“Dengar-dengar, usaha Bu Rosa makin maju, ya?” tanya Ratu, istri Bram, salah seorang pengusaha yang hadir.“Alhamdulillah, Bu. Allah sangat baik pada saya, hingga memudahkan seluruh langkah saya,” jawab Rosa sambil melirik Pandu yang duduk di sampingnya.“Apa ada produk baru lagi yang akan di produksi?” tanya salah satu sosialita bermata sipit.“Insyaallah, sekarang saya sedang memproduksi gamis syar’i dengan warna lembut dan enak dipandang. Sasaran pasarnya adalah anak muda, agar mereka mulai tampil syari dari sekarang tanpa ketinggalan mode.”“Wah, Bu Rosa sangat hebat,” puji Astuti.Pujian dan ucapan selamat bertebaran untuk Rosa, kecuali Regina yang hanya diam. Bahkan, ia tak tertarik bicara dengan wanita itu.“Pak Fusena belum datang?” tanya Bagas mengambil alih pembicaraan.“Mungkin beliau ragu, karena belum punya istri,” ucap Bram.Regina yang melihat peluang untuk mengingatkan Pandu segera angkat bicara. “Pak Fusena itu seorang yang cerdas dan berwibawa. Banyak wanita yang me
Senyum dan keramahan yang ditampilkan Alina membuat hati Pandu ketar-ketir. Bukannya ia tak senang dengan kedatangan wanita itu, tetapi ada pria lain yang membawa Alina ke ruangan ini. Pandu terlalu percaya diri. Dulu ia beranggapan bahwa kesendirian Alina selama ini karena cinta wanita itu terlalu besar padanya. Namun, ternyata salah.Alina mengikuti langkah Fusena dan menangkupkan kedua tangan di dada, ketika berkenalan dengan rekan-rekan Fusena. Sesaat, sorot mata Alina dan Pandu bertemu. Namun, wanita itu segera mengalihkan pandangan. Ia terlihat santai dan mampu mengatasi gejolak di hati. Alina sudah memprediksi dan mempersiapkan kejadian ini dari awal. Namun, tidak dengan Pandu. Ia terlihat syok, mukanya mendadak pias. Berkali-kali ia meraup udara, agar bisa menahan rasa yang membuatnya menjadi lemah.Rosa hanya terdiam. Pandangan Rosa beralih pada Pandu yang dari tadi tak putus menatap Alina. Rosa cemburu, karena di saat bersamanya, pria itu menatap Alina tak berkedip. Sorot m
Sepanjang jalan, Pandu tak bersuara. Beberapa kali Rosa mengajaknya bicara, tetapi pria itu tak menanggapi. Meskipun Rosa sudah berulang kali diabaikan, tetapi ia tahu bahwa sikap Pandu kali ini karena pengaruh wanita masa lalunya.“Ternyata semua yang kamu berikan pada Alina, ia gunakan untuk berkencan dengan pria lain.” Ucapan Rosa mampu membuat Pandu terusik. “Aku pikir, ia adalah wanita terhormat yang selalu menjaga harga dirinya untuk enggak berkhalwat dengan pria yang enggak halal dengannya. Ternyata, ia enggak sebaik yang kamu ucapkan.”“Alina enggak berduaan dengan Fusena, tetapi menghadiri jamuan makan malam dengan banyak orang. Kan, kamu juga ada di sana.”Rosa tersenyum sinis. “Selama jamuan makan malam, mereka memang enggak berdua. Lalu, bagaimana dengan perjalanannya dari rumah ke sini? Kemudian kembali lagi ke rumah. Bisa saja, kan, mereka singgah ke mana atau melakukan sesuatu di dalam mobil.”Pandu tersulut, lalu menginjak rem kasar hingga decit ban terdengar beradu as
Pandu duduk termenung di sudut masjid. Tetes demi tetes air matanya jatuh. Sejak pertemuan dengan Alina, pria itu merasa patah hati. Ternyata ia tak bisa kehilangan Alina untuk kedua kalinya. Doa yang ia lantunkan setiap malam pada Sang Khalik membuatnya takut. Pandu takut Allah tak meridai, karena wanita itu terlalu baik untuk dirinya yang berlumur dosa. Inikah hukuman yang harus ia bayar? Kehilangan Alina lebih menyakitkan, daripada kehilangan seluruh harta yang telah ia kumpulkan. “Saya mencintainya, Ustaz, tetapi langkah saya terbatas untuk memilikinya,” lirih Pandu. Ustaz Ahmad yang baru saja bergabung menatap pria yang tertunduk itu lekat. “Cinta itu fitrah. bersama cinta, akan ada keindahan, kedamaian, dan pengabdian. Pada saat seseorang mengetuk hatimu, biarkan akal yang membukanya. Jangan biarkan hati yang membuka. Jadikan akal yang menguasai perasaanmu, jangan jadikan perasaan yang menguasai akalmu.”Pandu terdiam. Dulu ketika ia mencintai Rosa, perasaannyalah yang menguas
Pandu bahagia. Setelah beberapa lama, ia kembali menikmati kebersamaan dengan kedua buah hatinya, mesti hal itu tak lengkap. Namun setidaknya ia bersyukur, Allah memberinya kesempatan untuk menjadi ayah yang baik. “Kapan kamu ke kantor, Papa?” tanya Pandu pada Zyan.“Aku enggak berminat, Pa. Aku ingin berdiri di atas kakiku sendiri dan menjadi seorang arsitek.”“Bisnis Papa sangat cocok dengan pendidikanmu. Lagi pula, untuk siapa Papa bekerja keras kalau bukan untuk kalian. Bryan sudah mulai membantu papanya di kantor. Papa juga ingin kamu melakukan hal yang sama.”“Sekarang Papa tinggal di mana?” Zea bertanya.Pandu tersenyum. Ia bahagia, putrinya memanggilnya papa. “Di tempat yang bagus, yang selalu membuat Papa mengingat kalian.”Pandu menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Ia menatap kedua anaknya yang makan dengan lahap. Seulas senyum tercipta. Dulu mereka masih kecil, sekarang sudah besar. Enam tahun telah membuat mereka tumbuh dengan cepat. “Apa mamamu akan
Rosa memijat kepala yang terasa pusing. Deretan angka yang ia baca membuatnya harus berpikir keras, bagaimana untuk menanggulanginya. Meningkatnya jumlah konsumen, membuat penjualan gamis ‘Rose’ makin laku di pasaran. Follower beberapa akun media sosial Rosa juga naik drastis. Ini merupakan peluang bagi Rosa untuk mengepakkan sayap bisnisnya dengan membuat gamis dan hijab syar’i terbaru. Tema yang ia usung adalah pakaian syar’i untuk remaja putri. Para desainer telah merancang sebaik mungkin, dengan perpaduan warna-warna lembut favorit gadis remaja.Model untuk brand gamis ‘Rose’ telah ditentukan. Rosa memilih seorang artis remaja yang sedang naik daun sebagai brand ambassador. Sebuah hotel bintang lima telah ia booking untuk launching produk terbarunya tersebut, serta penambahan beberapa butik di daerah telah siap memasarkan gamis terbaru ‘Rose’. Selain itu, Rosa juga membekali reseller yang terdiri dari ibu-ibu rumah tangga untuk siap bersaing dengan produk serupa. Semua memerlukan
Pandu dan Alina menjawab bersamaan, “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatu.” Hati Pandu yang tadinya tenteram menjadi tak nyaman karena kehadiran Fusena. Senyum pria itu begitu semringah menatap Alina. Bahkan, ia membawa sebuah buket bunga mawar merah untuk Alina.Wanita itu menerima dengan senang hati, kemudian mempersilakan Fusena bergabung bersama mereka. Melihat senyum Alina yang begitu bahagia saat menerima pemberian Fusena, membuat hati Pandu sakit. Semenjak mereka berpisah, tak satu kali pun Alina tersenyum sebahagia ini kepada Pandu. Bahkan pria itu ingat, ia tak pernah menghadiahi Alina bunga, karena Pandu bukanlah seorang suami yang romantis. Perlakuan Fusena saat ini menyadarkannya, bahwa wanita butuh perhatian dan hadiah kecil dari pasangannya.“Sudah lama, Pak Pandu?” tanya Fusena yang duduk di sampingnya.Pandu tersenyum. “Belum lama ini.” Tak ingin membuat Fusena curiga, pria itu kembali angkat bicara, “Saya ingin bertemu dengan anak-anak.”“Ya, saya senang Pak Pan
Setelah memarkirkan mobilnya di depan minimarket, Rosa berjalan menyusuri gang menuju tempat tinggal Pandu. Beberapa hari ini hanya Pandu yang tinggal di tempat itu, sementara Rosa menolak dengan alasan kesehatan Shanum. Di depan pintu, Rosa tertegun. Suara Pandu yang sedang membaca Al-Qur’an terdengar serak. Perlahan, wanita itu mengintip dari jendela. Pandu memakai koko putih sedang duduk bersila, sebuah Al-Qur’an berada di pangkuannya. Rosa tak berani masuk. Bahkan, untuk mengetuk pintu pun ia segan. Pandu begitu khusyuk mengaji. Rosa bisa melihat tetesan air mata Pandu jatuh bersamaan getaran suara yang menyentuh hati. Dalam pertobatan mereka, Rosa akui, Pandu lebih baik dari dirinya. Pandu benar-benar berubah. Bahkan, pria itu seperti menutup diri dari kemilau dunia.Setelah Pandu menghentikan bacaannya, Rosa mengetuk pintu. Tak berapa lama, pria itu keluar. Wajahnya bersinar dan sorot mata Pandu tampak teduh. Walaupun tinggal di tempat sederhana, pesona pria itu begitu menenter
“Maaf, saya datang terlambat,” ucap Alina dengan seulas senyum di bibir. Tak ada makian, sumpah serapah atau tatapan sinis padanya.Rosa tak menjawab, ia beralih memandang Daniel yang berdiri dari duduknya kemudian menghampiri mereka. Melihat penampilan Alina yang mewah dan berkelas, Rosa menjadi minder. “Silakan masuk, Bu,” ucap Daniel seraya membuka pintu lebar. Melihat sikap Daniel, Rosa yakin jika lelaki inilah yang mengundang Alina. “Sama siapa?” tanya Daniel seraya melirik ke arah jalan. Belum sempat Alina menjawab, lelaki itu telah berlalu mendekati mobil yang terparkir, kemudian berbicara dengan si pengemudi. Tak lama, pintu mobil pun terbuka menampakkan sosok tampan dan tinggi mirip Pandu Dirgantara keluar dari mobil mewah itu. Rosa terpana dan sedikit kecewa. Padahal, ia merindukan mantan suaminya.Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet. Ruang tamu Rosa masih kosong karena saat prosesi pernikahan terjadi, kursi tamu dipindahkan ke carport agar ruangan menjadi luas
Laki-laki tiga puluh tahunan itu mulai berperan menjadi seorang ayah. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu bergitu lama. Bahkan, Daniel terus melakukan pendekatan dan mempelajari apa yang disukai putrinya. Apalagi sikap Shanum yang mulai terbuka dan menyanyangi Daniel, membuat mereka cepat akrab. “Nanti papa jemput Shanum, ya!” ucap gadis itu setelah turun dari mobil. Ia mencium tangan Daniel kemudan memeluk lelaki itu. Shanum sangat bangga ketika satu persatu teman-temannya melihat sosok Daniel. Walaupun tak berorasi, tapi sikap Shanum seolah-olah memberitahukan pada mereka bahwa ‘Ini adalah papanya.’Daniel mengusap kepala putrinya kemudian melayangkan ciuman sebelum gadis itu beranjak menuju kelas. Sesekali, kepala mungil itu menoleh dan melambaikan tangan pada Daniel yang menatapnya tanpa kedip. “Dada, papa!” teriaknya dari kejauhan. Daniel membalas. Dada lelaki itu bergetar dan terasa sesak. Setelah sekian lama hidup tak tentu arah, kini, Daniel merasa menjadi seorang yang sa
“Rasanya seperti digigit semut.”Seketika ucapan Shanum kembali terngiang kala Pandu mengajaknya pergi. Gadis itu juga bercerita ia digigit semut di rumah sakit. Rosa tersenyum masam mengingat bagaimana usaha Pandu mencari kebenaran tanpa melibatkan dirinya.Hidup begitu cepat berubah, harta, kedudukan dan nama baik dalam sekejap lenyap. Rosa yang dulu begitu angkuh dan sombong, kini tak berdaya. Daniel berbeda dengan Pandua, ia bukanlah laki-laki yang paham agama, sekeras apapun Rosa menjelaskan nasab anak yang lahir di luar pernikahan, Daniel tetap pada pendiriannya bahwa, ia adalah seorang ayah meski dengan cara yang salah. Rosa mengusap kepala Shanum. Ia memejamkan mata seraya berdoa agar nasib baik berpihak kepadanya. Apapapun hasilnya nanti, ia akan lakukan segala cara untuk mempertahankan Shanum dalam hidupnya. ***SPW***Rosa mengusap wajahnya setelah bermunajat kepada Allah. Semenjak kedatangan Daniel, hati wanita itu tak tenang. Ingin rasanya ia lari, tapi tak tau kemana a
Pandu terdiam sejenak, ia menatap sorot mata Daniel. “Kenapa kamu ingin mengetahuinya? Apa kamu ingin menghancurkannya melalui anak itu?” Tatapan Pandu berubah tak bersahabat. “Aku tau, kamulah yang menyebarkan video tak senonoh Rosa. Sudah cukup kamu menghancurkan hidupnya. Jangan lakukan perbuatan itu lagi. Apalagi melibatkan Shanum-anak yang tak berdosa itu.”Daniel menghela napas lemah. Ia tau, kesalahan yang telah ia lakukan begitu besar. “Saya minta maaf, saya akui, memang saya yang melakukannya. Tapi, setelah melihatnya hancur, bukan kepuasan yang saya dapatkan melainkan rasa bersalah yang menghantui setiap hari.”Pandangan Daniel menerawang mengingat bagaimana kejahatannya hingga membuat Rosa hancur. Bahkan, wanita itu hanya pasrah dan tak pernah menuntutnya meski Rosa tau bahwa Daniellah yang telah mengungkap aib itu ke publik. “Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan mereka. Melihat gadis kecil itu, entah kenapa saya seperti melihat diri saya dalam dirinya. Saya yakin
Wanita itu menggeleng. Rosa yang kehilangan putrinya mendadak takut dan cemas. Beberapa karyawan dan petugas keamanan mall mulai mencari Shanum melalui pengeras suara dan menyusuri area mall. Rosa berlari menuju satu persatu tempat yang kemungkinan dikunjungi putrinya hingga berakhir di salah satu toko mainan.Shanum tampak tersenyum pada seorang pria yang berjongkok mensejajarkan tinggi dengannya seraya memegang sebuah boneka Panda. Hati Rosa menjadi lega karena telah menemukan Shanum meski ada rasa khawatir dengan sosok lelaki itu.“Shanum!” panggil Rosa hingga membuat keduanya menoleh dan berdiri menghadap pada Rosa. “Mama, om itu beliin aku boneka ini, lucu kan?” tanya Shanum sambil menyodorkan boneka panda ke wajah Rosa.Rosa mengangguk dan tersenyum paksa. “Sudah bilang terima kasih?” Gadis kecil itu menoleh pada sosok lelaki yang dari tadi menatap Rosa lekat.“Makasih, Om,” ujar Shanum polos.Daniel tersenyum seraya mengusap kepala Shanum. Rosa menarik tangan putrinya menj
Suara jeritan dan rintih kesakitan terdengar di sebuah ruang bersalin rumah sakit swasta. Alina berjalan mondar mandir dan tak tenang membayangkan putrinya yang sedang berjuang di dalam sana. Sebagai ibu, ia bisa merasakan apa yang putrinya rasakan. Dua kali Alina bertarung melawan maut untuk menghadirkan dua buah cintanya melalui persalinan normal.Genggaman tangan Zea begitu kuat mencengkram jemari Bryan. Berkali-kali wanita itu mengikuti petunjuk dokter kandungan agar bisa melahirkan buah cintanya. Peluh Zea berjatuhan membasahi tubuhnya bersamaan titik air mata Bryan yang jatuh karena tak sanggup melihat sang istri kesakitan. “Ayo, Zee, kamu pasti bisa,” ucap dengan suara bergetar. Ia tak peduli dengan tangannya yang terasa sakit karena cengkraman Zea yang begitu kuat. Bryan mencium pucuk kepala Zea seraya melafazkan doa. Nafas Zea mulai memburu bersamaan dorongan bayi yang ikut berjuang menatap dunia. Seketika senyumnya tercipta mendengar suara tangis menggema di ruangan itu.
Beberapa Bulan kemudian ....Bertempat di halaman rumahnya yang luas, Zidan yang kini berusia satu tahun mulai melangkahkan kaki kecilnya di atas rumput hijau yang sangat terawat. Pandu merentangkan kedua tangan seraya memanggil nama putranya. Kaki kecil Zidan melangkah menuju sang papa yang disambut dengan gembira oleh Pandu.Alina yang melihat interaksi keduanya sangat bahagia. Tawa Zidan menggema. Ia merentangkan kedua tangan, ketika Pandu mengayunkan tubuh kecilnya seperti akan terbang. Pria itu tampak makin sehat dan muda, meski usianya hampir setengah abad. Senyumnya begitu merekah dan kebahagiaan begitu terlihat dari bibirnya yang tak henti tertawa. Bahkan, sorot matanya mengisyaratkan begitu banyak cinta untuk wanita yang berdiri di sampingnya.Sementara itu, tak jauh dari sana, seorang wanita memakai gamis dan sebagian wajahnya tertutup cadar. Ia berdiri, terpaku menatap keluarga bahagia itu. Hampir setiap hari ia berdiri di balik pagar rumah hanya untuk melihat pria yang hi
Kehadiran anggota baru keluarga membuat rumah mewah Pandu menjadi ceria. Suara tangis, tawa, dan celoteh kecil terdengar bak mantra yang mampu menghipnotis para penghuninya. Zea dan Bryan lebih banyak bermalam di rumah itu, supaya bisa dekat dengan adik kecilnya. Sedangkan Zyan menghabiskan waktu luangnya setelah pulang bekerja untuk mengasuh Zidan. Laki-laki kecil itu menjadi pusat perhatian. Kehadirannya seperti magnet yang menarik semua anggota keluarga untuk berkumpul. Kebahagiaan Pandu makin bertambah, perusahaan mereka makin maju. Zyan mewarisi bakat Pandu dalam berbisnis. Ia begitu pintar mengelola perusahaan dan jeli dalam membaca peluang. Pandu sangat bangga, ketika menghadiri rapat petinggi perusahaan untuk mendengar perkembangan perusahaan sekaligus kerja sama baru yang sedang mereka kerjakan. Zyan dan Bryan bekerja sama dalam menggarap sebuah proyek pemerintah yang sangat menantang dalam skala besar. Pandu dan Bagas tersenyum dan saling melirik, ketika kedua pria muda itu
Rosa hanya bisa menunduk dengan air mata berlinang saat mendatangi Ustazah Ana. Ia malu dan merasa hina, setelah semua aibnya terbongkar. Walaupun wanita itu tak pernah mengusik masa lalunya, tetapi Rosa yakin, Ustazah Ana mengetahui semuanya. Apalagi ia pernah sombong dan menolak nasihat wanita itu hingga memblokir kontak Ustazah Ana. Kini, ia terpaksa menjilat ludah sendiri. “Maafkan saya, Ustazah, saya salah. Saya menyesal, karena enggak mengikuti nasihat Ustazah,” lirih Rosa penuh penyesalan.Ustazah Ana menatap Rosa yang bersimbah air mata. Dengan terbata-bata, Rosa menceritakan perjalanan hidupnya yang kelam dan tak bahagia. Tak hanya itu, dosa-dosa yang telah ia perbuat ikut terucap dari bibirnya hingga menjelaskan bagaimana buruknya seorang Rosalina di masa lalu.“Hijrah itu harus dari hati yang terdalam. Benar-benar ingin berubah dan siap menjalani kehidupan sesuai tuntunan agama. Hijrah akan terasa sangat berat bagi hamba yang mengagungkan dunia. Perbaiki diri, niatkan dal