Sudah hampir sebulan ini Reynald jarang pulang ke rumah. Semenjak menolak permintaan Tuan Darwin, Reynald menjadi seperti mesin pekerja. Pria itu harus rela menyisihkan sebagian waktunya untuk membantu mengurus masalah di perusahaan Kakek. Belum lagi pekerjaannya di rumah sakit yang cukup padat. Hal ini sering membuat Leanna merasa khawatir. Terkadang menghubungi suaminya itu pun menjadi sangat sulit, walaupun Leanna selalu berusaha mengerti pekerjaan dan kegiatan pria itu.Seperti pagi ini di sela waktu istirahatnya, Leanna kembali mencoba menghubungi Reynald. Namun teleponnya sama sekali tidak dijawab. Kalaupun dijawab, bisa satu atau dua jam yang akan datang. Itu pun hanya berupa pesan singkat seperti yang sedang dibaca Leanna saat jam istirahat makan siangnya ini.Hari ini pekerjaanku padat. Kamu pulang dengan Pak Sugio saja, ya.Hanya kalimat singkat seperti itu yang Leanna terima sebagai jawaban kekhawatirannya. Tanpa sadar Leanna termenung menatapi layar ponselnya hingga tak sa
Arvian mendekat dan duduk di samping Leanna. Pria itu mengambil gelas teh yang Leanna pegang dan meletakkannya di meja kemudian mengusap lembut punggung wanita itu dengan sayang. Dia akan rela menukar apa pun yang dimilikinya sekarang asalkan Leanna berhenti menangis dan kembali tersenyum ceria. Arvian bahkan duduk diam dan setia menunggu sampai wanita itu selesai meluapkan kesedihan di hatinya. Begitu tangis Leanna mereda, Arvian mengulurkan beberapa lembar tisu untuk mengusap air mata wanita itu.“Apa sudah merasa lega sekarang?” Leanna hanya mengangguk pelan sambil mengusap air matanya dengan tisu. “Apa kamu mau menceritakannya padaku apa yang terjadi?”Leanna baru saja hendak membuka mulutnya untuk bicara, tetapi dengan cepat tangannya kembali membekap mulutnya yang tiba-tiba saja hendak memuntahkan isi perutnya. Arvian pun segera menuntun Leanna ke toilet. Leanna segera berlari ke depan wastafel untuk memuntahkan isi perutnya yang ternyata hanya sedikit air yang keluar. Diusapnya
Arvian masih setia menemani Leanna dan hanya bisa berdiri diam di tepi ranjang wanita itu sambil memperhatikan Reynald melakukan tugasnya. Rysha datang tak lama kemudian dan hanya bisa menatap hampa pada raut wajah kecemasan pria yang dicintainya sedang terfokus pada wanita lain.Selama menunggu hasil tes darah, Reynald berkali-kali memeriksa kondisi istrinya memastikan kalau tidak ada yang salah pada tubuh istrinya itu. Beberapa kali juga pria itu sempat mondar-mandir ke meja perawat menanyakan hasil lab yang tidak kunjung datang di jam padat rumah sakit. Bahkan Reynald sempat nyaris kehilangan keseimbangan tubuhnya kalau saja pria itu tidak berpegangan pada tepi ranjang pasien yang dilewatinya ketika kembali ke bilik Leanna.“Sebaiknya kamu istirahat dulu Rey, biar aku yang menggantikanmu memeriksa Leanna.” Rysha melihat iba pada pria yang kini sedang tidak menghiraukan kondisi tubuhnya sendiri. “Dan ... itu ada bekas luka di sudut bibirmu. Sini biar aku obati!”“Tidak perlu. Aku ti
Limpahan Perhatian“Dokter, apa aku tidak bisa pulang sekarang? Aku bosan di rumah sakit.”“Tidak bisa. Tunggu pemeriksaanmu selesai dulu. Kalau sudah tidak ada masalah lagi baru kita pulang,” jawab Reynald tegas. Tampaknya pria itu sudah bertekad untuk menjaga Leanna dan bayi mereka.“Tapi aku kan, tidak sakit.” Leanna memasang wajah memelas. Kali ini nada suaranya dibuat semanja mungkin. Wanita itu berharap agar pria di hadapannya ini mau menuruti permintaannya.Bosan juga berada di rumah sakit dan hanya tiduran tanpa melakukan apa-apa. Kalau Leanna meminta pulang, pria itu selalu berhasil membungkamnya dengan berbagai alasan medis. Seperti tidak boleh banyak bangun dari ranjang karena takut janin di perutnya belum kuat setelah kejadian pingsan kemarin.“Tidak. Tunggu hasil pemeriksaan dari Dokter Vira dulu,” jawab Reynald tetap pada pendiriannya dan membuat Leanna merengut kesal. “Jangan marah begitu, kasihan nanti bayi di perutmu.”“Tapi Dokter tidak kasihan padaku,” balas Leanna
Setelah dua hari berada di rumah sakit, Reynald akhirnya membawa Leanna pulang. Begitu wanita itu tiba di kediaman Maheswara, Kakek langsung memeluknya erat dan memerintahkan Bu Tia untuk selalu ada di samping Leanna dan membantunya. Kakek juga meminta semua yang ada di rumah itu ikut turut menjaga Leanna dengan baik layaknya porselen yang mudah pecah.Tentu saja Reynald adalah orang pertama yang selalu siap siaga di samping ibu hamil satu itu. Begitu bangun di pagi hari, Leanna langsung disuguhi segelas air putih hangat dan beberapa camilan kecil untuk mengurangi morning sickness. Bahkan ketika waktunya makan, Reynald benar-benar menjaga apa yang harus dikonsumsi Leanna termasuk memilihkan makanan bergizi tinggi yang kaya akan asam folat dan zat besi. Hingga menjelang malam sebelum tidur, pria itu selalu membuatkan sendiri susu khusus ibu hamil untuk Leanna dan membuat wanita itu merasa tersanjung dengan apa yang telah Reynald lakukan untuknya.Awalnya Leanna senang dengan semua perh
Entah apa yang terjadi, tetapi selama jam kerja, Leanna sama sekali tidak mendapatkan pekerjaan yang berat. Yang biasanya dia mengangkat kontainer penuh kostum dancer untuk di laundry, kali ini semua sudah rapi bersih di tempatnya. Wanita itu curiga kalau suaminya benar-benar melapor pada atasannya. “Sini biar kubantu,” kata Leanna saat melihat Nindy membawa tumpukan pakaian dari studio 5 tempat acara komedi tadi malam. “Jangan, baju-baju ini berat. Kamu hubungi sponsor yang mau dukung acara ‘Arjuna Mencari Cinta’ saja,” kata Nindy sambil menyerahkan secarik kartu nama salah satu brand pakaian yang ingin menjadi sponsor. “Tapi, itu banyak sekali. Pasti berat bawanya.” “Sudah tenang saja. Aku bawa sedikit-sedikit kok. Tidak berat.” “Tapi ….” “Nona manis kesayangan pak dokter, urus sponsor saja ya. Jangan urus kostum-kostum kotor ini.” Nindy mengembangkan senyum yang justru terlihat mengerikan di mata Leanna. Sepertinya pengaruh suaminya benar-benar besar sebagai cucu konglomerat
Leanna dan Reynald berjalan mengelilingi butik baru mereka. Tangan Reynald bahkan tidak lepas menggandeng tangan Leanna selama mereka memeriksa keseluruhan kondisi butik baru ini. Jangan tanya bagaimana perasaan Leanna, wanita itu terlihat sangat senang. Matanya berbinar-binar menatap pakaian yang dia desain berbaris rapi dalam gantungan pakaian yang dipajang. “Bagaimana menurutmu? Apa sudah seperti butik yang ada dalam impianmu?” tanya Reynald sambil merangkul pinggang istrinya mesra. “Iya, sudah mirip. Butik ini cantik sekali. Bagaimana Mas tahu kalau aku suka dekorasi yang seperti ini?” “Ini semua Fiona yang mengerjakannya. Saya hanya sebagai penyedia dana saja,” jawabnya sambil tersenyum. “Kalau memang masih belum sesuai dengan keinginanmu, kamu boleh mengubahnya lagi,” lanjut Reynald. “Tidak perlu. Begini sudah cukup,” ucap Leanna kemudian menatap wajah suaminya dengan tatapan penuh rasa sayang. “Terima kasih ya, Mas.” “Sudah semestinya saya berikan butik ini. Jadi, kapan ka
Semenjak hamil, ada saja kelakuan Leanna yang membuat Reynald dan juga Arvian pusing bukan kepalang. Belum lagi permintaan-permintaan aneh yang sering wanita itu lontarkan. Seperti pagi ini saat keduanya dalam perjalanan ke tempat kerja, Leanna meminjam snelli Reynald dan memakainya. Wanita itu bahkan tidak berhenti mengendus aroma parfum yang menempel di snelli tersebut sampai mereka tiba di halaman parkir stasiun TV VO-Channel. “Sudah sampai nih, Sayang. Sini lepas snelli-nya. Masa kamu mau ke kantor pakai snelli saya?” kata Reynald setelah selesai memarkirkan kendaraannya di halaman parkir stasiun TV VO-Channel. “Tapi kalau aku kangen bagaimana?” “Ya sudah, kamu cuti saja terus ikut saya kerja. Bagaimana?” saran Reynald saat melihat istrinya enggan berpisah dengannya. Pria itu mengusap lembut pipi istrinya sambil menatapnya dalam-dalam. Leanna menggeleng keras, “Pekerjaanku hari ini banyak sekali. Tidak bisa cuti.” Leanna kini mengerucutkan bibirnya. Melihat hal itu, Reynald l
Mungkin untuk sebagian orang, menikahi pria kaya dan tampan adalah sebuah kesempurnaan hidup. Namun Leanna tidak merasa seperti itu. Menikah dengan Reynald terasa seperti mengemban sebuah tugas yang berat, seperti apa yang Safira katakan sebelumnya. Anak di dalam kandungannya bahkan sudah mendapatkan tanggung jawab besar jauh sebelum dia dilahirkan.Awalnya mungkin Leanna tidak terlalu memikirkan hal ini. Namun begitu membuka mata keesokan paginya, dia benar-benar menyadari kalau hidupnya tidak akan semudah itu. Baru saja membuka matanya dan raut wajah penuh kekhawatiran dapat terlihat jelas dari beberapa orang yang kini memenuhi ruang rawatnya.“Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya Kakek Antony. “Kenapa kamu membiarkan istrimu kelelahan?” kata Kakek Antony pada Reynald begitu melihat pria itu masuk ke dalam ruang rawatnya.“Kamu juga kenapa tidak mengatakan lebih awal kalau Leanna di rawat di sini?” kata Kakek Antony pada Fiona yang terlihat merengut tidak terima disalahkan.“Justru aku y
Setelah kepanikan dan kehebohan di sepanjang lorong menuju poli obstetri dan ginekologi tadi, Leanna akhirnya langsung dapat penanganan dari Dokter Vira. Setelah melakukan banyak pemeriksaan Leanna akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan untuk beristirahat selagi menunggu hasil pemeriksaan yang sudah dilakukannya barusan.Meskipun nyeri di perut Leanna sudah berkurang dan wanita itu pun kini sudah terlihat mulai nyaman berbaring di ranjangnya, tetapi Safira dan Fiona masih terlihat penuh kekhawatiran.“Benar sudah tidak sakit?” tanya Safira lagi. “Kalau memang masih sakit nanti kupanggilkan Dokter Vira lagi,” kata Safira.“Kamu belum makan, kan? Kamu mau makan apa biar kupesankan,” kata Fiona tak kalah paniknya.“Sebaiknya kalian juga duduk sebentar. Memangnya tidak lelah berlari-lari seperti tadi?” kata Leanna yang mulai pusing melihat kedua wanita cantik itu berjalan hilir mudik di depan ranjangnya.“Kalau perutmu masih terasa sakit, kamu tarik napas yang panjang saja, ya,” kata Safi
Sudah beberapa hari ini Fiona lebih sering berada di butik Leanna dengan setumpuk buku referensi pernikahan yang dibawanya. Menghabiskan hari sambil berceloteh tentang model gaun seperti apa yang cocok untuk gaun pengantinnya. Dekorasi seperti apa yang bagus untuk acara pernikahannya kelak, hingga jenis dan warna bunga yang bagaimana yang bagus digunakan untuk menghiasi ballroom tempat acaranya nanti. Leanna sampai pusing sendiri menanggapi semua celotehan Fiona tentang rencana pernikahannya tersebut. Belum lagi ketika Fiona bertanya beberapa pilihan konsep pernikahan yang ada di buku referensi tersebut. Leanna sampai bingung harus pilih yang seperti apa. Karena semua konsep yang Fiona usulkan semuanya memiliki keunikan tersendiri. “Kalian sedang apa?” tanya Safira yang tiba-tiba datang. Wanita itu membuka kacamata hitamnya kemudian ikut duduk di sebelah Fiona. “Merencanakan pernikahan,” jawab Leanna singkat. “Pernikahan siapa?” tanya Safira bingung. Leanna hanya melirik ke arah Fi
Tuan Darwin duduk di samping Kakek Antony kemudian kedua orang tua Kennard dan Kennard yang duduk persis di samping Fiona. Mereka semua saling menyapa dengan anggukan dan senyuman singkat kepada Kakek Antony. “Bukankah kamu yang meminta Kennard untuk membawa serta kami sekeluarga?” balas Tuan Darwin sambil menatap Kakek Antony tajam. Yang menurut Leanna seperti harimau yang sedang menakut-nakuti mangsanya. “Tentu, kalau cucumu itu ingin mendapatkan cucu perempuanku yang berharga.” “Kalau begitu, apakah kamu sudah bersedia menyerahkan cucu perempuanmu yang berharga itu pada cucuku?” tanya Tuan Darwin yang kali ini dengan senyuman tipis di bibirnya. “Mengingat sudah berapa lama kita berteman, seharusnya kamu tahu jelas apa jawabanku, kan, Win?” balas Kakek Antony lagi sambil menatap Tuan Darwin lekat-lekat. “Baiklah! Kita tidak perlu berbasa basi seperti ini lagi. Bagaimana kalau langsung menetapkan tanggal pernikahan untuk mereka saja?” kata Tuan Darwin yang saat ini raut wajahnya
Belaian lembut di pipi Leanna pun membangunkan wanita itu dari tidur lelapnya. Sebuah kecupan bahkan mendarat di bibir Leanna saat wanita itu membuka mata. Reynald kemudian menatapnya dalam-dalam sambil merapikan beberapa anak rambut yang jatuh di pipi Leanna. “Pagi,” sapa Reynald saat Leanna sudah sadar sepenuhnya. “Hari ini sudah tidak ada seminar, tapi sepertinya kita harus lekas pulang,” kata Reynald dengan nada suara lembut. “Pulang?” “Hmm. Kamu lupa kalau nanti malam ada pertemuan antara keluarga kita dengan keluarga Raharjo?” “Nanti malam? Ah, iya. Acaranya Fiona?” “Betul. Awalnya saya ingin mengajakmu jalan-jalan di sekitar sini, tapi tadi pagi sekali Fiona menelepon untuk mengingatkan saya tentang pertemuan keluarga ini.” “Ah, benar juga. Tidak mudah membuat Tuan Darwin mau datang mengurus masalah Fiona dan Kennard. Kita tidak boleh mengacaukannya.” “Tentu. Karena itu … ayo lekas bangun, Sayang,” kata Reynald sambil mengusap pipi Leanna kemudian tersenyum dan menatap is
“Memangnya kenapa?” tanya Reynald.“Jawab saja, Mas. Kita ini pasangan serasi atau bukan?”“Memangnya menurut kamu, kalau pasangan serasi itu seperti apa?” Reynald kembali balik bertanya.“Wajahnya cantik dan ganteng. Kelihatan sangat saling mencintai. Kompak dalam hal apa pun,” ucap Leanna menyebutkan isi salah satu artikel yang pernah di bacanya di media sosial.“Nah, itu kamu sudah tahu jawabannya.”“Apa?” Leanna justru bingung dengan jawaban yang diberikan Reynald.“Sudah jam 7, saya dan Steven harus kembali ke ruang seminar. Kalau kamu masih mau jalan-jalan lagi bersama Safira tidak apa-apa. Nanti minta Pak Sugio saja yang antarkan.”“Eh, tapi –”Reynald bangkit berdiri sambil mengusap puncak kepala Leanna dengan penuh rasa sayang kemudian tersenyum pada Leanna sebelum beranjak pergi. Begitu juga dengan Steven. Pria itu pun ikut bangkit berdiri menyusul Reynald.“Jangan lupa meneleponku kalau sudah selesai!” kata Safira sambil menatap Steven dengan tatapan tidak rela berpisah.“O
Usai berkeliling dari butik satu ke butik lainnya, Safira dan Leanna duduk berhadapan di salah satu café yang sedang hits di Dago. Beberapa tas belanjaan tergeletak di atas kursi di samping keduanya. Leanna sedang meminum jusnya, sedangkan Safira sibuk memeriksa ponselnya. “Mau sampai kapan kamu memandangi ponselmu begitu?” tanya Leanna yang sedari tadi mengamati gerak-gerik Safira. “Seminar mereka baru akan selesai malam hari.” Safira mengangkat wajahnya dan fokus mendengarkan ucapan yang keluar dari mulut Leanna. “Seminar hari ini materinya lumayan padat. Mas Reynald bilang pasti akan malam sekali selesainya.” “Memangnya mereka selesai jam berapa?” tanyanya penasaran. “Sekitar jam 10 sampai jam 11 malam,” kata Leanna sambil mengingat-ingat daftar jadwal seminar yang diberikan Reynald padanya. “Semalam itu?” Safira terlihat mendesah kecewa. “Itu sih sama saja tidak bisa bertemu dengannya hari ini.” “Hmm … bisa saja sih bertemu dengannya pada saat jam makan malam. Biasanya mere
Reynald mengurai pelukan Leanna dan menatap wajah wanita kesayangannya itu. Masih sedikit tidak percaya Leanna menyusulnya ke hotel tempatnya menginap. “Aku tidak bisa tidur kalau tidak ada, Mas,” ucap Leanna pelan sambil menatap wajah suaminya yang kini sedang tersenyum tipis menatapnya. Leanna kembali mendekap Reynald dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu. Masih rindu dengan dekapan hangat dan aroma maskulin yang selalu bisa menenangkan jiwanya. Reynald membalas pelukan Leanna dan mengusap lembut punggungnya. Menyalurkan kedamaian dan kenyamanan yang selalu membuat Leanna ingin berada dalam pelukan hangat pria itu selamanya. “Peluknya nanti di sambung lagi. Sekarang kita ke kamar dulu, ya!” Reynald kemudian menggandeng Leanna memasuki lift yang membawa mereka ke lantai 5. Berhubung sudah tengah malam, Reynald tidak mungkin membiarkan Leanna berada lama-lama di lobi hotel. Reynald langsung membawa Leanna ke dalam kamarnya. Perjalanan panjang dari rumah mereka ke hot
Leanna terbangun dan wangi maskulin yang selama ini dia rindukan tercium kental dihidungnya. Leanna pun membuka mata dan menemukan dirinya sedang berada dalam dekapan pria yang beberapa waktu lalu membuatnya kesal.“Kapan Mas pulang? Katanya mau shift malam menggantikan teman Mas?” tanya Leanna sedikit terkejut mendapati suaminya itu mendekapnya erat.“Sstt … jangan bergerak!” Bukannya menjawab, Reynald justru mengetatkan pelukannya. “Kita tidur sebentar lagi, ya!” pinta pria itu dan kembali memejamkan matanya.Leanna hanya bisa menurut dan membiarkan suaminya itu memeluknya dan terlelap untuk beberapa saat. Namun suara perut Leanna yang kelaparan segera membangunkan Reynald. Sambil tersipu malu, Leanna menatap Reynald sedangkan pria itu justru tersenyum lembut.“Lapar, ya?” tanya Reynald dan Leanna mengangguk pelan. Memasuki trisemester kedua membuat perutnya menjadi lebih sering merasa lapar. “Mau makan apa?”“Bakso.”“Sepagi ini mana ada yang jual bakso, Leanna?”Leanna mengerucutk