ACT I : MASA LALU YANG TERKUAK
“ARGH...” Andre mengerang. Dia berusaha menahan Filona dengan tangan kanannya dan menjaga tangan kirinya agar tidak terlepas dari batu yang menjorok ke luar tebing. tempat dia bergelantungan sekarang ini demi bertahan agar mereka berdua tidak terjatuh.
“STOP IT!! Tidak akan ada gunanya? Kita berdua akan terjatuh kalau kamu terus memaksakan diri seperti itu. Kamu tahu, padahal tadi pagi...”
“Kalo kamu ngak punya ide, lebih baik diam saja. Kita berdua pasti selamat, PASTI!!”
“Terkadang Ndre, kita harus belajar kapan untuk melepaskan beban yang terlalu berat agar bisa bertahan hidup. Dan di saat ini..”
“Don’t do it, memikirkannya pun jangan. Atau...” semakin dia membuka mulutnya, tubuhnya terasa makin lelah. Jari-jari tangan kanannya mulai terasa tidak sanggup lagi untuk menahan kami berdua. Angin senja yang terasa dingin juga mulai meniup pori-pori kulitnya dan membuat tangannya sedikit gemetar.
“Just let me go, semuanya bukan salahmu. Kamu boleh menangisiku..”
“Don’t,” air mata Andre mulai mengalir ketika Fiona menggerakkan tangannya, seperti ingin melepaskan genggaman tangan mereka berdua yang menahannya untuk tidak terjatuh ke tanah.
“Tapi jangan terlalu lama ya,”
Mata keduanya sempat saling bertatapan untuk beberapa detik sebelum akhirnya Fiona dengan paksa betul-betul melepaskan tangannya.
“TIDAK!!”
Andre berteriak begitu keras dan mendapati dirinya ternyata berada di atas tempat tidur. Mimpi buruk itu terus terngiang di kepalanya walau kejadian itu sudah 3 bulan berlalu.
“Selamat pagi honey, bagaimana harimu di sana? Pasti baik-baik saja kan?” ucapnya dalam hati sambil menatap foto kelulusan mereka berdua di atas meja kecil yang ada di samping tempat tidurnya.
Terdengar seperti orang gila? Dia sudah terbiasa mendengar hal itu dari keluarganya atau kolega-kolega mereka berdua. Mungkin hanya psikolog yang merawatnya saja yang memahami dirinya saat ini—yang mengatakan kalau itu semua dikarenakan perasaan bersalah yang belum tertebus sampai sekarang.
Dia sudah mencoba semua obat penenang yang bisa diresepkan secara legal, namun kenangan buruk tersebut terus saja kembali, lagi dan lagi.
‘Tok.. Tok.. Tok..’
Mendengar ada yang mengetuk pintu apartemennya, dia berjalan dengan agak santai; karena sudah bisa menebak siapa itu. Kalau bukan ibu-ibu pemilik unit 2004, pasti perempuan dari unit 2001, hanya itu dua yang kerap mengunjungi unitnya saat dia masih tinggal berdua dengan Fiona. Yah, sebagian karena Fiona yang pintar menjaga hubungan dengan tetangga juga sih.
“Eh, kupikir sudah ke kantor ki,”
Dugaannya terbukti benar. Kali ini yang datang adalah Linda, pemilik unit 2001 di sebelahnya. Wanita yang berasal dari Makassar ini memang baru setahun tinggal di Jakarta, sehingga masih ada sedikit logat-logat Makassarnya saat berbicara.
“Kenapa? Mau nebeng lagi ya?”
“Iye,” Linda menjawab pertanyaannya dengan tersenyum malu-malu dan menggulung bibirnya ke dalam beberapa saat.
“Tunggu sebentar ya, saya ganti pakaian dulu,”
Keberadaan perempuan satu ini sama sekali tidak membuatnya risih, malah sedikit mengingatkannya dengan Fiona. Sebab Fiona dan Linda memang cukup akrab, meski hanya 3 bulan mengenal. Bahkan, Linda menjadi salah satu pelayat yang menangis cukup lama selama acara pemakaman Fiona.
“Kamu masih susah tidur ya?”
Di dalam lift, Linda menanyainya dengan pertanyaan yang menurutnya agak private.
“Tahu dari mana?” dia menjawab pertanyaan tersebut dengan santai; walau sebenarnya timbul sedikit perasaan kurang senang dalam dirinya.
“Your eyes, semuanya terlihat dari situ. Seperti sedang ada yang kamu pendam dalam hati,”
“Hmm, cuma masih kepikiran saja sih dengan insiden itu,”
“Sudah konsultasi?”
“Sudah,” dia menangguk, “Rasanya sama saja, tidak ada perkembangan yang terlalu signifikan sebulan belakangan ini. Mungkin hanya butuh sedikit waktu saja lagi sebelum aku bisa melupakan dia sepenuhnya,”
“Bagaimana kalau tiba-tiba seseorang mengatakan dia menyukaimu?”
Pertanyaan yang di lontarkan Linda membuat diirnya kembali terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Entah apa maksud Linda menanyakan hal seperti itu. Dia sempat menatap Linda agak lama sebelum lift yang mereka berdua naiki berbunyi—pertanda kalau mereka sudah sampai di basemen.
Dia memilih untuk tidak menjawab dan mengacuhkan pertanyaan Linda barusan, hanya berjalan keluar dari dalam lift dengan mulut tertutup rapat sambil masih berpikir keras alasan Linda menanyakan pertanyaan seperti itu. Namun, saat mendekati mobil miliknya, dia menghentikan langkah kakinya lalu berbalik menatap Linda dan bertanya,
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Tidak ada alasan khusus, hanya saja..”
“Akan aku tolak,”
Entah apa yang merasuki dirinya saat ini, kata-kata itu langsung keluar dari mulutnya sebelum dia sendiri bisa mencerna dan menimbang baik buruknya terlebih dahulu.
“Apakah ini adalah jawaban yang benar?” hatinya sebenarnya cukup ragu-ragu saat memikirkan kata-kata penolakan tadi.
“Sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Mau sampai kapan? Dia sudah tidak ada, dan kamu harus melanjutkan hidupmu tahu. Kalo dia bisa datang ke mimpimu, dia pasti akan mengatakan untuk tidak berlama-lama dalam kesedihan seperti ini!!
Jadi Ndre,”
Untuk sesaat, saat mendengar kata-kata terakhir Linda, dia sekilas melihat wajah Fiona malam itu. Wajah yang tersenyum walau tahu hidupnya mungkin akan berakhir. Wajah yang tampak begitu damai di tengah dinginnya malam itu hingga menjelang akhir hidupnya. Dan tanpa dia sadari, air matanya mulai menetes dan sedikit membasahi pipinya.
“DIAM!!” dia membentak Linda dengan suara yang lantang hingga menggema di basemen tempat mereka berada sekarang ini.
“Jangan terlalu lama? Kejam sekali kamu mengatakan itu dengan mudahnya,” ingin sekali rasanya dia mengatakan kalimat itu kepada Fiona saat ini juga. Namun apa daya, semua itu tinggal angan-angannya saja.
***
Selama perjalanan menuju stasiun KRL terdekat, suasana dalam mobil begitu hening, hanya suara penyiar radio dan hiruk pikuk lalu lintas di luar yang terdengar di telinga Andre dan Linda. Mereka tidak berbicara sama sekali karena apa yang terjadi di basemen tadi.
Saat tiba di salah satu stasiun KRL dekat apartemen mereka, dia melihat Linda tampak seperti memikirkan sesuatu. Tidak seperti biasanya, yang langsung turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam stasiun.
“Soal yang tadi, aku..”
“Sudahlah, aku tidak ingin membicarakan itu sama sekali,” Andre menyela perkataan Linda karena tidak ingin moodnya rusak lebih parah hari ini. Apalagi hari ini ada pekerjaan besar dan penting yang harus dia tangani.
“Sejujurnya, alasanku bertanya tadi karena aku menyukaimu Ndre,”
“...” pengakuan Linda yang keluar begitu cepat sebelum Andre sempat menyela membuat dia sangat terkejut bukan main.
Namun sebelum dia hendak sempat membalas, Linda sudah buru-buru turun dari mobilnya dan berlari masuk ke dalam stasiun.
‘..karena aku menyukaimu..’Kata-kata yang keluar dari mulut Linda terus terngiang di kepala Andre saat ini.“Hei?”“Hmm?”“Apa ngak kepanjangan itu huruf i nya pak?”“Hah?”Saat menengok ke layar komputer, dia baru tersadar kalau jarinya sedari tadi menekan tombol i secara terus menerus hingga satu halaman di penuhi dengan huruf i. “Lagi banyak pikiran ya?” tanya Karto, salah satu pegawai yang bekerja di timnya. Sedikit lebih tua darinya, namun sangat dekat dengannya.“Ya lumayan lah, ada cicilan ini itu, dan masalah-masalah kehidupan lainnya,” “Pak, bukannya bapak hari ini harus menggantikan Pak Direktur untuk interview pelamat ya?” tanya salah satu bawahan Andre lagi, Gideon.Andre menepuk jidatnya. Dia langsung berdiri dari kursinya, mengambil pulpen dan sebuah map dari atas tumpukan dokumen di atas mejanya.“Thanks ya,” ucapnya sebelum meninggalkan timnya.Harinya betul-betul menjadi kacau hari ini gara-gara ucapan Linda tersebut.“Andre!! Dari mana saja lu? Hampir saja di mu
‘Dari semua bagian di kantor ini, kenapa gua harus masuk Timnya dia’ ujar Yunita dalam hati.Setelah sampai di lantai 10—atas bantuan Dodit—dia berjalan menuju bagian Marketing and Expansion sesuai dengan yang di beritahukan salah satu pegawai yang dia tanyai barusan.Walau begitu, pikirannya tetap menyuruh kakinya untuk terus berjalan maju. Begitu melihat papan nama Tim 8 menggantung dari kejauhan, Yunita menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya. Dia memkirkan cara yang benar untuk menyapa Andre nantinya. Apalagi ketika mengingat kalau mereka tidak putus dengan cara baik-baik.Tiba di ruangan Tim 8, Yunita tidak langsung masuk, dia mengintip terlebih dahulu; untuk mencari keberadaan Andre.“Kenapa hanya berdiri di depan pintu,”Kaget mendengar suara Andre dari belakang, Yunita sempat menjatuhkan tabletnya. Dia memungut tabletnya lalu berbalik untuk menyapa Andre.“A.. Andre. H.. Hai,” dia menyapa dengan terbata-bata, pikirannya seketika langsung kosong dan tidak tahu harus berkata
Yunita terdiam, walau sudah menduga pertanyaan itu pasti akan keluar dari mulut Andre begitu dia diterima. Namun, dia tidak menyangka kalau Andre akan langsung menanyakan di hari pertama mereka bertemu kembali.“Aku tidak bisa mengatakan ke kamu alasannya, tapi...”“Tidak bisa?” Andre mendengus, rasa penasaran yang ada dalam hatinya perlahan sekarang berubah menjadi rasa benci, “Jadi betul-betul karena pria itu,”“Dia tidak ada hubungannya dengan penyebab kita putus,”“Tidak ada? Kamu pikir aku bodoh Yun? Aku sudah tahu kamu selingkuh dengan dia saat kalian pertukaran pelajar ke London. Dan tidak hanya itu, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana dia merangkulmu, bagaimana kalian terlihat mesra bersama. Dan kamu masih mau bilang kalau dia tidak ada hubungannya sama sekali? Dan juga..”Andre tiba-tiba merasakan sakit yang amat hebat di kepalanya, begitu sakit hingga dia tidak bisa menahan badannya untuk berdiri tegak.Melihat hal itu, Yunita merasa cemas dan berusaha untuk m
“Saat itu hujan deras, saya sedang menyetir, pandangannya juga tidak cukup jauh. Dan, ada sebuah plan berwarna hijau,”“Oke, bisa kau lihat lebih jelas apa yang tertulis di plang tersebut?”“Ada tanda panah, lalu..”“Lalu?”“Seorang wanita tiba-tiba menjerit, badan saya juga terasa kaku. Seperti tidak bisa di gerakkan, hujan yang begitu deras terus menusuk wajah saya, dan...” Andre tiba-tiba mengerutkan wajahnya, nafasnya juga mulai tidak beraturan,.“Oke, Andre. Dengarkan suara saya. Saya akan menghitung dari satu sama tiga. Dan pada hitungan ketiga, kamu akan membuka matamu seolah kenangan buruk itu tidak pernah terjadi. Satu.. dua... tiga..” ucap Bu Riska, psikiater yang sudah menangani Andre selama tiga bulan terakhir ini.Sesuai dengan instruksi yang di berikan oleh Ibu Riska, Andre mulai bernafas dengan sebelum akhirnya membuka matanya pada saat Ibu Riska menyebutkan angka tiga.“Semenjak kapan mimpimu yang ini muncul,”“2 atau 3 hari yang lalu mungkin? Setelah saya pulang dari
"KEHADIRAN YANG TIDAK DI HARAPKAN" PART II‘Pokoknya, hari ini kita harus berhasil’, Andre berucap dalam hatinya saat menunggu tidak jauh dari Rumah Yunita—sebab, Yunita agak khawatir dengan respon keluarganya saat melihat Andre secara tiba-tiba.“Hai, kamu terlihat cantik hari ini,” Andre melontarkan pujian saat melihat Yunita yang tampak cantik dengan long dress berwarna kremnya.Akan tetapi, Yunita tidak termakan oleh rayuan yang banyak di lontarkan oleh buaya darat tersebut,“Ngak usah banyak gombal kamu, jalan saja,” ucapnya sambil memakai sabuk pengamannya saat Andre mulai menginjak gas.Yunita sebenarnya merasa agak gugup kali ini. Sebab saat upacara kelulusan, dia waktu itu tidak hadir karena sedang sakit dan di gantikan oleh kakaknya. Juga, baru kali ini dia mengikuti acara reuni angkatan kampusnya.Sedangkan bagi Andre sendiri, kali ini merupakan pertama kalinya dia hadir tanpa di temani Fiona.“Apa saja yang biasa angkatan kita lakukan saat acara reuni seperti ini?” Yunita
“Maaf, maaf, saya agak buru-bu..” Yunita diam membisu saat menatap wajah orang yang tidak sengaja dia tabrak dan orang itu ternyata adalah Yoshua. “Hai,” “H.. hai,” dia menjawab dengan terbata-bata. “Sudah lama ya?” Yoshua bertanya. Seperti Andre, wajah Yoshua juga tidak banyak berubah semenjak jaman kuliah dulu. “Cukup lama. Mungkin..” “Ternyata ada satu lagi wajah yang cukup akrab ya,” di tengah-tengah Yunita yang sedang berbicara, Andre datang menyela; dia bahkan sengaja menggandeng tangan Yunita secara terang-terangan. Dia tidak tahan melihat Yoshua berada di dekat Yunita. Terlebih lagi karena Yoshua merupakan salah satu saingannya demi memperebutkan Yunita. Dan setelah mendengar dari Dodit dan beberapa teman angkatannya kalau Yoshua ternyata masih sendiri sampai sekarang, Andre menjadi merasa was-was terhadap Yoshua. “Kalian...” “Yup, persis seperti yang lu pikirkan,” ingin menyingkirkan Yoshua secepat mung
“Hai,” Linda menyapa Andre dengan senyuman tipis di wajahnya.Akan tetapi, Andre hanya menatap Linda dengan tatapan yang dingin. Dia memang sudah muak dan kesal karena Linda tidak pernah menyerah sama sekali meski dia sudah menolaknya berkali-kali.“Tidak usah bersikap sok akrab, ada urusan apa kau ke sini?” Andre sengaja berbicara dengan gaya bicara yang biasa dia pakai untuk menghadapi orang yang dia tidak suka, agar Linda tidak merasa tenang sedikit pun.“Kenapa tidak, kita sudah bertetangga satu sama lain? Apakah itu bukan akrab namanya?”“Dulunya, hingga akhirnya kau sendiri yang menghancurkannya dengan sifat keras kepalamu itu,”“Baiklah, tapi suka atau tidak. Kau tetap harus menerimaku bekerja di sini,” ucap Linda sambil menyerahkan selembar kertas yang di masukkan ke dalam map plastik berwarna biru.Dia juga sempat melirik ke arah Yunita dan dengan sengaja memperlihatkan tat
“Yunita, mana laporan untuk Grand Launchnya Ibu Tari?” pinta Andre,Tidak butuh waktu lama bagi Yunita untuk memberikan apa yang Andre minta, sebab dia sudah terbiasa dengan alur kerja dari Tim 8 yang serba gesit.“Oke, Gideon, kalian berdua ikut saya,” ujar Andre setelah melihat sekilas laporan Yunita dan cukup puas dengan hasilnya. Dia juga sempat memberikan kedipan kepada Yunita untuk menggodanya.Namun bagi Linda yang kebetulan melihat semua itu, adegan rayu merayu yang di lakukan keduanya membuatnya semakin merasa cemburu,“Kneapa giliran wanita itu kamu malah bisa tersenyum seperti itu,” gumamnya.Akan tetapi, dia berusaha untuk tetap menekan emosinya. Sekarang ini, dia lebih memilih untuk fokus mengambil hati semua Tim 8 dengan kinerjanya; tentu juga sambil memikirkan bagaimana caranya untuk menjatuhkan Yunita.“Ini pak, refrensi yang bapak minta,”“Thanks. Oh iya,
“Jangan salah paham. Aku hanya ngak mau orang-orang menganggap kejadian tadi adalah pertengkaran sepasang kekasih,” Andre langsung menjelaskan alasannya, mumpung hanya ada mereka berdua saja dalam lift saat ini.“Kenapa kamu tidak pernah memberikan aku kesempatan?”“Masih harus ku jelaskan berulang kali? Cinta itu tidak bisa di paksa, Linda. Kamu memang mungkin menyukaiku, tapi aku tidak pernah menganggap kamu lebih dari seorang teman dan tetangga. Mau sampai kapanpun kamu memaksakan perasaanmu padaku, aku tidak akan bisa menerima perasaanmu.Malah aku akan menjadi ornag brengsek kalau menerima perasaanmu meski aku tidak menyukaimu sedikit pun,” Andre menjelaskan.“Lalu kenapa harus dengan Yunita, walau dia sudah menyakitimu seperti itu, kenapa kamu malah memilih dia?” Linda kembali bertanya ketika mereka berdua keluar dari dalam lift.Andre menghela nafas saat akan membuka pintu apartemennya, “Kami memang mempunyai masa lalu yang pahit. Tapi semua itu hanya salah paham. Kamu tidak ta
Melihat Roland dan Linda turun dari mobil yang sama, Andre berjalan kembali ke dalam restoran, ke ruangan tadi. Kali ini, dia sudah tidak bisa lagi untuk bersikap ramah dan lebih memilih memasang wajah ketus setiap kali menatap Pak Martaka.“Kenapa wajahmu begitu?” Yunita mendekatkan diri dan berbisik di dekat Andre,“Kamu lihat saja sendiri nanti,” jawab Andre, dia kembali meneguk segelas Sprite tanpa jeda sedikit pun. Matanya sekarang menatap Pak Martaka dengan sorotan tajam.Sementara Yunita yang heran dengan sikap Andre sekarang ini, hanya diam saja sambil sesekali melirik ke mana Andre menatap. Namun begitu pintu terbuka, dia bisa langsung mengerti apa penyebab perubahan mood pada diri Andre saat ini.Dia mendengus tersenyum begitu melihat Roland dan juga Linda saling melingkarkan tangannya satu sama lain layaknya sepasang kekasih.“Y.. Yunita?” Roland melepaskan lengannya dari Linda, wajahnya terlihat seperti seorang suami yang sedang ketahuan berselingkuh.“Kalian saling kenal?
“Tim dari Departemen Drama dan Web Series sudah berusaha bernegosiasi dengan dia, sudah 10 kali bahkan. Tapi orang ini selalu menolak dengan alasan yang terbilang agak sulit. Dia ingin jaminan royalti 10% setelah acaranya selesai, gaji pokok di naikkan 20%, dan cast harus patuh penuh terhadap aturannya. Tapi..”“Tidak banyak aktor ataupun aktris yang menyukai dia,” dia menyela Yunita yang sedang menjelaskan secara singkat progress negosiasi dengan Martaka,“Kamu tahu?”“Sudah jelas,” dia menjawab dengan nada jutek. Sebab dia pernah bekerja sama satu kali dengan orang itu. Dan jujur saja, dirinya sendiri memang sangat muak dengan cara kerja Martaka yang terbilang ‘over perfeksionis’.Walau begitu, memang sih semua project yang di pegang oleh orang itu selalu saja berhasil menjadi hits di dunia hiburan. Dan sangat kebetulan, penulis untuk proyek kali ini termasuk orang besar dan juga sama menyebalkan dengan Martaka, hanya ingin bekerja dengan orang-orang paling top di bidangnya.“Tapi k
Seperti yang di ucapkan Yunita, Ayah Ibunya menerima Andre dengan senyum ramah. Bahkan Ayahnya memeluk erat Andre dan menyebutnya sebagai ‘calon menantu kesayangan’. Sama seperti ayahnya, ibunya memeluk Andre sambil mengucapkan ‘terima kasih’—yang baginya, seperti permintaan maaf yang tulus jika dia harus menerjemahkannya.“Akhirnya datang juga orang yang paling di bicarakan di rumah ini seminggu terakhir,”Semua orang tiba-tiba menoleh ketika Angelica yang baru saja datang berbicara.“Kakak,” Yunita langsung menimpali, sebab kakaknya ini sangat suka sekali bercanda dengan memasang wajah serius seperti yang sedang terjadi sekarang.“What? Kakak cuma menyambut calon suami kesayanganmu kok. Tahu ngak..”Mendengar kakaknya berbicara seperti itu, dia sudah bisa langsung tahu apa yang akan kakaknya katakan berikutnya. Dengan buru-buru dia berlari ke arah kakaknya dan berusaha menutup mulu
Besoknya, sesuai dengan perjanjiannya dengan Yunita kemarin di kantor, Andre dan Nia menunggu Yunita di Plaza Senayan, tepatnya di salah satu outlet brand mewah yang menjadi simbol orang kaya, G***i. “Memangnya kakak punya duit apa?” Merasa dirinya terlalu di rendahkan oleh adiknya satu ini, dia kemudian mengeluarkan dompetnya dan memamerkan beberapa kartu kredit black card dari beberapa bank ternama. “Masih mau ngomong?” ucapnya sambil tersenyum sinis. “Kakak ikutan investasi bodong ya?” “What the.., kagak lah. Kakak itu kalo setiap gajian, setengahnya kakak invest ke dalam berbagai hal,” Setelah selesai menjawab, dia tersadar akan satu kesalahan fatal yang baru saja di perbuat, yaitu menjelaskan soal keuangan pribadinya kepada Nia. Dan ketika dia melirik ke sampingnya, betul saja, Nia kini menatapnya dengan tatapan tajam. “Begitu ya, giliran aku minta sesuatu pasti dibilang nanti-nanti. Kalau Kak Yunita, kakak langsung gercep
“Ngak mungkin,” ibunya tampak syok dan menggelengkan kepala, “Dia tidak mungkin akan melakukan seperti itu, mama tidak percaya. Kamu pasti mengatakan itu untuk membuat mama benci dengan dia kan? Supaya mama merestui kamu dan Yunita, wanita licik itu,”“Nak, tuduhanmu itu cukup berbahaya? Kamu punya buktinya?”“Iya kak. Meski aku juga ngak suka dengan Kak Linda, tapi tuduhan kakak itu terlalu berbahaya,”“Kenapa? Aku mendengarnya sendiri kok, saat di Italia,” dia sengaja tidak melibatkan Yunita dalam hal ini, karena ibunya pasti akan mengarahkan semua tuduhan ke Yunita lagi, “Dan dia bahkan datang bersama dengan Roland, CEO baru dari saingan kita,”“Tunggu dulu, Roland dari JC Group? Yang baru saja mengakuisisi D&D Media tahun lalu?”“Yup, siapa lagi memang saingan terkuat kita saat ini selain mereka,”Melihat ayahnya yang menghela nafas, dia menduga kalau ayahnya sudah tahu soal Roland. Dan menurutnya, Ayahnya pasti menyembunyikan sesuatu darinya.“Jadi rumor itu benar ternyata,”“Rum
’Kanker otak stadium 2’4 kata itu membuat harapan yang ada dalam dirinya menjadi hancur seketika, dia tidak bisa menerima kenyataan kalau dirinya harus di diagnosis menderita penyakit mematikan itu.Dia bingung harus mengatakan apa ke keluarganya, melihat wajah kesedihan mereka saja dia tidak sanggup. Dan Yunita, yang sudah dia janji akan menikah tahun ini, dia tidak tega harus merusak momen-momen bahagia yang tengah mereka rasakan sekarang ini.Dia lalu duduk di bangku taman di taman yang ada di rumah sakit, “Kenapa kau memberikan cobaan yang berat seperti ini?” dia bergumam dalam hatinya, mengeluh pada yang maha kuasa. Sejujurnya, dia tidak mengerti di mana letak kesalahannya sehingga di pantas menerima cobaan yang begitu berat seperti ini. “Apa karena aku melawan kehendak mama soal pacaran selama ini?” dia kembali bergumam memikirkan semua alasan yang mungkin saja menjadi penyebab dia menerima cobaan seberat ini. Saat kembali ke mobilnya,
“Kamu kenapa sih sayang? Dari tadi kaya kurang fokus begitu,” Yunita bertanya dengan menyipitkan mata saat mereka berdua sedang menunggu pesanan mereka di sebuah restoran tidak jauh dari hotel, karena sebentar lagi mereka sudah harus kembali ke hotel. Andre menatap mata Yunita sejenak. Dia lalu tersenyum dan memilih untuk berbohong, “Ngak kok, aku sedang mikirin soal Roland dan Linda saja. Bagaimana kita harus bersikap ke mereka kalo berpapasan secara tidak sengaja,” “Kamu masih mikirin itu? Ngak usah terlalu di pikirkan lah. Ingat kan? Sepandai-pandainya tupai meloncat, suatu saat pasti akan jatuh juga. Sama kaya mereka, sepandai apapun mereka merencanakan dan menyembunyikan niat mereka, pasti akan ketahuan juga suatu saat. Yang penting, kita menghindari mereka saja untuk saat ini. Oke?” “Baik kalau begitu, untuk urusan mereka berdua, aku serahkan semua ke kamu,” “Duh, seharusnya sebagai calon kepala keluarga, kamu itu..” “Wait,” perkataan Yunita—khusu
Setelah mendengar cerita Yunita, Andre cukup syok. Dia tidak menyangka kalau Linda akan berbuat sejauh itu. Di kuasai oleh perasaan amarah, dia mengambil teleponnya dan hendak menelepon Karto.“Kamu mau apa?” Yunita bertanya,“Apalagi? Tentu saja akan aku masukkan dia ke penjara,”Yunita secara tiba-tiba mengambil telepon miliknya dan menutup teleponnya. Hal itu membuatnya terkejut. “Dan kamu punya bukti kalau dia yang melakukan itu?” “Pasti akan ada sendiri nanti, yang penting sekarang kita harus melaporkannya lebih dahulu. Kamu mau membiarkan orang yang sudah hampir membunuh kita berkeliaran bebas seperti itu?”“Coba kamu pikirkan, kalau kamu melapor ke polisi sekarang. Bisa saja Roland dan Linda langsung mengambil tindakan pencegahan dengan menyingkirkan semua bukti yang ada. Dan ujung-ujungnya? Bisa kamu yang kena laporan balik atau pencemaran nama baik,” Merasa perkataan Yunita ada benarnya, dia berdiri dari kursinya dan berjalan menuju balkon untuk menghilangkan penat de