Dua pasang mata itu masih menatapku tanpa berkedip. Namun, sejurus kemudian, Mas Narendra menyunggingkan senyum dan mendekat kepadaku sambil membawa makanan yang sudah memenuhi piringnya. Aku melihat ada yang aneh di antara keduanya. Meskipun hanya beberapa kalimat kudengar, sepertinya mereka mempunyai masalah. "Ran, kenapa menyusul ke sini? Ayo, kita makan dulu," ajak Mas Narendra sembari menggandeng tanganku.Akan tetapi, baru selangkah kami meninggalkan tempat, seorang anak kecil sudah memeluk kaki suamiku sambil menyebutnya papa. Dia, Febi. Aku berjongkok, lalu mengelus kepalanya dengan lembut. "Sayang, ini bukan papa Febi. Kata mama Febi tadi, papa Febi nggak ikut.""Ini papa Pebi! Papa Nalen!" teriaknya tanpa melepas pelukan di kaki Mas Narendra. Dada ini tiba-tiba seperti berhenti berdetak mendengarnya. Sejak tadi, aku berusaha berpikir positif karena kemiripan mata Febi dengan suamiku. Namun, kini semua sudah jelas. Aku mendongak, lalu perlahan berdiri. Wajah Mas Narendra
Selepas sarapan, aku kembali ke kamar dan memilih kembali tidur. Suasana hati yang belum sepenuhnya membaik membuat sakit kepala sebelah yang cukup menyiksa sejak semalam. Hingga memejam adalah opsi terbaik untuk saat ini."Minum obat dan vitaminnya dulu, ya." Mas Narendra sudah membawa beberapa butir obat di tangan.Aku mendesah, paling sebal kalau disuruh minum obat. Rasanya membuat mual. Namun, demi bayi dalam kandungan ini, aku mengalah.Setelah semua obat kuminum, lantas merebahkan badan di tempat tidur. Dan ternyata, Mas Narendra ikut berbaring, bahkan memelukku dari samping. Berkali-kali kusingkirkan tangan yang melingkar di pinggang, tapi dia tidak menyerah. Padahal, aku sengaja membelakanginya untuk menghindar."Biarkan aku memelukmu, Ran. Aku ingin menikmati saat-saat terakh—" Laki-laki di belakang menghentikan ucapannya. "Aku ingin menikmati saat-saat sebelum anak kita lahir. Nanti, kalau Rania atau Narendra Junior sudah lahir, pasti aku akan tersisih."Butiran kristal hang
Mas Narendra sudah tampak seperti biasanya. Dia memang tidak terlihat jika sedang sakit. Pun, dia hanya satu hari dirawat karena suamiku itu sangat keras kepala ingin dirawat di rumah saja. Katanya tidak ingin membuatku kelelahan dengan menungguinya di rumah sakit.Dan pagi ini, dia kembali membuat emosiku hampir meluap. Dia sudah bersiap dengan jas kebanggaan saat keluar dari kamar. Aku yang masih menyiapkan sarapan, tentu terkejut melihatnya. Baru satu hari dia pulang dan sudah akan bekerja lagi."Mas mau ke mana? Aku nggak kasih izin kalah mau kerja. Mas harus istirahat. Apa Mas nggak mau sembuh? Ap—"Sepotong perkedel dimasukkan Mas Narendra ke mulutku. Dengan terpaksa, aku mengunyahnya dan berhenti bicara."Enak, kan, Sayang. Aku mau sarapan masakan kamu, bukan omelan kamu," tuturnya dengan wajah tanpa dosa, lalu segera duduk."Kalau Mas nekat kerja, aku ikut. Kalau nggak diizinkan, aku tetap akan ikut. Mulai sekarang, ke mana pun Mas pergi, aku ikut," ucapku seraya mengambilkan
Meskipun tidak diinginkan, masalah pasti akan menghampiri siapa pun. Bahkan, orang dengan harta paling berlimpah pun tidak akan lolos dari masalah. Pun orang tanpa harta, akan ada saja masalah yang mendekat. Semua memang tidak bisa diukur dengan uang. Dan aku merasakannya dulu, pun sekarang. Ini bukan disengaja, tapi hanya kebetulan. Pertemuan yang tidak kuinginkan, tapi Allah yang mempertemukan. Ayah Rasya dimakamkan hari ini setelah kepergiannya semalam. Dan tanpa sengaja, aku pun datang ke makam Ayah. Aku tidak ingin duduk berdua dengan laki-laki berkulit sawo matang itu, tapi keadaan memaksa ini terjadi. Aku hampir pingsan setelah cukup lama di bawah terik siang yang makin menyengat di depan makam Ayah. "Sudah enakan, Ran? Kalau sudah, aku antar pulang. Suamimu pasti mencari." Rasya berkata begitu sopan. Namun, aku masih belum bisa percaya dengan sikap barunya. "Tidak perlu, saya bisa pulang sendiri," jawabku tanpa menoleh. Pandangan ini tertuju pada kedua tangan yang meremas
Fakta memang harus diungkap meskipun menyakitkan. Namun, hal itu akan membawa ketenangan setelahnya karena tidak ada lagi yang membuat hati bertanya-tanya. Kebenaran tentang Farah dan Febi akhirnya bisa membuatku lega. Bahkan, kepercayaan kepada Mas Narendra sudah kembali. Tanpa perlu bukti lebih, aku sudah percaya sepenuhnya dengan laki-laki dua puluh delapan tahun itu. Warna matanya memang sama dengan Febi, tapi itu adalah keturunan dari almarhum Papa yang memiliki warna cokelat terang. Berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia yang mempunyai bola mata berwarna hitam. "Aku percaya sama Mas. Aku percaya ...." Setelah berucap, tubuhku melemas, tapi kesadaran ini masih terjaga. Mas Narendra pun menahanku yang hampir roboh. Kemudian, aku sudah berpindah dalam gedongannya. "Aku percaya, Mas," ucapku lagi sembari menyandarkan kepala di dadanya. Bisa kudengar detak jantung yang cukup cepat sambil menghidu aroma tubuh suami tercinta. Aku tidak peduli lagi dengan sekitar. Pastinya, adeg
Berharap pada kejujuran yang akan mengungkap jati dirinya memang sulit. Apalagi jika menunggu dalam kurun waktu cukup lama pun, terkadang hal itu tidak juga terjadi. Sekuat apa pun kepercayaanku kepada Mas Narendra tidak bisa membuang bukti yang begitu nyata di hadapan. Selepas mengantar Febi sekolah, Mas Narendra mengajakku pergi untuk memeriksakan kandungan. Ya, memang hari ini sudah dijadwalkan oleh dokter sejak terakhir kontrol. Itu sebabnya dia langsung pulang pagi ini. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam dan memilih memandang ke kiri. Mas Narendra pun tidak berusaha membuka obrolan sejak tadi hingga senyap menjadi pengiring suasana dalam mobil. "Sudah sampai, Ran. Ayo, turun!" ajaknya.Aku bergeming. Selagi ini di rumah sakit, aku ingin menyampaikan apa yang mengganjal di hati. Mungkin, melakukan tes DNA akan bisa melegakan rasa penasaranku dan hubungan kami bisa segera membaik tanpa ada lagi prasangka. "Lakukan tes DNA, Mas," jawabku pelan setelah beberapa saat terdiam. T
"Hari ini jadwal kontrol kamu, Mas. Aku nggak akan izinin Mas pergi ke luar kota. Obat Mas juga sudah habis kemarin."Ini kali kelima aku melarang sejak tadi pagi Mas Narendra menerima telepon dari Gagah. Dia harus berangkat ke luar kota karena salah satu cabang hotelnya mengalami kebakaran di beberapa bagian semalam. Meskipun hanya sepuluh persen yang hangus, tetap kerugian yang dialami cukup banyak. Apalagi ada beberapa korban yang mengalami luka bakar. "Sayang, hari ini saja, kok. Kontrol bisa besok, Lagi pula, Mas harus tanggung jawab dengan korban terluka." Dia masih bersikeras. "Aku ikut!" ucapku spontan. "Di sana sedang kena musibah, Sayang. Mas juga nggak mau kamu kecapekan karena perjalanan jauh. Kamu di sini saja sama Febi, ya. Kali ini, jangan membantah suami.""Kalau Mas sehat-sehat saja, aku juga nggak akan masalah, tapi kondisi Mas berbeda." Entah kenapa, air mataku mulai luruh. Kesal bercampur sedih. "Aku sehat, Ran. Aku baik-baik saja. Jangan pernah menganggap kala
Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi sejak satu jam yang lalu. Di dalam sana, ada Mas Narendra yang sedang dalam penanganan. Opsi operasi harus diambil karena tumor di otaknya makin membesar. Apalagi, sempat dua hari dia tidak minum obat.Sepulang dari mengurus hotel yang terbakar, keesokan harinya Mas Narendra masih menolak untuk kontrol dengan alasan buru-buru bertemu klien dari Jepang. Katanya, klien itu hanya satu hari di Indonesia dan minta bertemu dengannya. Aku tidak bisa memaksa karena laki-laki itu bersikeras dan berdalih jika pertemuannya hanya di dalam kota. Namun, hal itu berakibat fatal. Sakit kepala Mas Narendra kambuh hingga dia pingsan. Bahkan, dia mengalami koma setelahnya. Setelah dua hari tidak ada perkembangan, dokter memberi opsi operasi. Aku tidak bisa berkata lagi selain mengiakan karena keselamatannya lebih penting. "Duduk, Mbak. Operasinya pasti berjalan lancar." Rendy memegang lenganku, menghentikan kaki ini yang tidak berhenti bergerak. "Ken
Jalan hidup harus dipilih meskipun tidak bisa ditebak apa yang akan terjadi. Namun, saat hati yakin menjalani, Allah pasti akan menuntun pada yang lebih baik. ***Rasa sakit ini adalah awal untuk kebahagiaan baru. Aku hanya tinggal bertahan dan berjuang sekuat tenaga agar hidup diliputi teriakan haru yang menderu. Rasa sakit ini sejenak hilang, lalu datang lagi dan memaksaku mengerahkan sisa tenaga. Aku ingin sekali memegang tangan Mas Narendra di saat seperti ini, memintanya untuk menyalurkan kekuatan, tapi apa daya, laki-laki itu terduduk lemas di sudut ruang bersalin ini. Kesal tentu saja, tapi aku harus tetap kuat demi nyawa yang sebentar lagi akan melihat dunia. Mas Narendra yang begitu gagah, ternyata dia rapuh sekarang. Entah apa penyebabnya. Aku memilih mengikuti instruksi dokter agar kedua tangan ini menggapai bagian belakang paha bawah, lalu menariknya kuat sambil mengejan saat sakitnya kontraksi kembali datang. Namun, bayi yang kutunggu belum juga mau meringankan beban
"Ambilkan telur, Ra!" "Berapa butir, Mbak?""Tiga."Membuat kue bersama adik ipar itu ternyata menyenangkan. Aku dan Hera memang sangat cocok saat sedang bersama. Kata Ibu, kami justru seperti kakak dan adik kandung. Wajah yang cukup mirip mungkin bisa membuat orang lain menebak hal yang sama. Bahkan, kami pun sudah punya julukan khusus pemberian Ibu, Mas Narendra, dan Rendy. Duo Bumil Doyan Ngemil. Hm, nama yang aneh, bukan? Ada-ada saja memang. Dan ngemil adalah salah satu kebiasaan baru kami sekarang. Ya, aku dan Hera memang mulai sering membuat kue sejak kepergian Febi. Kami sama-sama jenuh di apartemen karena suami masing-masing pergi bekerja. Hingga awal iseng itu pun berbuah manis saat Hera mengunggah kue buatan kami pada story Whatsapp. Boom! Kue buatan kami ada yang memesan. Awalnya, hanya teman-teman Hera sewaktu kerja dulu, tapi lambat laun makin banyak pemesan hingga aku pun ikut mencoba memasarkannya. Hasilnya sungguh tidak terduga. Kami mulai kewalahan menerima pesa
Aku terus memandang wajah gadis kecil yang baru saja selesai mandi. Ya, tugas memandikan Febi kali ini sudah kuambil alih. Semalam, aku sudah memberhentikan Mbak Deva karena memang Febi bukan lagi tanggung jawabku dan Mas Narendra mulai hari ini. Dengan lembut, kusisir rambut bergelombang panjang milik Febi, lalu memnguncirnya bagian kanan dan kiri. Cantik. Aku tidak menyangka jika ini moment terakhir bersama bocah berpipi tembam itu. Aku pasti akan sangat merindukannya nanti. Namun, segera kupupus semua itu dan menghibur diri jika akan ada pengganti Febi yang sebentar lagi akan lahir ke dunia. Pagi ini, Febi tidak banyak bicara. Dia seperti tahu jika akan berpisah denganku, juga papanya. Sedari bangun tidur, dia memperhatikan terus koper berwarna pink yang dulu dibawa saat pertama kali pindah ke sini. Koper itu sudah penuh dengan baju dan barang-barang milik Febi. Ada juga beberapa mainan dan boneka yang Mas Narendra belikan selama bersama kami. "Wah, Febi sudah cantik." Mas Nare
Moment seru yang masih ingin kunikmati harus berhenti karena telepon dari Bi Harni. Katanya ada tamu yang menunggu. Suami-istri yang mengaku sebagai kakek dan nenek dari Febi. Aku dan Mas Narendra memutuskan untuk pulang karena dia juga mengenal siapa tamu yang dimaksud. Mereka mantan mertuanya, atau lebih tepatnya, orang tua Farah. Aku bisa menebaknya dari arah pembicaraan Bi Harni tadi karena memang dinyalakan loudspeaker saat panggilan berlangsung. "Mereka mau apa, ya, Mas? Kok, tiba-tiba aja datang nggak kasih pemberitahuan. Padahal, Febi sudah sama kita tiga bulanan." Pikiran yang tadi terus berputar di kepala, akhirnya kuungkapkan. "Aku juga nggak tahu, Ran. Semoga aja cuma kengen sama cucu," jawabnya. Aku bisa menafsirkan kalau ada keraguan dari nada suaranya.Sepasang suami-istri yang kutaksir usianya sekitar lima puluh tahunan itu saling pandang saat Mas Narendra menanyakan perihal kedatangan mereka. Keduanya seperti berdebat, tapi pelan. Mungkin agar percakapan mereka tid
Setelah dua pekan Mas Narendra dirawat, akhirnya dia diperbolehkan pulang. Dari pemeriksaan terakhir, dikatakan kalau tumornya sudah hilang. Meskipun begitu, akan tetap dilakukan MRI saat kontrol selanjutnya untuk memastikan lagi. Dan sekarang--satu pekan setelah dia menjalani rawat jalan--kami sedang berjalan-jalan di taman area apartemen. Memang kawasan apartemen ini tergolong mewah dengan penghuninya kebanyakan orang berpunya. Itu sebabnya ada fasilitas umum yang dibuat untuk warga, seperti taman yang cukup luas ini. Mas Narendra memang dianjurkan untuk melakukan olahraga ringan setiap harinya untuk menjaga kesehatan. Dan aku memulai dengan mengajaknya jalan kaki setiap pagi mulai hari ini. Dengan kaus, celana training, dan topi yang dipakai terbalik ke belakang, Mas Narendra terlihat begitu tampan. Meskipun masih ada rasa malu karena takut orang melihat kepalanya masih belum ditumbuhi rambut, dia tidak menolak ajakanku. "Sayang, apa kamu nggak capek?" tanyanya sambil menghentik
Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi sejak satu jam yang lalu. Di dalam sana, ada Mas Narendra yang sedang dalam penanganan. Opsi operasi harus diambil karena tumor di otaknya makin membesar. Apalagi, sempat dua hari dia tidak minum obat.Sepulang dari mengurus hotel yang terbakar, keesokan harinya Mas Narendra masih menolak untuk kontrol dengan alasan buru-buru bertemu klien dari Jepang. Katanya, klien itu hanya satu hari di Indonesia dan minta bertemu dengannya. Aku tidak bisa memaksa karena laki-laki itu bersikeras dan berdalih jika pertemuannya hanya di dalam kota. Namun, hal itu berakibat fatal. Sakit kepala Mas Narendra kambuh hingga dia pingsan. Bahkan, dia mengalami koma setelahnya. Setelah dua hari tidak ada perkembangan, dokter memberi opsi operasi. Aku tidak bisa berkata lagi selain mengiakan karena keselamatannya lebih penting. "Duduk, Mbak. Operasinya pasti berjalan lancar." Rendy memegang lenganku, menghentikan kaki ini yang tidak berhenti bergerak. "Ken
"Hari ini jadwal kontrol kamu, Mas. Aku nggak akan izinin Mas pergi ke luar kota. Obat Mas juga sudah habis kemarin."Ini kali kelima aku melarang sejak tadi pagi Mas Narendra menerima telepon dari Gagah. Dia harus berangkat ke luar kota karena salah satu cabang hotelnya mengalami kebakaran di beberapa bagian semalam. Meskipun hanya sepuluh persen yang hangus, tetap kerugian yang dialami cukup banyak. Apalagi ada beberapa korban yang mengalami luka bakar. "Sayang, hari ini saja, kok. Kontrol bisa besok, Lagi pula, Mas harus tanggung jawab dengan korban terluka." Dia masih bersikeras. "Aku ikut!" ucapku spontan. "Di sana sedang kena musibah, Sayang. Mas juga nggak mau kamu kecapekan karena perjalanan jauh. Kamu di sini saja sama Febi, ya. Kali ini, jangan membantah suami.""Kalau Mas sehat-sehat saja, aku juga nggak akan masalah, tapi kondisi Mas berbeda." Entah kenapa, air mataku mulai luruh. Kesal bercampur sedih. "Aku sehat, Ran. Aku baik-baik saja. Jangan pernah menganggap kala
Berharap pada kejujuran yang akan mengungkap jati dirinya memang sulit. Apalagi jika menunggu dalam kurun waktu cukup lama pun, terkadang hal itu tidak juga terjadi. Sekuat apa pun kepercayaanku kepada Mas Narendra tidak bisa membuang bukti yang begitu nyata di hadapan. Selepas mengantar Febi sekolah, Mas Narendra mengajakku pergi untuk memeriksakan kandungan. Ya, memang hari ini sudah dijadwalkan oleh dokter sejak terakhir kontrol. Itu sebabnya dia langsung pulang pagi ini. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam dan memilih memandang ke kiri. Mas Narendra pun tidak berusaha membuka obrolan sejak tadi hingga senyap menjadi pengiring suasana dalam mobil. "Sudah sampai, Ran. Ayo, turun!" ajaknya.Aku bergeming. Selagi ini di rumah sakit, aku ingin menyampaikan apa yang mengganjal di hati. Mungkin, melakukan tes DNA akan bisa melegakan rasa penasaranku dan hubungan kami bisa segera membaik tanpa ada lagi prasangka. "Lakukan tes DNA, Mas," jawabku pelan setelah beberapa saat terdiam. T
Fakta memang harus diungkap meskipun menyakitkan. Namun, hal itu akan membawa ketenangan setelahnya karena tidak ada lagi yang membuat hati bertanya-tanya. Kebenaran tentang Farah dan Febi akhirnya bisa membuatku lega. Bahkan, kepercayaan kepada Mas Narendra sudah kembali. Tanpa perlu bukti lebih, aku sudah percaya sepenuhnya dengan laki-laki dua puluh delapan tahun itu. Warna matanya memang sama dengan Febi, tapi itu adalah keturunan dari almarhum Papa yang memiliki warna cokelat terang. Berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia yang mempunyai bola mata berwarna hitam. "Aku percaya sama Mas. Aku percaya ...." Setelah berucap, tubuhku melemas, tapi kesadaran ini masih terjaga. Mas Narendra pun menahanku yang hampir roboh. Kemudian, aku sudah berpindah dalam gedongannya. "Aku percaya, Mas," ucapku lagi sembari menyandarkan kepala di dadanya. Bisa kudengar detak jantung yang cukup cepat sambil menghidu aroma tubuh suami tercinta. Aku tidak peduli lagi dengan sekitar. Pastinya, adeg