*Happy Reading*
"Mak?""Hm ....""Tahu, gak? Kemaren emaknya karyawan Nur di toko. Tiba-tiba kena bisul gede banget diujung mata, loh. Katanya sih, gara-gara suka ngintipin sama nguping pembicaraan orang."Mak Kanjeng pun langsung mendelik galak, pada anak bungsunya yang baru saja menyindir dengan terang terangan."Lo nyumpahin, gua?" salaknya tak terima."Kagak, sih. Ngasih tahu doang," sahut Nur dengan polos. "Tapi ... semisal emak kesinggung sih, Alhamdulilah. Itu berarti emak masih punya kemaluan."Pletak!Sejurus kemudian. Jitakan maut Mak kanjeng pun melayang cepat ke arah kepala Nur. Membuat yang punya kepala mengaduh kesakitan."Anak durhaka emang lo! Sekate-kate kalau ngatain gue. Heh! Kalau gue gak punya kemaluan. Lo sama si Al brojol dari mana?!" tukas Mak Kanjeng sengit."Bukan itu maksud Nur, ih!" Nur membantah seraya mengusap-usap kepalanya yang terasa nyeri akibat jitakan Mak“Yuhu, Ladies. Apa kalian tidak bisa menghentikannya sejenak? Aku bahkan belum berkesempatan mengenalkan anak-anakku padanya. Kenapa kalian menyerobot giliranku?” Ucapan santai dari wanita kelima membuat wanita yang lain menghentikan kegiatan mereka.Dengan perlahan mereka mundur, sambil merapikan tatanan rambut yang berantakan, akibat terlalu bersemangat melampiaskan emosi."Siapa? Siapa kalian sebenarnya? Kenapa mau repot-repot membalaskan dendam Bianca? Dibayar berapa kalian oleh Bianca? Aku bisa melipat gandakannya untuk kalian." Akhirnya Marcel bisa menyuarakan benaknya, seraya mencoba bernegosiasi dengan wanita-wanita syco yang ada di tempat itu. Bukannya tertarik dengan tawaran Marcel, keenam wanita itu malah tergelak renyah dengan nada merendahkan tawaran Marcel barusan."Kamu kira kami begini hanya sekedar untuk uang saja, Sayang?" Wanita keempat menjawab, sambil melipat tangannya di bawah dada dengan gaya angkuh. "Tidak, Sayang. Bukan h
*Happy Reading*Lolongan demi lolongan memilukan pun terdengar setelahnya dari mulut Marcel. Dengan aroma darah yang semakin kental, seiring banyaknya luka pada tubuh pria itu. Reyn tersenyum puas melihatnya. Memejamkan mata dan menghirup aroma kehancuran dengan senang sekali. Bukankah lolongan itu terdengar merdu. Sangat menentramkan hati, dan menenangkan. Ugh ... cobalah hidu aroma darah ini. Sangat menyegarkan dan membuat gelora semakin naik. Astaga! Reyn suka sekali. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari semua kehancuran ini. "Bos, apa kau tidak ingin ambil bagian dari kesenangan ini?" Sebuah suara menyita atensi Reyn yang tengah terlarut menikmati aroma darah yang menguar dalam ruangan itu. Netra hijau itu pun terbuka perlahan, dengan senyum yang belum luntur dari birainya. Lelaki itu lalu melirik pria yang sudah tak berdaya di tempatnya, dengan beberapa bagian tubuh yang sudah tidak pada tempatnya. Meski beg
*Happy Reading*"Mas Bos.""Hm ....""Aika jadi pengen ketemu Mama Desi, deh," ucap Aika tiba-tiba, saat menunggu di luar ruangan Bianca. Memberi waktu pad Alvaro dan Bianca untuk bicara berdua. Setelah dokter yang memeriksa Bianca berlalu pergi."Bukankah tadi pagi sudah ketemu? Belum puas?" tanya Kairo heran. "Ck, Mas Bos mah gak peka!" Lah? Kairo pun makin heran saat setelahnya, Aika malah berdecak kesal dan merajuk. Salah Kairo di mana? Bukankah jawabannya benar adanya? Kenapa malah marah? Ada apa sebenarnya dengan istrinya ini? Aneh!Ah, lupa. Kalau gak aneh, justru bukan Aika namanya. "Iya, maaf. Saya memang kurang peka. Makanya jelasin dong, biar saya ngerti." Demi kemaslahat bersama, Kairo pun memilih mengalah. Lagi.Bukannya menjelaskan, Aika malah menghela napas kasar, sebelum akhirnya melingkarkan tangan pada Kairo, dan merebahkan kepalanya dengan nyaman di pundak sang suami.
"Sorry, Al. Saya tidak tahu kalau Emak kamu akan menerobos seperti ini."Akhirnya Alvaro pun berhasil menguasai keterkejutan yang sempat hadir. Setelah mendengar suara Bos-nya yang kemudian menyusul di belakang tubuh Mak Kanjeng dengan tergesa. Memijat keningnya sejenak, Alvaro lalu mengalihkan tatapan pada sang ibu yang lancang menerobos masuk.“Mak!” Niat Alvaro ingin menegur ibunya dengan suara tegas.Namun, alih-alih bisa mengomeli sang ibu. Nyalinya malah seketika ciut, saat melihat emaknya memutar tubuh hingga menghadapnya. Tatapan membunuh sudah ditujukan kepada dirinya.Tak sampai di sana. Tanpa aba-aba, Emak Kanjeng menghampiri Alvaro, kemudian menamparnya cukup keras. Membuat Alvaro membeku. Rasa sakit kemudian menjalar di pipi. Meski dia aku, tidak sebanding dengan pedih yang ada di hatinya.“Tante!” Kali ini gantian Bianca yang protes.“Ngapa lo? Gak suka sama tindakan Emak?" tukas Mak Kanjeng lebih galak. M
"Akhirnya dia tidur juga." Desah panjang terdengar dari Mak Kanjeng, setelah melihat Bianca tertidur dengan pulas. Aneh sebenarnya. Soalnya sedari tadi Mak sudah berusaha membuat Bianca terlelap dengan menceritakan tentang perjuangan Indonesia mengusir penjajah. Namun, suara Mak Kanjeng yang berapi-api rupanya tidak memberikan efek ngantuk pada gadis itu.Mak Kanjeng jadi merasa seperti tukang obat yang sedang gelar lapak, dan mengoceh sepanjang jalan kenangan. Laku, kagak. Haus, iya.Kemudian Mak Kanjeng pun beralih dengan menepuk pantat Bianca dengan lembut. Berharap dengan perlakuannya itu, Bianca merasa seperti bayi dan langsung terlelap. Sayangnya, wanita itu malah beringsut menjauh dengan wajah ketakutan. Seperti akan Mak Kanjeng ajak ena-ena. Ah, mungkin itu yang di namanykan trauma.Akhirnya, Mak kanjeng menyerah berusaha. Saat itulah Bianca malah jatuh tertidur seenaknya."Cakep bener nih bocah. Idungnya mancung kek p
*Happy Reading*Saat Bianca mengkhawatirkan sikap Mak Kanjeng kedepannya setelah tahu aib dirinya. Yang Bianca tidak tahu, bahwasanya sebenarnya Mak Kanjeng sudah mengetahui semua hal yang menimpa Bianca. Dari mana Mak Kanjeng tahu? Tentu saja dari saat cosplay jadi cicak-cicak di dinding. Eh, maksudnya, dari mencuri dengar saat Alvaro dan Kairo berbicara tempo hari. Ingat kan?Nah, karena itulah, sebenarnya tidak ada yang harus Bianca khawatirkan lagi dari Mak Kanjeng. Karena Mak Kanjeng sudah menerimanya apa adanya. "Makan yang banyak, Neng. Biar cepet sembuh. Nanti Emak kawinin sama si Al," titah Mak Kanjeng. Seraya menyuapkan sesendok penuh bubur ke dalam mulut Bianca. Mmbuat gadis itu hampir tersedak. Buset. Ini Mak Kanjeng niat nyuapin atau bunuh, sih? Nyuapinnya ekstrem banget!"Aduh, Mak. Pelan-pelan, dong. Mulut Bianca kan masih sakit," keluh Bianca akhirnya. Memegangi rahang yang memang masih terasa ngilu j
*Happy Reading*“Tenang saja, Bro. Aku nggak akan rebut Bianca dari kamu.” Spontan Aaron melepas tangan pada Bianca, dan perlahan-lahan menjauh.“Aku hanya ingin mendampingi Bianca, seperti yang sudah dilakukannya pada Aika. Kamu tahu betapa sayangnya aku dengan Aika. Jadi, aku juga menganggap teman baiknya sebagai adik sendiri.”"Aika?" beo Mak Kanjeng seakan menyadari sesuatu. "Aika? Aika? Aika?" Selanjutnya, wanita paruh baya itu menyebutkan nama Aika berkali-kali, seakan merapalkan doa sambil mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari.Tak ayal, kelakuan Mak Kanjeng pun mengundang kerutan dalam pada kening Mama Desi, Aaron, dan Bianca. "Kalau gak salah, itu nama cewek yang lo taksir dulu, kan, Al?"Degh!Jantung Bianca seketika bertalu cepat mendengar ceplosan Mak Kanjeng barusan. Pun Mama Desi, khususnya Alvaro yang memilih segera masuk ke dalam ruangan. "Mak?" Alvaro bahkan memperingatkan Emaknya, seraya melirik khawatir pada Bianca yang rona wajahnya berubah sendu seketika."Jadi b
*Happy Reading*Setelah memastikan Bianca sudah tertidur, Mak Kanjeng berjingkat-jingkat meninggalkan kamar. Wanita paruh baya itu menuju kamar anaknya.Alvaro sedang menatap langit-langit saat Mak Kanjeng masuk. “Bagaimana keadaan Bianca, Mak?”Pria itu langsung bangkit duduk, saat melihat sang ibu masuk kamar rawatnya. “Sekarang dia sudah tidur. Tapi, Mak khawatir kalau dia akan kembali bunuh diri, saat tidak ada yang menemani." Mak Kanjeng menjawab seraya menghampiri Alvaro. "Gimana keadaan lo? Bae kan? Masih ada yang sakit kagak?" Mak Kanjeng berlanjut menanyakan keadaan putra kebanggaannya. "Al, baik, Mak. Lukanya juga udah gak terlalu sakit lagi. Kata dokter, bentar lagi udah boleh pulang.""Syukurlah." Mak Kanjeng menghela napas lega. "Oh iya, si Nur mana? Kok gak jagain lo? Kan emak udah nyuruh dia jagain lo, sementara Emak jagain Bianca." Mak Kanjeng celingukan mencari anak bungsunya."Nur tadi ijin pergi ke toko donatnya, Mak. Katanya lagi rame." Alvaro menjelaskan dengan
*Happy Reading*“Sok, sokan pakai mobil mahal buat jadi mobil pengantin. Bisa-bisanya kamu mau diporotin cewek macam ini?” sindir tante termuda Bianca ketika acara sudah usai dan mereka hendak meninggalkan tempat resepsi.“Itu hadiah dari saya dan istri. Bagaimanapun juga Alvaro adalah asisten pribadi saya yang setia. Tolong jaga mulut kalian karena Bianca juga termasuk orang penting di keluarga kami. Dia adalah sahabat dari istri saya. Kalau ada yang menyakiti Bianca, itu berarti secara tidak langsung sudah menyakiti istri saya,” sela Kairo yang berbicara tepat di belakang tante Bianca.Wanita itu terlihat menelan ludah dengan susah payah karena mulai mengerti arah pembicaraan ini. “Bukan seperti itu maksud saya--”Tangan Kairo terangkat untuk menghentikan wanita dengan make up menor itu. “Sebagai partner kerja group kami, kalian pasti tahu arti Aika bagi saya? Kalau ada yang membuatnya sedih, saya tidak segan-segan bertindak.”Alvaro melipat bibir demi menahan tawa ketika melihat se
Hari yang dinanti tiba juga. Rencananya pagi ini ijab kabul yang dilanjutkan dengan resepsi di siang hari. Alvaro sengaja mengadakan ijab kabul di rumahnya. Agar dapat memastikan kehadiran keluarga Bianca yang masih belum mengetahui siapa dia sebenarnya. Rumah Mak Kanjeng yang sederhana pasti akan membuat mereka tenang dan tak membuat kekacauan yang berakhir menggagalkan pernikahan.Katakan Alvaro ini licik. Tetapi memang belum saatnya mereka tahu kebenaran soal dirinya. Sikap matre kakek dan neneknya pasti akan muncul jika tahu sekarang. Mereka akan memanfaatkan apa pun agar bisa mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari pernikahan ini.“Ck, ck, ck. Rumah preman memang nggak jauh-jauh dari pasar. Pasti biar lancar urusan melakukan kejahatannya,” sindir paman Bianca sambil bergidik saat memasuki rumah yang terlihat kumuh di matanya. Padahal, rumah Alvaro tidak sekumuh itu. Hanya sederhana saja. Asri pula dan sedap di pandang mata. Karena Mak Kanjeng memang tidak suka rumah besar nan
*Happy Reading*“Al,” panggil Bianca dengan lirih.“Sudah berapa kali aku katakan untuk tidak memanggil hanya dengan nama saja. Kamu mau saya hukum?” ucap Alvaro dengan nada jutek yang seperti biasanya.Rona merah menjalar dari telinga hingga ke pipi mulus Bianca. Wanita itu pasti teringat dengan hukuman cium penuh semangat yang Alvaro lancarkan ketika memanggil nama saja. Tentu saja mereka sama-sama menikmati bentuk hukuman ini, tapi Alvaro juga melakukannya di depan umum. Itu pasti yang membuat Bianca merasa malu.“Eh, Bang,” ulang Bianca dengan lebih mantap.“Kenapa, Sayang.” Lagi-lagi Bianca tersipu.“Aku takut, gimana kalau Emak masih belum memaafkanku?”Tangan Alvaro bergerak untuk menggenggam tangan Bianca dan mengusapnya dengan lembut. “Emak pasti akan memaafkanmu. Jangan takut, aku di sini untukmu. Kita hadapi ini bersama.”Mobil berhenti tepat di depan Emak, yang kebetulan hari itu sedang nongkrong di depan pager dengan Mpok Jubaedah. Biasalah, palingan juga lagi ghibah. "E
Selain menugaskan Alvaro, Kairo juga menugaskan Aika untuk mengalihkan perhatian Bianca sementara dia menyusup ke kantor. Karena itulah Aika datang dan mengajak Bianca jalan-jalan.Hari ini adalah saatnya Bianca masuk setelah mengambil cuti, jadi dia sengaja mengadakan rapat mendadak dan memberikan tugas untuk para staff. Tentu saja ini tanpa sepengetahuan Bianca.Suara nyaring Bianca ketika memasuki kantor bagaikan lonceng yang berdentang nyaring di telinga Alvaro. Hatinya yang memang sudah berdebar tak sabar menunggu kehadiran wanita itu, semakin kebat kebit tak karuan setelahnya. Ini saatnya dia melaksanakan rencananya.“Rapat hari ini cukup sampai di sini. Silakan langsung lakukan tugas masing-masing sesuai dengan arahan saya.” Alvaro menutup meeting pagi itu dengan santai. Berbanding terbalik dengan degup jantung yang benar-benar terasa akan meledak oleh buncahan rasa bahagia.Para staf buru-buru meninggalkan ruangan rapat, sehingga memungkinkan Alvaro untuk segera mengintip dari
Tuhan tahu betapa berat perjuangan Alvaro untuk mencari Bianca selama beberapa bulan ini. Dia secara teratur mengunjungi bagian HRD untuk menanyakan kemana Bianca dipindahkan, tapi ini malah membuatnya dapat surat teguran. Hampir saja Alvaro lepas kendali dan berniat untuk melemparkan surat itu ke muka kepala HRD, tapi demi Bianca, dia tidak boleh dipecat.Setelah beberapa hari merenung, Alvaro mengubah strategi. Dia kembali bekerja seperti biasa tanpa mengganggu bagian HRD. Dia bahkan bekerja lebih keras agar tidak ada tempat bagi otaknya untuk memikirkan Bianca.Namun, semakin kuat usahanya untuk menyingkirkan Bianca dari pikiran dan hatinya, semakin kuat kenangan Bianca menyerangnya. Walau sudah beberapa bulan berlalu, tapi kenangan Bianca sejelas ketika orangnya ada. Alvaro bahkan sering berhalusinasi melihat Bianca yang sedang terkekeh ketika mencuci piring. Betapa renyah suaranya ketika mereka mengobrol saat makan.Katakanlah Alvaro sudah gila. Ya! Dia memang sudah gila sepertin
***Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa sudah 6 bulan Bianca bekerja di kantor cabang. Tidak ada hal spesial yang harus Bianca bagi. Semua B aja. Hanya saja, mungkin sekarang Bianca sudah bisa berbaur dan enjoy dengan teman-teman barunya.Mereka baik, mereka juga asyik untuk diajak ngobrol dan bercanda bersama di sela kesibukan. Membuat Bianca tidak terlalu jenuh dengan kegiatan hariannya yang itu-itu saja. Ngantor, pulang, tidur. Begitu saja terus tiap hari. Bianca yang sekarang benar-benar berubah. Tidak suka nongki dan menghamburkan uang. Meski begitu, komunikasi antara Bianca dan Aika tak pernah putus. Tiap malam selalu tak lupa bertelepon ria dan ghibah bareng. Apa yang di ghibahkan? Banyaklah! Namanya juga kaum hawa. Kalau ngobrol suka ngalor ngidul. Seakan tak ada habisnya bahan ghibahan mereka. Adaaa saja yang di bahas. Dari mulai harga cabe, tetangga julid, sinetron terbaru, gosip artis dan banyak lagi lainnya. Pokoknya kalau tidak ditegur Kairo, bisa telepo
Sesekali Bianca masih sempat melihat beberapa pasang mata yang memperhatikan gerak-geriknya. Bianca hanya bisa menghela napas panjang di tempatnya. Wajar kalau mereka merasa curiga akan keberadaannya di sini yang terlalu tiba-tiba. Baru kemarin surat pemberitahuan muncul, hari ini dia sudah ada di sini. Mode express banget kan kek jodohnya si Aika.Namun, mengingat nama itu. Bianca pun ingin berterima kasih untuk bestinya yang selalu mendukung keinginannya itu. Meski pasti akan kangen sekali pada kegesrekan Aika. Bianca rasa ini memang yang terbaik untuknya. Mungkin dengan berada jauh dari Alvaro, pikirannya bisa sepenuhnya lupa akan kenangan indah yang sudah mereka jalani. Juga luka yang terlanjur tergores dalam. Bianca berharap bisa menjadi manusia baru di tempat baru bersama orang-orang baru pula. Bismillah. Yuk, bisa, yuukkk!Aika : [Bi, Alvaro tadi telepon buat nanyain keberadaan lo]Saat istirahat tiba. Bianca melihat ternyata ada chat dari bestie gesreknya. Hatinya seketika
Dua hari kemudian.Senyum lebar Alvaro terpasang ketika dia melangkah memasuki gedung tempat kerjanya. Dia tidak menghiraukan pandangan beberapa wanita yang ikut berbinar ketika melihatnya. Suara bisik-bisik yang samar-samar didengarnya tidak membuat senyumnya hilang.Terserah mereka mau bilang apa, yang penting hari ini dia akhirnya akan ketemu dengan Bianca. Mungkin sepulang kerja nanti, dia akan mengajukan lamaran. Tidak perlu ada pertunjukkan lamaran seperti yang ada di drama-drama karena dia sudah tidak sabar ingin segera bersama-sama Bianca untuk selamanya.“Selamat pagi, Bos,” sapa Alvaro ketika membuka pintu menuju ruangan Kairo.Namun, Bosnya itu hanya memandangnya sekilas kemudian berkutat kembali dengan pekerjaannya.Apa selama tiga hari cuti, kerjaan di kantor jadi semakin banyak? Sampai-sampai wajah si Bos horor begitu. Alvaro pun segera menghapus senyum dari wajahnya dan mulai bersikap seperti biasanya.Sepanjang hari disibukkan oleh pekerjaan membuat Alvaro sejenak melu
Mata Alvaro tertuju pada laki-laki yang sudah bau tanah di hadapannya. Pria itu mengamatinya dari ujung kaki hingga ke ujung rambut, lalu berulang kembali. Senyum miring terlihat samar sebelum pria itu kembali menampilkan wajah datar.“Ada perlu apa kamu kesini?”“Lapor, Tuan. Orang ini menerobos masuk dan bilang mau melamar cucu Tuan,” ujar seorang satpam yang berdiri takut-takut di belakang Alvaro."Cucu?" beo pria itu lagi, kembali memindai tubuh Alvaro dengan seksama. Alisnya berjungkit antara bingung dan tak suka pada preman kumal di hadapannya saat ini. Cucu yang mana yang preman ini maksud? Cucu yang dia milik tak hanya satu orang. Keheranan bukan hanya terlihat dari raut pria tua itu, tetapi juga orang-orang di belakang tubuhnya. Itu adalah keluarga Bianca."Bianca, Tuan," bisik sang Satpam memberi clue. Sekaligus membuat mata tua itu melotot tak percaya. “Apa benar itu? Kau mau melamar dia, si Bianca.” Jari keriput itu menunjuk kearah muka Alvaro.Kalau saja tidak sedang be