Jalannya ospek memang menjadi lebih tenang bagi Alisya karena para senior itu terpaksa menepati janji mereka untuk tak memberi perintah atau hukuman padanya. Intinya, tak ada yang bisa mengganggu Alisya selama jalannya ospek. Tapi sebagai gantinya, Alisya menjadi bahan perbincangan hampir satu kampus. Kabar mengenai seorang gadis yang mengubah auditorium menjadi tempat konser menyebar begitu saja, beserta video-video yang menampilkan dirinya sedang bernyanyi sambil menari.Tapi sejauh ini hal paling menyebalkan hanyalah anak-anak di kampus yang refleks memperhatikannya begitu ia lewat. Alisya tak terlalu memikirkannya lagi karena ia sibuk menunggu kembalinya Fabian dari China. Sayangnya, pria itu memang tak kunjung membalas pesannya. Alisya jadi agak berkecil hati. Entah kenapa rasanya menyebalkan sekali. "Mas Bian kapan pulang, sih? Pesan juga gak bales-bales," keluh Alisya, memasukkan ponselnya ke dalam tas. Saat ini ia sedang di mobil dalam perjalanan pulang dari kampus. Sepertin
Pukul delapan, Fabian pulang ke apartemen dan terkejut melihat Alisya sedang tertidur di sofa dengan tubuh menggigil. Bahkan tas kuliahnya tergeletak begitu saja di lantai. Ia buru-buru menghampiri Alisya dan memeriksa kondisinya. Suhu tubuhnya cukup tinggi."Alisya," panggilnya.Alisya membuka mata dengan susah payah karena kepalanya pening. "Mas...""Badan kamu panas. Kita ke rumah sakit, ya."Alisya menggumam tak setuju. "Jangan...""Loh, kenapa? Badan kamu panas banget. Kamu harus diperiksa...""Gak... mau...""Alisya...," lirih Fabian, ingin memaksa tapi ekspresi Alisya benar-benar terlihat tak suka. Ia menghela nafas, lalu melepaskan jas kerjanya untuk menyelimuti Alisya. "Oke, kamu tidur di kamar aja. Jangan di sini."Mengangkat tubuh Alisya ala pengantin, Fabian membawa gadis itu ke kamarnya dan menidurkannya pelan-pelan. Fabian lalu keluar untuk mengambil alat untuk mengompres Alisya. Dengan telaten ia mengelap wajah Alisya, dan menyingkirkan anak rambut gadis itu sebelum mel
Akhir-akhir ini Alisya sedang mempertimbangkan untuk mengungkapkan perasaan pada Fabian. Tapi ia ragu, juga takut. Bagaimana kalau Fabian malah tak suka dan hubungan mereka merenggang? Bagusnya bagaimana ya?"Yan, tau gak cara bikin orang balik suka sama kita?"Dian menatap Alisya heran. "Loh, bukannya kamu bilang udah punya pacar?""Eum, iya. Maksudnya kami memang pacaran," elak Alisya. Ia lupa pernah berkata pada Dian bahwa ia sudah memiliki pasangan."Maksudnya kalian pacaran tanpa dia balik suka ke kamu?"Alisya berpikir sejenak. "Ya, begitulah.""Cari cowok lain aja. Yang suka sama kamu banyak, tau," usul Dian, tanpa beban."Aku maunya sama yang ini," balas Alisya. "Terus, kok bisa pacaran? Apa karena perjodohan?""Betul. Kami dijodohin, tapi aku udah suka sama dia," angguk Alisya, merasa agak lega karena tak harus menjelaskan situasi sebenarnya. Dian berpikir sejenak. "Gimana, ya? Memang orangnya gimana?""Orangnya dewasa, baik, perhatian banget dan gak pelit.""Kayaknya sikap
"Aku makin kagum aja, kamu kalo udah niat gak main-main ya," puji Dian saat mencicipi ayam goreng asam manis ala Korea buatan Alisya."Aku sampe nanya langsung sama temenku yang ada di Korea," kata Alisya. Ia minta tolong pada teman trainee-nya yang cukup akrab dengannya. Temannya itu malah bertanya pada ibunya dan segera menuliskan resep aslinya untuk Alisya. "Soalnya aku pernah nyicip dan cocok sama lidahku.""Jangan-jangan sebenarnya kamu niat buka katering.""Bisa juga untuk ide usaha," kekeh Alisya. Ia sedang menyiapkan bekal yang cantik untuk dibawa ke kantor Fabian. Sebelumnya Alisya harus memanaskannya dulu di kosan Dian. Untuk sayuran seperti brokoli dan wortel, ia baru memasaknya sekarang. Sengaja agar terlihat masih segar. Mumpung kelasnya baru akan dimulai setelah makan siang karena dosen mereka meminta jadwal seperti itu. "Ciyee, pasti pacarmu seneng banget dibikinin bekal cakep gini," kata Dian, menatap kagum cara Alisya menata bekalnya. "Kamu orangnya estetik banget."
"Udah rapi belom?" tanya Alisya, memamerkan hasil dandanannya pada Dian."Udah cantik banget malah," jawab Dian dengan nada takjub. Bukan hanya takjub pada wajah Alisya yang super cantik, tapi juga pada kegigihan Alisya hingga rela berbohong agar bisa dijemput pacarnya. "Jadi sopir kamu gimana, tuh?""Beres. Mungkin sekarang lagi makan malam bareng sama keluarganya," kikik Alisya. Tadi ia memberikan uang kepada Pak Ujang, sang sopir, agar bisa pergi makan dengan anak istrinya. Lagipula itu juga membuat Pak Ujang sumringah. "Sampe sekarang gak habis pikir," ujar Dian, geleng-geleng kepala."Kan Pak Ujang juga seneng," balas Alisya."Bukan itu. Tapi kok bisa pacarmu belum suka juga sama kamu. Maksudku, kamu cantik banget, pinter dance, nyanyi juga bagus, terus mau belajar masak lagi. Kamu sampe harus segininya untuk dapet perhatian dari dia. Dia normal, kan?""Normal, tau! Enak aja dibilang gak normal."Dian tertawa terbahak-bahak. "Bagus deh. Aku doakan malam ini lancar. Semangat Alis
"Diaaaan!" seru Alisya, saat memasuki kelas keesokan harinya. Ia langsung menghampiri sahabat barunya itu dengan wajah cemberut."Loh, Alisya? Kenapa?" tanya Dian. "Bukannya katanya semalam kamu mau kencan? Gak jadi, ya?""Kami makan malam. Tapi gak berdua doang," sungut Alisya."Oh ya?""Cewek genit yang aku bilang kemaren itu loh, Yan. Dia dianterin pulang dan makan bareng dia juga. Terus katanya memang udah rencana, jadi kalo aku gak ikut malah mereka yang makan berduaan," adu Alisya. Dian melirik sekitar. Meskipun masih cukup sepi, tapi beberapa teman sekelas mereka nampak tertarik dengan obrolan mereka kali ini. Dian buru-buru mengajak Alisya pergi keluar kelas agar bisa mengobrol cukup leluasa. Mau bagaimana lagi, Alisya memang terkenal dan orang-orang cukup penasaran dengan kehidupan pribadi anak itu."Cerita di sini aja, ya," kata Dian setelah mereka sampai di luar. "Jadi gimana, kalian makan bertiga?""Yang paling ngeselin itu si cewek itu yang traktir kami makan. Seolah dia
Tak sulit membuat Kak Clara segera bergerak untuk melakukan misi. Alisya mengadu padanya bahwa hari ini mungkin Fabian akan menghabiskan waktu bersama Dinar setelah pulang kerja. Bagai menyulut api emosi yang seketika berkobar, Kak Clara yang terpancing langsung menanyakan detail kejadiannya pada Alisya.."... Aku gak suka sama Tante Dinar, Kak.""Wah, gak bisa dibiarin ini," sahut Kak Clara, agak berapi-api. "Kalo gitu, bisa minta tolong gak?""Minta tolong apa, Dik Alisya?""Tolong kempesin ban mobil Mas Bian, Kak.""Tapi, Mas Bian nanti pulang pake apa dong?""Paling nanti dia telpon Pak Ujang yang sering nganterin aku. Nanti sisanya biar aku yang urus.""Oke! Siip kalo gitu," sahut sang sekretaris, bersemangat.Alisya mematikan sambungan telepon dan tersenyum licik. Satu langkah sudah dilakukan. Kini ia sedang menimbang-nimbang langkah selanjutnya agar bisa membatalkan rencana Fabian dengan wanita genit itu. "Aku beneran gak paham," gumam Dian, yang sejak tadi setia mendampingi
Tapi ternyata Fabian benar-benar masuk kembali ke taksi. Hampir saja Alisya menjitak kepala Pak Ujang karena membuatnya resah dalam sedetik. Dan sekarang taksi benar-benar menuju ke arah apartemen mereka. Alisya merasa lega luar biasa. Tadi ia sudah menimbang-nimbang apakah ia akan membuat orang melakukan penggrebekan, tapi tetap saja itu ide yang buruk. Tapi ia kemudian teringat,"Dian, nanti kamu pulangnya sama Pak Ujang gak apa ya?" Dian mengangguk paham. "Santai aja."Alisya menghela nafas lega. Masalahnya ia tidak pernah pulang lebih lama dari Fabian. Dan sepertinya tidak akan terkejar lagi untuk mendahului Fabian. Satu-satunya pilihan adalah pulang ke apartemen dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama dari Fabian sampai. Sesampainya di gedung apartemen mereka, taksi yang ditumpangi Fabian sudah akan pergi."Maaf ya Dian. Besok aku traktir di kantin. Pak Ujang, tolong anterin Dian ke kosan.""Siap, Non!"Setelah itu, Alisya setengah berlari masuk ke dalam gedung. Untuk naik li
"Apa?! I-istri?!" pekik Kak Clara dengan ekspresi syok, tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.Yang masuk tadi adalah Clara, sang sekretaris lucu yang naksir Fabian. Tentu saja wanita itu syok melihat bosnya sedang berciuman mesra dengan Alisya. Alisya jadi benar-benar merasa tak enak hati melihat ekspresi melodramatis di wajah Clara. Clara juga menatapnya seolah ia adalah pengkhianat."Dek Alisya, kamu tega!" ucapnya dengan nada dramatis, lalu berbalik dan melangkah pergi keluar ruangan Fabian."Kak Clara!" pekik Alisya, berusaha mencegah kepergian Clara. Langkah Clara terhenti, berbalik. "Padahal Kakak udah percaya banget sama kamu. Tapi kamu gak ngasih tau apa-apa.""Aku bisa jelasin...""Cukup! Sudah terlambat, Dek Alisya.""Kak Clara, maaf ya," cicit Alisya, merasa bersalah. Ia menghampiri sekretaris itu dengan hati-hati. "Harusnya aku jujur dari awal.""Padahal Kak Clara tulus bantuin kamu," ucapnya dengan ekspresi murung. "Kan Kak Clara malu jadinya ngaku-ngaku di depan
Sepanjang perjalanan pulang, Fabian hanya membisu. Alisya ikut terdiam sambil sesekali melirik suaminya yang nampak begitu terganggu dengan ucapan Via tadi. Memangnya apa yang diperbuat oleh Fabian terhadap gadis bernama Risa itu. Lalu Alisya menggeleng. Ia tak mau memikirkannya. Rasanya semakin kesal saja. Di apartemen, Alisya meletakkan belanjaannya dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat keluar, ia kaget karena Fabian tak kunjung masuk ke dalam kamarnya yang kini sudah bertransformasi menjadi kamar mereka. Alisya mencari Fabian ke ruangan lain dan mendapati Fabian sedang merenung di ruang kerjanya."Mas?"Fabian tersentak. "Kamu gak tidur? Katanya capek." "Mas ngapain di sini?" tanya Alisya, duduk di meja Fabian.Fabian menghela nafas. "Saya ada kerjaan, jadi...""Mas," potong Alisya, mendesah kecil dan mendekati Fabian. Ia menyentuh wajah pria itu dengan kedua tangannya. "Aku gak suka sama si Via-Via itu."Fabian menahan tangan Alisya. "Mungkin saya harus jujur sam
Ketika Fabian kembali, suasana terasa agak sunyi. Fabian melirik heran pada raut tegang teman-temannya, lalu menoleh pada Alisya. Gadis itu malah menatapnya dan tersenyum manis."Telponnya udah, Mas? Aku pengen pesen makanan tapi nungguin Mas dulu," ucap Alisya dengan nada santai. Fabian mengangguk dan segera memanggil pelayan. Karena yang lain sudah memesan makanan, jadi mereka hanya memesan untuk mereka saja. Alisya memesan beberapa varian dumpling dan bebek panggang, juga penutup berupa egg tart dan green tea sorbet. Cukup banyak untuk dirinya sendiri. Sementara yang lain mulai nampak rileks karena Alisya sepertinya tak menggubris perkataan Via tadi.Benarkah seperti itu?"Kayaknya aku mesen kebanyakan ya, Mas," ucap Alisya, saat pelayan mengantarkan pesanan mereka. "Kalo gak abis, nanti Mas yang abisin ya?""Ya udah, makan aja dulu," angguk Fabian. Alisya menikmati makanannya dengan santai, tapi ia hanya mencicipi sedikit-sedikit saja setiap menu. Ia melirik ke arah yang lain ya
Demi rencana ini Alisya sampai nekat membeli pakaian baru di butik dekat kampus. Di jam yang sudah ditentukan, ia menunggu di lobi apartemen sambil memperhatikan setiap mobil yang masuk dan keluar. Begitu mobil yang ia kenali berhenti di depannya, Alisya buru-buru masuk. Entah kenapa ia merasa Fabian nampak sangat tampan walaupun baru pulang kerja."Seat belt-nya," ucap Fabian, memajukan tubuh untuk memasangkan sabuk pengaman Alisya. Namun ia tak segera menjauh, melainkan mencuri kecupan di bibir gadis itu. Alisya cukup tersipu terhadap kecupan ringan itu. "Tapi aku masih heran deh, Mas. Kok tiba-tiba jadi mesra banget sama aku? Perasaan kemaren sampe pura-pura punya pacar dan nyuruh aku cari cowok lain yang seumuran."Fabian menatap Alisya sejenak, mendesah kecil dan mulai menjalankan mobilnya. "Kamu mau jawaban yang jujur?""Yang jujur, dong.""Eum jujur aja sih, kamu emang cantik. Banget. Kamu memang sangat menarik dari segi penampilan. Dengan kamu terus-terusan godain saya, rasan
Hari ini, pagi terasa begitu berbeda dibandingkan dengan sebelumnya. Alisya sedang menggoreng telur dan Fabian berdiri di belakangnya, memeluknya. Kuliah Alisya dimulai agak siang, sementara Fabian sepertinya memutuskan untuk datang lebih siang ke kantor. Mereka benar-benar seperti pengantin baru yang lengket satu sama lain. "Udah ah, Mas. Kemaren aja gak mau sama anak kecil," omel Alisya."Kan saya udah minta maaf.""Gak mau duduk?" Fabian malah membenamkan wajahnya ke leher Alisya. Alisya mendesah, mematikan kompor dan meletakkan telur di piring. Ia menepuk-nepuk tangan Fabian yang berada di atas perutnya. "Mas, aku baru kepikiran.""Kepikiran apa?""Gimana kalo aku hamil?"Fabian terdiam sejenak. "Kamu gak mau hamil?""Kan aku, masih kuliah. Kayaknya aku belom siap deh," ucap Alisya seraya melepaskan tangan Fabian dan membalikkan badan. Fabian tersenyum kecil dan mengangguk. "Kalo gitu kita ke dokter ya. Tapi kemaren kita gak pake pengaman."Alisya setengah cemberut melihat per
Alisya mendesah saat Fabian mengecup bahunya dari belakang. Sepertinya pria itu sudah bangun. Tangan Fabian yang bertengger di perutnya mulai naik turun, mengelusi kulit mulus Alisya. Nafas hangat sang pria kembali menginvasi leher belakang Alisya, membuat gadis itu menggelinjang kegelian."Mas...""Badan kamu wangi banget, saya suka," bisik Fabian, kembali berusaha menggoda gadis itu. Alisya membalikkan badannya, menghadap ke arah Fabian yang langsung menempelkan kening mereka. Untuk pertama kalinya ia benar-benar menjadi seorang istri. Alisya menyentuh rahang pria itu, merasakan jambangnya yang kasar namun ada sensasi menyenangkan saat mengelusnya. "Kamu suka?" tanya Fabian, mengelus tangan Alisya yang nangkring di wajahnya."Dulu aku gak suka cowok yang ada bulu di muka. Tapi kayaknya aku berubah pikiran setiap liat Mas," kekeh Alisya. "Kenapa gak suka?""Eum, di sekitarku penuh sama cowok-cowok ganteng yang mukanya putih mulus," cengir Alisya."Saya jelek ya?""Nggak!" bantah A
Malam ini Fabian mengajak Alisya untuk bersiap-siap. Sebenarnya Alisya tak paham. Apa Fabian mengajaknya pergi kencan? Kemarin Fabian tak pernah lagi mengungkit-ungkit panggilan sayangnya terhadap Alisya hingga Alisya nyaris yakin bahwa ia hanya salah dengar saja. Sikap Fabian juga lembut, tapi bukan sesuatu yang menunjukkan ke arah kemesraan. Lalu mengenai Windy juga, Fabian hanya bilang bahwa Mama Jihan akan mengurus segalanya. Alisya kembali libur kuliah. Kebetulan memang hari Sabtu. Dan Alisya menghabiskan hari Sabtu ini dengan mencuci pakaian yang belum sempat ia cuci. Ia juga agak mengeluh karena pola makannya sangat tidak teratur kemarin. Perutnya malah kembali buncit karena asal memakan makanan. Yah, apa boleh buat. Ia harus memulai lagi diet dan work out-nya dari nol. Tapi siang ini Fabian menghubunginya untuk bersiap-siap pukul 6 sore. Jangan bilang Fabian ingin mengajaknya berkencan.Alisya tak memiliki banyak pakaian cantik. Pakaian tercantik yang dimilikinya adalah gaun p
"Dia yang duluan narik rambut saya, Bu. Tanya aja sama anak-anak. Sekelas jadi saksi kok, kalo Alisya yang nyerang duluan," kata Windy, membela diri. Alisya yang duduk di kursi berbeda langsung menatap tajam Windy. "Saya membela diri karena dia ngatain saya lonte, Bu.""Eh, lo duluan yang nyemperin gue dan ngajak ribut," elak Windy, lalu menatap Ketua Prodi. "Dia mukul meja saya tiba-tiba, Bu. Padahal saya dan temen-temen saya gak ngapa-ngapain."Alisya langsung naik darah. "Gak ngapa-ngapain gimana?!""Sudah! Hentikan!" pekik Ketua Prodi, pusing karena dua gadis itu saling melempar tuduhan. "Kalian berdua itu sudah mahasiswa, ribut kok kayak bocah-bocah SD."Alisya dan Windy langsung tertunduk melihat kemarahan wanita paruh baya berkacamata tebal yang menjabat sebagai Ketua Prodi, sekaligus dosen yang tadinya akan mengajar mereka. Bu Puan namanya. Kali ini Bu Puan hanya bisa menghela nafas melihat kelakukan anak didiknya itu. Di depannya juga berjejer teman-teman Windy dan Alisya yan
Keadaan Alisya mulai membaik di hari kedua. Karena Alisya mati-matian menolak dibawa ke rumah sakit, Fabian sampai memanggil seorang dokter pribadi untuk memeriksa Alisya. Mama Jihan juga datang untuk merawatnya dan Fabian menepati janjinya untuk tak mengatakan apapun. Sang mertua yang menjaganya saat Fabian pergi ke kantor hari ini. "Kamu kok kurus banget, sih. Makan yang banyak dong, Nak," omel Mama Jihan saat menyuapi Alisya makan siang. Mau tak mau Alisya harus makan bubur buatan Mama Jihan, padahal Alisya tak terlalu menyukai makanan lembek itu. Waktu itu Fabian sangat tepat saat membuatkannya sup. Suhu tubuhnya sudah normal, walau perasaannya belum pulih sepenuhnya. Kemarin Fabian bertanya apa ia mau pergi ke psikiater, dan Alisya langsung menolak karena takut. "Udah sehat?" tanya Fabian yang pulang kerja lebih awal. Ia memeriksa kening Alisya dan bernafas lega."Kalo ada apa-apa, langsung hubungi Mama ya Bi," pesan sang mertua, sebelum meninggalkan apartemen Fabian. Sebenarn