"Shan, kamu tau gak Bagas putus sama Silmi?" tanya Rendi, sambil mengerjakan tugas dari Guru Matematika.
"Wah, beneran, Ren? Kok aku gak tau, sih," jawab Shania, melihat ke arah Rendi.
"Sebulan yang lalu mereka berantem gara-gara cemburu sama kamu," terang Rendi.
"Kok gara-gara aku?! Aku gak ngapa-ngapain, loh," jawab Shania heran.
"Iya, jadi Silmi tau kalo Bagas suka sama kamu, dan duduk sebangku sama kamu," terangnya lagi.
"Oh, pantesan akhir-akhir ini Bagas gak nyapa aku sama sekali, jadi gitu, ya, masalahnya?" kata Shania, menghentikan kegiatannya yang sedang mengerjakan tugas.
"Iya, sebetulnya dia udah mau nembak kamu, cuma dia nunggu waktu yang tepat," kata Rendi, menjelaskan.
"Serius? Emangnya tau dari mana?" tanya Shania.
"Lah, tiap hari dia curhat sama aku," ucap Rendi.
***
Ucapan Rendi terus terngiang di telinga Shania, hatinya kini berbunga-bunga bagaikan taman di musim semi. Ternyata Bagas masih mencintainya, bahkan ia menunggu waktu itu tiba seperti yang dikatakan Rendi di sekolah saat pelajaran matematika.
Ia membayangkan sesuatu yang indah tentang kebersamaannya dengan Bagas, melamun sendirian di kamarnya sambil memeluk bantal. Tiba-tiba Shania dikejutkan oleh suara ponsel yang berbunyi, tanda pesan W******p masuk.
[Assalamu'alaikum Shania, lagi ngapain? Aku ganggu gak?] pesan dari Bagas. Bibir Shania mengembang dan semangat untuk membalasnya.
[Waalaikumsalam Bagas, aku lagi santai. Ada apa Bagas?]
[Shan, kamu sudah tau aku putus dengan Silmi?]
[Iya, aku tau dari Rendi.]
[Kamu seneng gak?]
[Kok, kamu nanya gitu?]
[Hahaha, emangnya pertanyaanku salah? Ya sudah, gak usah dijawab, aku tau jawaban kamu.]
[Yeee, sok tau, emangnya apa jawaban aku?]
[Kamu seneng, 'kan, aku putus dengan Silmi?]
[Ih, aku gak ngomong gitu, ya.]
[Hahahah, oh iya, besok dateng lebih pagi, ya. Ada yang mau aku omongin sama kamu, bisa kan?]
[Tentang apa? Kasih bocoran dong.]
[Ada, deh, surprise pokoknya.]
[Oh ya udah, mudah-mudahan besok bisa, ya.]
[Harus, pokoke aku tunggu jam 06.30, ya.]
[Oke, ya sudah, sampe besok ya, aku ngantuk, nih.]
[Iya, selamat bobo, Shania! Mimpi indah.]
[Iya, kamu juga, ya.]
Berbalas pesan telah berakhir, padahal mereka sama-sama tak bisa tidur. Setiap Shania memejamkan mata, justru bayangan Bagas semakin jelas. Selalu mengikuti ke mana pun Shania pergi. Begitu juga dengan Bagas, Shania selalu terbayang-bayang dalam ingatannya.
* * *
Keesokan harinya, Bagas benar-benar datang lebih pagi dari biasanya, ia sedang menyiapkan rencana, dibantu oleh Rendi dan teman-temannya. Ada yang bertugas memberi komando jika Shania sudah datang, ada yang memainkan gitar untuk mengiringi puisi. Mereka bersiap untuk menyambut Shania di balik pintu.
"Guys, target sudah mendekat, siap-siap!" Cecep memberi komando, melihat dari kaca jendela.
"3 ... 2 … 1 ...," kata Cecep memberi aba-aba. Shania masuk, Bagas mulai membaca puisi, sedangkan Rendi memetik gitar.
Duhai Tuan Putri, bolehkah aku mengisi hari-harimu dengan cinta?
Duhai kekasih hati, bolehkah aku menjadi raja di hatimu?
Tahukan engkau bidadariku, sedalam apa rasa cintaku padamu?
Jangan pernah ragu, karena begitu banyak saksi tentang tulusnya cintaku.
Seandainya burung dapat bicara, ia akan bercerita kepadamu.
Bahwa cintaku tidak akan pernah berhenti, seperti matahari yang selalu menyinari bumi.
"Shania, aku sayang kamu, maukah kamu jadi pacarku? Terimalah bunga ini, Shania," Bagas menambahkan, mereka berhadapan disaksikan teman-teman satu kelas. Riuh, mereka bersorak sorai.
"Te–ri–ma ... te–ri–ma ...." ucap teman-teman termasuk Astrid dan Rendi sambil bertepuk tangan. Shania memandang mereka, dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.
Shania terdiam dan bepikir, betapa Bagas sudah menyiapkan ini semua untuknya, dukungan teman-teman yang membuat ia terharu. Tak ada alasan untuk menolak.
"Bagaimana, Shania? tanya Bagas membuyarkan lamunan Shania. Sedetik kemudian Shania menjawab, "Baiklah, aku terima." Tangannya mengambil bunga yang Bagas berikan sedari tadi.
"Alhamdulillah, terima kasih, Shania," ucap Bagas, sambil mencium tangan Shania dengan lembut.
"Sama-sama," jawab Shania, tersenyum manis sekali.
Teman-teman mereka bertepuk tangan. "Sah," celetuk salah satu teman laki-laki yang kocak. Semuanya pun tertawa lepas.
Teng ... teng ... teng ...!
Tiba-tiba bel berbunyi tanda pelajaran akan segera dimulai. Semua siswa bersiap untuk belajar, hanya Bagas dan Shania yang tidak siap, hati mereka berdegup lebih kencang dari biasanya, rasa bahagia dan jatuh cinta, terlebih kini mereka kembali duduk berdekatan pada meja yang sama.
Saat ibu guru sedang menjelaskan, sesekali mereka saling memandang, dan tersenyum. Mereka benar-benar tidak bisa konsentrasi.
"Hei, kalian berdua dari tadi Ibu perhatikan senyum-senyum terus, kalian kenapa? Bagas, pindah tempat duduk," ucap bu guru, tegas.
"Baik, Bu," jawab Bagas, sambil bergerak melangkah ke kursi yang ada di sebelah Cecep.
"Kasian deh, loe, di suruh pindah," ejek Cecep pada Bagas. Bagas hanya tersenyum menanggapinya.
Berita tentang Bagas dan Shania sudah tersebar ke seluruh penjuru sekolah, pasalnya Bagas memang siswa nomor satu di sekolah, apa pun tentangnya akan langsung diketahui semua siswa, bahkan guru-guru.
Sejak saat itu, banyak yang penasaran kepada sosok yang bernama Shania, kenapa Bagas memilih Shania? Secantik apa Shania? Itulah tanggapan beberapa siswa dan siswi di sekolah.
Sebagai ketua OSIS dan juga sebagai pelajar, tentu Bagas sangat sibuk, ia harus pandai membagi waktu di antara semua kegiatannya, belum lagi memiliki pacar tak seindah yang dibayangkan sebelumnya.
Shania perempuan perfeksionis, segala sesuatu ingin sempurna seperti keinginannya. Mood-nya mudah berubah ketika Bagas tidak memenuhi kriteria sebagai seorang kekasih. Akan tetapi, sesungguhnya semua keribetan yang Shania ciptakan adalah bukti bahwa ia menjalani hubungan bersama Bagas dengan serius. Namun, Bagas tidak menyadari kesungguhan cinta Shania.
Bagas merasa kewalahan karena Shania selalu membuatnya serba salah, berbeda ketika ia menjalin hubungan dengan Silmi, semua berjalan dengan baik, perempuan yang tidak begitu ia cintai, tapi setidaknya tidak sering membuat Bagas stress.
Hubungan Bagas dengan Shania tidak berjalan mulus, meskipun cintanya begitu besar pada Shania, tapi ia lelah dengan sikap Shania yang kritis, rewel, dan tidak kalah manja dengan Silmi.
"Gue cinta sama Shania, tapi gue lebih pusing hadapin dia, daripada hadapin Silmi, Ren," curhat Bagas pada Rendi.
"Sabar, Bro, justru karena lo cinta banget sama dia, lalu lo peduli sama rewelnya dia, jadi lo emang lebih ribet. Coba lo sama Silmi, gak peduli kan dia mau protes gimana juga, lo biasa aja," jawab Rendi menanggapi.
"Iya juga, sih, bener juga lo. Trus gue harus bertahan sama dia? Sedangkan dia sering bikin gue cape, dia ribet orangnya, gak fleksibel," sahut Bagas serius.
"Ya, gue, sih, gak bisa kasih pendapat, masalahnya lo yang jalanin, pikirin lagi aja, Gas, gue dukung lo apa pun keputusan lo.
[Assalamu'alaikum, Nak Bagas. Apa kabar? Mama mau mengadakan syukuran ulang tahun Silmi, boleh Mama minta bantuan Nak Bagas untuk mengisi acaranya Silmi? Menjadi pembawa acara dan membaca beberapa ayat Al-qur'an?] pesan dari mamanya Silmi. [InsyaAllah, Ma, Bagas bisa.] [Terima kasih, ya, Nak, Mama senang sekali.] [Sama-sama, Ma, Bagas juga senang bisa bantu Mama.] [Nanti ngobrol saja dengan Silmi lebih detailnya, ya, Nak.] [Baik, Ma.] Bagas bingung, sebetulnya sudah ada janji dengan Shania untuk mengantarnya ke toko buku, akan tetapi Bagas tak dapat menolak permintaan mamanya Silmi. "Bagaimana, ini? Shania pasti ngambek lagi," batin Bagas, sambil mengusap wajahnya dengan kasar. [Shan, aku minta maaf sebelumnya, sepertinya aku gak bisa mengantarmu ke toko buku besok, boleh kita pending dulu, gak? Minggu depan mudah-mudahan bisa.] [Memangnya kenapa? Kamu ada acara?] [Mamanya Silmi minta a
Satu tahun kemudian.Meskipun hubungan mereka sering tidak akur, entah bagaimana mereka tidak bisa berpisah satu sama lain. Bagas mencintai Shania, meskipun ia terus menyakiti wanitanya. Shania tidak menyangka hubungannya dengan Bagas akan seperti ini, jauh dari apa yang dibayangkan olehnya."Kenapa sih aku ngeliat orang pacaran, ceweknya diperlakukan seperti ratu? Beda sama aku, kok gak ngerasa jadi ratu, ya?" celetuk Shania pada Astrid, yang kebetulan melanjutkan pendidikan di Universitas yang sama. Yaitu Universitas Pendidikan Indonesia, mereka bercita-cita menjadi seorang guru."Masa, sih, bukannya Bagas sayang banget sama kamu?" jawab Astrid, heran."Iya, aku gak habis pikir, Bagas masih aja sering ke rumah Silmi, bahkan mengorbankan aku," kata Shania, sedih."Lalu?" tanya Astrid."Satu sisi aku cape, sisi lain aku masih sayang sama dia," jawab Shania."Aku ngerti banget Sha
Perasaan Bagas hancur karena pertunangan Silmi, ia baru sadar ternyata dalam hatinya masih menyimpan sisa cinta untuk Silmi. Kesedihan yang justru membuatnya memutuskan kisah kasihnya dengan Shania.Lelaki tampan nan rupawan itu, kini sedang putus asa, seolah ia kehilangan separuh jiwanya. Namun, seharusnya ia tidak egois seperti ini, padahal ada perempuan yang mencintainya sepenuh hati. Ia menyia-nyiakan cinta Shania.Tok ... Tok ... Tok"Kak Bagas, makan yuk! Di panggil Mama, tuh," teriak Melati dari balik pintu kamar Bagas."Masuk," jawab Bagas, bermalas-malasan."Ih, tumben kamarnya berantakan? Trus kenapa Itu muka kusut banget, Kak," berondong Melati, sambil melihat sekeliling kamar Bagas, lalu duduk di atas kursi tempat Bagas belajar."Lagi males beresin. Kamu duluan makan aja, bilang sama Tante aku sudah kenyang. tadi sore sudah makan ditraktir teman," jawab Bagas, asal."Kakak, kenapa, sih? Gak biasanya
"Enak juga tidur di lantai," gumam Bagas.Meskipun lantai keras, tapi tetap membuatnya tidur nyenyak. Ia mencari kontak yang diberi nama Shaniaku, Lalu meng-klik tombol berwarna hijau. Tidak ada jawaban dari sang pemilik nomor telepon itu, sekali lagi ia coba menghubungi nomor tersebut, kali ini di-reject. Bagas mencoba lagi dan lagi, tetap tidak ada jawaban."Shania marah padaku, bagaimana ini?" batin Bagas, sambil mengusap wajahnya dengan kasar. "Astrid, aku harus hubungi Astrid, siapa tau Shania sedang bersama Astrid." gumamnya lagi.[Astrid, sorry urgent nih, Shania ada bareng kamu, gak?] tanya Bagas, di aplikasi WhatsApp.[Gak ada, hari ini dia gak masuk kuliah."[Aku telepon dia di-reject Trid, kemana Shania, ya?][Ada apa sebenernya di antara kalian? Aku bingung, kemaren Shania yang cemasin kamu, sekarang kamu yang nyari dia, heran aku, kalian kenapa, sih?!][Benarkah? Waktu itu Shania nyariin aku?]
Bagas tidak menyerah, terus saja menghubungi Shania. Setelah puluhan kali Bagas menekan tombol hijau itu, kini kontak Shania sedang sibuk. Bagas kesal, akhirnya ia berhenti menghubungi Shania. Lelaki itu frustrasi dan melempar ponselnya ke tempat tidur yang beberapa hari ini selalu berantakan. Begitu dahsyat perasaan seseorang yang sedang dimabuk cinta, seolah dunia akan berakhir jika tidak bisa mendapatkan sang pujaan hati. Kini ia menyesal karena tidak memperlakukan Shania dengan baik. Baru menyadari semua aturan dan keribetan Shania adalah bukti bahwa perempuan yang selisih usianya hanya beberapa bulan dengannya itu serius dan ingin yang terbaik untuk hubungan mereka. Waktu tak dapat diulang, seandainya Bagas ingin memperbaiki pun sudah terlambat. Meski lelaki itu yakin Shania masih mencintai dirinya. Namun, tak mudah memberi kesempatan yang kedua kali. Buktinya, puluhan kali ia menghubungi sang mantan, tidak pernah ada jawaban atau balasan da
Shania dan Astrid saling berpandangan, ketika melihat laki-laki itu duduk di hadapan mereka."Sepertinya aku kenal, nih orang," batin Shania."Kok, kayak kenal, ya? gumam Astrid." Iya, kalian pasti kenal saya," sahut lelaki itu, sambil membuka kacamata, masker dan topinya."Andika?!" ucap Shania dan Astrid, serentak."Ya ampun tadi kirain, siapa," ucap Shania mengeraskan suara."Iya, Shan. Saya sengaja kesini mau bicara serius sama Astrid," terang Andika."Aku?" tanya Astrid terkejut."Waw, surprise. Oke aku balik duluan deh, ya?" pamit Shania."Jangan dong, Shan. Aku balik bareng kamu, ya," cegah Astrid."Ih, kamu ntar di anter Andika, dong," kata Shania."Iya, aku anterin kamu nanti, Astrid," ucap Andika menatap Astrid lekat."Tuh kan, ya sudah aku duluan, ya," Shania meninggalkan mereka berdua di kantin.Shania berlalu sendi
"Sini-sini kita duduk dulu, Shan." Astrid menarik tangan Shania. "Cerita sama aku." Ia mengusap lembut bahu Shania. Perempuan yang masih berurai air mata itu menceritakan semua yang terjadi ketika sahabatnya tidak ada di sampingnya.Tak berhenti derasnya air mata, membuktikan betapa sakitnya perasaan Shania. Meski cintanya tetap milik Bagas, tapi kini ia ingin melupakan lelaki yang tidak pernah menyerah mengejarnya. Baginya cinta tak selalu harus memiliki. Biarkan nama dan kenangan bersama Bagas terkubur bersama masa lalunya. Tak sedikit pun ia berharap untuk kembali merengkuh asa yang pernah ada."Sabar ya, Shan." Astrid kembali memeluk Shania. Akhirnya air mata itu surut. Ia lega telah menceritakan semua pada Sahabatnya."Makasih, ya, Astrid. Aku lega sekarang." Shania berusaha tersenyum."Sama-sama, Shan. Aku seneng bisa jadi temen kamu dalam susah dan senang.""Btw tadi Andika ngapain ketemu kamu? Kalian jadian, ya?" t
"Ini, siapa, ya?""Saya Egi, Shan.""Ya Allah, Kak Egi. Bikin orang parno aja. Nelepon yang pertama kenapa gak ngomong?""Oh, jadi yang tadi tuh, nyambung? Tadi tuh, aku udah niat telepon kamu, trus tiba-tiba mamaku manggil. Aku taro ponselku di atas meja. Aku kira belum nyambung. Hahaha ...,""Ih, Kak Egi! Aku sempet takut tadi.""Takut kenapa emang?""Ya, takut orang jahat, gitu.""Ya udah, maafin aku, ya!""Ya, nggak apa-apa, Kok. Btw ada apa, Kak? Tumben.""Kangen aja sama kamu, pengen dengar suara kamu.""Iih, gombal!""Serius, aku kangen.""Ya udah, terserah.""Asyik! Berarti aku boleh kangen sama kamu, dong?""Ih, Kak Egi! Awas ya! Godain aku terus.""Kar
"Emmm ...." Tiba-tiba ada yang memanggil namanya. Suara Shania tercekat ketika menjawab pertanyaan Egi karena panggilan seseorang. Sontak ia melihat ke arah datangnya suara. "Bagas?" Seketika matanya melirik ke arah Egi, lalu berganti ke arah Bagas. "Akhirnya kita ketemu di sini, ya, Shan." Bagas antusias. "Emmm ... memangnya, kamu cari aku?" tanya Shania dengan wajah datar. "Iya, dong. Aku masih nyariin kamu ke mana-mana," ucap Bagas sambil menarik kursi di seberang Shania dan duduk tanpa permisi. "Ada apa?" tanya Shania melirik ke arah Egi yang ada di sampingnya. Egi diam tak mengatakan apa pun. Ia bingung karena takut salah ucap. Egi cukup bijaksana menyikapi situasi seperti ini. "Shan, aku ke toilet bentar, ya." Egi pamit kepada Shania.
"Sejak kapan, ya?""Sejak pertama kali kita bertemu."Mata mereka saling beradu. Hampir saja Shania sakah tingkah."Be-benarkah? Kok, baru bilang sekarang?""Yup. Love at first sight. Memangnya, kalo aku bilang dari dulu, kamu bakal mau jadi pacar aku? Waktu itu kamu masih pacarnya Bagas.""Emmm ... iya, sih. Lalu? Kakak cari tau tentang aku dari mana?" Shania tersipu malu."Dunia ini sempit, Shan. Aku mengikutimu saat kamu ke kampus atau saat kamu pergi.""Jadi, selama ini, Kakak sering ngikutin aku?""Yup. Aku ingin melindungimu, meski dari jauh."Mata Shania menganak, ia terharu mendengar ucapan Egi. Ia tidak pernah tau ada orang yang diam-diam mencintainya."Jadi, Kakak tau saat aku rapuh?" tanya Shania dengan wajah serius.
"Ih, Mama ... sekongkol, nih, sama Kak Egi!" Shania protes sembari duduk di samping mamamya.Ia curiga, Egi merahasiakan sesuatu bersama ibunya."Nggak. Tadi, Egi cerita tentang awal pertemuan dengan kamu." Ibunya berbohong."Wah, emang, iya, Kak? Eh, diminum duku, Kak. Teh manis bikinan aku, mantap, loh, Kak." tanya Shania sembari meminta Egi untuk meminum teh manis buatannya."Emmm ... I-ya. Kamu inget nggak awal kita ketemu? Diminum, ya, Tan, Shan." Egi meminum teh manis itu."Enak beneran, ya. Aku mau daftar jadi suami, kamu, ya. Biar tiap hari dibikinin teh manis seenak ini." Egi membuat Shania tersipu malu.Shania salah tingkah dan mengalihkan topik pembicaraan."Eh, waktu aku nabrak Kak Egi, pas keluar dari kantin itu, ya? Itu pertama kali kita ketemu, kan? ""Iya. Wakt
"Assalamualaikum," ucap Egi sambil mengetuk pintu."Waalaikumsalam," sahut Shania sembari membuka pintu."Hi, Kak!""Hi, Shan.""Silakan masuk, Kak." Mereka berhadapan dan baru kali ini jarak antara Egi dan Shania lebih dekat dari biasanya. Mata mereka beradu, seperti ingin saling mencengkram."Kamu makin cantik, Shan." Shania memalingkan wajahnya yang memerah karena malu."Emmm, silakan duduk, Kak." Shania mengalihkan perhatian Egi yang masih saja menatap dirinya.Ada debar di dada masing-masing yang tak mungkin diungkapkan. Keduanya mengatur napas agar tidak gugup. Egi mengambil posisi duduk di sofa dekat pintu, sedangkan Shania duduk di sofa yang berada di samping tempat duduk Egi. Dengan anggunnya Shania memulai membuka suara. Sedikit basa-basi untuk menyambut lelaki tampan itu.
"Ini, siapa, ya?""Saya Egi, Shan.""Ya Allah, Kak Egi. Bikin orang parno aja. Nelepon yang pertama kenapa gak ngomong?""Oh, jadi yang tadi tuh, nyambung? Tadi tuh, aku udah niat telepon kamu, trus tiba-tiba mamaku manggil. Aku taro ponselku di atas meja. Aku kira belum nyambung. Hahaha ...,""Ih, Kak Egi! Aku sempet takut tadi.""Takut kenapa emang?""Ya, takut orang jahat, gitu.""Ya udah, maafin aku, ya!""Ya, nggak apa-apa, Kok. Btw ada apa, Kak? Tumben.""Kangen aja sama kamu, pengen dengar suara kamu.""Iih, gombal!""Serius, aku kangen.""Ya udah, terserah.""Asyik! Berarti aku boleh kangen sama kamu, dong?""Ih, Kak Egi! Awas ya! Godain aku terus.""Kar
"Sini-sini kita duduk dulu, Shan." Astrid menarik tangan Shania. "Cerita sama aku." Ia mengusap lembut bahu Shania. Perempuan yang masih berurai air mata itu menceritakan semua yang terjadi ketika sahabatnya tidak ada di sampingnya.Tak berhenti derasnya air mata, membuktikan betapa sakitnya perasaan Shania. Meski cintanya tetap milik Bagas, tapi kini ia ingin melupakan lelaki yang tidak pernah menyerah mengejarnya. Baginya cinta tak selalu harus memiliki. Biarkan nama dan kenangan bersama Bagas terkubur bersama masa lalunya. Tak sedikit pun ia berharap untuk kembali merengkuh asa yang pernah ada."Sabar ya, Shan." Astrid kembali memeluk Shania. Akhirnya air mata itu surut. Ia lega telah menceritakan semua pada Sahabatnya."Makasih, ya, Astrid. Aku lega sekarang." Shania berusaha tersenyum."Sama-sama, Shan. Aku seneng bisa jadi temen kamu dalam susah dan senang.""Btw tadi Andika ngapain ketemu kamu? Kalian jadian, ya?" t
Shania dan Astrid saling berpandangan, ketika melihat laki-laki itu duduk di hadapan mereka."Sepertinya aku kenal, nih orang," batin Shania."Kok, kayak kenal, ya? gumam Astrid." Iya, kalian pasti kenal saya," sahut lelaki itu, sambil membuka kacamata, masker dan topinya."Andika?!" ucap Shania dan Astrid, serentak."Ya ampun tadi kirain, siapa," ucap Shania mengeraskan suara."Iya, Shan. Saya sengaja kesini mau bicara serius sama Astrid," terang Andika."Aku?" tanya Astrid terkejut."Waw, surprise. Oke aku balik duluan deh, ya?" pamit Shania."Jangan dong, Shan. Aku balik bareng kamu, ya," cegah Astrid."Ih, kamu ntar di anter Andika, dong," kata Shania."Iya, aku anterin kamu nanti, Astrid," ucap Andika menatap Astrid lekat."Tuh kan, ya sudah aku duluan, ya," Shania meninggalkan mereka berdua di kantin.Shania berlalu sendi
Bagas tidak menyerah, terus saja menghubungi Shania. Setelah puluhan kali Bagas menekan tombol hijau itu, kini kontak Shania sedang sibuk. Bagas kesal, akhirnya ia berhenti menghubungi Shania. Lelaki itu frustrasi dan melempar ponselnya ke tempat tidur yang beberapa hari ini selalu berantakan. Begitu dahsyat perasaan seseorang yang sedang dimabuk cinta, seolah dunia akan berakhir jika tidak bisa mendapatkan sang pujaan hati. Kini ia menyesal karena tidak memperlakukan Shania dengan baik. Baru menyadari semua aturan dan keribetan Shania adalah bukti bahwa perempuan yang selisih usianya hanya beberapa bulan dengannya itu serius dan ingin yang terbaik untuk hubungan mereka. Waktu tak dapat diulang, seandainya Bagas ingin memperbaiki pun sudah terlambat. Meski lelaki itu yakin Shania masih mencintai dirinya. Namun, tak mudah memberi kesempatan yang kedua kali. Buktinya, puluhan kali ia menghubungi sang mantan, tidak pernah ada jawaban atau balasan da
"Enak juga tidur di lantai," gumam Bagas.Meskipun lantai keras, tapi tetap membuatnya tidur nyenyak. Ia mencari kontak yang diberi nama Shaniaku, Lalu meng-klik tombol berwarna hijau. Tidak ada jawaban dari sang pemilik nomor telepon itu, sekali lagi ia coba menghubungi nomor tersebut, kali ini di-reject. Bagas mencoba lagi dan lagi, tetap tidak ada jawaban."Shania marah padaku, bagaimana ini?" batin Bagas, sambil mengusap wajahnya dengan kasar. "Astrid, aku harus hubungi Astrid, siapa tau Shania sedang bersama Astrid." gumamnya lagi.[Astrid, sorry urgent nih, Shania ada bareng kamu, gak?] tanya Bagas, di aplikasi WhatsApp.[Gak ada, hari ini dia gak masuk kuliah."[Aku telepon dia di-reject Trid, kemana Shania, ya?][Ada apa sebenernya di antara kalian? Aku bingung, kemaren Shania yang cemasin kamu, sekarang kamu yang nyari dia, heran aku, kalian kenapa, sih?!][Benarkah? Waktu itu Shania nyariin aku?]