Pandu kecewa ketika kedua anaknya menolak untuk tinggal bersama. Walaupun Alina telah membujuk, tetapi keduanya tetap tak bersedia. “Mereka akan ikut, jika kamu juga ikut serta, Alina.” Wanita itu menggeleng. Ia masih ingat bagaimana kasarnya Pandu ketika mengusirnya dulu. “Maaf, Mas, aku sadar diri, tempatku di sini, seperti katamu dulu bahwa aku—”“Lin, tolong jangan ungkit kesalahanku yang dulu. Terlalu menyakitkan jika mengingatnya,” potong Pandu cepat. Ia tak ingin suasana yang mulai membaik menjadi kacau karena perdebatan kisah enam tahun lalu. Alina menghela napas lemah ketika Pandu memohon. Mungkin, bagi Pandu sangat mudah melupakan kejadian lalu, tetapi tidak dengannya. “Jangan bawa kami ke rumahmu, Mas. Rosa enggak akan sanggup melihatnya. Aku sudah merasakan apa yang akan dirasakan Rosa, jika aku dan anak-anak tinggal di sana. Sangat sakit. Jangan melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kali dengan wanita yang berbeda.”“Aku akan bicara dengan Rosa.”“Jangan, Mas! Kamu
Pandu mendatangi kamar Zea yang telah rapi dan cantik. Nuansa pink dipadukan warna putih membuat kamar itu elegan khas putri remaja. Perlahan, pria itu duduk di atas tempat tidur empuk yang belum tersentuh pemiliknya. Bayangan kedatangan Zea di kamar ini pupus, ketika gadis itu menolak dan memilih tinggal bersama Alina di kontrakkan sempit. Begitu kuat cinta mereka, hingga harta tak mampu menggantikannya.Rosa masuk ke dalam kamar, mendekati Pandu yang terpaku. Pria itu larut dalam khayalan, hingga tak menyadari kehadiran Rosa. “Mas.”Pandu menoleh, menatap wanita yang berjalan mendekatinya. Tak lama, ia kembali menatap bantal empuk yang belum tersentuh. “Aku pria yang tidak beruntung.”“Kita harus bersyukur, Mas. Kamu sangat beruntung memiliki segalanya. Allah memberikan rezeki melimpah, perusahaanmu maju, dan tabungan juga banyak.”Pandu tersenyum miris mendengar perkataan Rosa. “Rezeki itu enggak melulu masalah uang atau kekayaan. Allah memberiku harta yang banyak, tetapi di sisi
Zea segera menaiki anak tangga. Tanpa ragu, gadis itu membuka pintu sebuah kamar. Wajah Zea berbinar, melihat kamarnya yang sangat cantik dengan tempat tidur yang empuk. Zea mengempaskan tubuh di ranjang. Sesekali ia berguling-guling, menikmati kasur lembut yang telah lama tidak ia rasakan.Alina tersenyum melihat putrinya yang begitu bahagia.“Ma, sepertinya Zea akan tidur nyenyak malam ini. Enggak ada nyamuk yang mengganggu serta suara bising motor yang lewat,” ungkap Zea polos.Alina tersenyum. Ia bahagia jika putrinya bahagia. “Maaf, ya, karena selama ini Zea enggak nyaman.”“Enggak apa-apa, Ma. Sekarang Zea senang sekali.”Alina berjalan menuju kamarnya. Tangan wanita itu tampak ragu ketika membuka pintu kamar. Sejenak Alina memejamkan mata, sebelum membuka pintu. Raut wajah wanita itu berubah takjub, ketika kamar yang ia tempati dulu bersama Pandu sekarang berubah menjadi sangat mewah dan indah. Perpaduan warna gold dan putih begitu hangat dan romantis. Ranjang besar dengan ukir
Seorang wanita paruh baya menghampiri, kemudian memberikan sebuah kunci kepada Pandu. “Ayo masuk,” ucap Pandu, setelah pintu berhasil dibuka.Langkah Rosa meragu. Ia heran dengan apa yang dilakukan suaminya. “Ini rumah tempat tinggal kita,” ucap Pandu sambil menggelar sebuah karpet permadani. “Kita tinggal di sini?” tanya Rosa mengulang kembali perkataan Pandu.“Iya.”“Kamu bercanda, Mas?”Pandu menggeleng, kemudian membuka pintu sebuah kamar tidur kecil yang tak jauh dari ruang tamu. Bau apek dan lembap membuat Rosa tak nyaman, apalagi hanya tersedia sebuah kasur lipat di sana. Wajah wanita itu tampak tak bersahabat, apalagi ketika ia memasuki kamar mandi yang menyediakan sebuah kloset jongkok dan bak mandi kecil. Dapur mereka pun sangat sederhana, hanya tersedia kompor satu tungku, tabung gas 3 kilogram, beberapa piring, dan peralatan memasak.“Mas, apa maksud semua ini?” tanya Rosa tak percaya. Dari tadi ia hanya melihat setiap bagian rumah, bahkan baju mewahnya enggan untuk dud
Berbagai hidangan lezat telah tersaji di meja. Bi Mirna sengaja memasak makanan spesial untuk mereka. Alina dan kedua anaknya yang melihat meja makan hampir penuh dengan makanan menjadi bingung.“Ayo, Bu silakan,” ucap Bi Mirna dengan wajah berseri. Semenjak kedatangan Alina dan kedua anaknya, senyum wanita itu kembali. Bahkan, Bi Mirna tak sabar ingin memberikan pelayanan terbaik untuk mereka. “Zyan sama Zea harus makan yang banyak, biar tambah gede.”“Terima kasih, Bi,” jawab Alina sambil menggeser kursi, kemudian duduk di sana. “Nanti enggak perlu menghidangkan makanan sebanyak ini. Mubazir jika enggak habis.”“Ini perintah Bapak, Bu, agar Ibu dan anak-anak makan enak.”Alina hanya tersenyum. Pandu pasti mengira kalau selama ini mereka tak bisa makan enak. Padahal, Zyan sering membelikan mereka makanan lezat setiap kali gajian, walaupun tidak banyak ragamnya.***Pandu masuk ke kamar Rosa yang tak terkunci. Matahari mulai meninggi, tetapi wanita itu belum juga bangun. Pria itu meng
Keseriusan Fusena patut diacungi jempol. Tanpa ragu, ia menemui Zyan guna membicarakan maksud kedekatannya dengan Alina. Pria itu sangat menghargai Zyan. Meskipun masih muda, tetapi posisinya tak bisa dipandang sebelah mata, karena Zyan adalah wali nasab yang memiliki hubungan darah dengan Alina. “Mama sudah banyak mengeluarkan air mata, Om. Saya enggak mau Mama kembali menangisi kehidupan yang seharusnya membuat ia bahagia.”Fusena mengangguk. Putra Pandu ini sangat dewasa dalam bersikap dan mengerti keadaan yang dialami orang tua mereka. “Kamu bisa pegang kata-kata saya. Saya bukan mencari istri untuk sesaat, tetapi sampai menua.”Zyan menyelami kesungguhan Fusena untuk meminang mamanya. Ia bisa melihat pria ini serius dan akan memperlakukan Alina dengan baik. Zyan pun tak akan membelenggu Alina untuk hidup tanpa suami. Wanita itu masih muda dan ia punya kesempatan bahagia, meski bukan dengan Pandu. “Sebagai seorang anak, saya akan mengikuti keinginan Mama, jika itu yang terbaik un
“Dengar-dengar, usaha Bu Rosa makin maju, ya?” tanya Ratu, istri Bram, salah seorang pengusaha yang hadir.“Alhamdulillah, Bu. Allah sangat baik pada saya, hingga memudahkan seluruh langkah saya,” jawab Rosa sambil melirik Pandu yang duduk di sampingnya.“Apa ada produk baru lagi yang akan di produksi?” tanya salah satu sosialita bermata sipit.“Insyaallah, sekarang saya sedang memproduksi gamis syar’i dengan warna lembut dan enak dipandang. Sasaran pasarnya adalah anak muda, agar mereka mulai tampil syari dari sekarang tanpa ketinggalan mode.”“Wah, Bu Rosa sangat hebat,” puji Astuti.Pujian dan ucapan selamat bertebaran untuk Rosa, kecuali Regina yang hanya diam. Bahkan, ia tak tertarik bicara dengan wanita itu.“Pak Fusena belum datang?” tanya Bagas mengambil alih pembicaraan.“Mungkin beliau ragu, karena belum punya istri,” ucap Bram.Regina yang melihat peluang untuk mengingatkan Pandu segera angkat bicara. “Pak Fusena itu seorang yang cerdas dan berwibawa. Banyak wanita yang me
Senyum dan keramahan yang ditampilkan Alina membuat hati Pandu ketar-ketir. Bukannya ia tak senang dengan kedatangan wanita itu, tetapi ada pria lain yang membawa Alina ke ruangan ini. Pandu terlalu percaya diri. Dulu ia beranggapan bahwa kesendirian Alina selama ini karena cinta wanita itu terlalu besar padanya. Namun, ternyata salah.Alina mengikuti langkah Fusena dan menangkupkan kedua tangan di dada, ketika berkenalan dengan rekan-rekan Fusena. Sesaat, sorot mata Alina dan Pandu bertemu. Namun, wanita itu segera mengalihkan pandangan. Ia terlihat santai dan mampu mengatasi gejolak di hati. Alina sudah memprediksi dan mempersiapkan kejadian ini dari awal. Namun, tidak dengan Pandu. Ia terlihat syok, mukanya mendadak pias. Berkali-kali ia meraup udara, agar bisa menahan rasa yang membuatnya menjadi lemah.Rosa hanya terdiam. Pandangan Rosa beralih pada Pandu yang dari tadi tak putus menatap Alina. Rosa cemburu, karena di saat bersamanya, pria itu menatap Alina tak berkedip. Sorot m
“Maaf, saya datang terlambat,” ucap Alina dengan seulas senyum di bibir. Tak ada makian, sumpah serapah atau tatapan sinis padanya.Rosa tak menjawab, ia beralih memandang Daniel yang berdiri dari duduknya kemudian menghampiri mereka. Melihat penampilan Alina yang mewah dan berkelas, Rosa menjadi minder. “Silakan masuk, Bu,” ucap Daniel seraya membuka pintu lebar. Melihat sikap Daniel, Rosa yakin jika lelaki inilah yang mengundang Alina. “Sama siapa?” tanya Daniel seraya melirik ke arah jalan. Belum sempat Alina menjawab, lelaki itu telah berlalu mendekati mobil yang terparkir, kemudian berbicara dengan si pengemudi. Tak lama, pintu mobil pun terbuka menampakkan sosok tampan dan tinggi mirip Pandu Dirgantara keluar dari mobil mewah itu. Rosa terpana dan sedikit kecewa. Padahal, ia merindukan mantan suaminya.Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet. Ruang tamu Rosa masih kosong karena saat prosesi pernikahan terjadi, kursi tamu dipindahkan ke carport agar ruangan menjadi luas
Laki-laki tiga puluh tahunan itu mulai berperan menjadi seorang ayah. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu bergitu lama. Bahkan, Daniel terus melakukan pendekatan dan mempelajari apa yang disukai putrinya. Apalagi sikap Shanum yang mulai terbuka dan menyanyangi Daniel, membuat mereka cepat akrab. “Nanti papa jemput Shanum, ya!” ucap gadis itu setelah turun dari mobil. Ia mencium tangan Daniel kemudan memeluk lelaki itu. Shanum sangat bangga ketika satu persatu teman-temannya melihat sosok Daniel. Walaupun tak berorasi, tapi sikap Shanum seolah-olah memberitahukan pada mereka bahwa ‘Ini adalah papanya.’Daniel mengusap kepala putrinya kemudian melayangkan ciuman sebelum gadis itu beranjak menuju kelas. Sesekali, kepala mungil itu menoleh dan melambaikan tangan pada Daniel yang menatapnya tanpa kedip. “Dada, papa!” teriaknya dari kejauhan. Daniel membalas. Dada lelaki itu bergetar dan terasa sesak. Setelah sekian lama hidup tak tentu arah, kini, Daniel merasa menjadi seorang yang sa
“Rasanya seperti digigit semut.”Seketika ucapan Shanum kembali terngiang kala Pandu mengajaknya pergi. Gadis itu juga bercerita ia digigit semut di rumah sakit. Rosa tersenyum masam mengingat bagaimana usaha Pandu mencari kebenaran tanpa melibatkan dirinya.Hidup begitu cepat berubah, harta, kedudukan dan nama baik dalam sekejap lenyap. Rosa yang dulu begitu angkuh dan sombong, kini tak berdaya. Daniel berbeda dengan Pandua, ia bukanlah laki-laki yang paham agama, sekeras apapun Rosa menjelaskan nasab anak yang lahir di luar pernikahan, Daniel tetap pada pendiriannya bahwa, ia adalah seorang ayah meski dengan cara yang salah. Rosa mengusap kepala Shanum. Ia memejamkan mata seraya berdoa agar nasib baik berpihak kepadanya. Apapapun hasilnya nanti, ia akan lakukan segala cara untuk mempertahankan Shanum dalam hidupnya. ***SPW***Rosa mengusap wajahnya setelah bermunajat kepada Allah. Semenjak kedatangan Daniel, hati wanita itu tak tenang. Ingin rasanya ia lari, tapi tak tau kemana a
Pandu terdiam sejenak, ia menatap sorot mata Daniel. “Kenapa kamu ingin mengetahuinya? Apa kamu ingin menghancurkannya melalui anak itu?” Tatapan Pandu berubah tak bersahabat. “Aku tau, kamulah yang menyebarkan video tak senonoh Rosa. Sudah cukup kamu menghancurkan hidupnya. Jangan lakukan perbuatan itu lagi. Apalagi melibatkan Shanum-anak yang tak berdosa itu.”Daniel menghela napas lemah. Ia tau, kesalahan yang telah ia lakukan begitu besar. “Saya minta maaf, saya akui, memang saya yang melakukannya. Tapi, setelah melihatnya hancur, bukan kepuasan yang saya dapatkan melainkan rasa bersalah yang menghantui setiap hari.”Pandangan Daniel menerawang mengingat bagaimana kejahatannya hingga membuat Rosa hancur. Bahkan, wanita itu hanya pasrah dan tak pernah menuntutnya meski Rosa tau bahwa Daniellah yang telah mengungkap aib itu ke publik. “Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan mereka. Melihat gadis kecil itu, entah kenapa saya seperti melihat diri saya dalam dirinya. Saya yakin
Wanita itu menggeleng. Rosa yang kehilangan putrinya mendadak takut dan cemas. Beberapa karyawan dan petugas keamanan mall mulai mencari Shanum melalui pengeras suara dan menyusuri area mall. Rosa berlari menuju satu persatu tempat yang kemungkinan dikunjungi putrinya hingga berakhir di salah satu toko mainan.Shanum tampak tersenyum pada seorang pria yang berjongkok mensejajarkan tinggi dengannya seraya memegang sebuah boneka Panda. Hati Rosa menjadi lega karena telah menemukan Shanum meski ada rasa khawatir dengan sosok lelaki itu.“Shanum!” panggil Rosa hingga membuat keduanya menoleh dan berdiri menghadap pada Rosa. “Mama, om itu beliin aku boneka ini, lucu kan?” tanya Shanum sambil menyodorkan boneka panda ke wajah Rosa.Rosa mengangguk dan tersenyum paksa. “Sudah bilang terima kasih?” Gadis kecil itu menoleh pada sosok lelaki yang dari tadi menatap Rosa lekat.“Makasih, Om,” ujar Shanum polos.Daniel tersenyum seraya mengusap kepala Shanum. Rosa menarik tangan putrinya menj
Suara jeritan dan rintih kesakitan terdengar di sebuah ruang bersalin rumah sakit swasta. Alina berjalan mondar mandir dan tak tenang membayangkan putrinya yang sedang berjuang di dalam sana. Sebagai ibu, ia bisa merasakan apa yang putrinya rasakan. Dua kali Alina bertarung melawan maut untuk menghadirkan dua buah cintanya melalui persalinan normal.Genggaman tangan Zea begitu kuat mencengkram jemari Bryan. Berkali-kali wanita itu mengikuti petunjuk dokter kandungan agar bisa melahirkan buah cintanya. Peluh Zea berjatuhan membasahi tubuhnya bersamaan titik air mata Bryan yang jatuh karena tak sanggup melihat sang istri kesakitan. “Ayo, Zee, kamu pasti bisa,” ucap dengan suara bergetar. Ia tak peduli dengan tangannya yang terasa sakit karena cengkraman Zea yang begitu kuat. Bryan mencium pucuk kepala Zea seraya melafazkan doa. Nafas Zea mulai memburu bersamaan dorongan bayi yang ikut berjuang menatap dunia. Seketika senyumnya tercipta mendengar suara tangis menggema di ruangan itu.
Beberapa Bulan kemudian ....Bertempat di halaman rumahnya yang luas, Zidan yang kini berusia satu tahun mulai melangkahkan kaki kecilnya di atas rumput hijau yang sangat terawat. Pandu merentangkan kedua tangan seraya memanggil nama putranya. Kaki kecil Zidan melangkah menuju sang papa yang disambut dengan gembira oleh Pandu.Alina yang melihat interaksi keduanya sangat bahagia. Tawa Zidan menggema. Ia merentangkan kedua tangan, ketika Pandu mengayunkan tubuh kecilnya seperti akan terbang. Pria itu tampak makin sehat dan muda, meski usianya hampir setengah abad. Senyumnya begitu merekah dan kebahagiaan begitu terlihat dari bibirnya yang tak henti tertawa. Bahkan, sorot matanya mengisyaratkan begitu banyak cinta untuk wanita yang berdiri di sampingnya.Sementara itu, tak jauh dari sana, seorang wanita memakai gamis dan sebagian wajahnya tertutup cadar. Ia berdiri, terpaku menatap keluarga bahagia itu. Hampir setiap hari ia berdiri di balik pagar rumah hanya untuk melihat pria yang hi
Kehadiran anggota baru keluarga membuat rumah mewah Pandu menjadi ceria. Suara tangis, tawa, dan celoteh kecil terdengar bak mantra yang mampu menghipnotis para penghuninya. Zea dan Bryan lebih banyak bermalam di rumah itu, supaya bisa dekat dengan adik kecilnya. Sedangkan Zyan menghabiskan waktu luangnya setelah pulang bekerja untuk mengasuh Zidan. Laki-laki kecil itu menjadi pusat perhatian. Kehadirannya seperti magnet yang menarik semua anggota keluarga untuk berkumpul. Kebahagiaan Pandu makin bertambah, perusahaan mereka makin maju. Zyan mewarisi bakat Pandu dalam berbisnis. Ia begitu pintar mengelola perusahaan dan jeli dalam membaca peluang. Pandu sangat bangga, ketika menghadiri rapat petinggi perusahaan untuk mendengar perkembangan perusahaan sekaligus kerja sama baru yang sedang mereka kerjakan. Zyan dan Bryan bekerja sama dalam menggarap sebuah proyek pemerintah yang sangat menantang dalam skala besar. Pandu dan Bagas tersenyum dan saling melirik, ketika kedua pria muda itu
Rosa hanya bisa menunduk dengan air mata berlinang saat mendatangi Ustazah Ana. Ia malu dan merasa hina, setelah semua aibnya terbongkar. Walaupun wanita itu tak pernah mengusik masa lalunya, tetapi Rosa yakin, Ustazah Ana mengetahui semuanya. Apalagi ia pernah sombong dan menolak nasihat wanita itu hingga memblokir kontak Ustazah Ana. Kini, ia terpaksa menjilat ludah sendiri. “Maafkan saya, Ustazah, saya salah. Saya menyesal, karena enggak mengikuti nasihat Ustazah,” lirih Rosa penuh penyesalan.Ustazah Ana menatap Rosa yang bersimbah air mata. Dengan terbata-bata, Rosa menceritakan perjalanan hidupnya yang kelam dan tak bahagia. Tak hanya itu, dosa-dosa yang telah ia perbuat ikut terucap dari bibirnya hingga menjelaskan bagaimana buruknya seorang Rosalina di masa lalu.“Hijrah itu harus dari hati yang terdalam. Benar-benar ingin berubah dan siap menjalani kehidupan sesuai tuntunan agama. Hijrah akan terasa sangat berat bagi hamba yang mengagungkan dunia. Perbaiki diri, niatkan dal