Bab 25 SabarNing mengambil ponsel milik Syam. Layarnya tertulis nama Zen."Mas Alan, Syam," ucap Ning ragu."Angkat aja! Bilang kalau aku lagi anter kamu pulang."Deg,"Ini, kamu aja Syam yang ngomong.""Jalanan ramai, Ning. Berbahaya menggunakan ponsel saat menyetir."Ning mendes4h pelan. Ia memberanikan diri mengusap layar lalu menempelkan benda persegi itu ke telinga."Kenapa lama angkatnya? Kamu di mana, Syam?"Ning tersentak mendengar suara bernada tinggi dari seberang. Ia sedikit menjauhkan ponselnya."Mas Alan nyariin.""Jawab aja!" Syam menoleh sekilas ke arah Ning. Karena wajah Ning ragu untuk menjawab ia pun menyuruh Ning meloudspeaker."Ada apa, Mas? Aku lagi nyetir nih.""Kamu di mana, Syam?""Aku lagi di jalan sama Ning. Mau anterin dia pulang.""Apa?!""Sudah dulu ya. Nanti kalau sudah sampai aku hubungi lagi.""Tunggu, Syam!""Matikan aja!""Syam!"Ning terpaksa memutuskan panggilan secara sepihak. Brakk,"Astaghfirullah! Ada apa denganmu, Al?""Nggak usah ikut campur,
Bab 16A Rumah SakitSampai di rumah sakit, Pak Rahmat mendapat pertolongan di IGD. Dokter menyatakan kalau laki-laki yang sudah berusia lewat setengah abad itu terkena struk. "Apa penyakit bapak saya bisa disembuhkan, Dok?" tanya Ning dengan wajah sendu. Ia sedang konsultasi dengan dokter yang menangani bapaknya. Syam menemaninya, sedang ibunya menunggu di ruang IGD. "Ya stroke bisa sembuh. Tetapi, ada dua hal yang menentukan kesembuhan stroke. Pertama, pengobatan awal yang dilakukan dokter untuk mengembalikan aliran darah normal di otak dan kedua adalah partisipasi pasien dalam menjalani rehabilitasi atau terapi pasca serangan stroke. Beruntung, keluarga segeea membawa Pak Rahmat ke rumah sakit sehingga dapat segera ditangani. Namun, ini membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk menyembuhkannya. Pak Rahmat harus menjalani terapi." "Apa biayanya besar, Dok?" "Mbak tidak perlu kawatir, mengenai biaya bisa dicover pemerintah kalau mbak punya kartu jaminan kesehatan." "Oh begitu. B
Bab 16B Rumah Sakit"Bu, ini sarapannya. Ibu harus jaga kesehatan supaya bisa merawat bapak. Ning harus balik ke Yogya soalnya. Mbak Titin juga pasti bekerja di rumah Haji Ali. Amir juga sekolah. "Ya, ibu tahu. Nggak usah kamu ceramahi." Glek, Dugaan Ning salah. Dipikirnya sang ibu sudah mulai lembut bertutur padanya. Namun, pagi ini mode ibunya kembali ke setelan awal. Ia melirik Syam yang memperhatikannya. Malu jelas iya, tapi Ning tak acuh dengan hal itu. Ning mengajak ibunya sarapan di luar karena ruangan akan dibersihkan. Ia pamit pada bapaknya dibalas dengan anggukan. "Maaf, Bu. Ibu jangan berpikiraan buruk dulu. Ning di Yogya beneran kerja di kantin kampus. Mas Eko yang nyarikan. Alhamdulillah Ning sudah bisa mengumpulkan uang. Tentang Syam ini. Dia anak dari perempuan yang menolong Ning waktu dicopet di terminal." "Saya Syam, Bu. Saya mahasiswa di tempat Ning jadi kasir. Saya hanya membantu mengantarnya pulang." "Syam juga mau membantu Ning memulai usaha keripik singkong
Bab 17A Diskusi dengan keluargaSetelah mendapat perawatan 24 jam di pantau oleh dokter, Pak Rahmat diperbolehkan rawat jalan. Ning bersyukur dokter mengizinkan ayahnya memeriksakan di puskesmas terdekat dari rumah. Ada dokter yang akan menanganinya, sehingga keluarga tidak repot bolak balik ke kota. Namun, ayahnya dianjurkan melakukan terpai yang sudah dijadwalkan di rumah sakit kota."Bapak dan ibu nggak usah kawatir, Ning akan bantu biaya transport kalau bapak periksa. Semalam Ning sudah diskusi sama Syam, kalau usaha keripik mau kita mulai lagi.""Apa kamu yakin ini akan berhasil, Ning?" Kali ini Ning merasa ibunya melunak. Entah karena apa, yang pasti hati ning berbunga-bunga saat ibunya memandang lembut dirinya. Seulas senyum pun terbit di bibir tipisnya."Kata Syam, usaha dulu Bu. Kalau nggak dicoba kita nggak tahu berhasil atau enggak.""Iya betul, Bu. Di kampus kadang ada event pameran. Nanti bisa produknya kita titipkan di acara itu. Yang penting di sini ada tenaga yang siap
Bab 18 SemangatSore hari setelah Ning memberi penjelasan untuk produksi keripik, Titin dan Amir mengangguk paham. Sementara, kedua saudaranya yang fokus memproduksi. Mereka akan meminta bantuan teman atau tetangga yang bisa diandalkan andai orderan meningkat. Sementara itu, Bu Romlah diminta Ning membantu sebisanya. Sebab ibunya harus fokus merawat sang ayah. Tentu saja itu sebagai alasan Ning agar ibunya tidak capek bekerja. Ia menyesal tidak berhasil membujuk ibunya untuk periksa kesehatan. Katanya kondisinya baik-baik saja."Mbak Titin, Amir, pokoknya ibu nggak boleh capek-capek.""Ckk, nggak usah dengerin omongan Ning. Ibu masih kuat.""Bu! Kasian bapak juga nanti sendirian kalau ibu sibuk bekerja.""Iya-iya. Nggak usah banyak omong," ujar Bu Romlah sedikit bercanda. Ning sumringah melihat ibunya mulai melunak dalam bersikap padanya."Sementara ketelanya bisa beli di tempat tetangga jika dari kebun kita kurang ya, Mir.""Siap, Mbak.""Oya untuk aneka rasa sebaiknya menunggu kabar
Bab 19 Jalani saja"Aku harus gimana, Yuk. Syam itu adiknya Zen. Dia tidak tahu aku orang yang menghancurkan masa depan kakaknya di masa lalu. Meskipun Zen sekarang jadi dosen di kampus tempatku bekerja, pasti laki-laki itu berat melewati masa lalunya.""Apa kamu tahu kisah Zen sampai saat ini?""Nggak, Yuk. Aku hanya tahu kalau dia yang dulu ramah dan murah senyum. Sekarang jadi bersikap dingin. Terlebih saat bergemu denganku, dia sama sekali tidak ada lembutnya.""Miris sekali nasibmu, Ning. Tapi percayalah Allah pasti punya rencana terbaik karena mempertemukanmu dengan Zen. Jalani saja! Bukankah kamu dulu menyukainya?""Saat ini bukan perkara perasaanku, Yuk. Dia sangat membenciku. Aku hanya butuh maaf darinya. Aku juga berniat mengganti uang yang dia berikan pada ibu. Aku mau menemui Mbak Vina untuk meminta saran cara mengembalikan uang Zen."Ning menelungkupkan wajah di bahu Ayu. Sahabatnya itu sangat tahu kondisi keluarga Ning hingga merekayasa supaya mendapat uang banyak. Namun,
Bab 20 Pameran yang ricuh Seminggu berlalu, usaha memasarkan keripik singkong tergolong lancar. Hanya libur sehari karena mempersiapkan produk untuk pameran, mahasiswa sudah berburu ketersediaan keripik milik Ning. Malam hari Ning sudah mulai menyicil uang Zen dengan mentransfer uang. Meski baru sebagian kecil, tetapi Ning merasa beban dipundaknya mulai gugur satu. Ia melakukan transfer sesuai yang ditutorialkan oleh Syam. Ia perlu banyak berterima kasih pada laki-laki itu. Setelah mentransfer, Ning selalu mengirim pesan pada Zen. Namun, laki-laki itu tidak pernah memberi balasan. Menghembuskan napas pelan, Ning segera merebahkan badannya yang tidak pernah dirasa lelah. Menjalani hidup prihatin menjadikannya pribadi yang kuat menahan cobaan. Selain puasa senin kamis, ia merutinkan menggelar sajadah di sepertiga malam. Ia pernah mendengar nasihat seorang ustazd. Di sepertiga malam terakhir Allah SWT akan mengabulkan doa-doa dan mengampuni dosa hamba-Nya yang mendirikan salat Tahaju
Bab 20B Pameran yang ricuh "Sini biar kulihat tanganmu!" "Tidak perlu. Keluarlah dari ruanganku, Vin! Aku tidak ingin kamu terkena luapan emosiku." "Tidak Zen. Aku tetap akan di sini menemanimu." "Ya sudah. Aku mau pulang saja. Sampai jumpa. Tolong pintunya di tutup biar satpam yang mengunci. "Zen. Zen!" Vina berusaha menahan. Namun, Zen tidak mengindahkan seruannya. Zen meninggalkan Vina yang terpaku di ruangan sedikit berantakan itu. Vina merapikan kembali meja Zen. Kemarahan merajai hatinya. Ia tidak terima dengan kehadiran kembali Ning di hidup Zen. Melangkah ke luar ruangan, Vina hendak menuju stand pameran milik Ning. Ia sudah diliputi kemarahan. Beruntung tidak ada Syam di sana, ia bebas melakukan apa saja. Di sudut tak jauh dari tempat pameran, Vina berbicara dengan dua orang mahasiswi. Keduanya mengangguk paham lalu berjalan menuju stand Ning. "Hebat ya, bikin produk dengan aneka rasa tanpa meminta izin pemilik haki (hak cipta) nya. Itu namanya mencuri." "Eh maksudnya
Extra Part 2"Cari siapa, ya, Mbak?" tanya Zen yang berdiri diambang pintu. Wanita berambit panjang dikuncir itu membalikkan badan. "Zen." "Hah, Vina? Kamu, benar Vina?" Zen segera menjawab salam dari Vina. Wanita bernama Vina itu kini hamil besar seperti Ning istrinya. Wajahnya memang masih sama cantik seperti dulu. Namun, tidak ada pancaran keceriaan dari sorot matanya. Yang ada, Zen melihat Vina berwajah sendu. "Boleh aku duduk?" ucapnya membuat Zen terkesiap. "Iya, Silakan duduk. Aku minta bibi buatkan minum dulu." "Nggak usah, Zen. Aku buru-buru, pesawatku dua jam lagi." "Hmm, memangnya kamu mau kemana?" "Yah, siapa tamunya?" Ning berjalan tertatih dari dalam rumah. Begitu netranya memandang siapa yang duduk di seberang sang suami, Ning merasa degup jantungnya bertalu. "Mbak Vina?!" "Bun, duduk dulu. Iya ada Vina. Katanya terburu mau ke bandara." "Mbak Vina sendiri? Suaminya?" Vina yang ditanya tentang suami justru matanya berkaca-kaca. Terlihat ia menarik napas panjan
Extra Part 1Dua setengah tahun kemudian. Pagi yang cerah, Ning terlihat berjalan tertatih di teras rumahnya. Sebulan terakhir, ia menekuni hobi barunya yaitu merawat bunga. Sembari menemani si kecil Andina yang berusia dua tahun, ia menantikan kelahiran anak keduanya. Sepertinya Zen terlalu bersemangat supaya rumahnya ramai dengan anak kecil, hingga saat Andina berusia 16 bulan, Ning diberi amanah hamil anak kedua. "Sayang, jangan terlalu banyak berdiri. Kalau merasa kecapekan duduklah!" pinta Zen seraya melingkarkan sepasang lengannya di perut Ning yang sudah membuncit. HPLnya tinggal lusa Zen susah siaga di rumah dan memilih tidak ke kampus. "Ayah kenapa nggak ke kampus saja? HPL bunda masih lusa," bujuk Ning. Tangannya masih memegang selang untuk menyirami bunga-bunga yang baru dibeli kemarin. Sementara satu tangan lagi berusaha melepas belitan lengan kiri Zen. Namun, lelaki yang semakin matang diusianya itu tidak mau melepaskan pelukannya. "Yah, ada bibi sama Andina nanti," k
Bab 51 Cinta dalam doa (Ending)"Zen, bangun! Zen! Sudah siang masak masih ngorok, malu sama mertuamu." Suara Bu Tya terasa merdu di telinga Zen. "Hah, Papa, Mama." Zen tergagap dari bangunnya. Ia menoleh ternyata benar selain papa mamanya, juga ada mertuanya. "Eh Bapak, Ibu. Maaf Zen ketiduran." "Di mana, Ning, Nak?" tanya Bu Romlah dengan mengulum senyum melihat wajah bantal menantunya. Pak Rahmat dan Pak Maul hanya saling pandang dan melempar senyum. "Pasti Zen kayak kamu, Ul," celetuk Pak Rahmat. "Nggak lah, aku rajinlah, Mat." Beberapa menit kemudian, Ning dan Zen sudah duduk di ruang keluarga bersama orang tua dan mertuanya. "Alhamdulillah Ning hamil lima minggu, Pak, Bu," ucap Ning dengan senyum tersungging. "Iya, Ma, Pa. Mama benar, prediksinya jitu," ujar Zen dengan senyum mengembang. "Semalam Zen muter kota Yogya mencari tahu petis. Astaghfirullah, ibu hamil ternyata mintanya aneh-aneh," curhat Zen. Para orang tua pun tertawa mendengarnya. "Itulah Zen, papa sama Pak
Bab 50 Ngidam"Pa, kita mau jadi eyang." Suara berisik dari seberang membuat kening Zen berkerut. "Ishh, Papa dan Mama malah heboh ngomongin apa, sih? Halo, Ma. Halo...., Astaghfirullah. Harus tambah Sabar, Zen momong istri dan orang tua," guman Zen menghibur diri. Setelah melempar ponsel ke nakas, beberapa detik kemudian terdengar panggilan kembali. Zen berdecak kesal karena mamanya malah ngobrol dengan sang papa. "Ya, Ma." "Istrimu mual-mual kan, Zen?" "Ya, Ma. Dari tadi Zen kan dah cerita panjang lebar. Bahkan, Hani menanak nasi saja langsung mual saat mencium bau uapnya di dapur," lapor Zen. "Belikan tespek, sekarang." "Apaan, Ma?" "Ckk, nih anak sudah jadi dosen masak nggak tahu tespek," dengkus Bu Tya dari seberang. "Iya, untuk apa?" "Istrimu hamil, Zen." "Hah, serius, Ma? Lalu Zen beli tespeknya di mana?" "Astaghfirullah, Pa! Ajarin anakmu ini! Masak tanya beli tespek di mana?" teriak Bu Tya. "Di toko besi," sahut papanya masih bisa terdengar oleh Zen
Bab 49 Hamil "Han, gimana ceritanya kamu nggak jadi sama Pak Hilmi?" "Mau tahu apa mau tahu banget?" "Ckk, serius aku ingin tahu." "Jadi, saat itu...." Saat makan malam yang dijanjikan, Hilmi datang membawa Nastia. Ning memberanikan diri mengutarakan isi hatinya. "Pak Hilmi, maaf sebelumnya. Saya tidak bisa menerima lamaran Bapak." "Kenapa, Han? Apa kurangnya saya, sampai kamu menolak?" "Bapak tidak kurang suatu apapun. Bapak sangat baik sama saya dan keluarga. Hanya saja, saya memikirkan kebahagiaan Nastia, Pak. Nastia bukan membutuhkan sosok ibu baru. Dia justru membutuhkan sosok ibu kandungnya." "Apa maksudmu, Han? Jangan bilang kalau kamu menolak saya karena mamanya Nastia." "Ya. Benar, Pak. Maafkan saya kalau salah menilai." "Apa kamu diteror mantan istri saya?" "Bukan mantan, Pak. Mama Nastia masih istri Pak Hilmi, kan?" Hilmi terkejut mendapati Ning tahu yang sebenarnya. "Iya, maksud saya sebentar lagi ibunya Nastia akan berpisah dengan saya.". "Saya mohon Pak Hil
Bab 48 Menikah "Astaghfirullah, kenapa liputan beritanya seperti ini?" "Ada apa, Mbak Ning?" Amir mendekati kakaknya untuk membantu menjawab. "Maaf, acara lamaran ini adalah lamaran kakak kami Mbak Titin dan Mas Eko, bukan Mbak Ning. Kalian salah besar." "Oh begitu? Lalu lamaran bos keripik singkong ini kapan dilakukan? Apa calonnya masih sama dengan seorang dosen yang berstatus duda?" "Maaf, itu biar kakak saya yang menjawab," balas Amir. Ning mengedarkan pandangan, netranya menangkap ada Zen dengan pakaian kemeja navy rapi dipadu celana katun warna hitam. Rambutnya sudah dipotong cepak dan jambangnya sudah dipangkas habis. Ning benar-benar melihat sosok Zen yang dikenalnya sejak enam tahun lalu. "Hmm, itu tanya saja pada laki-laki yang sedang berjalan mengenakan kemeja rapi." Dua wartawan bergegas menghampiri Zen yang tergagap karena dihadang oleh keduanya. "Maaf, Mas. Boleh tahu namanya siapa?" "Ya, saya Zen Maulana tamu di sini. Ada apa ya?" "Ah, Mas nya jangan berbohong
Bab 47 Fakta"Pak Rahmat, Bu Romlah. Papa saya bersalah, papa saya telah berbuat jahat pada keluarga Bapak. Biarkan saja laki-laki tua ini menanggung dosanya. Saya malu punya papa seperti dia." "Zen!" pekik Ning dari lantai atas. Perempuan itu tergesa menuruni anak tangga sambil membetulkan pasminanya. "Apa-apaan, Zen. Mereka orang tuamu. Kenapa kamu berkata kasar padanya?!" Ning menatap nyalang Zen yang wajahnya merah padam. "Han?! Tidak ingatkah kamu apa yang telah dia lakukan padamu. Dia merendahkanmu. Memisahkan kita demi mempertahankan egonya. Papaku egois, Han." "Tidak, Zen. Papamu benar, keluargaku miskin. Tidak sepantasnya kita bersama. Kamu tidak boleh membencinya, Zen. Bukankah kamu pernah berkata padaku, huh." Ning membalikkan pernyataan Zen yang selalu terpatri di memorinya. "Jangan pernah membenci orang tua kita. Apapun keadaannya, mereka sudah mengajarkan pada kita arti hidup dan perjuangan," tegas Ning sambil menatap tajam Zen. Zen tertunduk malu. Kalimat yang dul
Bab 46 Minta Maaf"Terima kasih, Zen." Zen hanya bisa menatap punggung perempuan yang sekarang tampak cantik dan pandai berbicara di depan umum itu. Jelas, Ning masih bersemayam di hatinya. Zen menghela napas panjang. "Haruskah aku merelakanmu untuk laki-laki lain, Han?" Zen meraup wajahnya kasar, lalu melangkah masuk rumah dengan tergopoh. "Zen, siapa gadis tadi?" tanya sang papa yang memutar kursi rodanya di dekat jendela menuju ambang pintu. Zen hanya bergeming. Memilih duduk lalu menyandarkan punggungnya di kursi, kepala Zen menengadah ke atas. "Zen," ulang papanya. "Ya, Pa. Maaf, kepala Zen pusing sekali." "Siapa gadis tadi? Apa dia putri si Mamat?" Mamat adalah panggilan masa kecil Pak Rahmat oleh Pak Maul. Sejak SD keduanya adalah sahabat karib. Hingga kelulusan SMP mereka terpisah karena kepindahan Pak Maul ke kota pelajar mengikuti orang tuanya. "Dia bos keripik singkong itu, ya? Nasib Mamat memang beruntung. Kerja kerasnya mendidik anak dan juga memperbaiki kondisi ek
Bab 45 Tetangga Baru "Selamat ya, Han, atas pencapaiannya. Semoga ilmu yang kamu dapatkan berkah dan bermanfaat untuk orang banyak. Selamat juga bisnismu berkembang pesat." "Terima kasih, Pak Hilmi. Bapak sudah membimbing saya dengan baik." Hilmi mengulas senyum lalu menyalami Pak Rahmat dan Bu Romlah juga Amir. "Terima kasih Pak Hilmi sudah membimbing putri saya hingga menjadi sukses seperti ini," ucap Pak Rahmat. Berkat terapi rutin, ayah Ning bisa berjalan kembali meskipun tidak normal. Keluarga Ning bersyukur perawatan kondisi stroke untuk ayahnya tidak terlambat sehingga bisa cepat pulih sehat kembali. Ning mengedarkan pandangan, netranya sekilas melihat sosok yang mencuri perhatiannya. Ia lalu tersenyum kecut mengingatnya. "Ada apa, Han?" "Itu, dosen baru yang kemarin menolak jadi penguji, Pak. Sepertinya beliau tadi ada di kerumunan itu." "Kamu masih kesal sama beliau, Han?" "Sedikit." "Sudah lupakan saja. Beliau memang unik. Mungkin ke sini juga nyari target sama sepe