Pandu dan Alina menjawab bersamaan, “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatu.” Hati Pandu yang tadinya tenteram menjadi tak nyaman karena kehadiran Fusena. Senyum pria itu begitu semringah menatap Alina. Bahkan, ia membawa sebuah buket bunga mawar merah untuk Alina.Wanita itu menerima dengan senang hati, kemudian mempersilakan Fusena bergabung bersama mereka. Melihat senyum Alina yang begitu bahagia saat menerima pemberian Fusena, membuat hati Pandu sakit. Semenjak mereka berpisah, tak satu kali pun Alina tersenyum sebahagia ini kepada Pandu. Bahkan pria itu ingat, ia tak pernah menghadiahi Alina bunga, karena Pandu bukanlah seorang suami yang romantis. Perlakuan Fusena saat ini menyadarkannya, bahwa wanita butuh perhatian dan hadiah kecil dari pasangannya.“Sudah lama, Pak Pandu?” tanya Fusena yang duduk di sampingnya.Pandu tersenyum. “Belum lama ini.” Tak ingin membuat Fusena curiga, pria itu kembali angkat bicara, “Saya ingin bertemu dengan anak-anak.”“Ya, saya senang Pak Pan
Setelah memarkirkan mobilnya di depan minimarket, Rosa berjalan menyusuri gang menuju tempat tinggal Pandu. Beberapa hari ini hanya Pandu yang tinggal di tempat itu, sementara Rosa menolak dengan alasan kesehatan Shanum. Di depan pintu, Rosa tertegun. Suara Pandu yang sedang membaca Al-Qur’an terdengar serak. Perlahan, wanita itu mengintip dari jendela. Pandu memakai koko putih sedang duduk bersila, sebuah Al-Qur’an berada di pangkuannya. Rosa tak berani masuk. Bahkan, untuk mengetuk pintu pun ia segan. Pandu begitu khusyuk mengaji. Rosa bisa melihat tetesan air mata Pandu jatuh bersamaan getaran suara yang menyentuh hati. Dalam pertobatan mereka, Rosa akui, Pandu lebih baik dari dirinya. Pandu benar-benar berubah. Bahkan, pria itu seperti menutup diri dari kemilau dunia.Setelah Pandu menghentikan bacaannya, Rosa mengetuk pintu. Tak berapa lama, pria itu keluar. Wajahnya bersinar dan sorot mata Pandu tampak teduh. Walaupun tinggal di tempat sederhana, pesona pria itu begitu menenter
“Kenapa kamu mau menikah denganku, Ros? Padahal kamu tahu kalau aku pria enggak baik, pembohong, tukang selingkuh, dan jahat pada istri sendiri. Enggak ada yang istimewa dariku,” tanya Pandu menatap wanita itu lekat. “Apa karena harta yang aku punya, hingga kamu tertarik? Hartaku enggak banyak, Ros. Belum ada apa-apanya dari kekayaan yang ada di bumi ini.”Rosa diam, tak berani menyela pembicaraan Pandu.“Betapa mahal yang harus kita bayar di akhirat kelak. Aku takut, Ros. Aku takut enggak sanggup menghadap Allah dengan wajah penuh dosa.” Pandu tertunduk, tubuhnya bergetar hebat. Dulu, ketika cinta berlandaskan nafsunya menggelora, ia tak ingat nasib setelah kematian. Dengan mudah berbuat dosa dan menjatuhkan talak pada Alina. Sekarang, ketika cintanya pada Alina bertakhta, Pandu takut dan bingung, apakah ia harus melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya? Matanya basah. Pandu mengusap tetesan air yang jatuh. Pandu seperti kehilangan peluang untuk kembali pada cinta pertamanya. Al
Rosa menatap pria itu lekat. Pandu seperti tak tertarik dengan kecantikan dan kesuksesannya. “Semuanya sudah di depan mata dan aku enggak akan menyerah, Mas.”“Kamu mengorbankan rumah tanggamu demi karier?” tanya Pandu kembali.Rosa menjawab yakin, “Kamu yang memberiku pilihan, Mas. Lagi pula, agama enggak melarang seorang wanita untuk berbisnis.”“Tetapi seorang istri butuh izin dan rida suami. Lagi pula, aku sanggup memenuhi semua kebutuhanmu. Bukankah dari dulu, berapa pun kamu meminta uang, aku selalu kasih?”Rosa menghela napas. Pandu merusak mood-nya yang sedang bahagia karena pencapaian. “Aku tetap pada keputusanku, Mas.”Pandu menatap sendu wanita yang ia perjuangkan mati-matian itu. Keputusan Rosa sepertinya tak bisa diganggu gugat lagi. Ambisi dan dunia menutup hatinya. Rosa bicara agama jika itu menguntungkan untuknya, tetapi jika menentang kodrat, ia lari dari ketentuan yang Allah berikan. “Aku sudah pernah berada di puncak kesuksesan, Ros. Jauh dan melebihi apa yang kamu
Alina hanya tersenyum mendengar kesuksesan Rosa. Ia meletakkan tangan di dada, kemudian memejamkan mata. Sejenak Alina meresapi, adakah kebencian atau iri pada keberhasilan istri suaminya itu? Perlahan Alina membuka mata dan tersenyum. Ia bersyukur, hatinya telah berdamai dan menerima. Sehebat atau sebahagia apa pun Rosa, ia tak peduli. Fokus Alina sekarang adalah kebahagiaan anak-anaknya.“Kita enggak tahu jalan takdir Allah, ya, Bu. Banyak orang yang berbuat dosa, tetapi tetap diberi Allah kesenangan dan kenikmatan dunia. Padahal, itu istidraj. Suatu saat nanti mereka terlena, kemudian dijatuhkan dalam keadaan terhina,” ungkap Regina, ketika bersilaturahmi ke rumah Alina.“Insyaallah, saya sudah mengikhlaskan semua. Dulu, saya terlalu larut pada kesedihan, Bu, hingga saya menyiksa diri sendiri selama enam tahun.”“Saya salut dengan Bu Alina. Walau tersakiti, tetapi enggak mau membalas mantan suami dan istri barunya.” “Enggak perlu mengotori diri kita, Bu. Biarkan Allah yang menilai
Wanita itu kini berada di atas angin. Bahkan, Ustazah Ana yang melihat keberhasilan Rosa dan kasus perceraiannya pernah mengingatkan wanita itu untuk tidak mendramatisir masalahnya dengan Pandu ke publik. Namun, Rosa tak mengindahkan. Ustazah Ana pernah marah ketika Rosa mengatakan bahwa Pandu adalah suami yang tidak bersyukur mendapatkan istri sepertinya. Tak ingin dinasihati, Rosa malah memblokir nomor wanita tersebut.***Berita perceraian Pandu dan Rosa juga sampai ke telinga Alina. Banyaknya pemberitaan yang menyudutkan mantan suaminya membuat Alina menjadi iba. Selama berumah tangga, Pandu sangat baik. Justru kehadiran Rosalah yang membuat semuanya berubah. Alina tak tahu apa yang terjadi di antara mereka. Yang jelas, sikap Rosa seolah-olah dia korban kezaliman Pandu terlalu mengada-ada.“Apa benar, Papa selama ini masih mencintai Mama?” tanya Zyan yang tiba-tiba hadir ketika sebuah tayangan infotaiment menampilkan berita tersebut. “Tante itu bilang, mereka berpisah karena Papa
Rosa kaget, ketika mendapati seorang pria yang sangat ia benci sudah duduk di kursi kebesarannya. Entah bagaimana caranya, hingga Daniel bisa masuk ke ruangan privasi Rosa. “Ada apa kamu ke sini?” tanya Rosa ketus.Daniel memutar kursi itu hingga berhadapan langsung dengan Rosa yang menatapnya tajam. “Aku ingin mengucapkan selamat kepadamu, karena telah berhasil menjadi pengusaha muda nan berbakat.”Rosa memutar bola mata jengah. Ia tak mau berurusan dengan Daniel lagi. “Selain itu, maksud kedatanganku untuk menawarkan diri menjadi suamimu.” Pria itu tersenyum melihat wajah Rosa yang tampak menahan kemarahan. Daniel menyandarkan punggungnya di kursi, kemudian menyilangkan kedua kaki di atas meja. Rosa benci melihat kelakuan pria itu. “Jangan mimpi! Aku enggak sudi menjadi istrimu.”Daniel berdiri, kemudian tertawa lebar. Ia berjalan mendekati Rosa, kemudian meletakkan tangannya di rahang wanita itu. “Apa ada buruan baru yang akan kamu incar, setelah berhasil memeras konglomerat Pand
Sepanjang jalan, mata pria itu tak henti menatap keluar jendela. Pemandangan sawah dan hamparan kebun karet terlihat saling kejar, ketika kereta api yang ditumpangi Pandu melintas. Pandu memejamkan mata. Ia berharap, makin jauh dari Alina akan membuatnya makin mudah untuk melupakan sang mantan istri yang sebentar lagi akan menikah. Rasa cintanya begitu besar pada Alina. Namun, cinta itu terhalang tembok yang tinggi. Pandu tak ingin merusak hubungan Alina dengan Fusena, apalagi menghalangi kedekatan keduanya. Hanya saja, hati Pandu belum siap kehilangan Alina untuk selamanya.Jika tak ingat malu, ingin rasanya ia mengungkapkan keinginannya untuk rujuk. Namun, melihat senyum Alina dan kebahagiaan putrinya bersama calon ayah tiri, ia menjadi tak tega. Lagi pula, bukankah itu kebodohan Pandu sendiri yang melepas Alina, bahkan mengusir wanita itu?Tiba di stasiun, kedatangan Pandu disambut seorang pria paruh baya. Dia adalah Ustaz Fahri yang merupakan teman Ustaz Ahmad. Pria itulah yang me
“Maaf, saya datang terlambat,” ucap Alina dengan seulas senyum di bibir. Tak ada makian, sumpah serapah atau tatapan sinis padanya.Rosa tak menjawab, ia beralih memandang Daniel yang berdiri dari duduknya kemudian menghampiri mereka. Melihat penampilan Alina yang mewah dan berkelas, Rosa menjadi minder. “Silakan masuk, Bu,” ucap Daniel seraya membuka pintu lebar. Melihat sikap Daniel, Rosa yakin jika lelaki inilah yang mengundang Alina. “Sama siapa?” tanya Daniel seraya melirik ke arah jalan. Belum sempat Alina menjawab, lelaki itu telah berlalu mendekati mobil yang terparkir, kemudian berbicara dengan si pengemudi. Tak lama, pintu mobil pun terbuka menampakkan sosok tampan dan tinggi mirip Pandu Dirgantara keluar dari mobil mewah itu. Rosa terpana dan sedikit kecewa. Padahal, ia merindukan mantan suaminya.Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet. Ruang tamu Rosa masih kosong karena saat prosesi pernikahan terjadi, kursi tamu dipindahkan ke carport agar ruangan menjadi luas
Laki-laki tiga puluh tahunan itu mulai berperan menjadi seorang ayah. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu bergitu lama. Bahkan, Daniel terus melakukan pendekatan dan mempelajari apa yang disukai putrinya. Apalagi sikap Shanum yang mulai terbuka dan menyanyangi Daniel, membuat mereka cepat akrab. “Nanti papa jemput Shanum, ya!” ucap gadis itu setelah turun dari mobil. Ia mencium tangan Daniel kemudan memeluk lelaki itu. Shanum sangat bangga ketika satu persatu teman-temannya melihat sosok Daniel. Walaupun tak berorasi, tapi sikap Shanum seolah-olah memberitahukan pada mereka bahwa ‘Ini adalah papanya.’Daniel mengusap kepala putrinya kemudian melayangkan ciuman sebelum gadis itu beranjak menuju kelas. Sesekali, kepala mungil itu menoleh dan melambaikan tangan pada Daniel yang menatapnya tanpa kedip. “Dada, papa!” teriaknya dari kejauhan. Daniel membalas. Dada lelaki itu bergetar dan terasa sesak. Setelah sekian lama hidup tak tentu arah, kini, Daniel merasa menjadi seorang yang sa
“Rasanya seperti digigit semut.”Seketika ucapan Shanum kembali terngiang kala Pandu mengajaknya pergi. Gadis itu juga bercerita ia digigit semut di rumah sakit. Rosa tersenyum masam mengingat bagaimana usaha Pandu mencari kebenaran tanpa melibatkan dirinya.Hidup begitu cepat berubah, harta, kedudukan dan nama baik dalam sekejap lenyap. Rosa yang dulu begitu angkuh dan sombong, kini tak berdaya. Daniel berbeda dengan Pandua, ia bukanlah laki-laki yang paham agama, sekeras apapun Rosa menjelaskan nasab anak yang lahir di luar pernikahan, Daniel tetap pada pendiriannya bahwa, ia adalah seorang ayah meski dengan cara yang salah. Rosa mengusap kepala Shanum. Ia memejamkan mata seraya berdoa agar nasib baik berpihak kepadanya. Apapapun hasilnya nanti, ia akan lakukan segala cara untuk mempertahankan Shanum dalam hidupnya. ***SPW***Rosa mengusap wajahnya setelah bermunajat kepada Allah. Semenjak kedatangan Daniel, hati wanita itu tak tenang. Ingin rasanya ia lari, tapi tak tau kemana a
Pandu terdiam sejenak, ia menatap sorot mata Daniel. “Kenapa kamu ingin mengetahuinya? Apa kamu ingin menghancurkannya melalui anak itu?” Tatapan Pandu berubah tak bersahabat. “Aku tau, kamulah yang menyebarkan video tak senonoh Rosa. Sudah cukup kamu menghancurkan hidupnya. Jangan lakukan perbuatan itu lagi. Apalagi melibatkan Shanum-anak yang tak berdosa itu.”Daniel menghela napas lemah. Ia tau, kesalahan yang telah ia lakukan begitu besar. “Saya minta maaf, saya akui, memang saya yang melakukannya. Tapi, setelah melihatnya hancur, bukan kepuasan yang saya dapatkan melainkan rasa bersalah yang menghantui setiap hari.”Pandangan Daniel menerawang mengingat bagaimana kejahatannya hingga membuat Rosa hancur. Bahkan, wanita itu hanya pasrah dan tak pernah menuntutnya meski Rosa tau bahwa Daniellah yang telah mengungkap aib itu ke publik. “Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan mereka. Melihat gadis kecil itu, entah kenapa saya seperti melihat diri saya dalam dirinya. Saya yakin
Wanita itu menggeleng. Rosa yang kehilangan putrinya mendadak takut dan cemas. Beberapa karyawan dan petugas keamanan mall mulai mencari Shanum melalui pengeras suara dan menyusuri area mall. Rosa berlari menuju satu persatu tempat yang kemungkinan dikunjungi putrinya hingga berakhir di salah satu toko mainan.Shanum tampak tersenyum pada seorang pria yang berjongkok mensejajarkan tinggi dengannya seraya memegang sebuah boneka Panda. Hati Rosa menjadi lega karena telah menemukan Shanum meski ada rasa khawatir dengan sosok lelaki itu.“Shanum!” panggil Rosa hingga membuat keduanya menoleh dan berdiri menghadap pada Rosa. “Mama, om itu beliin aku boneka ini, lucu kan?” tanya Shanum sambil menyodorkan boneka panda ke wajah Rosa.Rosa mengangguk dan tersenyum paksa. “Sudah bilang terima kasih?” Gadis kecil itu menoleh pada sosok lelaki yang dari tadi menatap Rosa lekat.“Makasih, Om,” ujar Shanum polos.Daniel tersenyum seraya mengusap kepala Shanum. Rosa menarik tangan putrinya menj
Suara jeritan dan rintih kesakitan terdengar di sebuah ruang bersalin rumah sakit swasta. Alina berjalan mondar mandir dan tak tenang membayangkan putrinya yang sedang berjuang di dalam sana. Sebagai ibu, ia bisa merasakan apa yang putrinya rasakan. Dua kali Alina bertarung melawan maut untuk menghadirkan dua buah cintanya melalui persalinan normal.Genggaman tangan Zea begitu kuat mencengkram jemari Bryan. Berkali-kali wanita itu mengikuti petunjuk dokter kandungan agar bisa melahirkan buah cintanya. Peluh Zea berjatuhan membasahi tubuhnya bersamaan titik air mata Bryan yang jatuh karena tak sanggup melihat sang istri kesakitan. “Ayo, Zee, kamu pasti bisa,” ucap dengan suara bergetar. Ia tak peduli dengan tangannya yang terasa sakit karena cengkraman Zea yang begitu kuat. Bryan mencium pucuk kepala Zea seraya melafazkan doa. Nafas Zea mulai memburu bersamaan dorongan bayi yang ikut berjuang menatap dunia. Seketika senyumnya tercipta mendengar suara tangis menggema di ruangan itu.
Beberapa Bulan kemudian ....Bertempat di halaman rumahnya yang luas, Zidan yang kini berusia satu tahun mulai melangkahkan kaki kecilnya di atas rumput hijau yang sangat terawat. Pandu merentangkan kedua tangan seraya memanggil nama putranya. Kaki kecil Zidan melangkah menuju sang papa yang disambut dengan gembira oleh Pandu.Alina yang melihat interaksi keduanya sangat bahagia. Tawa Zidan menggema. Ia merentangkan kedua tangan, ketika Pandu mengayunkan tubuh kecilnya seperti akan terbang. Pria itu tampak makin sehat dan muda, meski usianya hampir setengah abad. Senyumnya begitu merekah dan kebahagiaan begitu terlihat dari bibirnya yang tak henti tertawa. Bahkan, sorot matanya mengisyaratkan begitu banyak cinta untuk wanita yang berdiri di sampingnya.Sementara itu, tak jauh dari sana, seorang wanita memakai gamis dan sebagian wajahnya tertutup cadar. Ia berdiri, terpaku menatap keluarga bahagia itu. Hampir setiap hari ia berdiri di balik pagar rumah hanya untuk melihat pria yang hi
Kehadiran anggota baru keluarga membuat rumah mewah Pandu menjadi ceria. Suara tangis, tawa, dan celoteh kecil terdengar bak mantra yang mampu menghipnotis para penghuninya. Zea dan Bryan lebih banyak bermalam di rumah itu, supaya bisa dekat dengan adik kecilnya. Sedangkan Zyan menghabiskan waktu luangnya setelah pulang bekerja untuk mengasuh Zidan. Laki-laki kecil itu menjadi pusat perhatian. Kehadirannya seperti magnet yang menarik semua anggota keluarga untuk berkumpul. Kebahagiaan Pandu makin bertambah, perusahaan mereka makin maju. Zyan mewarisi bakat Pandu dalam berbisnis. Ia begitu pintar mengelola perusahaan dan jeli dalam membaca peluang. Pandu sangat bangga, ketika menghadiri rapat petinggi perusahaan untuk mendengar perkembangan perusahaan sekaligus kerja sama baru yang sedang mereka kerjakan. Zyan dan Bryan bekerja sama dalam menggarap sebuah proyek pemerintah yang sangat menantang dalam skala besar. Pandu dan Bagas tersenyum dan saling melirik, ketika kedua pria muda itu
Rosa hanya bisa menunduk dengan air mata berlinang saat mendatangi Ustazah Ana. Ia malu dan merasa hina, setelah semua aibnya terbongkar. Walaupun wanita itu tak pernah mengusik masa lalunya, tetapi Rosa yakin, Ustazah Ana mengetahui semuanya. Apalagi ia pernah sombong dan menolak nasihat wanita itu hingga memblokir kontak Ustazah Ana. Kini, ia terpaksa menjilat ludah sendiri. “Maafkan saya, Ustazah, saya salah. Saya menyesal, karena enggak mengikuti nasihat Ustazah,” lirih Rosa penuh penyesalan.Ustazah Ana menatap Rosa yang bersimbah air mata. Dengan terbata-bata, Rosa menceritakan perjalanan hidupnya yang kelam dan tak bahagia. Tak hanya itu, dosa-dosa yang telah ia perbuat ikut terucap dari bibirnya hingga menjelaskan bagaimana buruknya seorang Rosalina di masa lalu.“Hijrah itu harus dari hati yang terdalam. Benar-benar ingin berubah dan siap menjalani kehidupan sesuai tuntunan agama. Hijrah akan terasa sangat berat bagi hamba yang mengagungkan dunia. Perbaiki diri, niatkan dal