Zea melipat mukena dan sajadah setelah menyelesaikan salat Isya. Pintu kamarnya terbuka, menampakkan sosok Bryan yang baru pulang dari masjid. Zea mencium punggung tangan sang suami takzim.Pria itu membawa Zea duduk di ranjang mereka. “Ini Zee.” Bryan menyerahkan sebuah kartu debit berlogo bank swasta terbesar di Indonesia.Kening Zea mengerut. Ia ragu untuk menerima pemberian Bryan itu. “Nafkah dari aku. Ini hasil jerih payahku selama bekerja di perusahaan Papa. Semua biaya kebutuhanmu, ambil dari sini,” ungkap Bryan.“Zea masih punya uang,” tolak gadis itu halus.“Tetapi itu pemberian papamu. Sekarang kamu tanggung jawabku, Zee. Jadi, sudah kewajibanku untuk melakukannya.”Zea mengambil kartu itu dari tangan Bryan. “Aku hanya bisa menafkahimu semampu yang aku bisa. Mungkin jumlahnya enggak sebesar pemberian papamu, tetapi aku akan kerja keras lagi agar bisa memenuhi semua kebutuhan kita.”“Terima kasih, Bryan. Zea akan selalu bersyukur berapa pun yang kamu kasih.” Zea menundukkan
“Titip salam sama Mama, ya,” kata Alina sambil menyerahkan sebuah bingkisan sebagai buah tangan yang berisi makanan dan kue buatannya kepada Zea.“Iya, Ma.” Zea mencium punggung tangan Alina, kemudian memeluk wanita itu. “Nanti Zea pasti kangen Mama.”“Kangen Mama atau kangen Papa?” tanya Alina sambil melirik Pandu yang berdiri di sampingnya.Zea melepas pelukan, kemudian beralih pada sang papa. “Kangen Papa juga.”“Lebay. Kayak pergi jauh saja,” ejek Zyan.Gadis itu mengerucutkan bibir menghadap sang kakak. “Jauh atau dekat sama aja kalau enggak bisa ketemu. Mas Zyan itu belum merasakan bagaimana kangen sama seseorang, sih.”Alina tersenyum melihat kedua anaknya yang selalu saja punya topik untuk berdebat. Alina dan Pandu mengantar keduanya menaiki mobil. Zea melambaikan tangan, ketika mobil yang dikendarai Bryan bergerak meninggalkan rumah. Alina membalas dengan tersenyum sambil menatap mobil itu menjauh, hingga hilang dari pandangan. Mulai saat ini, ia harus terbiasa tanpa kehadira
“Kalau menurut saya, mengapa nasab anak di luar nikah dijatuhkan kepada ibunya? Karena sang ayah biologis enggak memiliki hak atas anak itu, bahkan harta warisan yang ditinggalkan sang ayah pun si anak enggak mendapatkannya. Ini berarti bahwa, wanita itu enggak wajib untuk dinikahi.”Mendengar pendapat istri Miftah, seketika ada emosi dalam diri Rosa.“Kita diberi Allah akal supaya berpikir sebelum berbuat. Ketika wanita itu selingkuh dengan suami orang, tentu ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi ke depannya,” lanjut Melisa.“Jadi, Ibu menyalahkan wanita itu?”“Keduanya salah.”“Lalu, apa yang harus wanita itu lakukan?”“Menurut saya, sebaiknya ia memohon ampunan pada Allah, membesarkan anak itu, dan memulai hidup baru. Jika ia memaksakan diri untuk meminta pertanggungjawaban, belum tentu si pria mau, apalagi ia sudah berkeluarga.”“Berarti ini enggak adil, dong?” Rosa tak terima.“Bukannya enggak adil, ini adalah konsekuensi menjalin hubungan dengan pria beristri.”Melisa bena
Melihat reaksi Zea yang tak biasa, canggung, dan malu membuat Regina paham bahwa gadis itu belum berpengalaman. Regina membawa Zea duduk di sofa yang ada di ruangan itu. “Mama ingin memberikan yang terbaik untuk kamu dan Bryan,” ucap Regina. Ia tak ingin Zea salah sangka dengan perhatiannya. “Setelah menikah, suami istri akan melewati malam-malam bersama. Tetapi ada satu malam bersejarah yang enggak akan pernah dilupakan sampai kapan pun. Walaupun ini bukan malam pertama kalian, tetapi setidaknya Mama ingin kalian mengingat kamar ini dengan menciptakan sebuah kenangan yang tak terlupakan sebagai suami istri.”Zea tak menyangka, impian Regina begitu mulia untuk mereka. Regina menatap menantunya yang terlihat tak nyaman dengan lingerie itu. “Mama dan Papa telah menikah puluhan tahun, tetapi Mama masih ingat malam pertama yang kami lalui bersama. Di usia yang enggak muda lagi, kenangan itu menjadi pengingat ketika perasaan cinta sedang surut. Perlu Zea ketahui, membuat seseorang jatuh c
Bryan terpaku, ia seperti lupa cara berkedip menatap penampilan Zea yang dewasa dan memicu hasratnya sebagai seorang pria. Melihat tatapan Bryan yang seperti mengulitinya, Zea menjadi takut. Berkali-kali ia menggigit bibir bawah dan telapak tangan yang mendadak berkeringat. Rasanya ia ingin mundur dan pergi dari hadapan pria itu. Namun, kaki Zea seperti terpasung dan tak bisa melangkah.Sosok gadis yang berdiri dengan malu bercampur takut itu bagai magnet yang menarik Bryan untuk mendekat. Penampilan Zea sukses membangkitkan gejolak naluri pria dewasa. Zea yang berusia sembilan belas tahun, begitu menggoda dengan wajah cantik, kulit putih, dan lekuk tubuh indah yang berisi pada bagian tubuh tertentu. Berkali-kali Bryan menelan saliva. Memandang Zea dalam balutan baju kurang bahan itu membuat sesuatu yang ada di bawah perutnya minta dilayani. Perlahan, pria muda itu menyentuh kedua tangan Zea yang terasa dingin. Ia tahu, istrinya ini sedang ketakutan. Namun, apa yang sudah Zea pancing
Rosa berlari ke kamar mandi, memuntahkan cairan pahit dari dalam mulutnya. Wanita itu menumpukan kedua tangan di wastafel seraya menatap cermin. Wajah cantik yang dulu begitu terawat dan bersih, kini tampak kusam dan mulai ditumbuhi jerawat. Rosa tak tahu, apakah ini efek kehamilan atau karena tak pernah lagi mengunjungi dokter kecantikan langganannya.Semenjak ekonominya susah, Rosa tak pernah lagi melakukan perawatan. Jangankan untuk memanjakan diri, memenuhi kebutuhan pokoknya saja ia kewalahan. Apalagi, usahanya yang tiap bulan harus mendapatkan suntikan dana untuk biaya operasional dan gaji karyawan.Rosa memijit kepalanya yang terasa berdenyut. Beberapa hari ini ia tak bisa tidur karena memikirkan nasib anak dalam perutnya. Janji Miftah untuk menghubunginya kembali tak pernah ada. Pria itu seperti tak peduli dengan nasib yang ia alami. Rosa menangis. Ia bingung, takut, dan kecewa. Tak ada tempat untuknya mengadu atau berkeluh kesah. “Arghhh!” Teriakan Rosa menggema dari kamar m
“Saya enggak tahu, Bu. Tetapi selama saya menjadi asistennya, Bu Rosa enggak pernah berhubungan dengan pria lain.” Seketika, jantung Alina berdegup kencang dengan pernyataan Priska. Wanita itu kecewa dan sedih. Alina tak bisa bayangkan jika Pandu kembali mengkhianatinya untuk kedua kali dengan wanita yang sama. Tubuh Alina menjadi lemah, jantungnya berdetak kencang. Bahkan, berkali-kali wanita itu mengusap perutnya karena merasakan ada pergerakan di dalam sana.“Ibu tenang dulu. Rasanya enggak mungkin itu anak Bapak,” ujar Bi Mirna menenangkan Alina yang terisak. Alina mengelus perut, dadanya terasa sesak. Semenjak Priska pergi, hatinya makin tak tenang. Bahkan, kepalanya pun ikut pusing memikirkan Rosa. Jika bukan Pandu yang menghamili Rosa, lalu siapa lagi? Bukankah mereka baru bercerai dan Rosa belum menikah. Zyan yang baru pulang dari kampus mengurus persyaratan wisuda tampak kaget ketika melihat Alina bersedih di ruang tamu. Pria itu mendekati Alina dan menanyakan apa yang ter
Melihat Alina yang kesakitan, mereka memutuskan untuk membawa wanita itu ke dokter. Zyan mengangkat tubuh Alina. Dengan hati-hati ia menuruni anak tangga membopong Alina, sementara itu Bryan dengan sigap membuka pintu mobil kemudian mengendarai kendaraan membelah jalanan. “Cepat, Bryan,” pinta Zea yang duduk di sebelah suaminya. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat Alina yang berada dalam pangkuan Zyan.Alina dibawa ke rumah sakit tak jauh dari tempat mereka tinggal. Ketiganya menunggu dengan cemas, ketika dokter melakukan pemeriksaan. “Jika terjadi apa-apa sama Mama, ini karena perbuatan Papa. Zea enggak akan maafin Papa,” kata Zea terisak yang diliputi kecemasan. Bryan menggenggam tangan istrinya yang sudah berkeringat dingin. “Tenanglah, semua akan baik-baik saja.”Setelah sekian lama menunggu, pintu terbuka, seorang dokter keluar dari ruangan itu.“Bagaimana keadaan mama saya, Dokter?” tanya Zyan cemas.“Sekarang sudah mulai membaik. Ibu Alina mengalami kontraksi yang diseb
“Maaf, saya datang terlambat,” ucap Alina dengan seulas senyum di bibir. Tak ada makian, sumpah serapah atau tatapan sinis padanya.Rosa tak menjawab, ia beralih memandang Daniel yang berdiri dari duduknya kemudian menghampiri mereka. Melihat penampilan Alina yang mewah dan berkelas, Rosa menjadi minder. “Silakan masuk, Bu,” ucap Daniel seraya membuka pintu lebar. Melihat sikap Daniel, Rosa yakin jika lelaki inilah yang mengundang Alina. “Sama siapa?” tanya Daniel seraya melirik ke arah jalan. Belum sempat Alina menjawab, lelaki itu telah berlalu mendekati mobil yang terparkir, kemudian berbicara dengan si pengemudi. Tak lama, pintu mobil pun terbuka menampakkan sosok tampan dan tinggi mirip Pandu Dirgantara keluar dari mobil mewah itu. Rosa terpana dan sedikit kecewa. Padahal, ia merindukan mantan suaminya.Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet. Ruang tamu Rosa masih kosong karena saat prosesi pernikahan terjadi, kursi tamu dipindahkan ke carport agar ruangan menjadi luas
Laki-laki tiga puluh tahunan itu mulai berperan menjadi seorang ayah. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu bergitu lama. Bahkan, Daniel terus melakukan pendekatan dan mempelajari apa yang disukai putrinya. Apalagi sikap Shanum yang mulai terbuka dan menyanyangi Daniel, membuat mereka cepat akrab. “Nanti papa jemput Shanum, ya!” ucap gadis itu setelah turun dari mobil. Ia mencium tangan Daniel kemudan memeluk lelaki itu. Shanum sangat bangga ketika satu persatu teman-temannya melihat sosok Daniel. Walaupun tak berorasi, tapi sikap Shanum seolah-olah memberitahukan pada mereka bahwa ‘Ini adalah papanya.’Daniel mengusap kepala putrinya kemudian melayangkan ciuman sebelum gadis itu beranjak menuju kelas. Sesekali, kepala mungil itu menoleh dan melambaikan tangan pada Daniel yang menatapnya tanpa kedip. “Dada, papa!” teriaknya dari kejauhan. Daniel membalas. Dada lelaki itu bergetar dan terasa sesak. Setelah sekian lama hidup tak tentu arah, kini, Daniel merasa menjadi seorang yang sa
“Rasanya seperti digigit semut.”Seketika ucapan Shanum kembali terngiang kala Pandu mengajaknya pergi. Gadis itu juga bercerita ia digigit semut di rumah sakit. Rosa tersenyum masam mengingat bagaimana usaha Pandu mencari kebenaran tanpa melibatkan dirinya.Hidup begitu cepat berubah, harta, kedudukan dan nama baik dalam sekejap lenyap. Rosa yang dulu begitu angkuh dan sombong, kini tak berdaya. Daniel berbeda dengan Pandua, ia bukanlah laki-laki yang paham agama, sekeras apapun Rosa menjelaskan nasab anak yang lahir di luar pernikahan, Daniel tetap pada pendiriannya bahwa, ia adalah seorang ayah meski dengan cara yang salah. Rosa mengusap kepala Shanum. Ia memejamkan mata seraya berdoa agar nasib baik berpihak kepadanya. Apapapun hasilnya nanti, ia akan lakukan segala cara untuk mempertahankan Shanum dalam hidupnya. ***SPW***Rosa mengusap wajahnya setelah bermunajat kepada Allah. Semenjak kedatangan Daniel, hati wanita itu tak tenang. Ingin rasanya ia lari, tapi tak tau kemana a
Pandu terdiam sejenak, ia menatap sorot mata Daniel. “Kenapa kamu ingin mengetahuinya? Apa kamu ingin menghancurkannya melalui anak itu?” Tatapan Pandu berubah tak bersahabat. “Aku tau, kamulah yang menyebarkan video tak senonoh Rosa. Sudah cukup kamu menghancurkan hidupnya. Jangan lakukan perbuatan itu lagi. Apalagi melibatkan Shanum-anak yang tak berdosa itu.”Daniel menghela napas lemah. Ia tau, kesalahan yang telah ia lakukan begitu besar. “Saya minta maaf, saya akui, memang saya yang melakukannya. Tapi, setelah melihatnya hancur, bukan kepuasan yang saya dapatkan melainkan rasa bersalah yang menghantui setiap hari.”Pandangan Daniel menerawang mengingat bagaimana kejahatannya hingga membuat Rosa hancur. Bahkan, wanita itu hanya pasrah dan tak pernah menuntutnya meski Rosa tau bahwa Daniellah yang telah mengungkap aib itu ke publik. “Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan mereka. Melihat gadis kecil itu, entah kenapa saya seperti melihat diri saya dalam dirinya. Saya yakin
Wanita itu menggeleng. Rosa yang kehilangan putrinya mendadak takut dan cemas. Beberapa karyawan dan petugas keamanan mall mulai mencari Shanum melalui pengeras suara dan menyusuri area mall. Rosa berlari menuju satu persatu tempat yang kemungkinan dikunjungi putrinya hingga berakhir di salah satu toko mainan.Shanum tampak tersenyum pada seorang pria yang berjongkok mensejajarkan tinggi dengannya seraya memegang sebuah boneka Panda. Hati Rosa menjadi lega karena telah menemukan Shanum meski ada rasa khawatir dengan sosok lelaki itu.“Shanum!” panggil Rosa hingga membuat keduanya menoleh dan berdiri menghadap pada Rosa. “Mama, om itu beliin aku boneka ini, lucu kan?” tanya Shanum sambil menyodorkan boneka panda ke wajah Rosa.Rosa mengangguk dan tersenyum paksa. “Sudah bilang terima kasih?” Gadis kecil itu menoleh pada sosok lelaki yang dari tadi menatap Rosa lekat.“Makasih, Om,” ujar Shanum polos.Daniel tersenyum seraya mengusap kepala Shanum. Rosa menarik tangan putrinya menj
Suara jeritan dan rintih kesakitan terdengar di sebuah ruang bersalin rumah sakit swasta. Alina berjalan mondar mandir dan tak tenang membayangkan putrinya yang sedang berjuang di dalam sana. Sebagai ibu, ia bisa merasakan apa yang putrinya rasakan. Dua kali Alina bertarung melawan maut untuk menghadirkan dua buah cintanya melalui persalinan normal.Genggaman tangan Zea begitu kuat mencengkram jemari Bryan. Berkali-kali wanita itu mengikuti petunjuk dokter kandungan agar bisa melahirkan buah cintanya. Peluh Zea berjatuhan membasahi tubuhnya bersamaan titik air mata Bryan yang jatuh karena tak sanggup melihat sang istri kesakitan. “Ayo, Zee, kamu pasti bisa,” ucap dengan suara bergetar. Ia tak peduli dengan tangannya yang terasa sakit karena cengkraman Zea yang begitu kuat. Bryan mencium pucuk kepala Zea seraya melafazkan doa. Nafas Zea mulai memburu bersamaan dorongan bayi yang ikut berjuang menatap dunia. Seketika senyumnya tercipta mendengar suara tangis menggema di ruangan itu.
Beberapa Bulan kemudian ....Bertempat di halaman rumahnya yang luas, Zidan yang kini berusia satu tahun mulai melangkahkan kaki kecilnya di atas rumput hijau yang sangat terawat. Pandu merentangkan kedua tangan seraya memanggil nama putranya. Kaki kecil Zidan melangkah menuju sang papa yang disambut dengan gembira oleh Pandu.Alina yang melihat interaksi keduanya sangat bahagia. Tawa Zidan menggema. Ia merentangkan kedua tangan, ketika Pandu mengayunkan tubuh kecilnya seperti akan terbang. Pria itu tampak makin sehat dan muda, meski usianya hampir setengah abad. Senyumnya begitu merekah dan kebahagiaan begitu terlihat dari bibirnya yang tak henti tertawa. Bahkan, sorot matanya mengisyaratkan begitu banyak cinta untuk wanita yang berdiri di sampingnya.Sementara itu, tak jauh dari sana, seorang wanita memakai gamis dan sebagian wajahnya tertutup cadar. Ia berdiri, terpaku menatap keluarga bahagia itu. Hampir setiap hari ia berdiri di balik pagar rumah hanya untuk melihat pria yang hi
Kehadiran anggota baru keluarga membuat rumah mewah Pandu menjadi ceria. Suara tangis, tawa, dan celoteh kecil terdengar bak mantra yang mampu menghipnotis para penghuninya. Zea dan Bryan lebih banyak bermalam di rumah itu, supaya bisa dekat dengan adik kecilnya. Sedangkan Zyan menghabiskan waktu luangnya setelah pulang bekerja untuk mengasuh Zidan. Laki-laki kecil itu menjadi pusat perhatian. Kehadirannya seperti magnet yang menarik semua anggota keluarga untuk berkumpul. Kebahagiaan Pandu makin bertambah, perusahaan mereka makin maju. Zyan mewarisi bakat Pandu dalam berbisnis. Ia begitu pintar mengelola perusahaan dan jeli dalam membaca peluang. Pandu sangat bangga, ketika menghadiri rapat petinggi perusahaan untuk mendengar perkembangan perusahaan sekaligus kerja sama baru yang sedang mereka kerjakan. Zyan dan Bryan bekerja sama dalam menggarap sebuah proyek pemerintah yang sangat menantang dalam skala besar. Pandu dan Bagas tersenyum dan saling melirik, ketika kedua pria muda itu
Rosa hanya bisa menunduk dengan air mata berlinang saat mendatangi Ustazah Ana. Ia malu dan merasa hina, setelah semua aibnya terbongkar. Walaupun wanita itu tak pernah mengusik masa lalunya, tetapi Rosa yakin, Ustazah Ana mengetahui semuanya. Apalagi ia pernah sombong dan menolak nasihat wanita itu hingga memblokir kontak Ustazah Ana. Kini, ia terpaksa menjilat ludah sendiri. “Maafkan saya, Ustazah, saya salah. Saya menyesal, karena enggak mengikuti nasihat Ustazah,” lirih Rosa penuh penyesalan.Ustazah Ana menatap Rosa yang bersimbah air mata. Dengan terbata-bata, Rosa menceritakan perjalanan hidupnya yang kelam dan tak bahagia. Tak hanya itu, dosa-dosa yang telah ia perbuat ikut terucap dari bibirnya hingga menjelaskan bagaimana buruknya seorang Rosalina di masa lalu.“Hijrah itu harus dari hati yang terdalam. Benar-benar ingin berubah dan siap menjalani kehidupan sesuai tuntunan agama. Hijrah akan terasa sangat berat bagi hamba yang mengagungkan dunia. Perbaiki diri, niatkan dal