Sebelum ke kelas, Zea menuju kantin sekolah. Pagi hari kondisi kantin masih sepi. Zea mengeluarkan roti goreng kemudian meletakkannya di dalam rak keranjang yang tak jauh dari etalase. “Semuanya lima puluh bungkus, Bu,” ucap Zea pada wanita yang sedang membersihkan kantin.“Ya, semoga habis lagi, sepertinya sudah banyak yang menyukai roti gorengmu, Zea.” “Alhamdulillah, Bu.”Beberapa siswa mulai berdatangan ke kantin. Kebanyakan dari mereka membeli kue atau roti sebagai pengganjal perut karena belum sarapan. Zea yang melihat Bu Sarmi mulai kerepotan melayani siswa mencoba membantu. Ia meneruskan pekerjaan Bu Sarmi membersihkan kantin.“Hai, Zee!” sapa Bryan yang tiba-tiba datang lalu duduk di salah satu kursi. Laki-laki itu selalu memplesetkan nama Zea dengan Zee setiap kali memanggil gadis itu. “Rajin banget lo bantuin Bu Sarmi,” celetuknya.“Ini lebih berguna dari pada ngegibahin orang atau kabur saat pelajaran berlangsung.”“Lo nyindir gue?”“Enggak, lo aja yang baperan.”Bryan b
Kedatangan Pandu di salah satu Villa miliknya membuat si penjaga villa kaget. Tak biasanya laki-laki itu bermalam di sini, apalagi datang larut malam, sendirian saat cuaca sedang tak bersahabat. Biasanya Pandu akan menghubunginya melalui telepon untuk menanyakan pertanyaan yang sama.“Mereka tidak pernah ke sini?” tanya Pandu basa basi, karena ia pun sudah tau jawabannya. “Tidak pernah, Pak.”Laki-laki itu menghela napas kasar kemudian menghempaskan tubuhnya di sofa. Semenjak Alina dan kedua anaknya pergi, ia merasa seperti orang terbuang. Sepi dan tak bergairah. Padahal Pandu memiliki segalanya. Istri yang cantik, harta berlimpah dan sahabat yang banyak. Tapi, semua tak mampu mengisi kekosongan hatinya. Ia terbebani memikirkan hidup Alina setelah mereka berpisah. Apalagi kedua orang tua Alina telah meninggal, Alina hanya lulusan SMA dan tak punya pekerjaan. Alina memiliki seorang paman. Orang kepercayaan Pandu telah menyelidikinya dan menyatakan bahwa Alina dan anak-anaknya tidak a
Zea merasa curiga ketika Alina belum juga bangkit dari tempat tidur. Selepas sholat shubuh wanita itu kembali bergulung dalam selimut. Ini bukanlah kebiasaan Alina. Wanita itu pekerja keras dan bersemangat dalam mencari nafkah.“Mama kenapa?”“Kepala mama pusing Zea,” keluh Alina sambil memijit kepalanya yang terasa berputar. “Zea bikinkan teh ya, Ma.” Gadis itu segera ke dapur, memasak air di panci kecil kemudian menyeduh teh untuk Alina.Zea meletakkan secangkir teh tak jauh dari Alina berbaring. Ia bergegas ke dapur, mengambil adonan roti yang telah mengembang lalu menggorengnya. Untung saja saat ini libur sekolah, jadi Zea punya waktu untuk mengambil alih pekerjaan Alina.“Mama mana?” tanya Zyan yang baru saja pulang sholat subuh dari masjid. “Nggak enak badan, Mas.”Laki-laki itu bergegas menuju kamar Alina. Ia berjalan mendekat lalu duduk di kasur lusuh yang terhampar di lantai. Tangan Zyan bergerak menyentuh dahi sang ibu memastikan wanita itu baik-baik saja.“Mama pusing, ha
Rosa tak bersemangat memeriksa hasil penjualan busana muslim yang ia kelola. Busana syar’i yang sedang ia produksi berkembang pesat. Ia telah memiliki banyak mitra dalam pembuatan sampai penjualan busana muslim yang diberi nama ‘Rose’. Namun sayang, kesuksesannya sebagai entrepreneur muda tak semulus kehidupan rumah tangganya. Orang melihat kehidupannya baik-baik saja, apalagi Pandu tak pernah terlibat main hati dengan wanita lain. Rosa terlalu pintar menutupi semua, bahkan banyak sahabatnya yang meminta tips pada Rosa bagaimana cara dicintai suami.Namun di balik itu, ada saja orang yang tak pernah melepaskan pandangannya sebagai pelakor meskipun ia sudah hijrah. Terlebih, saudara-saudara Pandu yang membencinya karena menyebabkan Alina dan keponakan mereka harus menyingkir.“Permisi. Ibu, ada yang ingin bertemu,” ucap Priska, asisten Rosa.“Ya, baik.” Wanita itu bangkit, kemudian berjalan menuju butik. Pandangannya tertuju pada seorang wanita paruh baya yang duduk di sofa. “Ibu.” Ros
Alina dan kedua anaknya pindah ke tempat kontrakan baru. Ia sengaja mengangkut barang-barang di malam hari. Lagi pula, tak banyak barang bawaan yang mereka punya. Dibantu temannya Melvin, Zyan mengangkutnya beberapa kali bolak-balik. “Ibu pindah ke mana?” tanya si pemilik kontrakan, ketika Alina mengembalikan kunci.“Jauh, Bu.” Alina sengaja tak menyebutkan di mana tempat tinggalnya yang baru. Jika suatu saat Rosa kembali mencari, wanita itu tak bisa menemui mereka. “Terima kasih banyak, ya, Bu. Mohon maaf jika saya dan anak-anak punya salah.”“Sama-sama, Bu. Ibu dan anak-anak sangat baik, saya menjadi sedih Ibu pindah.”Keduanya berpelukan, sebelum Alina pergi. Zea dibonceng Zyan menggunakan motor bebek miliknya, sedangkan Alina dibonceng Melvin. Setengah jam berlalu, mereka sampai di sebuah kontrakan padat penduduk yang kebanyakan diisi oleh mahasiswa. Zyan mendapatkan kontrakan murah yang tak jauh dari kampusnya.“Ini agak kecil, Ma. Kamarnya cuma ada satu.”Alina memperhatikan ko
Suasana launching produk terbaru Rosa begitu meriah. Tak tanggung-tanggung, ia menyewa ballroom sebuah hotel bintang lima. Tamu undangan dari berbagai kalangan telah memenuhi ruangan. Tak hanya itu, gemerlap lampu dan sorot kamera telah siap untuk menyiarkan pegelaran ini secara langsung. Wartawan dari berbagai media cetak, elektronik, bahkan online telah berada di sana untuk meliput acara launching produk gamis terbaru brand Rose.Pandu tampak gagah dengan memakai pakaian formal, sedangkan Rosa tampil dengan gamis hasil produksinya sendiri. Keduanya tampak serasi. Senyum Rosa tak pernah putus, saat menyalami setiap tamu. Ia sangat ramah dan bersahabat.Satu per satu peragawati berjalan di atas catwalk, memperagakan gamis-gamis cantik yang fashionable dan elegan. Kamera tak putus membidik satu per satu model yang maju ke depan. Tak hanya itu, Rosa memberikan harga spesial bagi pengunjung yang ingin memesan gamis produksinya malam ini.Setelah acara usai, Rosa menghadiri konferensi per
Bryan kembali memborong semua roti goreng yang ada di kantin. Ia membagi-bagikan kepada teman-temannya. Tak hanya itu, Bryan juga mempromosikan dagangan Zea. “Bapak sudah pernah mencoba roti goreng ini belum?” tanya Bryan pada guru olahraganya.“Belum.”“Bapak coba dulu. Ini enak.”Guru olahraga itu memakan roti goreng yang disuguhi Bryan. Pria itu mengangguk-angguk, ketika menikmati rasa manis dari roti. “Enak. Kamu beli di mana?”“Di kantin, Pak. Murah, hanya 2.500 saja.”Dari satu teman ke teman lain, Bryan mempromosikan dagangan Zea. Agar gadis itu tak malu, ia melakukannya di saat Zea tak ada di dekatnya. Bryan takut mereka mentertawakan Zea. Namun jika Bryan yang melakukannya, maka tak akan ada teman-teman yang mau mentertawakan, karena bagaimanapun, dia bukanlah siswa yang kekurangan uang.Setiap hari, peminat roti goreng Zea makin bertambah. Saat ini ia menitipkan seratus bungkus pada Bu Sarmi. Roti goreng itu selalu ludes terjual, meskipun Bryan tak memborongnya lagi. Semua
Pandu melangkah dengan dada berdebar memasuki gang yang hanya bisa dilewati sepeda motor dan pejalan kaki. Jantungnya berdegup kencang, membayangkan orang-orang yang ia sayangi berada telah dekat dengannya. Pandu bingung, kata-kata apa yang pertama kali ia ucapkan pada mereka. Permohonan maafkah? Atau penyesalannya karena telah membuat mereka pergi? Pria itu memindai lingkungan padat penduduk yang tampak sesak dan tak sehat. Perlahan, hatinya gerimis membayangkan Alina dan kedua anaknya tinggal di tempat ini. Sudah pasti mereka sangat susah dan menderita. Yang membuat Pandu merasa tercampakan adalah kedua anaknya memilih hidup menderita, daripada hidup mewah bergelimang harta bersama dengannya.“Maaf, Pak, Bu, Ibu Alina dan kedua anaknya sudah pindah. Mereka enggak tinggal di sini lagi.” Perkataan pemilik kontrakan membuat Pandu kecewa. Rasa bahagia bak bunga yang baru berkembang menjadi layu seketika hanya karena sebuah kalimat. Ini jugakah yang dirasakan Alina ketika kalimat kasar
“Maaf, saya datang terlambat,” ucap Alina dengan seulas senyum di bibir. Tak ada makian, sumpah serapah atau tatapan sinis padanya.Rosa tak menjawab, ia beralih memandang Daniel yang berdiri dari duduknya kemudian menghampiri mereka. Melihat penampilan Alina yang mewah dan berkelas, Rosa menjadi minder. “Silakan masuk, Bu,” ucap Daniel seraya membuka pintu lebar. Melihat sikap Daniel, Rosa yakin jika lelaki inilah yang mengundang Alina. “Sama siapa?” tanya Daniel seraya melirik ke arah jalan. Belum sempat Alina menjawab, lelaki itu telah berlalu mendekati mobil yang terparkir, kemudian berbicara dengan si pengemudi. Tak lama, pintu mobil pun terbuka menampakkan sosok tampan dan tinggi mirip Pandu Dirgantara keluar dari mobil mewah itu. Rosa terpana dan sedikit kecewa. Padahal, ia merindukan mantan suaminya.Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet. Ruang tamu Rosa masih kosong karena saat prosesi pernikahan terjadi, kursi tamu dipindahkan ke carport agar ruangan menjadi luas
Laki-laki tiga puluh tahunan itu mulai berperan menjadi seorang ayah. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu bergitu lama. Bahkan, Daniel terus melakukan pendekatan dan mempelajari apa yang disukai putrinya. Apalagi sikap Shanum yang mulai terbuka dan menyanyangi Daniel, membuat mereka cepat akrab. “Nanti papa jemput Shanum, ya!” ucap gadis itu setelah turun dari mobil. Ia mencium tangan Daniel kemudan memeluk lelaki itu. Shanum sangat bangga ketika satu persatu teman-temannya melihat sosok Daniel. Walaupun tak berorasi, tapi sikap Shanum seolah-olah memberitahukan pada mereka bahwa ‘Ini adalah papanya.’Daniel mengusap kepala putrinya kemudian melayangkan ciuman sebelum gadis itu beranjak menuju kelas. Sesekali, kepala mungil itu menoleh dan melambaikan tangan pada Daniel yang menatapnya tanpa kedip. “Dada, papa!” teriaknya dari kejauhan. Daniel membalas. Dada lelaki itu bergetar dan terasa sesak. Setelah sekian lama hidup tak tentu arah, kini, Daniel merasa menjadi seorang yang sa
“Rasanya seperti digigit semut.”Seketika ucapan Shanum kembali terngiang kala Pandu mengajaknya pergi. Gadis itu juga bercerita ia digigit semut di rumah sakit. Rosa tersenyum masam mengingat bagaimana usaha Pandu mencari kebenaran tanpa melibatkan dirinya.Hidup begitu cepat berubah, harta, kedudukan dan nama baik dalam sekejap lenyap. Rosa yang dulu begitu angkuh dan sombong, kini tak berdaya. Daniel berbeda dengan Pandua, ia bukanlah laki-laki yang paham agama, sekeras apapun Rosa menjelaskan nasab anak yang lahir di luar pernikahan, Daniel tetap pada pendiriannya bahwa, ia adalah seorang ayah meski dengan cara yang salah. Rosa mengusap kepala Shanum. Ia memejamkan mata seraya berdoa agar nasib baik berpihak kepadanya. Apapapun hasilnya nanti, ia akan lakukan segala cara untuk mempertahankan Shanum dalam hidupnya. ***SPW***Rosa mengusap wajahnya setelah bermunajat kepada Allah. Semenjak kedatangan Daniel, hati wanita itu tak tenang. Ingin rasanya ia lari, tapi tak tau kemana a
Pandu terdiam sejenak, ia menatap sorot mata Daniel. “Kenapa kamu ingin mengetahuinya? Apa kamu ingin menghancurkannya melalui anak itu?” Tatapan Pandu berubah tak bersahabat. “Aku tau, kamulah yang menyebarkan video tak senonoh Rosa. Sudah cukup kamu menghancurkan hidupnya. Jangan lakukan perbuatan itu lagi. Apalagi melibatkan Shanum-anak yang tak berdosa itu.”Daniel menghela napas lemah. Ia tau, kesalahan yang telah ia lakukan begitu besar. “Saya minta maaf, saya akui, memang saya yang melakukannya. Tapi, setelah melihatnya hancur, bukan kepuasan yang saya dapatkan melainkan rasa bersalah yang menghantui setiap hari.”Pandangan Daniel menerawang mengingat bagaimana kejahatannya hingga membuat Rosa hancur. Bahkan, wanita itu hanya pasrah dan tak pernah menuntutnya meski Rosa tau bahwa Daniellah yang telah mengungkap aib itu ke publik. “Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan mereka. Melihat gadis kecil itu, entah kenapa saya seperti melihat diri saya dalam dirinya. Saya yakin
Wanita itu menggeleng. Rosa yang kehilangan putrinya mendadak takut dan cemas. Beberapa karyawan dan petugas keamanan mall mulai mencari Shanum melalui pengeras suara dan menyusuri area mall. Rosa berlari menuju satu persatu tempat yang kemungkinan dikunjungi putrinya hingga berakhir di salah satu toko mainan.Shanum tampak tersenyum pada seorang pria yang berjongkok mensejajarkan tinggi dengannya seraya memegang sebuah boneka Panda. Hati Rosa menjadi lega karena telah menemukan Shanum meski ada rasa khawatir dengan sosok lelaki itu.“Shanum!” panggil Rosa hingga membuat keduanya menoleh dan berdiri menghadap pada Rosa. “Mama, om itu beliin aku boneka ini, lucu kan?” tanya Shanum sambil menyodorkan boneka panda ke wajah Rosa.Rosa mengangguk dan tersenyum paksa. “Sudah bilang terima kasih?” Gadis kecil itu menoleh pada sosok lelaki yang dari tadi menatap Rosa lekat.“Makasih, Om,” ujar Shanum polos.Daniel tersenyum seraya mengusap kepala Shanum. Rosa menarik tangan putrinya menj
Suara jeritan dan rintih kesakitan terdengar di sebuah ruang bersalin rumah sakit swasta. Alina berjalan mondar mandir dan tak tenang membayangkan putrinya yang sedang berjuang di dalam sana. Sebagai ibu, ia bisa merasakan apa yang putrinya rasakan. Dua kali Alina bertarung melawan maut untuk menghadirkan dua buah cintanya melalui persalinan normal.Genggaman tangan Zea begitu kuat mencengkram jemari Bryan. Berkali-kali wanita itu mengikuti petunjuk dokter kandungan agar bisa melahirkan buah cintanya. Peluh Zea berjatuhan membasahi tubuhnya bersamaan titik air mata Bryan yang jatuh karena tak sanggup melihat sang istri kesakitan. “Ayo, Zee, kamu pasti bisa,” ucap dengan suara bergetar. Ia tak peduli dengan tangannya yang terasa sakit karena cengkraman Zea yang begitu kuat. Bryan mencium pucuk kepala Zea seraya melafazkan doa. Nafas Zea mulai memburu bersamaan dorongan bayi yang ikut berjuang menatap dunia. Seketika senyumnya tercipta mendengar suara tangis menggema di ruangan itu.
Beberapa Bulan kemudian ....Bertempat di halaman rumahnya yang luas, Zidan yang kini berusia satu tahun mulai melangkahkan kaki kecilnya di atas rumput hijau yang sangat terawat. Pandu merentangkan kedua tangan seraya memanggil nama putranya. Kaki kecil Zidan melangkah menuju sang papa yang disambut dengan gembira oleh Pandu.Alina yang melihat interaksi keduanya sangat bahagia. Tawa Zidan menggema. Ia merentangkan kedua tangan, ketika Pandu mengayunkan tubuh kecilnya seperti akan terbang. Pria itu tampak makin sehat dan muda, meski usianya hampir setengah abad. Senyumnya begitu merekah dan kebahagiaan begitu terlihat dari bibirnya yang tak henti tertawa. Bahkan, sorot matanya mengisyaratkan begitu banyak cinta untuk wanita yang berdiri di sampingnya.Sementara itu, tak jauh dari sana, seorang wanita memakai gamis dan sebagian wajahnya tertutup cadar. Ia berdiri, terpaku menatap keluarga bahagia itu. Hampir setiap hari ia berdiri di balik pagar rumah hanya untuk melihat pria yang hi
Kehadiran anggota baru keluarga membuat rumah mewah Pandu menjadi ceria. Suara tangis, tawa, dan celoteh kecil terdengar bak mantra yang mampu menghipnotis para penghuninya. Zea dan Bryan lebih banyak bermalam di rumah itu, supaya bisa dekat dengan adik kecilnya. Sedangkan Zyan menghabiskan waktu luangnya setelah pulang bekerja untuk mengasuh Zidan. Laki-laki kecil itu menjadi pusat perhatian. Kehadirannya seperti magnet yang menarik semua anggota keluarga untuk berkumpul. Kebahagiaan Pandu makin bertambah, perusahaan mereka makin maju. Zyan mewarisi bakat Pandu dalam berbisnis. Ia begitu pintar mengelola perusahaan dan jeli dalam membaca peluang. Pandu sangat bangga, ketika menghadiri rapat petinggi perusahaan untuk mendengar perkembangan perusahaan sekaligus kerja sama baru yang sedang mereka kerjakan. Zyan dan Bryan bekerja sama dalam menggarap sebuah proyek pemerintah yang sangat menantang dalam skala besar. Pandu dan Bagas tersenyum dan saling melirik, ketika kedua pria muda itu
Rosa hanya bisa menunduk dengan air mata berlinang saat mendatangi Ustazah Ana. Ia malu dan merasa hina, setelah semua aibnya terbongkar. Walaupun wanita itu tak pernah mengusik masa lalunya, tetapi Rosa yakin, Ustazah Ana mengetahui semuanya. Apalagi ia pernah sombong dan menolak nasihat wanita itu hingga memblokir kontak Ustazah Ana. Kini, ia terpaksa menjilat ludah sendiri. “Maafkan saya, Ustazah, saya salah. Saya menyesal, karena enggak mengikuti nasihat Ustazah,” lirih Rosa penuh penyesalan.Ustazah Ana menatap Rosa yang bersimbah air mata. Dengan terbata-bata, Rosa menceritakan perjalanan hidupnya yang kelam dan tak bahagia. Tak hanya itu, dosa-dosa yang telah ia perbuat ikut terucap dari bibirnya hingga menjelaskan bagaimana buruknya seorang Rosalina di masa lalu.“Hijrah itu harus dari hati yang terdalam. Benar-benar ingin berubah dan siap menjalani kehidupan sesuai tuntunan agama. Hijrah akan terasa sangat berat bagi hamba yang mengagungkan dunia. Perbaiki diri, niatkan dal