Shania dan Astrid saling berpandangan, ketika melihat laki-laki itu duduk di hadapan mereka.
"Sepertinya aku kenal, nih orang," batin Shania.
"Kok, kayak kenal, ya? gumam Astrid.
" Iya, kalian pasti kenal saya," sahut lelaki itu, sambil membuka kacamata, masker dan topinya.
"Andika?!" ucap Shania dan Astrid, serentak.
"Ya ampun tadi kirain, siapa," ucap Shania mengeraskan suara.
"Iya, Shan. Saya sengaja kesini mau bicara serius sama Astrid," terang Andika.
"Aku?" tanya Astrid terkejut.
"Waw, surprise. Oke aku balik duluan deh, ya?" pamit Shania.
"Jangan dong, Shan. Aku balik bareng kamu, ya," cegah Astrid.
"Ih, kamu ntar di anter Andika, dong," kata Shania.
"Iya, aku anterin kamu nanti, Astrid," ucap Andika menatap Astrid lekat.
"Tuh kan, ya sudah aku duluan, ya," Shania meninggalkan mereka berdua di kantin.
Shania berlalu sendi
"Sini-sini kita duduk dulu, Shan." Astrid menarik tangan Shania. "Cerita sama aku." Ia mengusap lembut bahu Shania. Perempuan yang masih berurai air mata itu menceritakan semua yang terjadi ketika sahabatnya tidak ada di sampingnya.Tak berhenti derasnya air mata, membuktikan betapa sakitnya perasaan Shania. Meski cintanya tetap milik Bagas, tapi kini ia ingin melupakan lelaki yang tidak pernah menyerah mengejarnya. Baginya cinta tak selalu harus memiliki. Biarkan nama dan kenangan bersama Bagas terkubur bersama masa lalunya. Tak sedikit pun ia berharap untuk kembali merengkuh asa yang pernah ada."Sabar ya, Shan." Astrid kembali memeluk Shania. Akhirnya air mata itu surut. Ia lega telah menceritakan semua pada Sahabatnya."Makasih, ya, Astrid. Aku lega sekarang." Shania berusaha tersenyum."Sama-sama, Shan. Aku seneng bisa jadi temen kamu dalam susah dan senang.""Btw tadi Andika ngapain ketemu kamu? Kalian jadian, ya?" t
"Ini, siapa, ya?""Saya Egi, Shan.""Ya Allah, Kak Egi. Bikin orang parno aja. Nelepon yang pertama kenapa gak ngomong?""Oh, jadi yang tadi tuh, nyambung? Tadi tuh, aku udah niat telepon kamu, trus tiba-tiba mamaku manggil. Aku taro ponselku di atas meja. Aku kira belum nyambung. Hahaha ...,""Ih, Kak Egi! Aku sempet takut tadi.""Takut kenapa emang?""Ya, takut orang jahat, gitu.""Ya udah, maafin aku, ya!""Ya, nggak apa-apa, Kok. Btw ada apa, Kak? Tumben.""Kangen aja sama kamu, pengen dengar suara kamu.""Iih, gombal!""Serius, aku kangen.""Ya udah, terserah.""Asyik! Berarti aku boleh kangen sama kamu, dong?""Ih, Kak Egi! Awas ya! Godain aku terus.""Kar
"Assalamualaikum," ucap Egi sambil mengetuk pintu."Waalaikumsalam," sahut Shania sembari membuka pintu."Hi, Kak!""Hi, Shan.""Silakan masuk, Kak." Mereka berhadapan dan baru kali ini jarak antara Egi dan Shania lebih dekat dari biasanya. Mata mereka beradu, seperti ingin saling mencengkram."Kamu makin cantik, Shan." Shania memalingkan wajahnya yang memerah karena malu."Emmm, silakan duduk, Kak." Shania mengalihkan perhatian Egi yang masih saja menatap dirinya.Ada debar di dada masing-masing yang tak mungkin diungkapkan. Keduanya mengatur napas agar tidak gugup. Egi mengambil posisi duduk di sofa dekat pintu, sedangkan Shania duduk di sofa yang berada di samping tempat duduk Egi. Dengan anggunnya Shania memulai membuka suara. Sedikit basa-basi untuk menyambut lelaki tampan itu.
"Ih, Mama ... sekongkol, nih, sama Kak Egi!" Shania protes sembari duduk di samping mamamya.Ia curiga, Egi merahasiakan sesuatu bersama ibunya."Nggak. Tadi, Egi cerita tentang awal pertemuan dengan kamu." Ibunya berbohong."Wah, emang, iya, Kak? Eh, diminum duku, Kak. Teh manis bikinan aku, mantap, loh, Kak." tanya Shania sembari meminta Egi untuk meminum teh manis buatannya."Emmm ... I-ya. Kamu inget nggak awal kita ketemu? Diminum, ya, Tan, Shan." Egi meminum teh manis itu."Enak beneran, ya. Aku mau daftar jadi suami, kamu, ya. Biar tiap hari dibikinin teh manis seenak ini." Egi membuat Shania tersipu malu.Shania salah tingkah dan mengalihkan topik pembicaraan."Eh, waktu aku nabrak Kak Egi, pas keluar dari kantin itu, ya? Itu pertama kali kita ketemu, kan? ""Iya. Wakt
"Sejak kapan, ya?""Sejak pertama kali kita bertemu."Mata mereka saling beradu. Hampir saja Shania sakah tingkah."Be-benarkah? Kok, baru bilang sekarang?""Yup. Love at first sight. Memangnya, kalo aku bilang dari dulu, kamu bakal mau jadi pacar aku? Waktu itu kamu masih pacarnya Bagas.""Emmm ... iya, sih. Lalu? Kakak cari tau tentang aku dari mana?" Shania tersipu malu."Dunia ini sempit, Shan. Aku mengikutimu saat kamu ke kampus atau saat kamu pergi.""Jadi, selama ini, Kakak sering ngikutin aku?""Yup. Aku ingin melindungimu, meski dari jauh."Mata Shania menganak, ia terharu mendengar ucapan Egi. Ia tidak pernah tau ada orang yang diam-diam mencintainya."Jadi, Kakak tau saat aku rapuh?" tanya Shania dengan wajah serius.
"Emmm ...." Tiba-tiba ada yang memanggil namanya. Suara Shania tercekat ketika menjawab pertanyaan Egi karena panggilan seseorang. Sontak ia melihat ke arah datangnya suara. "Bagas?" Seketika matanya melirik ke arah Egi, lalu berganti ke arah Bagas. "Akhirnya kita ketemu di sini, ya, Shan." Bagas antusias. "Emmm ... memangnya, kamu cari aku?" tanya Shania dengan wajah datar. "Iya, dong. Aku masih nyariin kamu ke mana-mana," ucap Bagas sambil menarik kursi di seberang Shania dan duduk tanpa permisi. "Ada apa?" tanya Shania melirik ke arah Egi yang ada di sampingnya. Egi diam tak mengatakan apa pun. Ia bingung karena takut salah ucap. Egi cukup bijaksana menyikapi situasi seperti ini. "Shan, aku ke toilet bentar, ya." Egi pamit kepada Shania.
Seorang siswa SMA tengah melangkahkan kaki menuju ruang kelasnya yang baru setelah menikmati libur kenaikan kelas selama dua minggu. Ia adalah Bagas, salah satu siswa di Sekolah Menengah Atas Negeri di Bandung. Ia seorang laki-laki berwajah tampan, berkulit putih, berhidung mancung, dengan bibir berwarna merah delima. Ketampanannya yang mutlak membuat nyaris seluruh gadis yang ada di sekolahnya jatuh hati padanya.Tidak seperti siswa kebanyakan, ia termasuk siswa yang taat pada peraturan sekolah, tidak merokok dan tidak pernah macam-macam. Tepat sekali jika ia terpilih menjadi ketua OSIS. Banyak siswi yang mengaguminya, di mata mereka, Bagas adalah laki-laki yang sempurna nyaris tanpa cela.Remaja lelaki itu mulai memasuki ruang kelas yang telah diisi oleh banyak siswa dan siswi. Ia berhenti sejenak di depan kelas, mengedarkan pandangannya untuk mencari bangku yang kosong. Ia melihat ada satu bangku kosong yang tersisa dan orang yang d
"Kak Bagas teleponan sama siapa, ya?" batin Melati."Iya, aku duduk sama Shania, kan jumlah cewek di kelasku ganjil, terus kursi di meja Shania belum ada yang dudukin, kamu gak usah cemburuan gitu, Sil," kata Bagas diam sejenak mendengarkan pembicaraan Silmi. "Iya, aku pernah suka sama Shania, tapi itu dulu 'kan? Udah dulu, ya, aku mau makan siang, udah ditunggu sama tanteku di bawah." ucap Bagas, bicara di sambungan telepon yang kemudian didengar oleh Melati.Tiba-tiba Bagas keluar dari kamarnya, Melati sontak terkejut. "Mel, kamu ngapain di sini?" kata Bagas, sama terkejutnya dengan Melati."Emm … eng–gak, aku disuruh Mama, susulin Kakak buat makan siang bareng," jawab Melati gugup, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ya udah, ayo buruan ngapain masih di situ?"ucap Bagas, sambil menarik tangan Melati menuruni anak tangga."Ay
"Emmm ...." Tiba-tiba ada yang memanggil namanya. Suara Shania tercekat ketika menjawab pertanyaan Egi karena panggilan seseorang. Sontak ia melihat ke arah datangnya suara. "Bagas?" Seketika matanya melirik ke arah Egi, lalu berganti ke arah Bagas. "Akhirnya kita ketemu di sini, ya, Shan." Bagas antusias. "Emmm ... memangnya, kamu cari aku?" tanya Shania dengan wajah datar. "Iya, dong. Aku masih nyariin kamu ke mana-mana," ucap Bagas sambil menarik kursi di seberang Shania dan duduk tanpa permisi. "Ada apa?" tanya Shania melirik ke arah Egi yang ada di sampingnya. Egi diam tak mengatakan apa pun. Ia bingung karena takut salah ucap. Egi cukup bijaksana menyikapi situasi seperti ini. "Shan, aku ke toilet bentar, ya." Egi pamit kepada Shania.
"Sejak kapan, ya?""Sejak pertama kali kita bertemu."Mata mereka saling beradu. Hampir saja Shania sakah tingkah."Be-benarkah? Kok, baru bilang sekarang?""Yup. Love at first sight. Memangnya, kalo aku bilang dari dulu, kamu bakal mau jadi pacar aku? Waktu itu kamu masih pacarnya Bagas.""Emmm ... iya, sih. Lalu? Kakak cari tau tentang aku dari mana?" Shania tersipu malu."Dunia ini sempit, Shan. Aku mengikutimu saat kamu ke kampus atau saat kamu pergi.""Jadi, selama ini, Kakak sering ngikutin aku?""Yup. Aku ingin melindungimu, meski dari jauh."Mata Shania menganak, ia terharu mendengar ucapan Egi. Ia tidak pernah tau ada orang yang diam-diam mencintainya."Jadi, Kakak tau saat aku rapuh?" tanya Shania dengan wajah serius.
"Ih, Mama ... sekongkol, nih, sama Kak Egi!" Shania protes sembari duduk di samping mamamya.Ia curiga, Egi merahasiakan sesuatu bersama ibunya."Nggak. Tadi, Egi cerita tentang awal pertemuan dengan kamu." Ibunya berbohong."Wah, emang, iya, Kak? Eh, diminum duku, Kak. Teh manis bikinan aku, mantap, loh, Kak." tanya Shania sembari meminta Egi untuk meminum teh manis buatannya."Emmm ... I-ya. Kamu inget nggak awal kita ketemu? Diminum, ya, Tan, Shan." Egi meminum teh manis itu."Enak beneran, ya. Aku mau daftar jadi suami, kamu, ya. Biar tiap hari dibikinin teh manis seenak ini." Egi membuat Shania tersipu malu.Shania salah tingkah dan mengalihkan topik pembicaraan."Eh, waktu aku nabrak Kak Egi, pas keluar dari kantin itu, ya? Itu pertama kali kita ketemu, kan? ""Iya. Wakt
"Assalamualaikum," ucap Egi sambil mengetuk pintu."Waalaikumsalam," sahut Shania sembari membuka pintu."Hi, Kak!""Hi, Shan.""Silakan masuk, Kak." Mereka berhadapan dan baru kali ini jarak antara Egi dan Shania lebih dekat dari biasanya. Mata mereka beradu, seperti ingin saling mencengkram."Kamu makin cantik, Shan." Shania memalingkan wajahnya yang memerah karena malu."Emmm, silakan duduk, Kak." Shania mengalihkan perhatian Egi yang masih saja menatap dirinya.Ada debar di dada masing-masing yang tak mungkin diungkapkan. Keduanya mengatur napas agar tidak gugup. Egi mengambil posisi duduk di sofa dekat pintu, sedangkan Shania duduk di sofa yang berada di samping tempat duduk Egi. Dengan anggunnya Shania memulai membuka suara. Sedikit basa-basi untuk menyambut lelaki tampan itu.
"Ini, siapa, ya?""Saya Egi, Shan.""Ya Allah, Kak Egi. Bikin orang parno aja. Nelepon yang pertama kenapa gak ngomong?""Oh, jadi yang tadi tuh, nyambung? Tadi tuh, aku udah niat telepon kamu, trus tiba-tiba mamaku manggil. Aku taro ponselku di atas meja. Aku kira belum nyambung. Hahaha ...,""Ih, Kak Egi! Aku sempet takut tadi.""Takut kenapa emang?""Ya, takut orang jahat, gitu.""Ya udah, maafin aku, ya!""Ya, nggak apa-apa, Kok. Btw ada apa, Kak? Tumben.""Kangen aja sama kamu, pengen dengar suara kamu.""Iih, gombal!""Serius, aku kangen.""Ya udah, terserah.""Asyik! Berarti aku boleh kangen sama kamu, dong?""Ih, Kak Egi! Awas ya! Godain aku terus.""Kar
"Sini-sini kita duduk dulu, Shan." Astrid menarik tangan Shania. "Cerita sama aku." Ia mengusap lembut bahu Shania. Perempuan yang masih berurai air mata itu menceritakan semua yang terjadi ketika sahabatnya tidak ada di sampingnya.Tak berhenti derasnya air mata, membuktikan betapa sakitnya perasaan Shania. Meski cintanya tetap milik Bagas, tapi kini ia ingin melupakan lelaki yang tidak pernah menyerah mengejarnya. Baginya cinta tak selalu harus memiliki. Biarkan nama dan kenangan bersama Bagas terkubur bersama masa lalunya. Tak sedikit pun ia berharap untuk kembali merengkuh asa yang pernah ada."Sabar ya, Shan." Astrid kembali memeluk Shania. Akhirnya air mata itu surut. Ia lega telah menceritakan semua pada Sahabatnya."Makasih, ya, Astrid. Aku lega sekarang." Shania berusaha tersenyum."Sama-sama, Shan. Aku seneng bisa jadi temen kamu dalam susah dan senang.""Btw tadi Andika ngapain ketemu kamu? Kalian jadian, ya?" t
Shania dan Astrid saling berpandangan, ketika melihat laki-laki itu duduk di hadapan mereka."Sepertinya aku kenal, nih orang," batin Shania."Kok, kayak kenal, ya? gumam Astrid." Iya, kalian pasti kenal saya," sahut lelaki itu, sambil membuka kacamata, masker dan topinya."Andika?!" ucap Shania dan Astrid, serentak."Ya ampun tadi kirain, siapa," ucap Shania mengeraskan suara."Iya, Shan. Saya sengaja kesini mau bicara serius sama Astrid," terang Andika."Aku?" tanya Astrid terkejut."Waw, surprise. Oke aku balik duluan deh, ya?" pamit Shania."Jangan dong, Shan. Aku balik bareng kamu, ya," cegah Astrid."Ih, kamu ntar di anter Andika, dong," kata Shania."Iya, aku anterin kamu nanti, Astrid," ucap Andika menatap Astrid lekat."Tuh kan, ya sudah aku duluan, ya," Shania meninggalkan mereka berdua di kantin.Shania berlalu sendi
Bagas tidak menyerah, terus saja menghubungi Shania. Setelah puluhan kali Bagas menekan tombol hijau itu, kini kontak Shania sedang sibuk. Bagas kesal, akhirnya ia berhenti menghubungi Shania. Lelaki itu frustrasi dan melempar ponselnya ke tempat tidur yang beberapa hari ini selalu berantakan. Begitu dahsyat perasaan seseorang yang sedang dimabuk cinta, seolah dunia akan berakhir jika tidak bisa mendapatkan sang pujaan hati. Kini ia menyesal karena tidak memperlakukan Shania dengan baik. Baru menyadari semua aturan dan keribetan Shania adalah bukti bahwa perempuan yang selisih usianya hanya beberapa bulan dengannya itu serius dan ingin yang terbaik untuk hubungan mereka. Waktu tak dapat diulang, seandainya Bagas ingin memperbaiki pun sudah terlambat. Meski lelaki itu yakin Shania masih mencintai dirinya. Namun, tak mudah memberi kesempatan yang kedua kali. Buktinya, puluhan kali ia menghubungi sang mantan, tidak pernah ada jawaban atau balasan da
"Enak juga tidur di lantai," gumam Bagas.Meskipun lantai keras, tapi tetap membuatnya tidur nyenyak. Ia mencari kontak yang diberi nama Shaniaku, Lalu meng-klik tombol berwarna hijau. Tidak ada jawaban dari sang pemilik nomor telepon itu, sekali lagi ia coba menghubungi nomor tersebut, kali ini di-reject. Bagas mencoba lagi dan lagi, tetap tidak ada jawaban."Shania marah padaku, bagaimana ini?" batin Bagas, sambil mengusap wajahnya dengan kasar. "Astrid, aku harus hubungi Astrid, siapa tau Shania sedang bersama Astrid." gumamnya lagi.[Astrid, sorry urgent nih, Shania ada bareng kamu, gak?] tanya Bagas, di aplikasi WhatsApp.[Gak ada, hari ini dia gak masuk kuliah."[Aku telepon dia di-reject Trid, kemana Shania, ya?][Ada apa sebenernya di antara kalian? Aku bingung, kemaren Shania yang cemasin kamu, sekarang kamu yang nyari dia, heran aku, kalian kenapa, sih?!][Benarkah? Waktu itu Shania nyariin aku?]