"What?! Kamu bilang mau balikan sama mantan?" Alisya refleks menutup mulut Dian dengan tangannya demi meredam teriakan anak itu. "Jangan teriak-teriak napa?""Tapi kok kamu ngomong gitu? Jadi kamu mutusin buat balikan sama mantan?" tanya Dian dengan suara lebih pelan. "Sebenarnya aku penasaran pengen liat reaksinya aja sih," aku Alisya, menghela nafas."Emang reaksinya gimana?"Alisya mengangkat bahu. "Aku agak bingung. Dia bilang terserah aku, terus dia pergi abis ngomong gitu.""Eum, terus jadinya gimana?""Yaa, gak tau. Aku juga masih usaha biar dilirik, tapi kalo akhirnya tetep gagal mau gimana lagi? Kalo beneran jadi janda, aku harus mikir gimana caranya jadi janda berkelas," gumam Alisya. Dian mendesah. "Emang sih ngomong itu gampang, ngelakuinnya yang susah. Tapi aku cuma bisa kasih semangat dan dukung apapun pilihanmu.""Gak apa. Kamu udah baik banget. Aku inget beberapa kali aku pengen nyerah dan kamu tetep bantu aku biar semangat lagi. Makasih ya, Yan," ujar Alisya.Dian
Saat-saat genting, tiba-tiba terdengar suara dobrakan dari pintu. Beberapa kali hingga dua pria jahanam itu terpaksa menghentikan aksinya demi menoleh ke arah pintu. Pintu dibuka paksa dan seseorang langsung menyerbu masuk untuk memberikan tinjuan keras ke wajah Pak Anuar. Dosen itu terpelanting. Danu yang tak lagi bisa membekap Alisya juga ikut dihajar. Tubuh Alisya merosot ke bawah, seseorang yang lain langsung menangkapnya."Alisya, gak apa?"Itu Jason dan yang sedang menghajar dua pria cabul itu adalah Arka. Tubuh Alisya gemetaran dan ia menangis keras-keras. Rasa takutnya masih ada. Jason melepaskan jaketnya dan menyelimuti Alisya. "Maaf ya, kita telat. Dian telpon gue karena lo gak ada kabar," ucap Jason, berusaha menenangkan Alisya yang menangis. "Bajingan! Besok saya laporkan kalian berdua ke Dekan!" pekik Arka usai menghajar dua orang itu dengan brutal. "Ayo pergi," ajak Jason, membimbing Alisya untuk mengikutinya keluar dari ruangan.Alisya benar-benar tak bisa berpikir l
Fabian mengetuk pintu kamar mandi."Alisya? Kamu gak papa?"Alisya tak menjawab, Fabian makin cemas."Alisya, jawab saya. Kamu gak papa?"Tapi Alisya hanya sibuk menangis."Kalo kamu gak jawab juga, pintunya saya dobrak. Alisya, kamu gak papa, kan?! Alisya!"Fabian menjadi semakin gusar. Nekat, ia membuka pintu kamar mandi yang ternyata sama sekali tidak dikunci oleh Alisya. Fabian kaget saat melihat Alisya terduduk di lantai kamar mandi dengan shower menyala yang otomatis mengenai tubuhnya. Gadis itu masih memakai pakaian lengkap. Ia duduk sambil bersandar dan memeluk kakinya erat-erat. Fabian buru-buru mematikan shower dan mengambil handuk untuk Alisya. "Alisya, kamu ngapain?""Aku ... udah kotor, Mas," isak Alisya."Gak, Alisya. Kamu apaan sih?" keluh Fabian, berjongkok dan menyelimuti tubuh Alisya dengan handuk dari atas kepala. "Dua bajingan itu udah nyentuh aku. Aku jijik sama diriku sendiri!" pekik Alisya."Kamu gak kotor!" balas Fabian, menangkup wajah Alisya. "Nggak!" peki
Keadaan Alisya mulai membaik di hari kedua. Karena Alisya mati-matian menolak dibawa ke rumah sakit, Fabian sampai memanggil seorang dokter pribadi untuk memeriksa Alisya. Mama Jihan juga datang untuk merawatnya dan Fabian menepati janjinya untuk tak mengatakan apapun. Sang mertua yang menjaganya saat Fabian pergi ke kantor hari ini. "Kamu kok kurus banget, sih. Makan yang banyak dong, Nak," omel Mama Jihan saat menyuapi Alisya makan siang. Mau tak mau Alisya harus makan bubur buatan Mama Jihan, padahal Alisya tak terlalu menyukai makanan lembek itu. Waktu itu Fabian sangat tepat saat membuatkannya sup. Suhu tubuhnya sudah normal, walau perasaannya belum pulih sepenuhnya. Kemarin Fabian bertanya apa ia mau pergi ke psikiater, dan Alisya langsung menolak karena takut. "Udah sehat?" tanya Fabian yang pulang kerja lebih awal. Ia memeriksa kening Alisya dan bernafas lega."Kalo ada apa-apa, langsung hubungi Mama ya Bi," pesan sang mertua, sebelum meninggalkan apartemen Fabian. Sebenarn
"Dia yang duluan narik rambut saya, Bu. Tanya aja sama anak-anak. Sekelas jadi saksi kok, kalo Alisya yang nyerang duluan," kata Windy, membela diri. Alisya yang duduk di kursi berbeda langsung menatap tajam Windy. "Saya membela diri karena dia ngatain saya lonte, Bu.""Eh, lo duluan yang nyemperin gue dan ngajak ribut," elak Windy, lalu menatap Ketua Prodi. "Dia mukul meja saya tiba-tiba, Bu. Padahal saya dan temen-temen saya gak ngapa-ngapain."Alisya langsung naik darah. "Gak ngapa-ngapain gimana?!""Sudah! Hentikan!" pekik Ketua Prodi, pusing karena dua gadis itu saling melempar tuduhan. "Kalian berdua itu sudah mahasiswa, ribut kok kayak bocah-bocah SD."Alisya dan Windy langsung tertunduk melihat kemarahan wanita paruh baya berkacamata tebal yang menjabat sebagai Ketua Prodi, sekaligus dosen yang tadinya akan mengajar mereka. Bu Puan namanya. Kali ini Bu Puan hanya bisa menghela nafas melihat kelakukan anak didiknya itu. Di depannya juga berjejer teman-teman Windy dan Alisya yan
Malam ini Fabian mengajak Alisya untuk bersiap-siap. Sebenarnya Alisya tak paham. Apa Fabian mengajaknya pergi kencan? Kemarin Fabian tak pernah lagi mengungkit-ungkit panggilan sayangnya terhadap Alisya hingga Alisya nyaris yakin bahwa ia hanya salah dengar saja. Sikap Fabian juga lembut, tapi bukan sesuatu yang menunjukkan ke arah kemesraan. Lalu mengenai Windy juga, Fabian hanya bilang bahwa Mama Jihan akan mengurus segalanya. Alisya kembali libur kuliah. Kebetulan memang hari Sabtu. Dan Alisya menghabiskan hari Sabtu ini dengan mencuci pakaian yang belum sempat ia cuci. Ia juga agak mengeluh karena pola makannya sangat tidak teratur kemarin. Perutnya malah kembali buncit karena asal memakan makanan. Yah, apa boleh buat. Ia harus memulai lagi diet dan work out-nya dari nol. Tapi siang ini Fabian menghubunginya untuk bersiap-siap pukul 6 sore. Jangan bilang Fabian ingin mengajaknya berkencan.Alisya tak memiliki banyak pakaian cantik. Pakaian tercantik yang dimilikinya adalah gaun p
Alisya mendesah saat Fabian mengecup bahunya dari belakang. Sepertinya pria itu sudah bangun. Tangan Fabian yang bertengger di perutnya mulai naik turun, mengelusi kulit mulus Alisya. Nafas hangat sang pria kembali menginvasi leher belakang Alisya, membuat gadis itu menggelinjang kegelian."Mas...""Badan kamu wangi banget, saya suka," bisik Fabian, kembali berusaha menggoda gadis itu. Alisya membalikkan badannya, menghadap ke arah Fabian yang langsung menempelkan kening mereka. Untuk pertama kalinya ia benar-benar menjadi seorang istri. Alisya menyentuh rahang pria itu, merasakan jambangnya yang kasar namun ada sensasi menyenangkan saat mengelusnya. "Kamu suka?" tanya Fabian, mengelus tangan Alisya yang nangkring di wajahnya."Dulu aku gak suka cowok yang ada bulu di muka. Tapi kayaknya aku berubah pikiran setiap liat Mas," kekeh Alisya. "Kenapa gak suka?""Eum, di sekitarku penuh sama cowok-cowok ganteng yang mukanya putih mulus," cengir Alisya."Saya jelek ya?""Nggak!" bantah A
Hari ini, pagi terasa begitu berbeda dibandingkan dengan sebelumnya. Alisya sedang menggoreng telur dan Fabian berdiri di belakangnya, memeluknya. Kuliah Alisya dimulai agak siang, sementara Fabian sepertinya memutuskan untuk datang lebih siang ke kantor. Mereka benar-benar seperti pengantin baru yang lengket satu sama lain. "Udah ah, Mas. Kemaren aja gak mau sama anak kecil," omel Alisya."Kan saya udah minta maaf.""Gak mau duduk?" Fabian malah membenamkan wajahnya ke leher Alisya. Alisya mendesah, mematikan kompor dan meletakkan telur di piring. Ia menepuk-nepuk tangan Fabian yang berada di atas perutnya. "Mas, aku baru kepikiran.""Kepikiran apa?""Gimana kalo aku hamil?"Fabian terdiam sejenak. "Kamu gak mau hamil?""Kan aku, masih kuliah. Kayaknya aku belom siap deh," ucap Alisya seraya melepaskan tangan Fabian dan membalikkan badan. Fabian tersenyum kecil dan mengangguk. "Kalo gitu kita ke dokter ya. Tapi kemaren kita gak pake pengaman."Alisya setengah cemberut melihat per