Rumah Tian tidak terlalu jauh dari rumahnya. Hanya berjarak sekitar setengah jam dengan mengendarai mobil. Papa dan mama Tian tidak ikut mengantar karena ada hal penting terkait pekerjaan papanya. Jadi hanya mereka berdua saja.Pagar besi yang menjulang dibuka oleh seorang petugas keamanan membuat mobil Tian langsung masuk tanpa menunggu lama. Kendaraan roda empat itu langsung masuk ke garasi. Agni mengikuti Tian turun dari mobil dan menuju pintu utama yang sudah terbuka.“Silakan masuk, Tuan, Nyonya.” Seorang wanita perih baya mempersilakan mereka masuk.“Makasih, Bik. Ini Agni, istri saya.”Agni langsung mengangguk dan tersenyum ramah. Ternyata di rumah ini sudah ada pembantu. Pasti Tian sudah mempersiapkan semua ini sejak lama. Hati Agni menjadi gamang karena dia tahu sama sekali tidak bisa memberi kebahagiaan seperti yang diinginkan Tian dan para suami lainnya.Dia menatap punggung Tian yang menjauh. Ada rasa bersalah yang menyelinap di hatinya. “Ayo, Nyonya. Masuk.”“I-iya, Bik.
“Agniii!”Axel terbangun sambil berteriak memanggil nama Agni. Tubuhnya sudah basah oleh peluh yang mengalir di sekujur tubuh.“Astaga, untung cuma mimpi,” lirihnya pelan seraya mengusap wajah kasar.Ternyata dia sedang mimpi tentang Agni. Mungkin karena terlalu sering memikirkan wanita itu, jadi alam bawah sadarnya menyimpan memori satu nama hingga terwujud dalam alam mimpi yang terasa sangat nyata bagi Axel. Pemuda tampan berusia dua puluh tiga tahun itu segera turun dari ranjang menuju kamar mandi. Dia ingin mencuci muka menghilangkan kegundahan akibat mimpi yang dialami barusan. Axel memandang wajahnya sendiri di cermin. Sisa-sisa keringat masih menempel di wajahnya. Dia mengingat lagi semua yang terjadi di mimpi tadi. Dari Agni yang berpenampilan berbeda, sampai seorang laki-laki yang mengaku suaminya meski Agni tidak menolak atau pun membenarkan.Wajah laki-laki yang sempat memukulnya dalam mimpi tadi tidak terlalu jelas. Jadi Axel tidak tahu siapa pria tersebut.“Apa kamu me
“Ya bagus, dong? Siapa tahu sebentar lagi bakalan ketemu beneran.”“Gue belum selesai,” kesal Axel. Arkan pun terkekeh geli sambil menunjukkan deretan giginya.“Di mimpi itu Agni udah punya suami. Dan ... dia beda banget. Nggak kayak Agni yang kita kenal selama ini.”Arkan mulai memasang wajah serius mendengarkan cerita sahabatnya tersebut.“Dia makin cantik, sih. Tapi mukanya kayak nggak bahagia gitu. Dan wajah cowok yang ngaku sebagai suaminya itu nggak jelas.”Arkan mengembuskan napas berat.“Lo sering mikirin Agni, ya?” tanya Arkan.Axel tidak menjawab, hanya menundukkan kepala seraya mengangguk lemah.“Sebenarnya mungkin itu yang bikin Lo sampe mimpiin dia. Kalo soal apa yang terjadi di mimpi itu ... bisa jadi itu bener, tapi nggak menutup kemungkinan itu malah sebaliknya dari yang terjadi di dunia nyata.”“Maksud Lo?” Axel menautkan alis tidak mengerti dengan ucapan Arkan.“Kemungkinan dia memang udah menikah dan dia kurang bahagia mungkin sama suaminya. Kemungkinan kedua dia be
Akhirnya Nafa meninggalkan Tian setelah mereka saling bersalaman.Setelah sosok Nafa benar-benar sudah keluar, Tian segera menelepon Anwar yang menjabat sebagai staf divisi personalia.“Ke ruangan saya sebentar.”Tak lama Anwar datang dan langsung duduk di kursi yang tadi di duduki Nafa.“Ada apa?”Jika di depan rekan kerja, mereka sangat profesional selayaknya atasan dan bawahan. Tetapi jika sedang berdua, mereka biasa saja selayaknya teman pada umumnya.“Nafa resign.” Tian memijit keningnya sambil memejamkan mata. “What? Resign, nggak becanda, kan? Kamu?”“Ck. Ya nggak lah. Nih, surat pengunduran dirinya.”Anwar memeriksa surat tersebut. Sekaligus undangan yang tadi diberikan Nafa pada Tian.“Astaga. Patah hati banget gue. Sia-sia memendam cinta bertahun-tahun,” lirih Anwar yang masih memandangi surat undangan berwarna merah hati tersebut.“Jadi Lo suka sama Nafa?” tanya Tian yang memang tidak tahu soal itu. Sebab Anwar tidak pernah mengatakan apa pun. Juga tidak pernah menunjukkan
"Loh, tumben tuan sudah pulang jam segini, seharusnya masih dua jam lagi,” seru bi Ira saat samar-samar mendengar deru mobil Tian berhenti di garasi.Agni yang sedang membantu bi Ira membereskan peralatan masak pun ikut melihat ke arah luar meski tidak akan nampak karena mereka sedang berada di dapur.Benar saja, Tian masuk dengan langkah tergesa. Dia langsung menuju dapur membuat Agni dan bi Ira menganga. Pasalnya napas Tian seperti orang habis berlari berkilo-kilo meter.Tanpa berkata apa-apa Tian langsung menarik tangan Agni dan membawa istrinya itu masuk ke dalam kamar.Tek! Pintu langsung dikunci oleh Tian. Agni yang masih syok hanya bisa diam saja sambil mengedipkan mata beberapa kali. Tian sedikit berbeda dari biasanya.Tian mendekati Agni perlahan. Sementara wanita itu mundur hingga tubuhnya terduduk di ranjang.Tian langsung mencium Agni dengan kasar. Dia sudah dibakar nafsu karena melihat Desy yang begitu seksi di kantor tadi. Dan dia ingin melampiaskan hal itu pada istri s
Sebulan telah berlalu. Tian terus berusaha mengerti bahwa Agni belum bisa menerimanya sebagai suami. Jangan tanya bagaimana dia melampiaskan hasrat biologisnya. Dia punya cara sendiri meski Agni belum juga mau menyerahkan diri.Suasana hati Tian sedang baik hari ini. Agni memasak masakan kesukaannya untuk sarapan. Juga membawakannya bekal, Agni juga tidak marah ketika dia mengecup keningnya sebagai tanda pamit pergi. Hal itu baginya sebuah tanda bahwa Agni sudah mulai membuka hati. Mungkin benar kata Damar dia hanya perlu bersabar sebentar lagi.Suara ketukan di pintu membuatnya menatap benda persegi panjang tersebut.“Masuk!”Desy masuk dengan membawa beberapa berkas yang perlu untuk Tian tandatangani.Sepertinya Desy suka sekali memakai dres atau kemeja dengan warna cerah dan berbahan tipis. Meski sudah jadi pemandangan sehari-hari. Tetapi tetap saja Tian selalu berdebar setiap melihat lekuk depan dan belakang Desy yang menggiurkan.“Bagaimana rencana rancangan untuk mall terbaru?”
"Makasih nasihatnya, Bro. Gue akan jaga jarak sama Karina mulai sekarang.”“Bagus. Ya udah gue cabut dulu. Tuh, temen-temen lain udah pada dateng.”Axel mengacungkan ibu jari ganda setuju.“Kan, mau ke mana, Lo? Kita dateng Lo malah pergi,” teriak Johan saat Arkan akan meninggalkan studio mereka.“Gue mau ke toko. Ana barusan menelepon ada pelanggan baru yang agak rewel. Oke gue cabut dulu ya?” teriaknya seraya mengangkat satu tangan.Ana adalah salah satu pegawai di toko baju milik Arkan yang paling dia percaya. Bulan ini Arkan membuka cabang baru yang dilengkapi dengan sepatu, jam tangan dan tas. Tapi masih tetap khusus fashion untuk laki-laki. Jadi dia harus berhadapan dengan para pelanggan baru yang kadang tingkah dan permintaannya aneh-aneh. Membuat Ana, Fika dan Oliv sedikit kelabakan.Sengaja dia memindahkan Ana ke cabang agar bisa mengajari Fika dan Oliv sebagai pegawai baru. Sedangkan di toko pusat ada Mira dan Penti. Ditambah satu pegawai baru bernama Esti.*Arkan sudah tib
Setelah Tian pergi, Arkan memeriksa penjualan seminggu ini. Ternyata untuk toko yang baru buka, pendapatan mereka sudah sangat besar. Itu terkuat dari cacatan yang diserahkan Ana. Banyak stok barang yang habis terjual. Bahkan Ana sudah memesan sebagian barang kepada grosir atau rumah fashion tempat langganan mereka memesan barang. Hal itu memang sudah diajarkan oleh Arkan sejak pertama kali Ana kerja bersamanya. Gadis berjilbab itu cepat tangkap dan gesit. Mungkin kemajuan toko Arkan salah satunya karena Ana. Jadi Arkan tidak segan-segan memberi gaji tinggi pada Ana.Setelah semua beres, Arkan berniat kembali ke studio musik. Dia pamit pada Ana, Fika dan Oliv. Kemudian bergegas melajukan mobil. Dia sangat mendukung teman-temannya yang sedang merintis grub band bergenre pop bernama d’Star. Nama tersebut dipilih secara bersamaan. Makna bintang karena punya lima sudut sedang ada satu titik di tengahnya. Mereka berlima, sedangkan Arkan ada di tengah karena selalu mendukung mereka.Jangan
"Xel!" Agni menatap Axel berkaca-kaca. Tidak menyangka Axel tidak menyerah demi mendapatkanya. Padahal, Agni sempat ingin berpaling.Axel mengangguk maksum dan mencium kepala Agni. Tidak perlu berkata apapun. Karena Axel tau cinta Agni cuma untuknya."Tapi aku harus bilang sama papa dan mamanya Tian. Gimanapun mereka sangat baik ke aku!" Axel mengangguk maksum. Ia mengantarkan Agni ke rumah orangtua Tian. Di sana Agni disambut tapi mama Tian bingung siapa pria yang bersama Agni. Keduanya masuk dan menjelaskan kepada orangtua Tian.Mama Tian sangat kaget saat tau perbuatan Tian yang suka mengurung Agni."Astaga!" Dia tidak bisa menyalahkan Agni. "Lalu bagaimana, kamu ingin bercerai dari Tian, Agni?" Papa Tian menengahi. Dia dapat kabar dari orang kantornya kalau Tian punya hubungan gelap dengan sekretarisnya. Sepintar-pintarnya Tian menutupi, perselingkuhannya tercium juga dan papa Tian tidak bisa mengelak lagi. Selingkuh dan melakukan kekerasan fisik. Pantas anak mantunya tidak
Siang itu Axel menemui Agni di rumahnya. Dia ingin mengingatkan wanita itu perihal perlakuan Tian selama ini yang benar-benar salah, yaitu penuh kelicikan dan memfitnah habis-habisan. Sebenarnya dia tahu jika Agni pasti peduli, tetapi nampaknya selama ini Axel merasa tidak ada pergerakan apa-apa dari wanita itu. Jika dikata harus sabar, nampaknya Axel tidak bisa. Dia harus segera melanggar permasalahan ini dan bertindak lebih cepat dari Agni, yaitu dengan memberikan hukuman kepada Tian yang sudah berani berbuat. Jika tidak seperti ini, maka sampai selamanya Tian pasti akan terus-menerus seperti itu. Dia tidak bisa menyadari kesalahannya sendiri dan bahkan hanya bisa menjadikan orang sebagai kambing hitam atau semua yang telah terjadi, tentang permasalahan yang ada. Mendengar dan melihat yang seperti itu, siapa yang tidak marah? Ya, tentu. Axel sudah bukan lagi ingin marah, tetapi dia memiliki rencana untuk membunuh Tian jika laki-laki itu masih terus-menerus keterlaluan dan semena-men
Di satu sisi, diam-diam Axel masih memikirkan tentang kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu. Tiba-tiba saja pemikirannya mengingat tentang kebohongan Agni yang selama ini disembunyikan. Axel kecewa mengapa wanita itu tega kepadanya, padahal selama ini Axel hanya berharap jika Agni mau jujur kepada dia.“Walaupun ini udah terjadi, tapi aku masih ingat jelas. Aku lupa cara melupakan ini semua. Sudah seharusnya aku nggak perlu lagi ingat-ingat soal itu.”Wanita paruh baya yang kerap disapa dengan nama bu Ningsih tiba-tiba saja menghampiri Axel. Pasalnya, sejak tadi dia melihat jika putranya itu seperti memperlihatkan raut wajah tidak tenang dan kepikiran terhadap sesuatu hal. Sebenarnya sejauh ini belum ada yang bisa diartikan oleh Bu Ningsih. Beliau sendiri bingung, apakah Axel sedang sakit atau tidak. Akan tetapi, dia tidak menemukan bukti dan tanda bahwa putranya itu mengalami hal yang dia pikirkan. Semua itu seperti terjadi begitu cepat dan Bu Ningsih harus segera menangani apa y
Tian begitu bersemangat menuju rumah Desi. Dia sangat yakin akan mendapat restu dari ayah dan ibunya Desi. Terlebih apa yang sudah dia lakukan selama ini. Itu pasti akan menjadi pertimbangan yang cukup membuatnya percaya diri. Mobilnya sudah masuk ke halaman rumah Desi yang hanya bisa memuat satu mobil dan satu motor saja. Tian langsung turun dan ternyata pintu rumah itu sudah terbuka seperti memang ingin menyambutnya. “Pak Tian, udah sampai,” sapa Desi yang kebetulan ke luar. “Ayo silakan masuk.” Desi berjalan di samping Tian malu-malu.Tian begitu bahagia melihat senyum di wajah Desi. Dia makin yakin kalau dia akan diterima dengan baik di rumah itu sebagai anggota keluarga baru. Tian benar-benar tidak ingat akan keberadaan Agni yang masih sah menjadi istrinya. Dia tidak sadar sedang mempermainkan dua hati wanita yang pasti nanti akan melukai salah satu dari mereka atau bahkan keduanya. Yang ada di pikirannya saat ini sudah pasti hanya bagaimana caranya mendapatkan Desi yang selalu
“Kalau begitu ibu tidak bisa melarang seperti yang ibu katakan tadi. Asalkan kamu harus selesai dulu dengan istri kamu.”Tian lantas tertegun. Meski dia begitu kesal dan marah pada Agni, tidak terlintas sedikit pun dalam hatinya untuk bercerai dengan istrinya itu. Di mata Tian, Agni adalah gadis yang baik dan santun. Terlebih kedua orang tuanya sangat menyayangi Agni. Jadi dia tidak berniat berpisah dari Agni. Tian terlihat begitu gugup. Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum canggung. Tidak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan ibu Desi.“Bu. Kita makan dulu ya? Jangan bahas yang lain,” ucap Desi menengahi antara ibunya dan Tian. Dia tidak peduli bagaimana reaksi Tian selanjutnya, dia sudah cukup bahagia mendengar pengakuan Tian tentang perasaannya. Dan itu sudah lebih dari cukup.“Pak Tian. Maaf kalau pertanyaan ibu saya tadi ....”“Tidak apa-apa, Desi. Itu hal yang wajar sebagai seorang ibu.”Mereka sudah berada di luar rumah karena Tian akan pulang. “Tapi ....” Desi tidak mela
“Kamu beneran nggak apa-apa, Agni?” mama Tian begitu khawatir dengan menantunya yang terlihat sering murung. “Nggak, Ma. Agni baik-baik aja, kok. Mama jangan khawatir ya?”Wanita itu mengangguk mencoba percaya kalau sang menantu baik-baik saja.*“Pak Tian. Hari ini saya izin pulang lebih cepat, boleh?”Dessy sedang meminta izin pada Tian.“Mau ke mana?”“Tidak ke mana-mana, Pak. Ayah saya hari ini sudah diperbolehkan pulang.”Tian bangkit dari kursi dan memakai jas. Lalu mengambil kunci mobil di atas meja.“Ayo saya antar.” Tian melenggang begitu saja melewati Desi yang tidak tahu maksud bosnya itu.“P-pak ....” Desi mempercepat langkah kaki untuk bisa sejajar dengan Tian.“Saya akan antar kamu ke rumah sakit dan kamu tidak bisa menolak. Lagi pula kita tidak ada pekerjaan lagi, kan?”Desi hanya bisa mengangguk karena tidak mungkin dia bisa menolak Tian.Ternyata semua urusan di rumah sakit sudah selesai. Jadi ayah Desi langsung bisa dibawa pulang. Dua orang tua itu duduk di bangku p
Dengan langkah terburu Tian menyusuri koridor rumah sakit daerah tempat ayah Desi dirawat sesuai alamat yang dia ikuti di aplikasi penunjuk jalan.Dari jauh dia melihat Desi dan ibunya duduk di bangku panjang di depan sebuah ruang ICU. Segera Tian menuju ke sana.“Desi,” panggil Tian pelan.Desi yang tadi sedang berpelukan dengan ibunya kini mengangkat wajah dan menatap Tian.“P-pak Tian?”“Bagaimana keadaan ayah kamu?”“Infeksi usus buntu,” jawab Desi lirih. Sebenarnya dia malu untuk meminta bantuan pada Tian hanya untuk operasi yang sebenarnya tidak terlalu memakan banyak biaya. Hanya saja mereka baru saja melunasi rumah yang saat ini mereka tempati. Jadi tabungan Desi benar-benar sudah tidak ada lagi. “Dokter bilang apa harus segera dioperasi,” timpalnya lagi.“Ya sudah kalau begitu ayo kita urus administrasinya, supaya ayah kamu lekas bisa ditangani.”Desi mengangguk dan beranjak bangkit.“Ibu tunggu di sini, ya?”Ibunya Desi setuju dengan ucapan Desi.Kemudian Tian dan Desi ber
Ya, orang itu adalah papanya Tian. Dia baru kembali dari pertemuan dengan beberapa pejabat daerah lainnya. “Kamu sedang apa di sini hujan-hujan begini?”Agni tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin dia bilang kalau melihat Tian yang hampir meniduri sekretarisnya sendiri.“Apa kamu bertengkar dengan Tian?” tebak pria paruh baya yang sebagian rambutnya sudah memutih itu.Agni tidak menjawab. Dia lagi menundukkan kepala dengan tangan yang saling bertaut.Papa Tian tentu sudah tahu kalau tebakannya pasti benar.“Ya sudah kalau begitu ayo kamu pulang ke rumah papa saja. Nanti biar mama yang bilang sama Tian kalau kamu tinggal bersama kami untuk sementara waktu.”Karena tidak punya pilihan lain, akhirnya Agni mengangguk setuju untuk ikut bersama mertuanya. Dia duduk di bangku belakang sedangkan papa Tian duduk di samping sopir.“Loh, Agni. Kenapa bisa ikut papa?” tanya mama Tian setibanya suami sampai di rumah.“Sudah, masuk dulu.” Mama Tian mengangguk dan mengajak menantunya masuk k
Seketika wajah Agni berubah pias. Rantang yang ada di tangannya terempas jatuh ke lantai dan isinya berserakan. Dia melihat dengan jelas bagaimana tubuh Tian menindih seorang gadis yang hampir telanjang dan sedang menghisap puting payudara gadis itu dengan penuh nafsu.Sepasang manusia yang sedang dilanda gairah itu terkejut dengan kedatangan Agni.“A-Agni!” Tian langsung turun dari tubuh Desi dan menarik celananya ke atas dengan gerakkan terburu. Begitu juga dengan Desi yang langsung turun dan merangkak mencari bra dan kemejanya yang tadi dilempar sembarangan oleh Tian. Sadar dengan apa yang sedang terjadi, Agni langsung masuk dan menutup pintu agar tidak ada karyawan yang melihat adegan tersebut. Kini dia melihat dua orang berlainan jenis itu sibuk memasang pakaiannya kembali. Desi nampak ketakutan dari wajahnya yang pucat pasi. Berbeda dengan Tian yang wajahnya datar saja sambil terus menatap Agni. Meski awalnya sempat terkejut, tapi Tian sangat pandai menguasai diri dalam kondis