke mana pun.” Fiuh. Maura menghela napas lega.“Matt pulang untuk mengambil pakaianku.”
Entah sudah berapa kali Maura menginjak kaki Dave karena salah dalam menyelaraskan langkah dengan aba-aba Dave ketika menari. Namun Dave tak sedikit pun menunjukkan ekspresi marah atau kesal. Wajahnya justru menampilkan senyum yang ambigu, antara menertawakan kesalahan Maura atau meringis kesakitan karena kakinya terinjak.“Fokus, Sayang.” Dave kembali tersenyum sambil memandang sepasang manik mata Maura dalam-dalam.“Kita berhenti saja, Dave.” Bisik Maura begitu pelan. Ia benar-benar gugup dan merasa bersalah. Rasa malu karena tidak bisa mengimbangi Dave menari telah menyelimuti dirinya sejak tadi.Tiba-tiba Rosaline muncul dengan mengangkat sebelah tangannya, meminta musik yang mengalun lembut berhenti.“Dasar payah.” Maki Rosaline.
“Matt, bisa aku bicara sebentar?” Maura berkata dengan suara pelan. Raut wajahnya melukiskan kekhawatiran. Maura khawatir mengganggu Matt yang tengah menekuni tablet yang dipegangnya. Matt melirik sekilas pada sosok Maura yang berdiri di sisi kanannya. “Ada apa, Maura?” Matt meletakkan tablet ke atas meja lalu menengadah, menatap Maura. “Emm.... Bolehkah aku memakai kartu debit yang kamu berikan dulu.” Maura memandang Matt tanpa berkedip. Ia seperti menyimpan asa yang begitu besar. “Untuk apa?” Matt sengaja melontarkan pertanyaan itu. Ia sebenarnya tahu bahwa semua uang yang tersimpan dalam kartu debit itu adalah milik Maura. Namun Matt juga tahu jika Maura menolak itu karena merasa tidak meminta. “Aku ingin membeli sepeda. Hari Minggu nanti aku berencana pergi bersa
“Selamat malam.” Maura berusaha menyembunyikan keterkejutannya ketika mendapati semua orang berkumpul di meja makan. Bibi Tilda dan Ingrid langsung menghambur ke arah Maura. Sementara Dave hanya melihat sekilas lalu kembali menatap meja makan. “Kamu ke mana saja? Kenapa baru pulang?” Bibi Tilda membelai rambut Maura yang kusut masai. Kemudian tangan rentanya menyapu dahi Maura yang basah. “Maaf, aku jalan-jalan dulu.” Dusta Maura. Sebenarnya ada banyak hal yang telah dikerjakan Maura, mulai mencetak beberapa foto untuk dibawa Ingrid seandainya ia jadi pergi ke Indonesia dan bekerja di sebuah café dan mendapat lima puluh euro. Maura memang sengaja memmisahkan diri dari rombongan ketika kembali dari piknik mereka. ia berdalih mencetak beberapa foto. Sampai di sini Maura memang tidak berbohong, namun ia sengaj
“Kau tampak menyedihkan, Dave.” Ujar Maura sambil menyunggingkan senyum. Ia sengaja menghentikan langkahnya demi mengamati sosok lelaki yang dicintainya. Dave yang menunggunya di depan pintu kedatangan bandara memang terlihat sangat memprihatinkan. Cambang yang tumbuh tidak terawat, lingkaran hitam di bawah mata, dan keseluruhan penampilan Dave yang kusut masai, meskipun lelaki itu tengah memakai setelan jas mahal. Dave terkekeh menanggapi komentar Maura akan dirinya. Dalam hati, ia tidak menyangkal penilaian perempuan yang sangat dipujanya itu. Beberapa peristiwa yang telah berlalu memang sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran Dave. Kini, setelah ia berhasil melalui semuanya, meskipun dengan susah payah, Dave hanya menginginkan satu hal, yakni Maura. “Dan kau tampak semakin menggairahkan, Maura.” Ujar Dave sambil melangkah mendekati Maura. Maura memalingkan wajahnya guna menyembunyikan senyum le
Maura masih memandangi pantulan dirinya di cermin. Perasaannya campur aduk, susah untuk dijelaskan. Maura masih sulit untuk percaya bahwa hari ia akan menikah. Melepas masa lajang kalau kata orang. Ia akan menikah dengan laki-laki yang belum dikenalnya. Maura memang pernah bertemu satu kali dengan lelaki itu, tapi tentu saja pertemuan yang hanya sebentar itu tidak serta merta membuatnya langsung mengenal kepribadian lelaki itu. Jangankan mengenal kepribadiannya, namanya saja Maura tidak tahu. Seingat Maura, laki-laki itu tidak pernah menyebut apa pun tentang dirinya termasuk nama.Ditengah kecamuk pikiran dan kegalauan yang melanda hatinya, Maura dikejutkan oleh suara adiknya, Naura. Adik Maura itu tengah sibuk mengecek sekali lagi buket bunga yang akan dibawa oleh kakaknya."Ayo, Kak." Kata Naura sambil mengangsurkan buket bunga berwarna putih. Maura men
“Lepaskan!” Suara laki-laki dengan nada tinggi karena amarah sukses menghentikan kegiatan membaca Dave. Sambil terus menatap layar laptop yang menampilkan seorang lelaki muda bersama orang bayarannya, Dave meletakkan pembatas buku untuk menandai halaman terakhir yang dibacanya. Suara khas benturan lembaran buku yang tertutup sempat mengisi keheningan ruang kerja Dave. “Apa yang kamu lakukan?” Dave menanyai orang bayarannya. Lelaki yang ditanya itu pun menghadapkan tubuhnya ke layar yang menampilkan sosok Dave. “Dia menolak ketika saya ajak bertemu Bos.” Lelaki itu menjawab dengan suara yang menunjukkan ketegasan. “Siapa kamu?” Lelaki yang telah duduk pada sebuah kursi kayu sederhana itu pun memotong pembicaraan Dave dan orang bayarannya. Dave tidak segera menyahut. Sebagai gantinya, ia melempar senyuman tipis. Senyuman yang terlihat manis, namun berbahaya karena tidak bisa dengan mudah diartikan maknanya. Lelaki itu pun terlihat kesal karena Dave tida
“Silakan, Maura.” Rektor mengangkat satu tangannya guna menyilakan Maura duduk di kursi yang ada di seberang meja kerjanya. Maura duduk dengan terlebih dahulu melepas ranselnya. Tas berwarna abu-abu muda itu kemudian diletakkan Maura di sisi kaki kirinya dengan alas tas menempel permukaan karpet tebal yang melapisi lantai ruangan rektor.“Terima kasih, Pak.” Jawab Maura sambil menyilangkan kedua tangannya di atas pangkuan.“Saya tidak ingin berlama-lama karena masih ada yang harus saya kerjakan.”“Baik, Pak.” Tidak tahu harus merespons apa, Maura lebih memilih mengiyakan kalimat rektor. Tentu saja ia tidak akan menyangkal jika rektor memiliki banyak pekerjaan.“Saya mohon maaf, tapi dengan berat hati saya katakan bahw
“Aku pergi dulu, Bi.” Kata Maura sembari meraih tas ranselnya di salah satu kursi meja makan. Dengan langkah gontai Maura menuju pintu utama tanpa mengatakan sepatah kata pun. Maura merasa semangatnya hilang. Tercerabut bersama kenyataan yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Sesampainya di ruang tamu, Maura sempat berhenti beberapa waktu. Rasanya ia ingin menoleh ke samping kanannya, meskipun itu artinya dia akan kembali melihat foto pengantin Dave dan Rosaline. Hati Maura memintanya untuk jangan melihat, tapi sepasang matanya seolah dipaksa untuk melakukan sebaliknya. Dan akhirnya, Maura menyerah. Ia kembali melihat foto itu. Dengan senyum yang jelas sangat dipaksakan, Maura bergumam sambil matanya menatap lurus ke arah foto Dave. “Semoga kau bahagia, Dave.” Setelahnya, Maura mempercepat langkah dengan sedikit berlari. Ia harus segera meninggalkan ruma
Vania mengetuk dua kali pintu kayu dengan ukiran khas wilayah Pesisir Utara Jawa Timur di hadapannya. Terdengar sahutan dari dalam ruangan yang mengizinkannya masuk. Perlahan, Vania membuka pintu besar berwarna coklat terang itu kemudian melongokkan wajahnya.“Permisi, Pak Rektor.” Sapa Vania disertai senyuman yang mengembang di wajahnya. Pak Rektor melihat Vania sekilas kemudian mempersilakan gadis itu masuk. Setelah diizinkan duduk, Vania belum juga mengatakan maksud kedatangannya.“Ada apa, Vania?” Tanya Pak Rektor tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang tengah dibacanya.“Ini…tentang Maura lagi, Pak.” Vania terlihat sangat berhati-hati ketika menyebut nama Maura. Vania tahu saat ini masih terlalu pagi untuk membuat laporan tentang Maura lagi. Terlebih, ia sudah perna
“David, kuharap kamu tidak keberatan menunda kepulanganmu ke Belanda.” Ujar rektor setelah acara peresmian gedung pertunjukan berakhir. Dave yang ditepuk bahu belakangnya pun serta merta mengiyakan permintaan rektor.“Ada masalah apa, Pak Rektor?”Rektor tersenyum sambil kembali menepuk bahu Dave.“Senin kau akan tahu. Tolong temui saya di kantor sebelum jam makan siang.”Dave mengangguk sambil mengatakan iya untuk permintaan rektor. Setelah rektor pergi meninggalkan Dave, Vania segera mendekati Dave. sambil melingkarkan tangannya ke lengan Dave, Vania menanyai lelaki itu. Mencoba mengorek informasi, meskipun secuil.“Ada apa dengan Pak Rektor?” Tanya Vania dengan su
Entah Maura harus merasa senang atau sedih ketika ia dan Dave ternyata tidak punya waktu untuk bersama, meskipun mereka berada di kota dan negara yang sama. Baik Maura maupun Dave sama-sama disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Short course yang sudah berjalan selama dua pekan memaksa Maura untuk memusatkan perhatian hanya pada kegiatan tersebut. Walaupun tidak bisa dipungkiri, segala hal yang berhubungan dengan Vania termasuk mimpi buruk yang dialaminya sebelum berangkat ke Belanda masih terus mengganggu pikirannya.Rutinitas harian Maura yang didominasi oleh kursus memang terasa sangat menjemukan. Bisa dikatakan, Maura tidak punya kegiatan lain selain mengikuti kursus. Maura mengawali hari dengan persiapan yang ala kadarnya karena ia selalu terlambat bangun. Terlambat bangun, tapi tidak boleh terlambat hadir
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Vania?" Maura berusaha menekan suaranya agar tidak berteriak. Dadanya terasa mau meledak karena kesal bercampur marah. Bukannya menjawab, Vania justru tertawa terbahak. Suaranya yang nyaring begitu memekakkan telinga, membuat Maura semakin terpancing amarahnya.Maura tahu dan sepenuhnya sadar bahwa dirinya tengah dipermainkan oleh Vania. Dan Maura yang ingin menyudahi semuanya terlihat begitu bernafsu meladeni permainan Vania. Maura benar-benar tidak ingin membuang waktu. Ia ingin semua yang mengganjal dan membuatnya tidak nyaman ini segera berakhir dan jelas.Maura sudah tidak tahan dengan perlakuan orang-orang di tempat kerjanya akibat terpengaruh hasutan Vania."Aku ulangi lagi. Apa maumu, Vania?" Maura berkata sambil memekik tertahan. Napasnya yang sedikit tersenga