Suara dari arah dapur membangunkan Dave. Pasti Bibi Tilda, duga Dave. Dilihatnya Maura masih terlelap di sampingnya dengan tangan kanan menempel pada dada. Rasa hangat menjalari tubuh Dave karena merasa nyaman dan bahagia secara bersamaan. Diciumnya perlahan kening Maura. Ingin rasanya Dave membelai pipi Maura dan mendaratkan sebuah kecupan ringan di bibir gadis itu. Namun Dave segera tersadar, akan sangat berbahaya jika Maura sampai tahu ia telah menyelinap dan tidur bersamanya. Dave pun urung melakukan apa yang hatinya inginkan. Dengan sangat perlahan, dipindahkannya tangan Maura yang menempel di dadanya. Tak lupa dikecupnya punggung tangan itu sebelum meletakkannya pada posisi yang nyaman.
“Selamat pagi.” Bisik Dave setelah membetulkan letak selimut yang menutup
Dave mendadak gelisah tatkala menyadari tabletnya tertinggal di rumah. Ia merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri. Sebal dengan kecerobohannya. Karena kecerobohannya, ia tidak bisa mengamati aktivitas Maura di kamarnya. Beberapa menit yang lalu Dave menelepon Bibi Tilda, menanyakan apakah Maura pergi ke perpustakaan hari ini. Jawaban Bibi Tilda membuat Dave kecewa. Menurut Bibi Tilda, Maura memutuskan untuk mengerjakan tesis di rumah. Maura juga berencana untuk melanjutkan tugas membaca surel dari Dave.Entah sudah berapa kali Dave meninju tepian meja kerjanya. Rasa sakit menjalari buku-buku jarinya. Dave meraih ponselnya, melihat agenda apa saja yang harus dijalaninya hari ini. Dave memang terbiasa untuk mencatat sendiri agenda penting yang tidak bisa ia wakilkan. Meskipun Matt juga tidak pernah alpa untuk mengingatkannya, namun Dave lebih suka untuk mengurus sendiri hal penting seperti ini.
Kau memang berengsek, Dave. Maki Maura sambil terus berjalan melintasi halaman. Langit yang telah gelap pekat serta cahaya temaram membuat Maura dengan mudah tidak diketahui pergerakannya. Begitu sampai di luar pagar rumah aDave, Maura segera menuju halte. Ia berharap masih ada bus ke arah kampus.Dirogohnya saku celana sebelah kanan untuk mencari ponsel. Ternyata end aitu tidak ada di dalam saku celana Maura. Maura pun segera membuka ranselnya dan lagi-lagi ponselnya tidak ia temukan. Maura kemudian mencoba mengingat-ingat di mana ia terakhir kali meletakkan ponsel.Ahh… pasti tertinggal di atas tempat tidur. Maura benar-benar kesal dengan dirinya sendiri. Tepat pada saat Maura menutup ranselnya, bus yang ditunggunya datang.
Dave sedang menikmati sarapan ketika ponselnya berdering nyaring. Nama Matt muncul pada layar yang berkedap-kedip. Dave segera meraih ponselnya dan menggeser ikon telepon berwarna hijau.“Boss.” Panggil Matt dari ujung telepon. Dave berharap Matt membawa berita bagus.“Bagaimana, Matt?”“Maura tidak terlihat di perpustakaan, Boss.” Matt berkata dengan suara bergetar. Sungguh ia sangat gugup saat ini. Matt harus berbohong pada Dave dan di saat yang sama Maura tengah menatapnya dengan sorot memelas. Meminta penuh harap padanya agar berbohong.“Tetap di kampus s
Dave sangat kesal karena Maura tak kunjung kembali dari berpamitan dengan Mev Inge. Sesekali diliriknya jam di pergelangan tangan kirinya. Tengah malam sudah berlalu hampir enam puluh menit. Dari arah dapur, terdengar suara Mev Inge dan Maura saling bersahutan. Tak jarang derai tawa Mev Inge terdengar.Dave yang kesal kemudian beranjak dari duduknya dan menuju dapur. Dilongokkan kepalanya, mencari keberadaan Maura. Mev Inge yang pertama kali menyadari kehadiran Dave memberi kode Maura dengan mengangkat sepasang alis diiringi dagunya. Maura mengikuti arah yang ditunjuk Mev Inge. Dave telah berdiri dengan senyum canggung, menatap penuh tanda tanya pada dua perempuan beda usia itu.“Maura, ayo kita pulang.” Dave mengajak Maura.“Mev, saya pamit ya. Terima kasih untuk semuanya.”
Dave keluar dari kamar dengan tergesa. Amarah masih menyelimuti dirinya akibat penolakan Maura. bergegas Dave menuju kamarnya di lantai dua. Ia ingin segera membersihkan diri kemudian berangkat ke kantor.Langkah Dave terhenti kala dilihatnya Maura tengah sibuk di dapur. Dengan cekatan Maura menyiapkan bahan makanan kemudian memasaknya. Dua tungku kompor yang menyala bersamaan membuat Maura harus bergerak cepat. Terlintas dalam benak Dave untuk menolak sarapan yang saat ini sedang dibuat oleh Maura, meskipun tadi ia sendiri yang meminta. Dave berencana akan mengatakan itu nanti, sebelum ia berangkat ke kantor.*Dave tampak memperbaiki posisi dasinya di depan cermin. Setelahnya dirasa pas, Dave kemudian mengambil salah satu jam tangan di kotak penyimpanan lalu memakain
“Kau dari mana, Dave?” Caroline langsung menanyai Dave tatkala dilihatnya Dave menuruni tangga.“Kamar Maura.” Jawab Dave singkat. Ia lalu mengempaskan tubuhnya di sofa. Caroline yang masih duduk di kursi meja makan akhirnya beranjak menghampiri Dave. Ia pun memilih duduk di samping Dave. Ditatapnya Dave yang terlihat kusut dan lesu.“Maura itu siapa?” Caroline mengawali interogasinya. Dave terlihat enggan menjawab. Ia tahu Caroline akan terus menanyainya sampai puas.“Maura itu mahasiswa master di kampus kita.”“Bagaimana kalian bertemu?”“Kami bertemu tidak sengaja. Terjadi begitu saja di kampus.”Caroline m
Dave dan Maura kini menjadi lebih irit bicara. Banyak hal yang dulunya mendekatkan mereka kini menjadi kebalikannya. Ketika harus terjebak dalam ruangan atau situasi yang sama berdua saja, baik Dave atau Maura mampu bertahan dalam kebisuan masing-masing. Ketika Dave meminta Maura untuk mengecek, membaca, dan membalas surel yang masuk, biasanya ia akan memberi tahu Maura secara langsung atau menelepon sendiri. Namun kini Dave selalu menyuruh Matt untuk memanggil Maura.Maura mengetuk pintu ruang kerja Dave satu kali. Terdengar suara Dave menjawab dari dalam. Perlahan, Maura membuka pintu dan mendapati Dave tengah sibuk di balik meja kerjanya. Dengan isyarat gerakan dagunya, Dave menunjuk apa yang harus dikerjakan Maura. Maura mengangguk paham dan segera menuju komputer yang terletak di sisi kanan meja kerja Dave.Jemari Maura yang bergerak lincah di atas
Maura berjalan dengan langkah gontai meninggalkan café Mev Inge. Hari masih sangat pagi sehingga belum ada bus yang beroperasi. Maura kecewa karena Mev Inge tidak mengizinkannya membantu pekerjaan paginya, belanja bahan makanan lalu mengolahnya.Kalian seharusnya menyelesaikan masalah secara dewasa. Orang dewasa melakukannya dengan bicara, Maura…. berkomunikasi. Bukan kabur seperti ini.Rasanya setiap kata yang diucapkan Mev Inge masih terdengar sangat jelas di telinga Maura. Maura bisa menangkap kesal yang teramat sangat pada suara Mev Inge. Tapi, mau bagaimana lagi. Maura benar-benar tidak tahan melihat tingkah Dave.Kau cemburu, Maura?“Tentu saja.” Maura menjawab pertanyaan dirinya dengan suara cukup lantang. Un
“Kau tampak menyedihkan, Dave.” Ujar Maura sambil menyunggingkan senyum. Ia sengaja menghentikan langkahnya demi mengamati sosok lelaki yang dicintainya. Dave yang menunggunya di depan pintu kedatangan bandara memang terlihat sangat memprihatinkan. Cambang yang tumbuh tidak terawat, lingkaran hitam di bawah mata, dan keseluruhan penampilan Dave yang kusut masai, meskipun lelaki itu tengah memakai setelan jas mahal. Dave terkekeh menanggapi komentar Maura akan dirinya. Dalam hati, ia tidak menyangkal penilaian perempuan yang sangat dipujanya itu. Beberapa peristiwa yang telah berlalu memang sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran Dave. Kini, setelah ia berhasil melalui semuanya, meskipun dengan susah payah, Dave hanya menginginkan satu hal, yakni Maura. “Dan kau tampak semakin menggairahkan, Maura.” Ujar Dave sambil melangkah mendekati Maura. Maura memalingkan wajahnya guna menyembunyikan senyum le
Maura masih memandangi pantulan dirinya di cermin. Perasaannya campur aduk, susah untuk dijelaskan. Maura masih sulit untuk percaya bahwa hari ia akan menikah. Melepas masa lajang kalau kata orang. Ia akan menikah dengan laki-laki yang belum dikenalnya. Maura memang pernah bertemu satu kali dengan lelaki itu, tapi tentu saja pertemuan yang hanya sebentar itu tidak serta merta membuatnya langsung mengenal kepribadian lelaki itu. Jangankan mengenal kepribadiannya, namanya saja Maura tidak tahu. Seingat Maura, laki-laki itu tidak pernah menyebut apa pun tentang dirinya termasuk nama.Ditengah kecamuk pikiran dan kegalauan yang melanda hatinya, Maura dikejutkan oleh suara adiknya, Naura. Adik Maura itu tengah sibuk mengecek sekali lagi buket bunga yang akan dibawa oleh kakaknya."Ayo, Kak." Kata Naura sambil mengangsurkan buket bunga berwarna putih. Maura men
“Lepaskan!” Suara laki-laki dengan nada tinggi karena amarah sukses menghentikan kegiatan membaca Dave. Sambil terus menatap layar laptop yang menampilkan seorang lelaki muda bersama orang bayarannya, Dave meletakkan pembatas buku untuk menandai halaman terakhir yang dibacanya. Suara khas benturan lembaran buku yang tertutup sempat mengisi keheningan ruang kerja Dave. “Apa yang kamu lakukan?” Dave menanyai orang bayarannya. Lelaki yang ditanya itu pun menghadapkan tubuhnya ke layar yang menampilkan sosok Dave. “Dia menolak ketika saya ajak bertemu Bos.” Lelaki itu menjawab dengan suara yang menunjukkan ketegasan. “Siapa kamu?” Lelaki yang telah duduk pada sebuah kursi kayu sederhana itu pun memotong pembicaraan Dave dan orang bayarannya. Dave tidak segera menyahut. Sebagai gantinya, ia melempar senyuman tipis. Senyuman yang terlihat manis, namun berbahaya karena tidak bisa dengan mudah diartikan maknanya. Lelaki itu pun terlihat kesal karena Dave tida
“Silakan, Maura.” Rektor mengangkat satu tangannya guna menyilakan Maura duduk di kursi yang ada di seberang meja kerjanya. Maura duduk dengan terlebih dahulu melepas ranselnya. Tas berwarna abu-abu muda itu kemudian diletakkan Maura di sisi kaki kirinya dengan alas tas menempel permukaan karpet tebal yang melapisi lantai ruangan rektor.“Terima kasih, Pak.” Jawab Maura sambil menyilangkan kedua tangannya di atas pangkuan.“Saya tidak ingin berlama-lama karena masih ada yang harus saya kerjakan.”“Baik, Pak.” Tidak tahu harus merespons apa, Maura lebih memilih mengiyakan kalimat rektor. Tentu saja ia tidak akan menyangkal jika rektor memiliki banyak pekerjaan.“Saya mohon maaf, tapi dengan berat hati saya katakan bahw
“Aku pergi dulu, Bi.” Kata Maura sembari meraih tas ranselnya di salah satu kursi meja makan. Dengan langkah gontai Maura menuju pintu utama tanpa mengatakan sepatah kata pun. Maura merasa semangatnya hilang. Tercerabut bersama kenyataan yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Sesampainya di ruang tamu, Maura sempat berhenti beberapa waktu. Rasanya ia ingin menoleh ke samping kanannya, meskipun itu artinya dia akan kembali melihat foto pengantin Dave dan Rosaline. Hati Maura memintanya untuk jangan melihat, tapi sepasang matanya seolah dipaksa untuk melakukan sebaliknya. Dan akhirnya, Maura menyerah. Ia kembali melihat foto itu. Dengan senyum yang jelas sangat dipaksakan, Maura bergumam sambil matanya menatap lurus ke arah foto Dave. “Semoga kau bahagia, Dave.” Setelahnya, Maura mempercepat langkah dengan sedikit berlari. Ia harus segera meninggalkan ruma
Vania mengetuk dua kali pintu kayu dengan ukiran khas wilayah Pesisir Utara Jawa Timur di hadapannya. Terdengar sahutan dari dalam ruangan yang mengizinkannya masuk. Perlahan, Vania membuka pintu besar berwarna coklat terang itu kemudian melongokkan wajahnya.“Permisi, Pak Rektor.” Sapa Vania disertai senyuman yang mengembang di wajahnya. Pak Rektor melihat Vania sekilas kemudian mempersilakan gadis itu masuk. Setelah diizinkan duduk, Vania belum juga mengatakan maksud kedatangannya.“Ada apa, Vania?” Tanya Pak Rektor tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang tengah dibacanya.“Ini…tentang Maura lagi, Pak.” Vania terlihat sangat berhati-hati ketika menyebut nama Maura. Vania tahu saat ini masih terlalu pagi untuk membuat laporan tentang Maura lagi. Terlebih, ia sudah perna
“David, kuharap kamu tidak keberatan menunda kepulanganmu ke Belanda.” Ujar rektor setelah acara peresmian gedung pertunjukan berakhir. Dave yang ditepuk bahu belakangnya pun serta merta mengiyakan permintaan rektor.“Ada masalah apa, Pak Rektor?”Rektor tersenyum sambil kembali menepuk bahu Dave.“Senin kau akan tahu. Tolong temui saya di kantor sebelum jam makan siang.”Dave mengangguk sambil mengatakan iya untuk permintaan rektor. Setelah rektor pergi meninggalkan Dave, Vania segera mendekati Dave. sambil melingkarkan tangannya ke lengan Dave, Vania menanyai lelaki itu. Mencoba mengorek informasi, meskipun secuil.“Ada apa dengan Pak Rektor?” Tanya Vania dengan su
Entah Maura harus merasa senang atau sedih ketika ia dan Dave ternyata tidak punya waktu untuk bersama, meskipun mereka berada di kota dan negara yang sama. Baik Maura maupun Dave sama-sama disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Short course yang sudah berjalan selama dua pekan memaksa Maura untuk memusatkan perhatian hanya pada kegiatan tersebut. Walaupun tidak bisa dipungkiri, segala hal yang berhubungan dengan Vania termasuk mimpi buruk yang dialaminya sebelum berangkat ke Belanda masih terus mengganggu pikirannya.Rutinitas harian Maura yang didominasi oleh kursus memang terasa sangat menjemukan. Bisa dikatakan, Maura tidak punya kegiatan lain selain mengikuti kursus. Maura mengawali hari dengan persiapan yang ala kadarnya karena ia selalu terlambat bangun. Terlambat bangun, tapi tidak boleh terlambat hadir
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Vania?" Maura berusaha menekan suaranya agar tidak berteriak. Dadanya terasa mau meledak karena kesal bercampur marah. Bukannya menjawab, Vania justru tertawa terbahak. Suaranya yang nyaring begitu memekakkan telinga, membuat Maura semakin terpancing amarahnya.Maura tahu dan sepenuhnya sadar bahwa dirinya tengah dipermainkan oleh Vania. Dan Maura yang ingin menyudahi semuanya terlihat begitu bernafsu meladeni permainan Vania. Maura benar-benar tidak ingin membuang waktu. Ia ingin semua yang mengganjal dan membuatnya tidak nyaman ini segera berakhir dan jelas.Maura sudah tidak tahan dengan perlakuan orang-orang di tempat kerjanya akibat terpengaruh hasutan Vania."Aku ulangi lagi. Apa maumu, Vania?" Maura berkata sambil memekik tertahan. Napasnya yang sedikit tersenga