Pandu menunggu di depan sekolah menengah atas tempat putrinya menuntut ilmu. Satu per satu siswa dan siswi keluar dari gerbang. Deretan kendaraan telah menunggu mereka untuk kembali ke rumah. Mata Pandu menatap liar satu per satu para siswa yang keluar dari area sekolah. Hingga sekolah itu kosong, tetapi wajah Zea tak tampak jua. Pandu mendatangi dua orang siswi yang berjalan pulang. Ia memberanikan diri untuk bertanya.“Saya enggak mengenal Rayna Zea Dirgantara, Pak,” jawabnya yang seketika membuat Pandu lesu.Zea bukanlah siswi yang menonjol di sekolah. Ia bukan pengurus OSIS atau siswi berbakat dengan prestasi di bidang seni dan olahraga. Zea hanya siswi biasa yang menutup diri dari teman-temannya yang lain. Rasa rindu tak bisa terbendung, Pandu ingin mendekap buah cintanya. Ia rindu kala mereka bersama dan mendengar keluh kesah kedua anaknya menjalani kehidupan. Sekarang, enam tahun telah berlalu, ia tak pernah mendengar cerita mereka. Pasti ada banyak kisah sedih yang disimpan r
Pandu tiba di kantor setelah mediasi selesai. Sebenarnya ia penasaran pada gadis yang dibela oleh Bryan sampai Bagas diminta turun tangan. Namun karena harus mewakili Bagas dalam sebuah pertemuan, terpaksa ia melewatkan kesempatan itu. “Bagaimana mediasinya?” tanya Pandu pada Bryan yang duduk di sofa.“Alhamdulillah, Om, semua berjalan lancar. Bapak Martin menyerah dan meminta maaf langsung pada kakaknya Zee.”“Kenapa enggak dijebloskan ke penjara saja? Biar kapok,” cetus Pandu.“Iya, Om. Saya pun berpikir begitu. Zee dikeroyok, ia mendapatkan luka lebam di wajah dan sekujur tubuh. Ia sakit, tetapi selalu terlihat tegar untuk menyembunyikan luka. Kakaknya bilang, Zee memang begitu, semenjak orang tua mereka berpisah, ia sering menyendiri bahkan menangis sendiri. Di sekolah pun sama, Zee enggak punya banyak teman dan sering melamun seperti memikirkan sesuatu.”Pandu terharu mendengar kisah gadis itu. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya sekaligus rasa kasihan pada teman Bry
Kejadian tadi siang membuka begitu banyak cerita. Enam tahun berlalu, entah berapa banyak air mata yang mereka lalui. Pandu terlalu lalai, hingga membuat rasa kecewa kedua buah hatinya makin menebal. Untuk kesekian kalinya, pria itu larut dalam penyesalan. ‘Zee’, gadis yang selalu diceritakan Bryan ternyata putrinya. Gadis pintar yang hidup dalam keterbatasan ekonomi. Gadis yang sering di-bully dan dihina, karena keadaan. Gadis yang mengalami luka fisik, karena dikeroyok teman-temannya sendiri.Tubuh tegap itu bergetar hebat. Tetesan air mata jatuh menyesali perbuatannya enam tahun lalu. Hanya karena seorang Rosa, ia mematahkan hati orang-orang yang seharusnya dijaga. “Papa akan bawa kalian kembali ke sini. Bagaimanapun caranya.”Pandu tak akan lagi membiarkan mereka menderita, hidup dalam keterbatasan, dan menjadi hinaan orang. Sudah cukup kesedihan yang mereka lalui. “Papa akan kembalikan apa yang seharusnya milik kalian.”Pandu bangkit, kemudian berjalan menuruni anak tangga menuju
Alina terbangun, ketika suara isak terdengar dari sisi tempat tidur. Wanita itu mendekat pada sosok yang berbaring membelakanginya. Ia menatap lekat wajah putrinya di keremangan malam. Ada rasa khawatir, ketika melihat buliran air jatuh dari sudut mata Zea yang terpejam. Alina membelai kepala Zea dan menyelimuti putrinya. Alina ingin bertanya, tetapi urung ia lakukan. Mungkinkah Zea sedang bermimpi buruk, atau ada masalah yang sedang ia hadapi?Wanita itu bangkit dari pembaringan, kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk menyucikan diri sebelum menghadap Sang Khalik. Langkah Alina terhenti, saat mendapati putranya berbaring di tikar plastik tipis ditemani sebuah bantal sebagai penyangga kepala. Tubuh Zyan meringkuk menghalau dingin.Alina berjongkok, mengambil selimut yang tak menutupi tubuh jangkung itu. Dibukanya selimut itu lebar, kemudian dihamparkan menutupi tubuh Zyan. Alina terpaku menatap putranya yang terpejam. Air matanya menetes melihat anak laki-lakinya yang begitu berta
Pandu sengaja menunggu kedatangan Bryan di kantor sore ini. Hari ini ada beberapa berkas yang harus ditandatangani pria muda itu. Bagas telah mempercayakan pengurusan proyek mereka kepada putranya secara total, hingga tanda tangan pria delapan belas tahun itu begitu bernilai saat ini.“Bisakah kamu bercerita tentang Zee?” tanya Pandu pada Bryan, setelah sekretarisnya mengambil berkas-berkas dari tangan Bryan.Seketika hati Bryan menjadi bahagia. Dia sangat senang mengingat, bahkan bercerita tentang Zea. Entah kenapa, semua yang berhubungan dengan Zea begitu indah di matanya. “Zee itu anak yang pintar, cantik, dan galak.” Bryan tersenyum mengingat bagaimana juteknya Zea ketika mereka tak akrab dulu. “Dia galak cuma pada cowok yang mengejarnya, lain dari itu enggak.”Pandu tersenyum. Zea mewarisi sifat Alina yang juga galak ketika ia kejar cintanya.“Di saat semua teman sedang bahagia atau senang hangout pulang sekolah, Zee memilih menyendiri. Ia sering melamun seperti memikirkan sesuat
Puas menyesali diri, Pandu minta izin untuk bicara dengan Alina. Ia berjalan perlahan menuju kamar sempit yang tak jauh dari ruang tamu. Perlahan, kaki jenjang itu masuk ke ruangan 3x2 meter tersebut. Hatinya terenyuh, menatap Alina yang duduk bersandar di dinding. Kedua mata wanita itu basah dan dadanya tampak sesak.Pandu mendekat, kemudian berjongkok di depan Alina yang masih menangis. Jika tak ingat hubungan mereka bukan suami istri lagi, ingin rasanya ia mendekap wanita itu, mencurahkan semua rasa yang masih tersimpan utuh untuk Alina. “Lin.” Pandu menatap wanita yang bergeming di hadapannya. “Terima kasih sudah menjaga mereka.” Seketika, bayangan kesusahan Alina hadir di pelupuk mata. Pandu tak bisa melanjutkan kata-kata. Ia banyak salah, bahkan sekadar memohon maaf saja rasanya tak layak. Pria itu bersimpuh, menyejajarkan diri dengan Alina. Tubuh Pandu bergetar. Air matanya mengalir deras di depan wanita yang dulu halal baginya. Jika waktu bisa diputar, ia tak ingin mengenal R
Rosa terkejut. Rasanya, seperti sebuah batu besar menghantam tubuh mendengar pengakuan Pandu. Seketika hati Rosa terasa nyeri. Istri mana yang ikhlas, jika suami kembali bertemu dengan mantan istrinya sampai pulang menjelang pagi? Rosa tak menyangka, Pandu dan Alina bermain di belakangnya. Rasa cemburu dan curiga mulai menghampiri Rosa. “Apa kalian melakukan sesuatu hingga pulang dini hari begini?”Mendengar pertanyaan Rosa, Pandu menjadi marah. “Alina wanita terhormat, jangan pernah mencurigainya.” Pria itu membuka sepatu dan mengambil pakaian dari dalam lemari. “Besok aku akan membawa mereka ke sini. Sebelum mereka datang, ada baiknya kamu pindah ke rumah itu.”Rosa menggeleng. Seketika hatinya tambah sakit mendengar permintaan Pandu yang seolah mengusir. Pandu dan Alina pernah hidup bersama, dan Rosa yakin, pria itu sangat mencintai Alina. Jika keduanya kembali hidup serumah, pasti akan membuka kembali peluang mereka untuk bersama. “Jika kamu membawa Zea dan Zyan ke sini, aku masih
Pandu kecewa ketika kedua anaknya menolak untuk tinggal bersama. Walaupun Alina telah membujuk, tetapi keduanya tetap tak bersedia. “Mereka akan ikut, jika kamu juga ikut serta, Alina.” Wanita itu menggeleng. Ia masih ingat bagaimana kasarnya Pandu ketika mengusirnya dulu. “Maaf, Mas, aku sadar diri, tempatku di sini, seperti katamu dulu bahwa aku—”“Lin, tolong jangan ungkit kesalahanku yang dulu. Terlalu menyakitkan jika mengingatnya,” potong Pandu cepat. Ia tak ingin suasana yang mulai membaik menjadi kacau karena perdebatan kisah enam tahun lalu. Alina menghela napas lemah ketika Pandu memohon. Mungkin, bagi Pandu sangat mudah melupakan kejadian lalu, tetapi tidak dengannya. “Jangan bawa kami ke rumahmu, Mas. Rosa enggak akan sanggup melihatnya. Aku sudah merasakan apa yang akan dirasakan Rosa, jika aku dan anak-anak tinggal di sana. Sangat sakit. Jangan melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kali dengan wanita yang berbeda.”“Aku akan bicara dengan Rosa.”“Jangan, Mas! Kamu
“Maaf, saya datang terlambat,” ucap Alina dengan seulas senyum di bibir. Tak ada makian, sumpah serapah atau tatapan sinis padanya.Rosa tak menjawab, ia beralih memandang Daniel yang berdiri dari duduknya kemudian menghampiri mereka. Melihat penampilan Alina yang mewah dan berkelas, Rosa menjadi minder. “Silakan masuk, Bu,” ucap Daniel seraya membuka pintu lebar. Melihat sikap Daniel, Rosa yakin jika lelaki inilah yang mengundang Alina. “Sama siapa?” tanya Daniel seraya melirik ke arah jalan. Belum sempat Alina menjawab, lelaki itu telah berlalu mendekati mobil yang terparkir, kemudian berbicara dengan si pengemudi. Tak lama, pintu mobil pun terbuka menampakkan sosok tampan dan tinggi mirip Pandu Dirgantara keluar dari mobil mewah itu. Rosa terpana dan sedikit kecewa. Padahal, ia merindukan mantan suaminya.Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet. Ruang tamu Rosa masih kosong karena saat prosesi pernikahan terjadi, kursi tamu dipindahkan ke carport agar ruangan menjadi luas
Laki-laki tiga puluh tahunan itu mulai berperan menjadi seorang ayah. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu bergitu lama. Bahkan, Daniel terus melakukan pendekatan dan mempelajari apa yang disukai putrinya. Apalagi sikap Shanum yang mulai terbuka dan menyanyangi Daniel, membuat mereka cepat akrab. “Nanti papa jemput Shanum, ya!” ucap gadis itu setelah turun dari mobil. Ia mencium tangan Daniel kemudan memeluk lelaki itu. Shanum sangat bangga ketika satu persatu teman-temannya melihat sosok Daniel. Walaupun tak berorasi, tapi sikap Shanum seolah-olah memberitahukan pada mereka bahwa ‘Ini adalah papanya.’Daniel mengusap kepala putrinya kemudian melayangkan ciuman sebelum gadis itu beranjak menuju kelas. Sesekali, kepala mungil itu menoleh dan melambaikan tangan pada Daniel yang menatapnya tanpa kedip. “Dada, papa!” teriaknya dari kejauhan. Daniel membalas. Dada lelaki itu bergetar dan terasa sesak. Setelah sekian lama hidup tak tentu arah, kini, Daniel merasa menjadi seorang yang sa
“Rasanya seperti digigit semut.”Seketika ucapan Shanum kembali terngiang kala Pandu mengajaknya pergi. Gadis itu juga bercerita ia digigit semut di rumah sakit. Rosa tersenyum masam mengingat bagaimana usaha Pandu mencari kebenaran tanpa melibatkan dirinya.Hidup begitu cepat berubah, harta, kedudukan dan nama baik dalam sekejap lenyap. Rosa yang dulu begitu angkuh dan sombong, kini tak berdaya. Daniel berbeda dengan Pandua, ia bukanlah laki-laki yang paham agama, sekeras apapun Rosa menjelaskan nasab anak yang lahir di luar pernikahan, Daniel tetap pada pendiriannya bahwa, ia adalah seorang ayah meski dengan cara yang salah. Rosa mengusap kepala Shanum. Ia memejamkan mata seraya berdoa agar nasib baik berpihak kepadanya. Apapapun hasilnya nanti, ia akan lakukan segala cara untuk mempertahankan Shanum dalam hidupnya. ***SPW***Rosa mengusap wajahnya setelah bermunajat kepada Allah. Semenjak kedatangan Daniel, hati wanita itu tak tenang. Ingin rasanya ia lari, tapi tak tau kemana a
Pandu terdiam sejenak, ia menatap sorot mata Daniel. “Kenapa kamu ingin mengetahuinya? Apa kamu ingin menghancurkannya melalui anak itu?” Tatapan Pandu berubah tak bersahabat. “Aku tau, kamulah yang menyebarkan video tak senonoh Rosa. Sudah cukup kamu menghancurkan hidupnya. Jangan lakukan perbuatan itu lagi. Apalagi melibatkan Shanum-anak yang tak berdosa itu.”Daniel menghela napas lemah. Ia tau, kesalahan yang telah ia lakukan begitu besar. “Saya minta maaf, saya akui, memang saya yang melakukannya. Tapi, setelah melihatnya hancur, bukan kepuasan yang saya dapatkan melainkan rasa bersalah yang menghantui setiap hari.”Pandangan Daniel menerawang mengingat bagaimana kejahatannya hingga membuat Rosa hancur. Bahkan, wanita itu hanya pasrah dan tak pernah menuntutnya meski Rosa tau bahwa Daniellah yang telah mengungkap aib itu ke publik. “Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan mereka. Melihat gadis kecil itu, entah kenapa saya seperti melihat diri saya dalam dirinya. Saya yakin
Wanita itu menggeleng. Rosa yang kehilangan putrinya mendadak takut dan cemas. Beberapa karyawan dan petugas keamanan mall mulai mencari Shanum melalui pengeras suara dan menyusuri area mall. Rosa berlari menuju satu persatu tempat yang kemungkinan dikunjungi putrinya hingga berakhir di salah satu toko mainan.Shanum tampak tersenyum pada seorang pria yang berjongkok mensejajarkan tinggi dengannya seraya memegang sebuah boneka Panda. Hati Rosa menjadi lega karena telah menemukan Shanum meski ada rasa khawatir dengan sosok lelaki itu.“Shanum!” panggil Rosa hingga membuat keduanya menoleh dan berdiri menghadap pada Rosa. “Mama, om itu beliin aku boneka ini, lucu kan?” tanya Shanum sambil menyodorkan boneka panda ke wajah Rosa.Rosa mengangguk dan tersenyum paksa. “Sudah bilang terima kasih?” Gadis kecil itu menoleh pada sosok lelaki yang dari tadi menatap Rosa lekat.“Makasih, Om,” ujar Shanum polos.Daniel tersenyum seraya mengusap kepala Shanum. Rosa menarik tangan putrinya menj
Suara jeritan dan rintih kesakitan terdengar di sebuah ruang bersalin rumah sakit swasta. Alina berjalan mondar mandir dan tak tenang membayangkan putrinya yang sedang berjuang di dalam sana. Sebagai ibu, ia bisa merasakan apa yang putrinya rasakan. Dua kali Alina bertarung melawan maut untuk menghadirkan dua buah cintanya melalui persalinan normal.Genggaman tangan Zea begitu kuat mencengkram jemari Bryan. Berkali-kali wanita itu mengikuti petunjuk dokter kandungan agar bisa melahirkan buah cintanya. Peluh Zea berjatuhan membasahi tubuhnya bersamaan titik air mata Bryan yang jatuh karena tak sanggup melihat sang istri kesakitan. “Ayo, Zee, kamu pasti bisa,” ucap dengan suara bergetar. Ia tak peduli dengan tangannya yang terasa sakit karena cengkraman Zea yang begitu kuat. Bryan mencium pucuk kepala Zea seraya melafazkan doa. Nafas Zea mulai memburu bersamaan dorongan bayi yang ikut berjuang menatap dunia. Seketika senyumnya tercipta mendengar suara tangis menggema di ruangan itu.
Beberapa Bulan kemudian ....Bertempat di halaman rumahnya yang luas, Zidan yang kini berusia satu tahun mulai melangkahkan kaki kecilnya di atas rumput hijau yang sangat terawat. Pandu merentangkan kedua tangan seraya memanggil nama putranya. Kaki kecil Zidan melangkah menuju sang papa yang disambut dengan gembira oleh Pandu.Alina yang melihat interaksi keduanya sangat bahagia. Tawa Zidan menggema. Ia merentangkan kedua tangan, ketika Pandu mengayunkan tubuh kecilnya seperti akan terbang. Pria itu tampak makin sehat dan muda, meski usianya hampir setengah abad. Senyumnya begitu merekah dan kebahagiaan begitu terlihat dari bibirnya yang tak henti tertawa. Bahkan, sorot matanya mengisyaratkan begitu banyak cinta untuk wanita yang berdiri di sampingnya.Sementara itu, tak jauh dari sana, seorang wanita memakai gamis dan sebagian wajahnya tertutup cadar. Ia berdiri, terpaku menatap keluarga bahagia itu. Hampir setiap hari ia berdiri di balik pagar rumah hanya untuk melihat pria yang hi
Kehadiran anggota baru keluarga membuat rumah mewah Pandu menjadi ceria. Suara tangis, tawa, dan celoteh kecil terdengar bak mantra yang mampu menghipnotis para penghuninya. Zea dan Bryan lebih banyak bermalam di rumah itu, supaya bisa dekat dengan adik kecilnya. Sedangkan Zyan menghabiskan waktu luangnya setelah pulang bekerja untuk mengasuh Zidan. Laki-laki kecil itu menjadi pusat perhatian. Kehadirannya seperti magnet yang menarik semua anggota keluarga untuk berkumpul. Kebahagiaan Pandu makin bertambah, perusahaan mereka makin maju. Zyan mewarisi bakat Pandu dalam berbisnis. Ia begitu pintar mengelola perusahaan dan jeli dalam membaca peluang. Pandu sangat bangga, ketika menghadiri rapat petinggi perusahaan untuk mendengar perkembangan perusahaan sekaligus kerja sama baru yang sedang mereka kerjakan. Zyan dan Bryan bekerja sama dalam menggarap sebuah proyek pemerintah yang sangat menantang dalam skala besar. Pandu dan Bagas tersenyum dan saling melirik, ketika kedua pria muda itu
Rosa hanya bisa menunduk dengan air mata berlinang saat mendatangi Ustazah Ana. Ia malu dan merasa hina, setelah semua aibnya terbongkar. Walaupun wanita itu tak pernah mengusik masa lalunya, tetapi Rosa yakin, Ustazah Ana mengetahui semuanya. Apalagi ia pernah sombong dan menolak nasihat wanita itu hingga memblokir kontak Ustazah Ana. Kini, ia terpaksa menjilat ludah sendiri. “Maafkan saya, Ustazah, saya salah. Saya menyesal, karena enggak mengikuti nasihat Ustazah,” lirih Rosa penuh penyesalan.Ustazah Ana menatap Rosa yang bersimbah air mata. Dengan terbata-bata, Rosa menceritakan perjalanan hidupnya yang kelam dan tak bahagia. Tak hanya itu, dosa-dosa yang telah ia perbuat ikut terucap dari bibirnya hingga menjelaskan bagaimana buruknya seorang Rosalina di masa lalu.“Hijrah itu harus dari hati yang terdalam. Benar-benar ingin berubah dan siap menjalani kehidupan sesuai tuntunan agama. Hijrah akan terasa sangat berat bagi hamba yang mengagungkan dunia. Perbaiki diri, niatkan dal